Episode 22 Clean

"Bunda, kenapa belinya margarin korsvet? Kan kita mau bikin nastar!" seru Kiran dengan kecewa saat melihat belanjaan sang bunda.

Bunda tergopoh-gopoh menghampiri putrinya. "Lho, salah ya? Tadi di raknya ada margarin yang udah ditimbang, Bunda ambil aja. Kayaknya sama kok sama yang kamu beli dulu itu."

"Itu kan waktu Kiran mau bikin pastry. Margarinnya pake korsvet. Kalo kue kering biasa ya pake margarin sama butter biasa, Bun." Penjelasan Kiran membuat Bunda manggut-manggut. "Terus mau diapain ini segini banyak?"

"Ya udah. Nanti Bunda beli margarin biasa. Yang ini disimpen dulu. Atau kamu mau bikin Pisang Bolen, yang dulu itu enak banget lho, Sayang," tawar sang Bunda seraya mengelus rambut putrinya.

"Pisang Bolen ya?" Benak Kiran mulai mengelana. Pertama kali ia belajar masak secara otodidak adalah membuat kue, salah satunya adalah Pisang Bolen. Alasan Kiran waktu itu simpel, karena kue mudah dibuat dengan ukuran yang pasti serta waktu yang mudah untuk dilakukan, ketimbang belajar membedakan golden brown atau bukan. Dan tentu saja, gadis itu cepat menguasai menu pastry dan dessert, ketimbang masakan. Kiran bahkan bisa melakukan improvisasi resep dan menguasai adonan kue.

Kiran tercekat. Janesh. Nama itu selalu terngiang lagi setiap ia memikirkan makanan. Gadis itu menarik napas panjang. Dia sudah mengundurkan diri dari restoran Chef ternama itu, tetapi ia juga tak mau kembali memasak di Heart Kitchen. Serba salah. Membuat makanan sudah menjadi bagian dari hidupnya semenjak mengenal Janesh, tetapi kini ia ingin sekali melepaskan semuanya.

Belum seminggu pengumuman resmi mereka pacaran digaungkan, tetapi hubungan Janesh-Kiran harus berakhir. Kiran pergi, membawa sakit hatinya kembali. Jakarta, kamu sudah dua kali membuatku patah hati.

Tetapi sekarang, Kiran mencoba lagi bergulat dengan adonan. Menata hatinya. Demi menjalani hidup baru. Mama Brie meminta Kiran membuatkan kue nastar untuk oleh-oleh yang akan dibawanya kembali ke New Castle. Keluarga Wasserman menyukai nastar dan kebetulan dulu Kiran pernah memberi mereka hasil karyanya. Mama Brie benar-benar memohon, sehingga Kiran tak sanggup menolak.

Kini, sembari menunggu sang Bunda membeli margarin di tobaku, Kiran menguleni adonan untuk Pisang Bolen. Ada beberapa sisir pisang yang bagus sekali, sehingga gadis itu tergerak untuk membuat kue itu lagi.

"Bikin apa, Sayang?" Ayah menatap Kiran dengan sendu. Saat Kiran pulang dari Jakarta, lelaki itu tak banyak bicara hanya segera merengkuh putrinya. Entah mengapa. 

"Pisang Bolen, Yah." Kiran membagi adonan menjadi dua puluh lima dengan berat yang sama. Dulu ia selalu menggunakan timbangan, sekarang tangannya secara reflek bisa merasakan apakah adonan tersebut bisa dibagi rata atau tidak.

"Janesh juga suka Pisang Bolen." Celetukan sang ayah membuat gerakan tangan Kiran terhenti. Kiran tersenyum sedih.

"Iya, Yah." Kiran menyahut sekedarnya. Mengapa ayahnya malah menyebut nama mantan kekasih sekaligus mentornya sekarang? Saat lelaki itu tahu bahwa Janesh dan dirinya tak lagi bersama.

"Dia kalo kesini selalu bawa Pisang Bolen, favorit Ayah. Yang ada kejunya. Anak baik ya kayaknya dia?" Wajah lelaki itu tampak pedih. Senyumnya getir, seakan menyiratkan kesedihan.

Kiran benar-benar tak ingin mendengar apapun tentang Janesh lagi. Seluruh hidupnya sudah tercemari oleh lelaki itu, kenapa sekarang keluarganya juga? Tetapi karena rasa hormat, Kiran sama sekali tak menyanggah ucapan sang ayah.

"Ayah ... bersalah sama dia." Kalimat itu menyambar Kiran bagai petir.

"Salah apa? Ayah nggak ada salah apa-apa kok sama Chef." Kiran menatap lelaki paruh baya itu dengan heran.

Sang ayah menarik napas panjang. "Dia ... pengen nikah sama kamu. Pertama kali dia datang ke sini, dia bilang itu sama Ayah."

