Episode 10 Girls loud
Janesh menatap ponselnya dengan gelisah, kebingungan karena mendadak saja nomer kekasihnya tak dapat dihubungi. Apa yang terjadi?
Tim produksi program Cooking with Love tengah berkumpul, tetapi pertemuan mereka belum dimulai karena menunggu Janesh.
"J, come on!" seru perempuan berambut panjang yang dicat kecokelatan.
"Wait, Honey. Gimme one more minutes!" Janesh memberi isyarat dengan jemarinya.
Perempuan itu agak tak sabar, tetapi dia bersedia menunggu. Tak ada yang bisa dia ajak ngobrol, karena anggota tim produksi tak semuanya bisa berbahasa Inggris atau Mandarin. Jadi perempuan itu hanya diam dan tersenyum canggung.
"So, Miss Lee. How are you?" tanya Dino, sang produser yang baru saja sampai lima menit yang lalu. Lelaki itu baru saja selesai berkutat dengan gawainya.
Perempuan berambut cokelat itu tersenyum ramah. "Ya, I'm fine. But you can call me Honey."
"Oh, really?" Dino mengangkat alis.
"Yeah, that's my international name." Honey mengibaskan rambut panjangnya.
Dino mengangguk mengerti. "I see." Nama internasional adalah panggilan yang disematkan untuk warga negara Cina atau Jepang, yang namanya sulit diucapkan. Aksara Mandarin sulit dipahami terutama oleh orang Barat, karena itu biasanya orang Cina memilih nama Barat yang umum sebagai nama panggilan.
"That's a beautiful name as you are." Pujian Dino sama sekali tak membuat Honey besar kepala. Cantik adalah hal yang sudah melekat padanya sejak lama.
"Okay, what I'm missing?" Janesh segera bergabung dan kemudian pertemuan dilanjutkan.
💔💔💔💔💔
"What's bothering you?" Honey tersenyum kepada Janesh setelah pertemuan dengan tim produksi usai.
Janesh menggeleng. "Nothing. Just another work."
"Bukan gadis barumu?" Honey menelengkan kepalanya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman sinis.
Janesh menatap tajam netra perempuan yang pernah singgah di hatinya itu. Tidak, sama sekali tak ada desiran ketika mereka saling beradu pandang. Meski pun paras cantik Honey memang menyenangkan untuk dinikmati. "Dan itu bukan urusanmu lagi, kan?" Lelaki itu bangkit dan berjalan menjauh.
"Oh, come on. Kenapa kamu sinis sekali?" Honey mengejar Janesh dan berjalan bersisian dengan lelaki itu.
"Kamu nggak ada agenda lain?" Janesh bertanya, dengan nada acuh.
"Kamu nggak ingin menyambut kawan lama?" Honey balik bertanya, netranya mengerling kepada lawan bicaranya. "Kudengar ada restoran bagus di dekat sini."
"Kamu bisa ajak Dino. Dia pasti senang sekali ngajakin kamu keliling." Janesh kini menghentikan langkah dan menatap ponselnya dengan gelisah. Sesibuk apa sih dia di sana?
"He's not my friend," ujar Honey mengibaskan rambutnya yang panjang dan indah, apalagi ditata dengan bentuk ikal di bagian bawah.
"Memangnya sejak kapan aku jadi temanmu?" Janesh menghela napas.
Honey tergelak. "Astaga. Apa kamu masih marah karena yang dulu itu?"
Janesh tersenyum sinis. "Nope. Apa pun di antara kita sudah berakhir, aku nggak peduli."
Tangan lentik gadis tersebut merayapi pipi Janesh. "Jadi kita bisa lupakan semuanya dan mulai dari awal, kan?" Honey tersenyum manis. "Kapan kamu mau tanding denganku?"
"Kenapa? Bintang dua Michellin masih kurang buatmu? Kamu bisa kejar bintang tiga di restoran mana pun yang kamu mau." Janesh menepis jari Honey. "We're not that close. Be professional, Honey." Lelaki itu memberikan tekanan pada kata terakhir dan mengedipkan sebelah mata.
Setelahnya, Janesh berjalan tergesa menjauh dari perempuan tersebut dan menuju mobilnya. Ada hal yang harus ia bereskan. Tetapi jadwalnya masih padat merayap, menjadikan lelaki itu merasa sesak napas. "Ya Tuhan!" desahnya ketika duduk di kursi belakang mobil, merasakan semburan pendingin udara menerpa wajahnya.
Sopirnya siaga di depan kemudi, lalu mobil itu pun bergerak menjauh dari studio rumah produksi.
