vijfentwintig

Suasana makan malam di rumahku sama seperti biasanya. Diramaikan celoteh Gina yang selalu repot dengan urusan tugas tugas kuliahnya.

" Aku jadi jarang hang out dan jarang jalan dengan Greg. Aku mau cuti dulu satu semester saja. Aku ingin istirahat dulu, kemarin aku tidak lulus Studio 5." Keluhnya sambil cemberut.

" Siapa suruh mengikuti jejak papa, mau jadi arsitek." Ledekku sambil mengacak rambutnya.

" Mam berpikir hanya sastra Inggris, jurusan yang menyulitkan lulus dengan cepat. Harus mengulang dua hingga tiga kali di kelas Grammar and Structure. Membuat rambut menipis dengan cepat di mata kuliah Syntax. Atau belajar menjadi pecandu obat sakit kepala di kuliah Semantics yang bikin kepala berdenyut. Belum lagi daftar bacaan beragam yang harus dilahap selepas kuliah." Ucap Ibuku sambil tertawa. Ayahku menatap Ibu dengan senyum lembutnya.

" Menangiskah anak Papa tidak lulus di Studio 5?" Tanya Ayahku sambil menyuap makanannya.

" Nangislah Pap. Siksaan tidak hanya berupa mata kuliah dengan durasi panjang. Tapi juga belajar di luar kampus, survei, dan tugas untuk presentasi. Survei lapangan bisa memakan waktu seharian. Setelahnya tidak bisa istirahat, harus ada presentasi. Kalau sedang proses desain, para mahasiswa harus begadang untuk menyiapkan presentasi, gambar, dan maket. Coba kalian bayangkan." Jawab Gina sambil bersungut. Ayahku terkekeh. Ibu menatapnya sayang dan seperti biasa berkata lembut.

" Kasihan anak gadisku yang cantik. Kalau sudah lelah gitu jadi tidak bisa malam mingguan ya?"

" Malam mingguannya jadi lesu." Timpal Gina sambil nyengir.

" Kamu gimana dengan Mariz, kapan siap menikah?"

Ibu beralih menatapku dan bertanya lembut. Ayah dan Gina juga menatapku. Aku tersenyum membalas tatapan mereka.

" Aku ingin secepatnya Mam, bicaralah dengan Mommy Mariz." Jawabku tenang. Ibu dan Ayahku mengangguk.

" Aku senang sekali. Aku akan menyusul setelahnya dengan Greg." Ucap Gina dengan tawa.

" Selesaikan dulu kuliahmu, cantik." Ucap Ayah lembut.

" Pap, kalau menunggu selesai masih lama. Aku saja sekarang mau cuti." Gina menggerutu. Aku tertawa sambil menatapnya.

" Gene, setelah ini kita bicara." Ucap Ayahku. Aku mengangguk sambil menatapnya.

Lalu kami melanjutkan makan malam dengan masih berbagi cerita. Inilah keluargaku yang selalu hangat dan penuh kasih.

Seperti ucapan Ayah tadi ketika makan malam. Kami berpindah tempat ke teras belakang. Duduk berdua menikmati suasana malam yang berangin dengan segelas coklat hangat yang barusan diantar oleh Ibuku.

" Gene, kau sudah yakin dengan pilihanmu. Apa ini bukan sebuah pelarian dari rasa kehilanganmu?"

Ayah menatapku dan aku menanggapi pertanyaannya dengan gelengan tegas.

" Aku mencintainya, Pap. Dia berbeda dari wanita yang selama ini aku temui. Perlu perjuangan untuk meyakinkannya. Aku tidak akan menyia nyiakannya setelah kini dia mau membuka hatinya untukku."

Ayah tersenyum menatapku. Dia mengangguk tanda mengerti.

" Aku dulu, ketika masih kuliah sekamar dengan Rynaldi. Dia lelaki baik dan pintar. Kami sering berbagi cerita. Sampai dia mengatakan akan menikahi sahabat sepupunya. Gadis kecil yang dia cintai sejak sering melihatnya bermain dengan sepupunya itu. Kami waktu itu sudah memimpin perusahan dan kami masih saling bertemu. Ayah sudah memilikimu saat itu dan kami bercanda, jika anak Rynaldi perempuan maka akan menjadi menantuku. Mamamu dan Mommy Mariz waktu itu tertawa."

Ayah tertawa pelan lalu menyesap coklat hangatnya. Aku menatapnya dengan mengulum senyum.

" Siapa yang tahu, ternyata Tuhan mendengar perkataan kami dan mengabulkannya."

" Walaupun jalannya harus berliku dulu." Sambungku dalam hati.

Aku mengangguki ucapan Ayah yang menatapku.

" Lalu sejauh mana persiapanmu, Gene?" Tanya Ayahku dengan wajah serius.

" Aku rasa dalam kurun waktu satu bulan atau lebih sedikit sudah bisa dilaksanakan, Pap. Aku meminta WO temanku yang mengurusnya."

Pap mengangguk angguk sambil tersenyum. Kebahagian membias di matanya. Aku senang melihatnya.

"Biar nanti Mamamu secepatnya bertemu dengan Mommy Mariz." Ucap Ayahku sambil berdiri dari duduknya.

" Tidurlah, sudah malam. Besok kau harus ke kantorkan."

Ayahku berucap sambil berjalan memasuki rumah. Di pintu masuk dia berpapasan dengan Ibuku yang langsung dirangkulnya. Mereka tertawa bahagia setelah Ayahku mengecup mesra bibir Ibuku.

Aku juga ingin seperti mereka. Tetap penuh cinta walaupun telah berpuluh tahun mereka bersama. Membayangkan itu membuatku tersenyum sendiri. Aku teringat Mariz. Aku merindukannya.

" I love you, baby and I miss you." Lirihku sambil beranjak menuju kamar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top