Episode 15 Mekar seperti bunga
"Dika!" panggil Kiran, bibirnya menyunggingkan senyum dan wajahnya berbinar cerah.
Lelaki yang berjalan ke arahnya sekarang tertegun dan terpaku. Tangannya segera menyembunyikan sesuatu di balik punggung. Sesuatu yang membuatnya berkeliling kota pagi ini, demi melihat senyum cerah di wajah Kiran.
Kiran mengacungkan benda pipih berwarna pink keemasan yang lembut, tampak berkilau ditempa sinar mentari. Dika membalasnya dengan senyum getir. Dia terlambat.
"Lihat! Tadi manajernya Chef Janesh nganterin ini. Katanya produk sponsor buat Chef, tapi aku nggak percaya. Aku nggak pernah lihat Chef Janesh jadi bintang iklan hape!" Bibirnya menggerutu, tapi pujian jelas sekali kentara dari kalimatnya.
Dika duduk di hadapan Kiran, setelah memastikan kotak yang dibawanya sudah rapi tersembunyi di balik bantal sofa keluarga Wasserman. "Kamu udah baikan?"
Gadis itu mengangguk antusias. "Makasih ya kemarin. Aku emang terguncang banget. Walau sampai sekarang masih kebayang, tapi paling nggak manajernya Chef udah beresin semuanya."
Alis Dika terangkat. "Oh ya? Chef Janesh udah tahu?"
Cengiran di wajah Kiran tak jua hilang, membuat Dika semakin merasa terganggu. "Iya. Aku tadi pagi telpon dia. Untung dia ngerti. Meski pun agak bete juga karena setelah ini, aku nggak cuma pacaran sama dia aja. Manajernya, stafnya, harus tahu kegiatanku."
"Oh." Lelaki itu menanggapi dengan datar. "Kalo kamu nggak suka terekspos kayak gitu, kamu bisa ...."
"Ah, nggak papa kok, Dik." Kiran memotong dengan segera. "Yah ... resiko pacaran sama artis. Harus siap dengan yang kayak gini."
"Serangan haters juga kan?" Lelaki itu mengerling tajam ke arah Kiran, nadanya sangat sengit. Kemarin gadis itu sangat terguncang dengan fans Janesh yang bar-bar, sekarang dengan entengnya dia bicara tentang resiko pacaran dengan artis. Dika melengos.
"Dika, wajar kan kalo aku syok. Itu pertama kalinya! Aku nggak siap!" kilah gadis manis itu, menatap Dika dengan wajah cemberut.
"Percuma aja dibilangin, Kiran sih mana pernah mau dengar ada orang jelekin Chef-nya." Brie turun dari kamarnya di lantai dua, menghampiri mereka berdua di ruang tamu. Rambutnya yang bewarna pink cerah bergoyang seiring langkahnya yang bergegas.
Dika menatap Brie dengan senyum getir. Sementara Kiran menggaungkan protes tak suka dengan ucapan Brie. Tapi gadis blasteran itu hanya mengedik cuek.
"Ya udah kalo gitu, kita berangkat aja, Brie." Dika bangkit dari kursi, kemudian menghampiri Brie yang berdiri menunggu. Brie tersentak saat menyadari sebuah benda tersembul dari balik bantal sofanya. Gadis itu pun menghela napas.
"Oke. Kiran nanti kalo kamu dijemput sama manajernya J, kuncinya kamu taruh bawah pot bunga depan ya. Mommy sama Daddy baru pulang nanti sore." Brie tersenyum manis, seolah tidak ada yang mengganggu pikirannya. Padahal gadis itu susah payah mengerem mulutnya untuk tidak mengomentari sesuatu yang berada di balik bantal. Dia berasumsi pasti bawaan Dika. Lelaki itu sedari tadi berada di depan bantal tersebut.
"Oke." Kiran membalasnya dengan senyum cerah.
Brie beralih ke arah Dika. "Motormu disimpan di sini aja. Kita bawa mobilku."
Tanpa mengucapkan apa pun, Dika mengangguk setuju. "Bye, Kiran." Seolah ada yang terlepas dari dadanya saat kata itu terucap dari bibir.
"Bye, Dika!" Sahutan Kiran yang riang gembira, semakin membuatnya merasa tidak nyaman.
💔💔💔💔💔
"Chef, nggandeng siapa nih, bening bener!"
"Chef, kenalin dong, Chef! Pacarnya ya?"
"Chef, lihat sini, Chef! Mbaknya noleh juga!"
Aneka sahutan dan celetukan para reporter yang mengerumuni mereka terdengar saling bersahutan. Kiran dengan gugup menggandeng tangan Janesh, berjalan hati-hati karena takut terserempet gaunnya yang halus dan panjang.
"Gugup?" bisik Janesh di telinganya.
Kiran mengangguk. "Iya." Gadis itu menarik napas panjang. "Dikit," imbuhnya lagi.
