zevenentwintig

Ketika aku membuka mata yang terlihat adalah ruangan putih dengan aroma yang khas. Entahlah berapa lama aku tertidur. Kurasakan nyeri dan kaku di lengan dan kaki kiriku.

Aku sedikit mengangkat kepalaku. Kutatap Ibuku yang tertunduk, Gina yang nanar menatap ke luar ruangan dan Ayah yang duduk diam dengan tangan menumpu wajahnya. Dia sedang menatapku.

" Gene, syukurlah. Kau telah siuman."

Suara Ayah yang sedikit berteriak membuat Ibu dan Gina menatapku. Aku tersenyum menatap mereka yang berjalan menghampiriku. Aku mencari cari seseorang. Mariz. Gadis itu tidak ada di sana.

" Mariz sedang menjemput orang tuanya di lobby."

Gina menjelaskan tanpa sempat aku bertanya. Aku tersenyum menatap adikku itu.

Pintu ruanganku terbuka dan menampakkan sosok yang kucari, bersama kedua orang tuanya dan ketiga adiknya. Senyumku terulas lebar.

Mereka tampak saling menyapa dengan ramah dan berjabat tangan. Si kecil Miesha langsung duduk di sisi tempat tidur. Sementata Mariz berdiri disisi kananku.

" Miesha, awas kena. Kak Gene sedang sakit." Ibu Mariz memperingatkan.

" Tidak apa apa hanya luka ringan." Jawabku tenang.

" Luka ringan tapi harus sampai di gips itu tangan dan kaki." Ucap Ayah Mariz yang ditanggapi kekehan Ayahku. Aku tersenyum kecut.

" Untung hanya sebelah kiri ya." Celetuk Gina yang membuat aku melotot. Gina terkikik.

" Sepertinya kini harus menjadwal ulang tanggal pernikahan mereka." Ucap Ibuku sambil menatap Ibu Mariz yang kemudian mengangguk sambil tersenyum. Aku berpindah memelototi Ibuku.

" Sepertinya begitu, tunggu sampai Gene sembuh, mungkin sekitar tiga bulanan." Ayahku menimpali. Aku semakin kesal saja.

" Tidak ada yang dijadwal ulang atau pun berubah. Semua tetap sama." Ucapku dengan suara kesal.

" Aku tidak apa apa. Seminggu lagi aku sembuh." Lanjutku. Aku menatap garang Ayah dan Ibuku.

" Whoo..whoo...okay, okay..tidak ada yang berubah." Ucap Ayahku. Kulihat mereka mengulum senyum. Gina malah sampai melipat bibirnya ke dalam. Adik menyebalkan, batinku.

Lalu aku menatap Mariz yang kini tertunduk. Aku menariknya lembut untuk duduk di sisi tempat tidur. Dia menurut. Aku menyimpan tanganku di pinggangnya. Miesha menutup matanya dengan lucu.

" Sepertinya akan ada adegan dewasa." Ucapnya polos.

Semua yang ada di sana tertawa, terutama Gina, dia tertawa begitu lepas. Kulirik Mariz yang tertunduk dengan pipi memerah.

" Aku dan Athreya akan ke kantin. Miesha ayo ikut, kita cari makanan. Cepat sehat ya, Bro."

Ucapan Adhitya menghentikan tawa mereka. Aku menatap Adhitya dengan senyum.

" Thank you, Man." Ucapku dengan tangan terangkat.

" Kita semua ke kantin saja, sebentar lagi makan siang. Biar Mariz yang menemani si pasien dan sepertinya si pasien juga memang hanya ingin di temani Mariz."

Ucapan Ayah di angguki semuanya, kecuali Mariz tentunya. Gadis itu semakin terlihat cantik dengan wajah dan senyum tersipunya.

Sepeninggal mereka ruangan terasa sepi. Aku melirik Mariz yang masih menunduk.

" Aku harus menjelaskan tentang..."

" Tidak perlu. Aku rasa cukup jelas. Kita tidak hanya harus menjadwal ulang tanggal pernikahan tapi harus berpikir ulang untuk itu. Terutama kamu."

Mariz memotong ucapanku, nada bicaranya terdengar ketus dan bergetar. Aku sampai meringis mendengarkan. Tapi gadis itu bergeming disebelahku. Itu karena aku memeluk erat pinggangnya.

" Dengar sayangku, aku hidup dalam kenangan selama hampir tiga tahun lalu terusik karena kehadiranmu. Aku mampu membuang sedikit demi sedikit kisah itu karena kehadiranmu." Ucapku sambil menatapnya.

"  Kemudian ketika aku sadar, bahwa aku mencintaimu. Aku menutup lembaran itu. Aku pun membuka cincin pertunangan yang sudah kupakai hampir empat tahun. Aku ingin memulai semuanya bersamamu."

Aku mengusap lembut punggung Mariz yang kini menatapku. Aku perlihatkan dengan gamblang riak mataku yang dipenuhi rasa cinta untuknya. Aku ingin dia mengetahuinya.

" She's gone, I realize about that."

" Lalu email itu.."

" Aku mengirimnya hampir setahun lalu, disaat aku merindukannya. Saat itu belum ada dirimu di sisiku. Kau hanya membaca, tidak melihat tanggal disaat aku mengirimkannya."

Aku membawa tangan Mariz ke bibirku lalu menciuminya. Aku membawa tubuh wangi itu merebah di dadaku.

" Aku mencintaimu, sayang."

" Aku tidak pernah dikirimi email." Gerutunya. Aku tertawa pelan.

" Baik, aku akan mengirimimu mulai sekarang. Setiap jam, asal kau tidak bosan saja dan awas kalau tidak dibalas."

Mariz tertawa. Hatiku berteriak senang mendengar tawanya. Segera aku membawa bibirnya untuk kusatukan dengan bibirku.

" I love you, baby. Very love you." Ucapku disela ciuman.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top