Episode 2 Permission

Janesh berlari, tergesa, karena dia sudah sangat terlambat. Acara yang dia isi molor dari jadwal, sehingga ia tertahan lebih lama dari yang seharusnya. Semoga Rania tidak lama menunggu.

Begitu langkah kakinya mencapai cafe, telinganya menangkap suara penyanyi laki-laki. Janesh menghela napas kecewa, tetapi ia masih berharap bahwa gadis manis itu menunggunya di sana. Tetapi walau ia sudah memutari ruangan itu dua kali, sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaan Rania.

"Lho, J? Kukira langsung ke Jakarta?" sapa Anwar dengan mimik muka heran.

"Hei, Anwar! Kamu tahu cewek manis yang nyanyi di sini tadi? Rania?" tanya Janesh tanpa berbasa-basi.

Anwar mengangguk. "Sori, J. Aku nggak tahu kamu emang beneran balik ke sini lagi. Kusuruh pulang aja dia. Walau pun tadi dia sempat nunggu kamu, bilang kalian udah janjian."

"Kamu tahu nomernya? Alamat rumah?" Janesh mendesak dengan buru-buru.

Anwar menggeleng. "Aku nggak punya dua-duanya. Tapi aku punya nomer manajernya, Brie, namanya. Aku kontak Rania juga dari dia."

Janesh menghela napas lega. "Oke, gak papa, War. Thanks ya!"

Anwar mengirimkan kontak nomer Brie lewat aplikasi ke nomer Janesh. Barulah lelaki itu bisa mengendurkan ketegangan dan berbasa-basi sejenak dengan koleganya selama belajar di Jepang itu.

Setelah mengunjungi cafe, Janesh kemudian buru-buru ke bandara demi mengejar jadwalnya yang cukup padat. Kecewa karena belum bertemu lagi dengan Rania, lelaki itu hanya memejamkan netranya dan beristirahat. Mungkin ia akan menghubungi si Brie itu besok pagi.

💔💔💔💔💔

4 Tahun Kemudian

Janesh memasuki kedai mungil itu sembari tersenyum kecil, mengingat betapa sulitnya ia bisa menemukan Kiran, atau Rania, nama yang sudah lama ia cari.

Kedai tersebut sepertinya telah tutup, tetapi lampu di dalam masih menyala, menandakan masih ada orang. Langkah kaki Janesh terhenti di depan pintu, sedikit bingung tentang apa yang akan dikatakannya pada Kiran. Setelah sikapnya yang dingin pada gadis itu, serta bagaimana gadis itu pergi setelah Janesh menemukan foto mereka tergeletak di depan ruangannya. Foto yang selama ini ia simpan. Mengapa Kiran pergi waktu itu? Apa yang terjadi? Janesh tak pernah mengerti.

Kiran melamun sendirian, seakan tak menyadari kehadiran Janesh yang sedari tadi menatapnya.

"Aku memang bodoh," ujar Kiran begitu saja, entah ditujukan pada siapa.

"Memang. Akhirnya kamu sadar juga, kan?" timpal Janesh seraya bersedekap.

Kiran terkejut saat mendengar suara itu, lalu terperangah ketika menyadari Janesh ada di sana. Gadis itu berdiri tetapi kebingungan hendak menyambut lelaki yang begitu saja muncul itu.

"Chef Janesh? Kok bisa ada di sini?" tanya Kiran, menelan ludah.

Janesh hanya menatap Kiran dalam-dalam. "Menurutmu?"

Kiran menipiskan bibir, tak tahu harus berkata apa.

Janesh kemudian mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan lalu menatap tulisan Heart Kitchen berukuran besar di dinding. Lelaki itu mendengkus. "Heart Kitchen. Hard Kitchen." Janesh kembali memandang Kiran (Hard dan Heart memiliki pengucapan yang nyaris mirip). "Sampai segitunya ya, kamu nggak bisa move on dari aku?" Bibir Janesh menyunggingkan senyum.

Kiran masih bergeming, tetapi bulir bening mengalir membasahi pipi. Janesh merasa tersentuh, lalu bergegas menghampiri gadis manis itu. Tangan lelaki itu bergerak mengusap sudut netra Kiran, tidak tahu bagaimana harus menghibur gadis itu.

"Begini, kukira ... ada banyak hal yang mungkin harus kita luruskan, tetapi aku tahu kamu pasti susah ngomong sekarang," gurau Janesh, demi melihat Kiran yang masih saja tersedu.

Gadis itu tertawa, meski pun tetes air matanya masih mengalir seperti sungai. Tangannya membekap mulutnya, lalu gadis itu mengalihkan pandang.

"Sebenarnya aku mau nawarin sapu tangan, tapi hari gini mana ada cowok kemana-mana bawa sapu tangan. Jadi ... mungkin ...." Janesh menelan ludah gugup. Tangan lelaki itu terentang, sementara dirinya berdiri dengan canggung di hadapan Kiran.

Gadis itu memeluk lelaki itu dengan kuat, lalu terisak di dadanya yang bidang. "Memangnya aku boleh meluk Chef begini?" tanya Kiran di antara isaknya.

