Episode 5 Quit

"Apa?" Kiran melotot hingga rasanya nyaris keluar. "Chef mau balik lagi ke Jakarta?"

Penuturan yang keluar dari mulut Janesh pagi ini membuat gadis itu uring-uringan. Kemarin malam, Kiran tak mau lagi memperpanjang urusan kemarahannya, dan membiarkan Janesh pulang setelah mengantarnya ke depan rumah.

"Apanya yang apa? Bukannya sudah kubilang kalo di sini aku cuma sebulan aja?" Janesh tengah berkonsentrasi menyetir mobilnya, sehingga menyahuti perkataan gadis di sebelahnya dengan asal.

"Iya, tapi ... kukira Chef itu pekerjaannya akan tetap di restoran." Kiran menatap lelaki tampan di sebelahnya, mencoba untuk menuntut penjelasan. "Terus apa gunanya aku pindah ke restoran itu?"

Janesh menghela napas. "Itulah, makanya! Aku kan udah bilang waktu itu, buat apa, apa gunanya. Kamu ngotot karena pengen kita ngabisin waktu sama-sama." Lelaki itu jauh lebih kesal dari pada malam sebelumnya.

Kiran menghempaskan badannya dan cemberut. Mengapa jadi begini sih? Baru saja sebulan Janesh menginjakkan kakinya ke kota Kiran, tetapi lelaki itu selalu sibuk, tak ada waktu. Mereka bahkan bertemu seminggu sekali. Hingga akhirnya gadis itu nekat minta pindah bekerja di restoran yang dikelola Janesh agar mereka bisa setiap hari bertemu. Tetapi tetap saja, Janesh hanya fokus bekerja, tanpa memedulikan Kiran.

"Emang kenapa Chef musti ke Jakarta? Bukannya itu restoran Chef? Kalo Chef pergi siapa yang ngelola?" Rentetan pertanyaan Kiran seakan tak ada habisnya, merepet seperti petasan.

"Iya, itu restoran aku. Tapi di situ aku cuma ngawasin aja. Toh sudah ada Almira dan Rendra yang ngurus." Janesh membelokkan setirnya memasuki restoran. Kemudian setelah parkir dan mematikan mesin mobil, lelaki itu menoleh ke arah Kiran yang mulai memasang wajah cemberut. "Listen, my job is an artist. Kamu tahu itu, kamu sudah hapal itu sebelum kita saling kenal. Dan aku udah cerita kan setelah ini aku ada kontrak talkshow yang bertemakan kuliner? Kenapa sekarang kamu marah seakan aku nggak pernah bilang sama kamu?"

Kiran tertunduk, merasa sedih akan perpisahan yang akan terjadi sebentar lagi. Dia juga merasa kesal karena sama sekali tak bisa berkencan dengan Janesh selayaknya pasangan pada umumnya, karena kesibukan lelaki itu. Dan bukan Kiran namanya kalau tidak membuat keputusan buru-buru. Termasuk bekerja di restoran tersebut.

"Iya, aku tahu. Aku yang salah marah-marah nggak jelas." Kiran keluar dari mobil dan berjalan dengan cepat menuju ruang ganti.

"Kiran! Kiran!" panggil Janesh dengan suara keras, tetapi gadis itu seolah tak mendengar. Lelaki itu menghela napas, terpekur sejenak, memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan.

Sementara kaki Kiran mengentak-entak kesal saat gadis itu sampai di ruang ganti. Pacar macam apa yang bahkan tak pernah menghabiskan waktu bersama? Oke, di dapur restoran ini mereka bersama, tetapi kata-kata Janesh lebih seperti menyuruh pegawainya, bukan seperti kekasih pada umumnya.

Dan sekarang setelah Kiran telanjur masuk menjadi pegawai di restoran ini, ia tak bisa serta merta keluar. Gadis itu mendengkus. Gila ya, kurang berkorban apa aku selama ini, tapi Chef Janesh sama sekali tak peduli. Lelaki itu juga seakan tak memperjuangkannya sama sekali. Apa karena selama ini Kiran yang terang-terangan mengejarnya? Jadi Janesh tak merasa perlu bersusah payah?

Kekesalannya memuncak hingga ke ubun-ubun. Akhirnya karena merasa sudah tak kuat lagi dengan sesak yang melingkupi hatinya, gadis itu berlari keluar begitu saja dan pergi.

💔💔💔💔💔

"Aku cari kamu kemana-mana. Technically, kamu masih karyawan di sini, jadi kamu harus izin kalo mau nggak masuk." Janesh mengomel di telepon, setelah ratusan panggilannya diabaikan.

"Iya, sori. Aku cuma capek aja. Mungkin aku nggak bakat kerja di restoran." Kiran mengucapkan kalimat itu dengan lirih.

"Maksud kamu apa?" Janesh segera menyergah.

"Aku capek. Aku berhenti aja. Besok surat pengunduran diriku akan kukirim ke sana." Lega karena berhasil mengungkapkan itu, Kiran segera memutus sambungan telepon.

"Serius lo mau berhenti?" Dika yang sedari tadi berada di samping gadis itu menatapnya heran. "Tapi, kenapa?"