Lelaki itu menghela napas ketika netranya melirik ponselnya yang masih bergeming. Tak tahan dengan itu, dia meraih gawai dan menghubungi nomer yang sedari tadi sibuk dan tak dapat dihubungi.
"Ayo dong, angkat!" gumam Janesh dengan gelisah.
Hingga deringan kelima, sama sekali tak ada respon. Kesal, Janesh melempar ponselnya dan memejamkan netra. Dia capek dan hanya butuh tidur.
💔💔💔💔💔
"Apa-apaan semua cewek-cewek ini?" Janesh mengernyit ketika sedang diskusi mengenai seleksi peserta Hard Kitchen sesi tiga. "Kok jadi kayak audisi Take Me Out?"
Dino menyeringai. "Peserta perempuan membludak tahun ini ketimbang sesi dua. Sepertinya mereka terinspirasi oleh Kiran."
Nama itu seakan memberi sengatan kepada tubuh Janesh. Lelaki itu tersentak kaget. "Terus mereka bikin video profil kayak mau cari jodoh gitu? Ck!"
"Bagus dong! Coba lo lihat beberapa, pilih yang wajahnya cocok buat acara televisi. Kita bisa bikin banyak gimmick." Dino menyodorkan beberapa map yang berisi data peserta.
Janesh mengerling tajam ke arah Dino. "Mereka bisa masak, nggak?"
"Alah, J. Kita sudah punya beberapa sous chef dan chef de partie, kita butuh orang awam. Tapi harus punya good look." Dino bersikeras meyakinkan rekan artisnya itu.
Tangan Janesh memijat pelipis, tak tahu harus membungkam mulut Dino dengan cara seperti apa lagi. Sepertinya lelaki itu baru bisa diam kalau sudah disumpal dengan seluruh map-map itu. "Mereka bisa masak, nggak? Standarku cuma itu."
Sang produser mendecih. "Yah nggak semuanya sih. Ada yang goreng telur aja gosong. Tapi nekat ikut."
"Ya udah, eliminasi aja. Nggak usah ruwet. Aku maunya banyak peserta cowok. Peserta cewek sepuluh persen aja!" Titah Janesh dengan tegas. Dia tak mau memancing kecemburuan Kiran dengan menghadirkan peserta perempuan di Hard Kitchen.
Mimik kesal Dino jelas tak bisa disembunyikan. "J, ini acara tivi, Man! Masak sepuluh persen? Orang juga mau lihat yang bening-bening!"
"Kasih aja kaca di kitchen. Beres."
Dino menghela napas kesal. Meski pun perdebatan mereka adalah hal yang lumrah selama bekerja sama, tetapi dia selalu merasa jengkel ketika harus bersitegang dengan selebriti chef itu.
"Tiga puluh persen. Sepuluh persen untuk cewek-cewek yang nembak lo dan bertekad menjadi Kiran yang kedua." Dino meringis.
Janesh menjadi jengah dengan aturan lelaki itu lama-lama. "Enggak. Sepuluh persen peserta cewek, harus bisa masak. Kalo nggak, aku nggak mau lanjut syuting."
"Apa sih alasan lo? Kiran? Dia nggak mungkin keberatan sama kerjaan lo kan?" Dino adalah salah satu dari segelintir orang yang tahu bahwa Janesh dan Kiran menjalin hubungan. "Lo artis, punya banyak fans. Dia salah satunya. Kenapa dia mesti cemburu?"
"Ya sudah. Dua puluh persen, harus bisa masak semua. Aku nggak mau nerima cewek yang cuma pecicilan." Janesh berkata pada akhirnya setelah terdiam cukup lama.
Dino menyeringai, wajahnya menunjukkan ekspresi kemenangan. "Deal, Bro. Deal."
Dalam hatinya, Janesh berharap hal ini takkan menimbulkan masalah besar bagi hubungannya.
💔Episode10💔
Assalamualaikum, Keliners!
Maafkan aku baru update. Aku kemarin lumayan sibuk, terus jadi terlibat di beberapa proyek baru. Jadi cerita ini sedikit tersisihkan. Tapi jangan khawatir, aku bakal selesaikan dan update rutin lagi kok. Meski pun belum tentu tiap hari.
Follow IG aku juga ya di @dreamydhiaz
Makasih buat yang udah nungguin dan nraktir aku kopi buat buka puasa di trakteer.id/dhiaz, plus yang udah vote dan ramein komen. Kalian emang keluarga yang dabest pokoknya. Sampai episode berikutnya ya, Kels!
Love,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top