zeventien
Kami sampai di lokasi bertepatan dengan saat makan siang. Aku memesan makanan untuk di antar ke tempat kami, sebelum memasuki rumah pantai yang lumayan besar. Ada dua kamar di lantai bawah dan dua kamar di lantai atas. Rumah ini sangat terawat. Ibuku selalu meminta orang untuk membersihkannya setiap satu minggu sekali.
Aku memasuki rumah itu sambil membawa tasku dan juga tas milik Mariz. Gadis itu terdiam sejenak menatapi sekeliling rumah.
" Kau boleh mengambil kamar di lantai bawah atau di lantai atas. Terserah dirimu."
Aku memberikan pilihan kepada gadis itu. Aku tidak mau menentukan sendiri. Aku juga tidak meminta dia untuk sekamar denganku. Aku tidak mau membuat keadaan menjadi tidak nyaman. Walaupun yang kuinginkan aku bisa tidur sekamar dengannya.
Mariz menatapku, aku melihat pancaran matanya yang sedikit heran.
" Aku akan tidur di lantai atas saja, aku ingin memandangi lautan dari balkon kamarnya." Ucapnya tenang. Aku mengangguk.
" Baik, ayo kita ke lantai atas."
Gadis itu menatapku kaget. Aku tersenyum melihat reaksinya. Aku menangkap kilatan cemas di matanya.
" Di lantai atas ada dua kamar. Kita bisa tidur di kamar yang terletak bersebelahan. Jadi kalau ada apa apa mudah." Ucapku sambil berjalan menuju tangga. Dia sedikit tergesa mengikutiku.
Kulirik wajah gadis itu merona, riak matanya terlihat lega. Aku bedecak pelan.
" Ini kamarmu, balkonnya mengarah langsung ke laut dan aku yang sebelah sini."
Aku membukakan pintu untuknya. Lalu meletakkan tasnya. Mata abu abu itu menatapku seolah berterima kasih, aku menanggapinya dengan senyum. Lalu aku masuk ke dalam kamarku sendiri.
Kurebahkan tubuhku sambil menatap langit langit kamarku. Terbayang raut cantik yang kini sering menampakkan rona merah di pipinya. Aku jadi tersenyum mengingatnya.
Aku bangkit dari rebahanku ketika suara bel pintu depan berbunyi. Bergegas kuturuni tangga dan membukakan pintu. Pengantar makanan menyambut dengan senyum. Aku mengambilnya lalu kembali menutup pintu setelah mengucapkan terima kasih.
" Mariz, makan dulu." Teriakku.
Tak lama aku melihat gadis itu menuruni tangga. Bibirnya memamerkan senyum samarnya. Ingin rasanya senyum itu terkembang sempurna. Pasti akan terlihat lebih cantik. Aku menatapinya.
" Ada apa, kenapa menatapku begitu?" Tanyanya sambil duduk di hadapanku. Aku sedikit gelagapan dengan pertanyaannya.
" Ahh tidak, kau sudah berganti pakaian?" Jawabku asal. Dia menggangguk.
" Gerah." Jawabnya singkat. Aku mengangguk.
" Ayo kita makan."
Aku menyerahkan makanan kehadapan Mariz. Dia menerimanya tanpa kata. Hanya matanya menatapku.
Kami makan dalam diam. Aku menyelesaikan makanku lebih dulu. Lalu aku beranjak ke dapur untuk memeriksa lemari pendingin. Ternyata betul kata Ibuku. Dia sudah meminta orang yang biasa membersihkan rumah ini untuk mengisi lemari pendingin itu dengan berbagai macam buah, juice, susu dan bahan makanan mentah. Aku juga membuka lemari diatas meja kompor. Aku mendapati cereal dan beberapa bungkus mie instant.
" Thank you, Mam." Gumamku.
Sepulang nanti aku berjanji akan memeluk dan mencium wanita cantik terkasih itu.
Aku kembali menemui Mariz dengan dua botol juice di tanganku. Gadis itu menatapku. Aku menyerahkan satu botol kehadapannya.
" Ibuku meminta orang untuk mengisi lemari pendingin." Aku menjawab tanya di matanya.
Dia meneguk perlahan juice yang kuberikan. Aku pun melakukan hal yang sama. Mariz merapikan bekas tempat makan kami lalu membuangnya ke tempat sampah.
" Istirahatlah dulu sebentar. Setelah terik matahari tidak menyengat baru kita keluar. Sudah lama aku tidak melihat sunset."
Ucapanku diangguki Mariz. Dia berjalan lambat menuju ke kamarnya. Aku sendiri membawa langkahku keluar rumah, bermaksud melihat keadaan sekitar. Cukup lama aku tidak datang ke sini. Terakhir kali Ayah dan Ibuku ke sini dua bulan lalu, tapi mereka hanya pergi berdua.
" Gene...Hei, benarkan kamu Gene. Lama sekali tidak melihatmu."
Sebuah suara yang setengah berteriak membuatku menoleh, aku mendapati seorang gadis dengan bercelana pendek dan kaos tanpa lengan melambaikan tangannnya. Aku mengulas senyum.
" Hei, Dillah. Apa kabar?" Tanyaku sambil menghampirinya.
Gadis itu menghambur memelukku. Aku tertawa melihat ulahnya.
" Kau masih seperti dulu. Manja." Ucapku di sela tawa.
Gadis itu memberengut. Matanya menatap lurus ke depan, aku mengikuti arah matanya. Jantungku berdebar lebih cepat ketika aku menatap mata bermanik abu abu Mariz yang menampilkan kilat kecewa. Aku bergegas meregangkan pelukan Dillah dan beranjak menjauhinya, membawa langkahku memasuki rumah.
" Gene, kau datang bersama kekasihmu?"
Teriakan Dillah tidak lagi kuhiraukan. Aku harus segera menemui Mariz.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top