Janesh mendengkus geli, melihat gaya kaku Kiran saat berjalan. "Santai aja. Senyum. Mereka ini nggak parah-parah amat kok." Mereka yang dirujuk Janesh adalah para reporter.
"I-iya." Kiran menelan ludah. Tetapi saat menoleh ke arah kekasihnya, seakan semua kegugupan itu terserap begitu saja, berganti dengan debaran yang begitu dahsyat dalam dadanya.
"Kenapa? Kamu baru sadar kalo aku ganteng?" canda Janesh sembari mengukir senyum.
Malu-malu, Kiran mengangguk. "Iya. Chef emang ganteng. Tapi kok narsis sih?"
Janesh menghela napas jengah. "Ya kalo wajahku nggak ganteng, mana mungkin aku direkrut buat tampil di tivi."
Mendadak saja, Kiran tergelak. Raut wajahnya kini menjadi lebih relaks. Janesh tersenyum kepada kekasihnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah media. Tangannya melambai dengan santai. Kiran pun tergerak mengikutinya.
"Siapa nih yang dibawa, Chef?" seru salah satu reporter yang membawa microphone, sementara rekan di sebelahnya tak henti-hentinya mengambil gambar.
"Iya, Chef. Kenalin dong. Pacar atau gebetan atau temen aja?"
Janesh tersenyum lebar, sesuatu yang dikenal Kiran sebagai senyum kamera. Artinya lelaki itu hanya tersenyum dengan cara begitu hanya untuk kepentingan publisitas. "Ya pacar, dong. Masak cuma temen."
"Beneran pacarnya Chef?"
"Pacaran berapa lama, Chef?"
"Wah, akhirnya udah nggak jomblo ya, Chef!"
Ucapan reporter itu masih bersahutan. Kiran hanya mengerling ke arah Janesh, tetapi ia sudah diperintahkan untuk tidak berbicara apa pun di depan media.
"Iya, ini pacar saya." Jawaban Janesh segera saja menimbulkan koor yang riuh rendah. "Masak pacar orang?"
"Kenalan dimana, Chef? Kerjaannya apa? Serius nggak, Chef?"
Banyak pertanyaan serupa bermunculan, tetapi Janesh hanya melambai dan menarik Kiran pergi. Mereka melangkah masuk ke dalam gedung, di mana acara baby shower Andra dan Kayisha*, rekan juri Janesh, diselenggarakan.
"Tingkeban** aja begini banget si Andra. Nggak kaleng-kaleng." Gumaman Janesh begitu kakinya berada di dalam ballroom yang cukup besar. Tapi mengingat background keluarga Andra, tentu saja perayaan seperti ini cuma seujung kuku bagi mereka.
"Mewah banget," ujar Kiran, terkagum-kagum dengan hiasan bunga dan balon yang ditata dengan apik.
Seorang perempuan dengan blazer berwarna ungu, mendekati mereka dan mengarahkan mereka untuk duduk di salah satu meja tamu. Sebuah headset nirkabel menghiasi salah satu telinganya, serta name tag dengan tulisan 'Katrina' yang terpasang di dada kirinya, membuat Kiran berasumsi bahwa perempuan ini adalah event organizernya.
"Bagus banget ya. EO-nya keren banget." Kiran masih mengagumi setiap desain interior yang disajikan.
"Kamu seneng?" tanya Janesh tiba-tiba, membuat perhatian Kiran teralihkan.
Gadis itu mengangguk. "Ternyata asik juga. Nggak seserem dugaanku."
Janesh tersenyum kecil saat menatap wajah Kiran yang tampak riang gembira seperti anak kecil yang baru saja mendapat boneka. "Makasih ya."
"Buat apa?" Tatapan gadis itu menyiratkan kebingungan. Janesh balas menatapnya dalam-dalam.
"Karena sudah mau masuk ke duniaku."
💔Episode14💔
*Cerita Andra dan Kayisha bisa dibaca di Masitda! ya
**Tingkeban/Mitoni : upacara untuk ibu hamil yang kandungannya 7 bulan
Assalamualaikum Bossque!
Awas, setelah baca ini, senyumnya tolong dikondisikan ya. Nggak usah senyum-senyum sendiri, nanti dikira orang gila. Repot aku jadinya 😁😁😁
Mohon maaf ya baru update sekarang. Biasa aku dapat serangan ide cerita baru mendadak, jadi mesti kena galau-galau dulu. Lanjutin, jangan?
Anyway, makasih buat yang udah ngevote dan ngomen. Gimana pendapat kalian tentang episode ini? Ini masih banyak cerita dari sisi Kiran ya. Jadi sisi Janesh belum banyak aku eksplor. Nanti kalo momennya pas, bakal aku buka semua dari sisi Janesh kok. Mohon sabar nungguin ya 🙏
Assalamualaikum
Love,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top