Episode 18 Warming up
"Maksudnya apa?" Kiran bertanya spontan. Jantungnya mulai berdegup kencang, tetapi hatinya sungguh-sungguh merapal doa, agar Janesh mengucapkan sesuatu yang ingin ia dengar. Itu saja. Itu bukan permintaan yang muluk-muluk, kan?
"Apa?" Lelaki itu malah menatapnya, tak mengerti.
"Itu ... kata Chef that's nonsense. Maksudnya nonsense, apa?" Kiran menipiskan bibir, lebih tepatnya menggigit bibir, demi menahan ucapannya. Rasanya emosi mulai menggelegak, naik ke ubun-ubun. Duh, mengapa dia mesti harus bertemu dengan Chef Bintang Satu yang super duper resek itu sih! Dan mengapa Kiran jadi terpengaruh dengan ucapannya?
"Ya, nonsense. Nggak mungkin aja." Janesh mendengkus lalu memalingkan muka.
Sebentar, sebentar. Apa lelaki ini pura-pura bego atau bagaimana? Bagian mana dari perkataan Kiran yang tak bisa dimengerti olehnya? Mulut gadis itu sudah hendak membuka, saat tangannya merasakan getaran dari ponsel. Perhatiannya teralihkan. Janesh yang melihat adegan itu, tersentak.
Kiran tersenyum kecil ketika melihat pesan yang mampir ke dalam ponsel, lalu kini asyik membalas pesan tersebut. Kata yang terangkai di sana sangat lucu bagi Kiran, membuatnya lupa bahwa sebenarnya ia baru saja jengkel kepada Janesh.
"Siapa, Kiran?" tanya Janesh, nadanya datar saja.
"Dika." Kiran menjawab tanpa menoleh. Lalu tawanya berdekah-dekah, merasa senang akibat sesuatu yang ia baca.
Janesh menghela napas. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Kiran sama sekali tak berpaling ke arahnya. Benar-benar mengesalkan. Kiran tak pernah merasa sebahagia itu saat di dekatnya. Lelaki itu berdeham, berusaha menarik perhatian gadis di sebelahnya. Sayang, gadis itu malah semakin tergelak. Janesh memutar bola mata, tetapi mendadak pandangannya menangkap sesuatu yang menarik. Tangan lelaki itu terulur, menyentuh ujung rambut Kiran yang mulai panjang.
Kekasihnya tersentak. "Eh, Chef? Maaf ya kucuekin, abis Dika lucu banget."
Janesh berusaha menepis kalimat Kiran yang bisa memantik kebakaran hebat dalam hati. "Rambutmu kayaknya udah panjang ya?"
Insiden potong rambut Kiran yang menggemparkan masih saja segar dalam ingatan. Janesh menarik napas panjang, ingin sekali melenyapkan kenangan buruk itu dalam benaknya.
Kiran tertunduk dan tersenyum simpul. "Ah ya, Chef suka cewek yang rambutnya panjang kan?" Ekspresi Kiran berubah menjadi malu-malu. Gadis itu bertekad akan memanjangkan rambutnya sekali lagi, demi menyenangkan lelaki yang kini menatapnya dengan serius. "Tenang aja, Chef. Nanti kupanjangin."
Lagi-lagi, Janesh bungkam, dengan mimik muka yang tak bisa dimengerti oleh Kiran. "Apa kalo kubilang aku nggak suka rambutmu panjang, kamu akan potong rambut?"
Pertanyaan itu muncul setelah hening yang cukup lama, menjadikan Kiran terlonjak kaget. "Chef ... nggak suka kalo rambutku panjang?" Manik mata gadis itu menyorotkan rasa heran.
"Masalahnya bukan itu, Kiran. Maksudku, apa kamu akan melakukan semua hal yang aku perintahkan, bukan sesuatu yang kamu sukai?" Penjelasan Janesh itu disertai dengan nada rendah, kentara sekali lelaki itu berusaha untuk tidak membuat keributan.
"A-aku nggak ngerti. Aku suka semua yang Chef suka. Apa itu salah?" Kerutan di dahi Kiran seakan terpahat dalam-dalam. "Aku suka masak, kerja di restoran, semuanya demi Chef. Dan Chef nggak suka?"
Janesh bersedekap. "Bukan itu maksudku. Apa kamu benar-benar menyukai semua hal yang kamu lakukan sekarang?"
Kiran dengan gugup menyelipkan rambut di telinga, benaknya sibuk memikirkan makna dari kalimat yang dilontarkan oleh kekasihnya. Mengapa mendadak Janesh berputar-putar membahas apakah ia suka dengan hal-hal yang ia lakukan sekarang? Tentu jika Janesh suka, ia pun akan suka. Begitu kan rumusnya?
"Aku suka ... karena aku bisa dekat dengan Chef." Rasanya sekarang, kalimat itu bergaung terus bagai rekaman video yang rusak.
"Itu dulu, waktu di Hard Kitchen. Tapi sekarang, kita udah pacaran. Dan kamu masih belum tahu apa yang ingin kamu lakukan. Untuk karir dan masa depanmu. Itu yang kumaksud, Kiran." Janesh mengatakan itu, dengan nada lelah.
