Episode 13 Kalah dan mengalah
"Brie, si Kiran ada di rumah lo?" tanya Dika dengan wajah panik, ketika sampai di kediaman keluarga Wasserman.
Brie yang tampak kelelahan karena seharian mengurus kedai, memandang lelaki itu dengan heran. "Hah? Nggak tuh. Dia nggak di sini."
"Kayaknya Kiran ngilang, Brie. Si Janesh cerita nomernya Kiran nggak bisa dihubungi sejak pagi. Ayahnya juga telepon nyariin. Beneran lo nggak tahu di mana dia?" Raut Dika kini lebih cemas dari sebelumnya.
"Seriusan?" Brie berlari masuk ke rumahnya, meraih ponsel yang tergeletak di meja. Gadis itu mencoba menelepon sahabatnya, tapi tidak tersambung. Panik, ia menyambar kunci mobil dan berlari keluar menemui Dika. "Kamu bisa nyetir mobil, kan? Motormu taruh sini dulu aja."
Lelaki itu mengangguk, lalu mengambil kunci dari tangan Brie. Berdua, mereka segera menembus pekatnya malam menyusuri jalanan. "Apa lo tahu kemungkinan dia bakal ke mana?"
Brie mengernyit. "Aku nggak tahu. Biasanya dia selalu nginep di rumahku kalo ada masalah, atau aku nginep di rumah dia. Nggak pernah sampe kayak gini."
Netra Dika memindai setiap meter yang dilalui mobil Brie. "Tempat yang sering kalian datangi? Mungkin pantai, gunung, atau apa gitu?"
"Nggak yakin sih. Coba ke kampus deh. Di sana ada tempat yang bisa dikunjungi sampai malam. Deket danau." Ingatan Brie terlintas saat ia dan Kiran pernah menghabiskan waktu semalaman di sana demi mengerjakan tugas.
Tampang Dika yang mengeras saat mencari Kiran, membuat Brie bertanya-tanya. Apakah lelaki ini masih menyimpan rasa untuk sahabatnya? Mengapa lelaki itu jauh lebih peduli kepada Kiran dari pada Janesh? Bibir Brie terkatup rapat ketika nama itu muncul dalam benak.
"Anak itu sejak kenal Janesh jadi makin aneh deh. Sampai bingung aku lihatnya." Gumaman Brie segera saja menyambar pendengaran Dika.
"Maksud lo apaan? Janesh juga care sama Kiran tahu. Kalo dia nggak ngabarin gue, gue juga nggak tahu kalo Kiran ngilang." Lelaki itu menghela napas saat harus menghentikan mobil karena lampu lalu lintas menyala merah.
Brie mendecih. "Terus terang, aku kurang suka ngeliat ... obsesi Kiran sama Janesh. Apa lo tahu, kalo dia di DO dari kampus? Dia ngabisin waktu buat belajar masak, ikut Hard Kitchen, dan bohong sama ortunya. Kegilaan apa lagi yang bakal dia lakukan buat Janesh?"
Buku-buku jari Dika memutih saat mencengkeram setir. "Itu juga bukan salah Janesh. Aku yakin, kalo J tahu, dia bakal kecewa."
"Yeah, I know. Tapi aku cuma bingung mesti gimana lagi sama tuh anak. Apalagi sekarang mereka pacaran." Brie mendecih. "Total disaster."
Dika tak menjawab, melainkan memfokuskan pandangan ke depan. Bibirnya terkatup, napasnya tak beraturan. Dirinya sedang membungkam amarahnya sendiri. Saat ponselnya berdering, Dika menepikan kendaraan roda empat tersebut dan menerima panggilan tersebut.
"Ya, J? Aku masih nyari dia. Brie juga nggak tahu di mana dia. Hmm. Mungkin ...." Dika tak menyelesaikan kalimatnya. Ada sesuatu yang tertangkap oleh netranya yang membuatnya tercekat. "I'll call you back."
Brie yang sedang menatap lurus ke depan, mengabaikan percakapan Dika, tertegun. Tangannya segera membuka pintu mobil dan segera keluar. Begitu pun Dika. Lelaki itu berlari dan menghampiri sesosok gadis yang memakai baju yang sama dipakai Kiran tadi pagi.
💔💔💔💔💔
"Kamu kok jadi kayak asistennya J, sih. Sampai harus ngelaporin kayak gitu." Ucapan Brie mengandung nada tak suka yang kentara. Dia tak sengaja mendengar percakapan antara Dika dan Janesh, setelah baru saja Kiran meninggalkan mereka berangkat kerja.
Dika hanya menghela napas. "Jujur, gue juga nggak suka berada di antara mereka. Sejak kenal di Hard Kitchen, gue gak pengen tersiksa sama perasaan gue sendiri. Tapi nyatanya gue jadi care dan sayang sama Kiran. Meski pun gue tahu, dia nggak akan berpaling ke gue. Di mata dia cuma ada Janesh."