Kiran menghela napas lalu mengalihkan pandang. Sejak dulu ruangan ini selalu bisa membuatnya tenang, dan berpikir lebih jernih. Meski pun seharusnya ia tak bisa menggunakannya lagi sesering dulu karena sudah tak bekerja lagi di sana. Heart Kitchen. Kedai yang didirikannya bersama Sabrina.

Sabrina sedang ada kuliah jadi ia sedang tak ada di sana. Jadi hanya Dika yang menyambutnya sekali pun dengan tatapan heran. Lagipula kalo Brie tahu bahwa dia diperlakukan seperti pembantu oleh Janesh, sahabatnya itu akan mengomelinya terus-terusan. Kiran sungguh capek tak ingin berdebat atau diomeli siapa pun lagi.

"Ran, lo ... becanda kan mau berhenti dari sana?" tanya Dika hati-hati.

Kiran tersentak dari lamunan. "Ehm, aku serius. Emang kenapa? Nggak boleh ya?"

"Ya terserah lo sih. Tapi kan lo baru aja masuk ke sana. Apa ... nggak dimarahin sama J?" Dika bertanya dengan suara pelan. "Kalian ... lagi ada masalah ya?"

Kiran mengangguk dan mengembuskan napas panjang. "Tapi sori, aku lagi nggak mau cerita. Aku butek banget akhir-akhir ini."

Dika manggut-manggut. "Oh, sure. Lo nggak harus cerita. Lagipula ini tempat lo dan pasti nyenengin banget bisa kerja sama lo lagi di sini. Kalo lo mau sih."

Kiran membelalak, takjub. "Nggak papa gitu? Kamu nggak ngerasa saingan?"

Dika pura-pura meninju lengan Kiran. "Apa sih lo. Kayak orang lain aja. Tapi ya, semoga si Brie nggak puyeng ya, gaji kita berdua."

"Kalian nggak berantem terus kan selama aku nggak ada?" tanya Kiran, berusaha melupakan masalahnya.

"Yah gimana ya. Ribut terus sih. Tapi gimana lagi, namanya juga baru kenal. Jadi masih harus nyamain visi dulu." Dika tersenyum.

"Oh," sahut Kiran, merasa sedikit lebih baik. "Kok aku bisa cepet nyambung sama kamu ya, daripada sama Chef J?" celetuknya tanpa sadar.

Dika mendadak salah tingkah. Namun lelaki itu cepat menguasai diri. "Ya mungkin karena kita udah selesai ngomongin perbedaan." Lelaki itu menerawang jauh, teringat ketika Kiran dan dirinya sempat tak akur karena baru mengenal dan settingan produser acara televisi yang menaungi mereka.

Kiran meresapi pernyataan Dika pelan-pelan. "Iya, ya? Waktu itu aku sempet sebel juga sama kamu karena galak pas syuting."

"Ya itu kan settingan. Aku juga belum begitu kenal kamu. Tapi setelah kenal, kita bisa match, kan?"

Kiran tertegun. Apakah ini yang dialaminya dengan Janesh? Mereka belum lama saling mengenal--ralat, Kiran tahu segalanya tentang Janeshz tetapi itu pun hanya sesuai dengan yang diberitakan media. Karakter aslinya? Bukankah Kiran baru tahu akhir-akhir ini?

Lalu Janesh, ia juga baru mengenal Kiran. Tentu banyak perbedaan yang harus dijembatani. Bukankah seharusnya Kiran memahami itu dan melunakkan egonya?

Tetapi, bisik hati kecilnya, kenapa Janesh tidak pernah sekali saja memperjuangkanku? Apakah lelaki itu memang tak mau menyamakan visi kami? Lalu mengapa aku harus capek-capek berusaha?


💔Episode05💔

Assalamualaikum Bossque 😉
Mohon maaf ya kemarin belum update. Seharian sibuk terus, Alhamdulillah.

Jadi gimana? Sama episode ini? Yang salah Janesh atau Kiran nih? Enaknya mereka disuruh gimana?

Jawab di komen ya, coz aku pengen tahu pendapat kalian. Atau kalian pernah punya masalah kayak gini? Solusinya gimana? 🤔

Emang kalo nulis masalah pacaran beda karakter dan beda "dunia" ini ada aja masalahnya. Kalo kalian baca Love Kitchen pasti tahu kan kalo Janesh adalah Chef Celebrity yang terkenal dengan karakter galak dan sombong, sementara Kiran cuma gadis biasa yang manis dan ceria. Nah, apa kalian suka cerita model begini? Komen juga ya di bawah.

Oh ya, jangan lupa kalo baca votenya disenggol dong. Itung-itung ngasih semangat aku buat nulis. Dan kalo pengen lebih nyemangatin aku, kalian juga bisa lho traktir aku jajan ngopi di trakteer.id/dhiaz dengan minimal  15 ribu rupiah aja. Serius. Nggak boong ✌️😊

Oke, sampai episode berikutnya ya Bossque. Semoga Janesh udah jinak dan mau kusuruh adegan romantis. Kalo masih galak, ya mohon maaf, adegan sweetnya ditunda dulu, nunggu moodnya Janesh 🤣🤣🤣

Love,
DhiAZ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top