Episode 7 Saddest Goodbye
Janesh berpamitan kepada Rendra, chef yang bertanggung jawab di restorannya selama lelaki itu bekerja di Jakarta. Saat itu adalah jam sibuk restoran karena menjelang makan malam, tetapi Janesh harus bergegas karena pesawatnya akan berangkat pada pukul sembilan malam. Dia harus sudah di bandara sebelumnya.
Barang-barangnya yang di hotel sudah dibereskan oleh petugas kebersihan, Janesh hanya tinggal mengambilnya saja. Saat memasuki pintu mobilnya, lelaki itu sempat bimbang. Apakah dia harus mampir ke sana? Sebelah alisnya terangkat. Ponsel yang berada di sakunya sama sekali tak memberikan sinyal bahwa ada pesan masuk.
"Ah, sudahlah." Janesh menepis keinginannya. Lelaki itu segera menyalakan mesin dan menyetir ke arah hotel, di mana ia menginap sebulan ini. Setelah dari hotel, Janesh bertekad untuk langsung ke bandara.
Sayang, sepertinya tangan lelaki itu bergerak begitu saja mengarahkan kendaraannya berakhir di depan kedai Heart Kitchen. "Ngapain aku di sini!" sergahnya kesal. Tampak aktivitas kedai cukup ramai, tetapi Kiran sama sekali tak terlihat di sana. Mungkinkah dia sudah pulang ke rumah? Janesh berdeham, seolah menghalau ide gila yang menuntunnya pergi ke rumah kekasihnya. Keras kepala, ia mengemudi ke arah bandara. Lelaki itu bertekad, ia takkan mau merengek setelah pesannya diabaikan Kiran begitu lama.
Setelah melewati rangkaian proses boarding, lelaki itu duduk di ruang tunggu. Banyak bisik-bisik yang terdengar, membuat lelaki itu separuh menduga orang-orang yang berada di sana tahu akan dirinya. Janesh mengenakan maskernya, terlambat menyadari untuk menutupi wajah sejak tadi. Ia sedang tak ingin beramah tamah kepada orang untuk minta foto atau tanda tangan atau ngobrol.
Lelaki itu mengeluarkan ponsel, menatap foto Kiran yang tersenyum manis ke arah kamera. Salah satu sudut bibir Janesh terangkat ke atas, merutuk kerinduan yang menyergapnya di saat dia memutuskan untuk pergi menjauh. Untuk sejenak, pikirnya. Sampai gadisnya sudah tenang untuk diajak bicara. Atau sampai rasa cemburunya reda? Janesh menghela napas kesal mengingat perkataan Dika tadi siang. Mengapa harus lelaki itu? Anak didiknya yang paling cemerlang di Hard Kitchen, juga teman diskusi yang menyenangkan.
Setahun ini, tanpa Kiran, mereka sering keluar bersama, melakukan proyek di televisi atau acara off air. Janesh sangat terbuka kepada Dika, begitu pun sebaliknya. Tetapi sepertinya tidak lagi. Apakah memang persahabatannya dengan lelaki itu harus berakhir, hanya karena Kiran?
Chef ternama itu mendadak merasa lelah. Meski pun tak nyaman, ia mencoba untuk bersandar di kursi ruang tunggu dan memejamkan mata.
"Chef Janesh?" Sebuah suara menyentaknya ke alam sadar.
Duh, tidak lagi. Tolong jangan ada fans yang ....
Janesh membuka netranya dengan malas, lalu terkejut karena melihat orang yang berdiri dihadapannya sekarang.
"Kamu ... ada di sini?" Suaranya entah kenapa menjadi serak. Begitu tersadar, lelaki itu berdeham berkali-kali. Tetapi di matanya mulai terlihat binar-binar bahagia. Kiran.
Gadis itu berdiri di hadapannya dengan canggung. "Aku takut telat tadi. Aku buru-buru ke sini." Setelahnya Kiran terdiam. Tak tahu apa lagi yang ingin dikatakan.
Janesh menghela napas. "Makasih." Wajahnya sendu, tetapi bibirnya mengulas sebuah senyum.
Kiran menyelipkan rambut di telinga, benar-benar kebingungan. "Makasih untuk apa?"
"Karena sudah bersedia kemari, meski pun kamu masih marah." Janesh menatapnya dengan intens.
Bibir gadis di hadapan Janesh terkatup rapat. Seolah tak ingin memberi kesempatan kepada amarah untuk melampiaskannya keluar. Kiran menahan diri, bersabar sebentar. Karena setelah ini mereka belum tahu kapan bisa bersua. Mereka juga tak tahu bagaimana melepas rindu yang terbit ketika jarak membentang.
Janesh menatap wajah Kiran sekilas dan ia tahu mengapa gadis itu bersikap demikian. "Aku tahu kamu marah. Kita akan bicarakan lagi ketika ada waktu. Kamu boleh marahin aku, kamu boleh caci maki aku saat itu. Tapi untuk sekarang, makasih kamu udah datang ke sini."
