zesentwintig

Hari ini aku mengajak Mariz mengunjungi apartemenku. Tempat yang belakangan ini jarang kukunjungi. Apalagi setelah aku bertemu dengan gadis yang duduk manis dengan senyum cantik disebelahku.

" Apartementku sedikit berantakan. Aku jarang pulang ke sana. Apa lagi setelah pindah. Mama selalu memintaku pulang." Ucapku sambil meliriknya. Mariz tersenyum.

" Pasti banyak kenangan di sana." Ucapnya sangat pelan tapi aku mendengarnya. Aku tersenyum dan menatapnya sekilas.

" Tidak ada lagi setelah ada dirimu."

Aku menggenggam tangannya lalu membawa ke bibirku, lalu mengecup. Dia tersenyum.

Sesampai di pelataran parkir apartement. Aku disambut Jansen, security yang menjaga bagian depan.

" Welcome back, Doc. Lama tidak terlihat." Ucapnya ramah begitu aku dan Mariz turun dari kendaraan.

Aku hanya tersenyum sambil menyambut uluran tangannya dan menjabatnya akrab. Mariz hanya tersenyum membalas anggukan Jansen.

" Apa kabarmu dan juga yang lainnya?" Tanyaku basa basi.

" Kami semua baik, dok." Jawabnya dengan senyum.

Aku menepuk pundaknya pelan lalu beranjak meninggalkannya. Menuju ke lantai tempat apartemenku berada. Aku memeluk erat pinggang Mariz yang tidak protes dengan perlakuanku.

Aku membuka pintu apartement dengan password yang membuatku sedikit tercenung. Passwordnya masih sama dan tidak pernah kuganti. Hari dimana aku bertunangan dengan Danissa.

" Ada apa?" Tanya Mariz yang melihat perubahan wajahku. Aku menggeleng.

" Tidak ada, ayo masuk." Ajakku yang diturutinya.

Aku mengajak Mariz untuk duduk di sofa panjang. Aku memeluk tubuhnya sebentar. Ada sesuatu yang seolah membuatku sedikit sesak. Aku melangkah meninggalkannya menuju pantry. Dengan perlahan mengambil minuman dari lemari pendingin. Aku diam sejenak menetralkan debaran jantungku yang berpacu lebih cepat.

" Apa minuman itu masih layak minum, mengingat sudah lama kau tidak ke sini."

Suara Mariz mengusikku. Gadis itu telah duduk di atas kursi bar paling ujung dekat dengan pintu keluar.

" Aku meminta Jansen kemarin membeli minuman ini dan juga makanan yang kuminta disimpan di lemari pendingin."

Aku menyerahkan minuman ringan itu dan diterimanya dengan senyum.

" Aku akan menghangatkan makanan. Are you hungry?"

Aku menatap Mariz yang sedang meneguk minumannya lalu gadis itu mengangguk.

" I'm starving." Ucapnya dengan tawa pelan. Aku tertawa menanggapinya.

" Boleh aku ijin ke toilet?" Tanyanya terlihat sedikit malu. Aku mengangguk.

" Di kamar saja. Toilet yang disini airnya kadang macet. Aku belum sempat membetulkannya."

Mariz mengangguk lalu berjalan menuju kamar. Aku kembali pada kesibukanku. Menghangatkan bermacam makanan yang kemarin dibeli Jansen.

" Selesai sudah. Nasi juga sebentar lagi matang." Gumamku.

Aku menatap kursi yang tadi diduduki Mariz, masih kosong. Karena terlalu asik dengan pekerjaanku aku sampai lupa bahwa gadis itu belum juga kembali.

Aku membawa langkahku menuju kamar. Aku melihat pintu tidak ditutup. Dengan jelas aku melihat Mariz duduk dibelakang meja kerjaku di depan jendela. Laptop menyala di hadapannya. Dia menatapku begitu tahu aku ada di dekatnya.

" Dear Danissa, kau gadis yang tidak akan pernah tergantikan..."

" Mariz don't!" Aku memotong ucapannya. Dia seolah tidak peduli.

" Gadis tercantik dan terbaik yang pernah kutemui. Aku mencintaimu. Amat sangat. Kaulah cintaku, hidupku dan belahan jiwaku. Bersamamu juga hidup buah cinta kita...."

Mariz berhenti membaca dan menatapku dengan tatapan mata meminta penjelasan. Wajahnya berubah datar dan dingin dengan manik abu abunya yang kini berlumur kecewa dan amarah.

Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan melewatiku. Keluar dari kamar dan menuju pintu keluar. Aku yang sedikit termenung seolah tersadar. Aku mengejarnya. Dia sudah membuka pintu dan menutupnya dengan sekali hentakan. Suara keras terdengar.

" Ouh..Shit!" Umpatku.

Aku bergegas membuka pintu dan mengejarnya. Aku menarik lengannya begitu berada di belakangnya. Tubuh itu menghadapku.

" Hell you." Umpatnya.

" Mariz, please listen to me." Ucapku memohon.

Mariz menggeleng, dia menepiskan tanganku. Lalu berlari, berusaha menjauhiku. Dia tidak melihat keadaan disekelilingnya. Aku berlari cepat ke arahnya, ketika melihat sebuah sepeda motor begitu cepat melaju ke arahnya. Aku mendorong tubuhnya ke samping. Dan...

Brraakkk...

Aku merasakan tubuhku terbentur benda keras. Terdorong dan serasa melayang lalu gelap menyelimuti sekelilingku. Aku masih dapat mendengar sayup sayup suara Mariz.

" Gene.."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top