Gadis manis itu tertegun. Menikah? Tapi bukannya ... Janesh anti komitmen? "Maksudnya gimana, Yah?"

"Kamu udah bohongin Ayah dan Bunda. Di DO dari kuliah, uang kuliah buat kursus masak, semua karena obsesi kamu sama Janesh. Ayah kira, cowok itu malah bikin pengaruh jelek buat kamu. Saat kamu nggak pulang seharian, bolos kerja, Ayah langsung telepon dia dan marahin dia. Dia ke sini besoknya. Minta maaf dan janji nggak akan bikin Ayah khawatir. Ayah nggak peduli. Ayah suruh dia putusin kamu. Secepatnya. Dan rupanya ... dia memang cowok yang pandai memegang janjinya."

Sekelebat ingatan tentang penyerangan fans barbar Janesh timbul, saat Kiran syok dan tidak pulang ke rumah. Tapi waktu itu, Janesh sama sekali tidak menemuinya, melainkan manajernya.  Kiran menatap ayahnya dengan marah dan gusar. Ia tak menyangka bahwa selama ini, sang ayahlah penyebab Janesh seakan menyakiti dirinya terus menerus.

"Kenapa ... Ayah ngelakuin itu?" tanya Kiran dengan tergugu. "Kiran yang salah, Yah. Udah bohongin Ayah sama Bunda. Kiran yang kecewain Ayah, kenapa Ayah lampiaskan semuanya sama Chef Janesh?"

Ayah memalingkan muka, tak kuasa menampilkan wajahnya di hadapan sang putri. "Ayah salah sama Janesh. Sama kamu."

Tangisan Kiran menderas, dengan tangan yang masih belepotan tepung, gadis itu jadi bingung untuk mengusap air matanya. Pada akhirnya, bulir bening semakin menganak sungai di pipi, merasa kecewa dan sedih sekaligus. "Kenapa Ayah malah hukum Janesh, Yah. Itu nggak adil. Kiran yang salah, Kiran yang bikin kecewa. Hukum Kiran, Yah. Harusnya Ayah hukum Kiran!"

💔💔💔💔💔

"Kiran, I'm here to say sorry. I'm sorry." Janesh menarik napas panjang.  "Aku menyesali keputusanku sebelumnya."

Kiran menjerit, "Kenapa kamu malah datang ke sini?!"

Hiruk pikuk itu berlangsung sekian menit, dengan Kiran yang berlari kembali ke ruang ganti, sementara Janesh menatap sekeliling ruangan dengan datar. Sementara Dika memutar bola mata kesal.

"Brie, Chef Janesh ada di sini, gimana dong?" tanya Kiran dengan panik kepada Brie yang sedari tadi membantunya di ruang ganti.

"Ya temuin dong. Emang dia mau ketemu siapa lagi? Aku? Hah!" Brie mencebik jengkel.

Dika menghampiri Janesh, lalu menepuk pundak mantan mentornya itu. "Good luck. Gue ngantuk banget. Bye! Ayo, Brie, kita pulang aja!"

"Dika! Jangan tinggalin aku, dong! Please! Suruh Chef Janesh pergi aja!" Kiran semakin panik melepas gaun pengantin yang dicobanya. "Ini tuh mestinya jadi kejutan!"

"Kalo kejutan, jangan di upload di insta story." Janesh berkata dengan nada bosan. "Kamu nggak mungkin percaya pamali itu kan? Karena aku enggak!"

Dika bersedekap dengan jemu, sementara Kiran masih berteriak dengan heboh. "Brie, kita pulang aja. Udah capek gue diseret-seret, ditanyain buat ginian. Yang mau nikah siapa, yang repot siapa!"

Sudut bibir Janesh terangkat, membentuk senyum kecil. "Lagian pamali macam apa sih, yang melarang calon pengantin pria melihat calon pengantin wanita pake baju pengantin sebelum hari H. Kurang kerjaan aja."

💔Episode22💔

Jadi, nikah sama siapa nih? 😁😁😁

Sedih banget deh, cerita ini bakalan
deket sama ending. Jadinya sengaja aku lama-lamain biar endingnya masih lama gitu. Tapi aku juga kasian buat kalian yang udah mau nunggu update cerita ini.

Semoga kalian suka ya, Bossque ...

Sambil nunggu update berikutnya, kalian boleh kok baca ceritaku yang lain, kasih saran dan kritik juga. Biar ceritaku bisa makin bagus. Yang terbaru ada Kapan Nikah. Ini model cerita favoritku karena karakter ceweknya pinter dan strong hehehe jadi mungkin beda banget sama Kiran. Kalo kalian dari seluruh ceritaku, kalian suka yang mana? Karakternya siapa? Jawab di komen ya. Sertain juga alasannya ya 😘😘😘

Love,
DhiAZ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top