Episode 11 Panic Attack!
"Yo, J. Ada apaan?" Suara Rendra yang serak segera memenuhi gendang telinga Janesh begitu nada sambung ketiga usai.
"Eh, sori Ren. Aku mau tanya, si Kiran ada di situ nggak?" Lelaki itu mengendurkan kerah kemejanya setelah menyelesaikan diskusi bersama Dino.
Terdengar suara gemeresik kertas. "Kayaknya dia hari ini masuk. Tapi entar aku pastikan lagi. Soalnya aku dari tadi di kantor. Dapur dipegang Almira."
Penjelasan Rendra sama sekali tak membuat J tenang. Jakunnya bergerak naik-turun karena gelisah. Apa karena Kiran sedang bekerja sehingga ponselnya dimatikan? Tapi sebelumnya nomer milik kekasihnya itu tak dapat dihubungi.
"Entar aku cek dulu ya ke bawah. Aku kabari lagi nanti." Rendra berujar, setelah bosnya tak kunjung memberikan respon.
"Ya, oke. Thanks." Segera saja Janesh memutus sambungan telepon. Ia teringat terakhir kali berbincang dengan Kiran, pagi tadi.
"Iya, ada apa sama Honey?" tanya lelaki itu sembari menyiapkan air mandinya.
"Ho ... ney?" ulang Kiran dengan nada curiga.
Janesh mengernyit mendengar nada suara Kiran yang berubah. "Iya. Si Honey. Aku mau ketemuan sama dia siang ini. Ini masih siap-siap. Mungkin nanti aku bakal sibuk sampai nggak bisa ngabarin kamu." Lelaki itu memberi penjelasan terlebih dahulu agar tak membuat Kiran curiga dan berpikir macam-macam.
"Kalian mau ketemuan?" Kiran bertanya lagi, nadanya makin meninggi. "Ya udah sana! Nggak usah ngabarin juga gak papa!"
Nada ketus gadis itu sungguh kentara. Terlebih sesudahnya telepon dimatikan. Janesh menghela napas, merasa aneh karena sikap Kiran yang mendadak berubah sengit. Jemarinya menekan tombol panggil, tetapi hingga panggilan kelima yang dilakukannya Kiran tak kunjung menjawab. Janesh tak habis pikir.
Karena waktu pertemuannya semakin dekat, sementara jalanan Jakarta sangat sulit ditembus dalam hitungan menit, Janesh bersiap dan bergegas ke studio. Selama perjalanan hingga sebelum pertemuan dengan tim produksi Cooking with Love, lelaki itu mencoba menghubungi Kiran tetapi tak kunjung dijawab. Ponselnya bahkan mati. Apa gadis itu sengaja agar tak mau dihubungi?
Ponselnya berpendar, menandakan ada pesan masuk. Dari Rendra. Janesh segera mengusap layar benda pipih itu dan membaca pesannya.
Rendra : Dia izin nggak masuk tadi kata Almira.
Netra lelaki itu terpejam, gelisah memikirkan Kiran. Apa gadis itu ngambek lagi? Betapa menyusahkan. Sekarang apa lagi sih alasannya? Janesh sama sekali tak merasa melakukan kesalahan.
Pikirannya menyebut sebuah nama. Lelaki itu cukup enggan sebenarnya, tetapi mau tak mau dia pun menghubungi seseorang yang dia harap bisa memberinya kabar tentang Kiran.
"Dika?" Janesh menatap pajangan di dinding ruangan dengan bosan. "Hai, sori aku ganggu kamu lagi." Meski pun aku masih malas ngomong sama kamu sebenarnya, imbuhnya dalam hati.
"Ya, J. Gimana?" Keramahan dari suara lelaki itu tetap sama. Meski pun Janesh belum meminta maaf padanya saat mencemburuinya kemarin. Membuat sang Chef dihantam perasaan bersalah.
"Em ... apa Kiran ada di situ, di kedai?" tanya lelaki itu hati-hati, sembari tetap waspada dengan perubahan suara Dika. Janesh tak mau terkecoh dengan kebohongan yang akan dibuat Dika, sekali pun itu permintaan Kiran.
"Kiran? Tadi dia emang mampir ke sini, terus berangkat kerja kok. Coba lo hubungi restoran lo aja." Jawaban Dika di seberang sana membuat dahi Janesh berkerut.
"Oh berarti dia mampir ya ke kedai? Soalnya dari tadi pagi aku hubungi nggak bisa." Janesh memang sedikit cemburu karena kedekatan Dika dan Kiran, tapi paling tidak dia memiliki titik terang.
"Iya, bentar doang. Ngobrol sama Brie. Abis itu langsung pergi ke restoran kok," ujar Dika.