Lelaki itu kembali menata kursi dan bangku kedai. "Tapi sejak gue kenal Janesh, gue respek sama dia. Dia fair, ngajarin gue, bahkan bantu ngasih job-job on air. Sering ngajak gue diskusi. Bagi gue, dia juga orang yang sangat gue hormati. Gue setidaknya seneng, Kiran berada di tangan yang tepat."
Brie bersedekap. "Entah ya. Sejak dia kenal sama Janesh, dia mulai suka aneh-aneh. Aku tahu dia keras kepala, dan kalo sudah punya keinginan, dia nggak akan mau nyerah. Cuman aku nggak suka lama-lama. Aku berharap suatu hari Janesh segera ninggalin dia, agar Kiran sadar dari 'mimpi indahnya' itu."
"Brie, bukan lo yang menjalani. Gue rasa, lo harus tahu dari sisi Janesh dulu sebelum menghakimi sikapnya yang kelihatan arogan. Begitu pun Kiran. Dia kadang suka gelap mata, nggak peduli apa pun yang gue omongin ke dia." Dika kemudian berjalan menuju dapur dan mulai bersih-bersih peralatan yang akan dipakai hari itu.
"Dan kamu ... apa masih suka sama Kiran?" tanya gadis berambut sebahu itu. Binar netranya meredup, menatap Dika dengan sendu. "Masihkah kamu mengharapkan Kiran untuk milih kamu?"
Aktivitas Dika terhenti. Raut wajahnya mendadak kelam. Sebelum ia membuka mulut untuk menjawab, Brie berharap agar lelaki itu mengatakan apa yang ingin ia dengar.
💔💔💔💔💔
Dika bergegas menghampiri gadis itu, separuh hatinya berharap agar gadis yang tampak pucat dan rambut berantakan itu bukan Kiran. Matanya sembap, pakaiannya sobek di bagian bahu.
"Kiran!" seru lelaki itu, membuat gadis itu menoleh ke arahnya. Sementara Brie berlari mengikutinya di belakang. Situasi yang sangat canggung bagi gadis cantik itu. Selama ini, dirinya lah yang menjadi tumpuan kepercayaan Kiran. Tetapi sekarang, ada orang lain yang lebih peduli dan menyayangi Kiran, sama seperti dirinya.
Netra Kiran mengerling, menatap tak percaya ke suara yang memanggil namanya. Bibirnya bergetar, bulir bening menderas mengalir begitu saja. "Dika ...." Suaranya serak berbisik.
Segera saja, Dika meraih Kiran dalam pelukannya. Entah apa yang terjadi pada gadis itu, tapi kondisinya sangat kacau. Dika tak berani mengira macam-macam. Brie ikut terenyuh melihat kondisi sahabatnya, tetapi langkah kakinya terhenti ketika melihat Kiran yang merangkul Dika erat. Ada sesuatu dalam hatinya yang terasa kosong dan dingin. Entah sejak kapan rasa itu bermula atau mengapa dia selalu merasa marah melihat perhatian Dika kepada Kiran.
Kini, ia tahu sebabnya. Kepala gadis blasteran itu berpaling. Rasanya tak ingin memandang apa yang tersaji di hadapannya lebih lama lagi. Bibirnya tergetar, merasakan hatinya harus terpotek berkali-kali.
Selama ini, aku nggak pernah terlibat persaingan cinta dengan Kiran, sahabatku sendiri. Nggak pernah sekali pun. Tetapi sekarang, jika memang itu bisa menjauhkan Kiran dari Janesh, aku bersedia merelakan hatiku terluka.
💔Episode13💔
Assalamualaikum Bossque 😉!
Mohon maaf ya untuk edisi ini Kiran dan Janesh belum nongol. Eh, Kiran muncul secuil doang. Kali ini aku mempersilakan Brie dan Dika unjuk gigi, biar mereka bisa leluasa mengeksplor perasaan mereka karena berada di tengah-tengah tokoh utama. Hehehe 🙏✌️
Oh ya, makasih buat yang udah nyemangatin aku buat update. Sori kalo lama, aku masih bikin proyek baru. Dan aku nggak sabar buat berbagi proyek baru itu untuk kalian semua.
Makasih buat yang udah ngevote, ngomen dan nraktir aku ngopi di trakteer.id/dhiaz semoga aku bisa terus nulis cerita-cerita yang menghibur kalian dan bisa dinikmati gratis 😉
See you next episode, jangan lupa jaga kesehatan karena menjaga hati ternyata tak semudah yang dibayangkan #ngomongapaan #ahelah
Assalamualaikum
Love,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top