Mendadak saja, Kiran merasa tersinggung. Apa maksudnya dengan karir dan masa depan? Apa ini artinya Janesh tak ingin Kiran ada dalam masa depannya? Memangnya sampai sejauh mana hubungan ini nantinya? Kiran mengerutkan bibir, emosi mulai merambati dirinya. Seperti lahar yang mulai naik ke atas puncak gunung berapi dan siap meletus kapan saja.
"Memang apa hubungannya sesuatu yang kusukai dengan masa depanku? Berarti ... apa yang dikatakan Honey benar begitu?" Tiap kata yang keluar dari bibir gadis itu terdengar penuh tekanan.
"Kenapa kita jadi bahas Honey? Aku cuma ingin tahu apa yang kamu lakukan ke depan. Kamu nggak mungkin kan, cuma bertahan sebagai kitchen staff selamanya. Dan aku juga nggak yakin bahwa itu adalah hal yang ingin kamu lakukan." Janesh benar-benar mulai meledak. Kelelahan serta cemburu yang membakar dalam dirinya membuat lelaki itu meninggikan suaranya. Mengapa jika Dika yang mengatakan hal itu, Kiran dengan mudah mendengarkan? Mengapa jika ia yang menyarankan selalu saja berakhir dengan keributan?
"Jadi menurut Chef, aku nggak ada dalam masa depan Chef? Jadi untuk apa hubungan ini sebenarnya?" sergah Kiran dengan kesal. "Apa ini cuma main-main menurut Chef? Empat sampai lima tahun, lalu usai?"
Janesh tersentak mendengar kata-kata Kiran, merasa bahwa gadis itu sudah mulai melantur kemana-mana. "Kamu ini bicara apa sih? Kenapa jadi bahas empat sampai lima tahun ini dalam rangka apa? Kamu ngomongnya jadi kemana-mana!"
Kiran mengibaskan rambutnya, bersedekap dan bersungut-sungut. "Aku cuma ngomongin fakta, J! Kamu selalu menghindar kalo membahas pernikahan, lalu sebenarnya untuk apa kita pacaran selama ini? Kamu cuma main-main, nggak serius sama sekali!"
"Kamu ngomong apa? Pernikahan?" Kini giliran Janesh yang melongo. Itu adalah sesuatu yang tidak ia duga sama sekali. "Mengapa tiba-tiba kamu ngomong pernikahan?"
Mulut Kiran terbuka, netranya menyala. Dia merasa sangat marah karena Janesh menghindari topik tersebut sedari tadi. Dan ia menjadi semakin kesal, karena pembicaraan mereka sama sekali tak ada faedahnya.
"Kita ngomong itu dari tadi, J! Dan kamu malah nggak jelas ngomongin yang lain! Aku nggak ngerti sebenarnya, apa memang kamu itu alergi komitmen seperti yang dikatakan oleh Honey, atau sejujurnya kamu emang nggak serius sama aku!" Tuntas sudah. Semua uneg-unegnya telah tumpah keluar. Kiran masih merasakan amarah menyembur perlahan-lahan dari pori-pori, tak peduli bahwa sedari tadi sopir pribadi Janesh mendengar pertengkaran mereka.
"Pernikahan?" Janesh kembali membeo, seperti anak kecil yang belajar kosa kata baru. "Alergi komitmen?" Dahinya berkerut, tetapi setelah terdiam cukup lama, ekspresinya berubah. Seakan disiram oleh air es, pelan-pelan mimiknya berubah menjadi datar, cenderung dingin. Tatapan matanya tajam seakan menusuk Kiran, menjadikan gadis itu sedikit gentar. "Jadi itu yang dikatakan sama Honey?
"Iya." Kiran melengos dan membuang muka. Ia tetap tak mau menurunkan egonya.
"Dan kamu percaya padanya." Kalimat itu sungguh terdengar menakutkan, karena itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Kiran tersentak, seolah baru menyadari kesalahan yang ia lakukan.
💔💔💔💔💔
Assalamualaikum Bossque!
Gimana, sudah panas belum? Ini baru pemanasan lho, hehehe. Aku masih punya satu amunisi lagi biar baku hantam 😁😁😁
Jadi, gimana kabarnya? Masih sehat kan? Masih taat aturan kan? Tolong ya, meski pun udah bosen banget, tetap #DiRumahSaja. Plis, kalo nggak butuh banget, jangan keluar-keluar, apalagi sampai membentuk kerumunan. Sabarlah Bossque, semoga pandemi ini segera berakhir.
Mohon maaf kalo aku baru update. Biasa, kumat lagi ini penyakitnya. Moody nggak jelas 😅😅😅
Betewe, ini udah mendekati end ya. Jadi siapkan saja mental dan fisik dan spiritual (apa sih?) untuk berpisah sama cerita ini. Nah, maunya gimana? Happy Ending atau Sad Ending? Kalo ada yang pinter nebak sih, pasti udah tahu endingnya kayak apa 🤣🤣🤣
Jadi, makasih yang udah ramein komennya terus ngevote apalagi traktir aku ngopi di trakteer.id/dhiaz
Tunggu episode selanjutnya ya, semoga nggak lama ✌️
Assalamualaikum
Love,
DhiAZ 💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top