Netra Kiran mulai berembun, tetapi gadis itu menahan diri agar tak menangis. Sebaliknya, ia hanya menatap wajah lelaki yang empat tahun ini berada di hatinya, enggan untuk pergi. "Chef tahu," tutur Kiran dengan bibir bergetar. "Berat sekali aku berada dalam kondisi ini. Tapi aku tahu, ini semua demi karir Chef."
"Kiran, asal kamu tahu, aku nggak ingin nyakitin kamu. Tetapi ketika di dapur, begitulah karakterku. Keras dan panas. Karena begitulah kitchen menempa kepribadianku. Aku nggak bisa bersikap lembut. Atau berkata manis." Tangan Janesh terulur menyentuh rambut gadis manis yang mencuri hatinya empat tahun yang lalu.
Sebagai respon, Kiran mengangguk lemah. "Aku tahu, aku tahu. Aku hanya sedikit lupa, karena saat ini kita udah pacaran, Chef bakal bisa bersikap manis ke aku," bisiknya lirih.
Janesh memejamkan netra, tersentak atas kealpaannya. "Iya, kali ini aku salah. Aku minta maaf. Seharusnya aku bisa lebih merhatiin kamu, atau luangin waktu buat kamu."
Senyum manis mulai tertera di wajah Kiran. "Nggak papa, Chef. Chef sibuk. Aku yang harusnya lebih ngerti. Sedari awal pun, Chef juga nggak pernah janji apa-apa sama aku."
"Kiran," ujar Janesh seraya menggenggam jemari gadis itu. "Aku juga bukan orang yang suka mengobral janji, karenanya aku tahu pasti berat buat kamu. Tapi karena kamu udah berusaha mengerti, maka aku juga akan berusaha untuk memberi perhatian lebih untuk kamu, setelah ini."
"Makasih, Chef. Dan oh ya. Aku bakal tetap kerja di restoran Chef, kalo masih boleh. Aku ingin belajar banyak hal." Kiran mengusap bulir bening yang menggantung di sudut netra.
Janesh tersenyum. "Oke, aku akan bilang ke Rendra. Dia bakal lebih sabar ngajarin kamu."
Kiran mengangguk penuh semangat. "Hati-hati ya, Chef. Baik-baik di sana." Gadis itu berusaha menampilkan ketegaran. Dia tak ingin membebani Janesh sebelum lelaki itu berangkat ke Jakarta. Meski pun begitu, tubuhnya seakan mengkhianati dirinya. Bibirnya bergetar, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipi.
Tersentuh dengan kesedihan Kiran, lelaki itu segera merengkuh sang kekasih ke dalam pelukan. Tangan Kiran kemudian kuat memeluk punggungnya. Tak ada lagi kata di antara mereka, hanya berbagi kesedihan tanpa suara. Kiran membenamkan wajah ke dada bidang milik Janesh, berharap bisa mereguk sepuasnya aroma parfum milik lelaki itu dan menyimpannya dalam ingatan. Agar suatu saat ketika rindu menyerang, ia bisa membayangkan seolah lelaki itu dekat dengannya.
Tak ada yang ingin melepaskan pelukan, seolah takut setelah ini mereka takkan bisa bertemu lagi. Tak peduli beberapa pasang netra memandangi mereka, tak hirau bisik-bisik yang membicarakan mereka. Mereka saling melepas semua beban yang selama ini tak sanggup terkatakan, karena terhalang ego dan pertengkaran.
Terdengar pemberitahuan untuk penumpang jurusan Jakarta agar masuk ke pesawat. Kiran menghapus air matanya, dengan enggan melepaskan pelukannya. "Sampai ketemu lagi, Chef."
💔Episode07💔
Assalamualaikum, Keliners!
Maafkan baru update. Ya itung-itung buat nemenin kalian buka puasa lah ya. Lagian adegannya udah sweet kan, jadi kalo ada yang baper, kan udah nggak dosa aku tuh karena udah buka #authordikeplak
Alhamdulillah hari ini, Janesh udah bisa diajak kerja sama. Jadi bisalah adegan sweet-sweet begini. Tapi kok ya pas dia mau berangkat lah. Setidaknya mereka udah akur deh. Sumpek juga aku kalo mereka curhat tapi ujung-ujungnya nyalahin pasangannya.
Ada yang pernah punya pengalaman kayak gini? Cuss ceritain di komen ya. Pasti aku baca lho. Apalagi kalo ada yang mau traktir aku jajan chiki chuba monggo kunjungi trakteer.id/dhiaz buat nyemangatin aku nulis. Kan lumayan ada yang bisa diminum selama ngetik 😉😉😉
Terus gimana kelanjutannya? Apakah mereka akan langgeng seterusnya? Ho ho ho nggak semudah itu Rosalinda! Aku masih pengen liat mereka berantem, biar Janesh buat aku aja 😝
Ya beginilah, penulis sableng 🤣🤣🤣 mohon maklum yak. Makanya atuh, vote nya jangan lupa disenggol, ramein komennya biar aku tuh tydack kesepian 😭😭 #curcol
Baiklah. Sudah dulu ini omongan nggak berfaedah dariku. See you next episode!
Love,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top