Tangan Janesh menepuk punggung gadis itu dengan kaku. "Ya ... mau bilang nggak boleh, soalnya kamu udah bikin basah kaosku." Janesh terkekeh diikuti Kiran yang tertawa karena gurauan yang garing itu.

"Chef?" gumam Kiran setelah tangisnya reda.

"Hmmm?" Janesh mengusap kepala gadis itu dengan lembut.

"Waktu itu apa yang sebenarnya terjadi?" Kiran melepaskan pelukannya dan menatap lelaki itu dalam-dalam.

Janesh menghela napas. "Aku udah ke sana, tapi kamu pulang. Anwar nggak tahu nomermu. Dia ngasih nomer manajermu ... siapa ya dulu? Sri? Tri?" Dahi lelaki itu berkerut, mencoba mengingat nama manajer Kiran yang diberikan oleh Anwar. "Aku udah hubungi dia, tapi dia malah nggak percaya kalo aku Janesh. Dan dia ngasih warning buat nggak macem-macem sama kamu."

Kiran terbelalak, tangannya membekap mulut. "Brie? Chef udah hubungi Brie? Dan dia ngomong gitu?"

Netra Kiran melirik Janesh saat ia terngiang perkataan Brie, beberapa tahun lalu. "Ini ada cowok sok ganteng, ngaku-ngaku artis mau minta nomermu. Gila aja dia!"

Astaga, jadi lelaki itu benar-benar datang? Sayangnya karena Kiran tak sabar menunggu, jadinya ia tak bisa bertemu dengan Janesh. Gadis itu menghela napas panjang, merutuki kebodohannya.

Sementara Janesh masih memandangnya seakan mereguk kesempatannya menuntaskan rindu. "Kamu tahu apa yang udah kulakukan selama tiga tahun ini? Setiap datang ke kota ini, aku mesti mencari kafe-kafe di mana memungkinkan ada penyanyi di sana. Tanya apakah ada penyanyi bernama Kirania, tapi nggak ketemu juga. Karena itu aku kaget waktu kamu ikut audisi Hard Kitchen. Aku nggak nyangka kamu bisa senekat itu untuk ikut."

Kiran kemudian melayangkan protesnya, "Tapi kenapa sikap Chef jahat sekali waktu itu, sampai nyuruh aku pulang, ngancam nggak boleh ikut Hard Kitchen?"

Janesh menghela napas, seolah merasa lelah menjelaskan sesuatu yang sama. "Kalo kamu mau nurut aku waktu itu, sebelum syuting hari pertama. Aku yang bakal datang ke rumahmu atau nelpon kamu, Kiran. Aku bakal minta data sama Dino, nggak peduli gimana caranya. Tapi kamu malah nekat ikut dan nantang aku di sana. Menurutmu aku harus gimana? Itu acara profesional dan tayang seluruh Indonesia!"

Dada lelaki itu naik turun karena emosi. "Sekarang aku mau tanya, kenapa waktu mau wrap up party* kamu malah ngilang gitu aja, minta Dino buat nggak bocorin datamu ke siapapun? Kenapa?" Netra lelaki itu nyalang menatap Kiran yang segera saja menelan ludah ketakutan.

Gadis itu tertunduk, takut-takut ia menjawab, "Waktu itu aku denger ada cewek, bilang kalo kalian harus menikah sebelum ...." Lalu ia menghentikan ocehannya sendiri. "Yang akhirnya aku tahu itu Bianca, adik Chef."

Janesh berdecak, mengingat percakapannya dengan adik perempuannya yang datang ke lokasi syuting, mendesaknya untuk menikah. Rupanya Kiran salah paham karena itu. "Lalu sekarang? Kamu mau apa?" sentak lelaki itu dengan gemas.

Tanpa memandang wajah Janesh, Kiran tertunduk, merasa bersalah. "Maaf, Chef."

Lelaki itu memegang pundak Kiran, mencoba menemukan netra gadis itu lalu berkata, "Apa sekarang kamu mau mengizinkan aku untuk ngejar kamu?"

💔Episode 02💔

*Wrap up party: pesta perpisahan untuk kru, aktor, pengisi sebuah acara yang menandakan syuting berakhir. Biasanya untuk acara berskala besar

Gimana? Udah ngerasa uwu uwu belum? Hehehe ... Kalo kalian ditanya kayak gitu sama Janesh, gimana? Apa jawaban kalian? Kasih tahu aku di komen ya!

Semoga hari ini kalian para Keliners masih diberikan kesehatan dan kebahagiaan di manapun kalian berada. #StaySafe and #StayHappy ya. Makanya aku usahain akan update cerita ini biar kalian bisa semangat terus di rumah.

Oh ya, kalo kalian punya Instagram kalian bisa follow aku di akun : dreamydhiaz, dan yang mau support aku untuk terus berkarya dan bercerita bisa langsung ke trakteer.id/dhiaz

Oke, sampai di sini ya Keliners, insha Allah aku update lagi besok, buat nemenin kalian biar nggak bosen di rumah. Tungguin ya!

Love,
DhiAZ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top