Janesh menghela napas. "Oh, oke deh. Oh ya, Dik?"
"Iya?"
"Sori buat yang kemarin dulu itu ya." Janesh meminta maaf dengan nada tulus.
"Hah? Masalah apa?" Suara Dika terdengar keheranan.
"Nggak papa. Makasih ya. Sori ngerepotin." Janesh segera menutup telepon. Oke, jadi tadi pagi dia ke kedai. Mungkin saja dia masih di sana, lalu ponselnya mati. Atau sengaja dimatikan. Tetapi Janesh merasa lega karena mengetahui kabar kekasihnya.
Setelahnya, Janesh kembali tenggelam pada pekerjaannya, berusaha untuk fokus. Biarlah Kiran marah sejenak, meluapkan emosinya. Jika amarahnya reda, Janesh akan lebih mudah mengobrol dengannya. Sampai saat itu, dia akan berhenti mengganggu Kiran.
Menjelang pukul sebelas malam, Janesh yang kelelahan memasuki mobilnya. Sang sopir segera membelah jalanan Jakarta yang semrawut, menuju kediaman majikannya yang sedari pagi bekerja. Netra Janesh segera terpejam begitu pantatnya mendarat di jok belakang mobil. Tiba-tiba ponselnya berdering. Lelaki itu kesal karena merasa terganggu, hendak menolak panggilan tersebut. Tetapi nama yang tertera di layar gawainya membuatnya terbelalak.
"Ya, selamat malam, Bapak." Janesh menyapa dengan sopan.
"Kamu bawa kemana si Kiran?" Suara lelaki itu terdengar panik dan marah.
"Lho, maksudnya, Pak?" Janesh merasa terkejut.
"Kiran sampai sekarang belum pulang. Padahal tadi jam tujuh saya telepon restoran, dia nggak masuk. Terus kemana dia sampai sekarang nggak ada kabar?" Ayah Kiran mengomel dengan kecepatan tinggi.
Seketika kantuk Janesh langsung lenyap. Bukankah tadi Kiran ada di kedai? "Maaf, Pak. Kiran nggak sama saya, sungguh. Saya ini di Jakarta, Pak. Nggak mungkin Kiran sama saya."
"Anak itu sejak kenal kamu jadi makin nggak karuan. Sekarang dia ngilang kayak gini, bikin cemas Bundanya. Kamu kalo cuma bawa pengaruh buruk buat anak saya, mending kamu nggak usah deketin dia lagi!"
Saat panggilan itu berakhir, rasa cemas Janesh semakin berlipat ganda. Di mana Kiran? Bergegas ia menelepon Dika. "Dika?" sapanya ketika panggilannya tersambung.
"Kenapa, J?"
"Dik, jujur sama aku. Apa Kiran ada sama kamu sekarang?" tanya Janesh dengan hati berdebar.
"Enggak, tuh. Dari tadi dia nggak ke sini lagi. Brie juga langsung pulang kok." Dika menjawab dengan nada heran.
"Beneran dia nggak sama kamu?" ulang Janesh dengan nada khawatir.
"Suer, J. Dia nggak sama gue. Ngapain juga gue bohong." Kali ini suara Dika terdengar kesal.
Janesh semakin panik, karena Kiran tak kunjung diketahui kabarnya. Di mana dia? Sampai orang tuanya saja tidak tahu. Akhirnya meski pun merasa berat, Janesh memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya kepada Dika.
Lawan bicaranya di telepon itu terkesiap, lalu berjanji untuk membantu mencari Kiran. "Gue akan coba hubungi Brie. Mungkin dia di rumahnya."
Janesh mengiyakan, lalu menutup telepon dengan cemas. Bagaimana ini? Apa yang terjadi? Lelaki itu sama sekali tak tahu cara mengatasi kegelisahan yang melandanya.
Sesampainya di rumah, Janesh masih sibuk berkutat dengan ponsel, mencari tanda-tanda keberadaan Kiran. Dika sama sekali belum memberi kabar, sementara Ayah Kiran juga tak mengangkat teleponnya. Di mana kekasihnya itu berada?
💔Episode11💔
Assalamualaikum Keliners!
Gimana kabar? Semoga sehat selalu ya.
Alhamdulillah aku udah bisa update lagi, semoga kalian terhibur ya.
Betewe, gimana episode kali ini? Di mana Kiran ya? Mendadak ngilang gitu aja. Sampai Abang Janesh pegang hape mulu, nungguin kabar😁
Oke, sampai jumpa di episode berikutnya ya! Salam sayang buat kalian dan keluarga, semoga tetap sehat dan waras di dunia yang masih suram ini.
Love,
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top