twintig
Sore hari, aku mengajak Mariz berjalan jalan di pantai. Gadis itu tidak menolak ketika tanganku menggandeng tangannya. Kami berjalan dalam diam. Mariz terlihat memandang sekeliling dengan tatapan biasa. Dia juga sesekali menolehkan wajahnya ke arahku.
" Apa kau sering ke sini?" Tanyanya pelan. Wajahnya tertunduk saat ini. Dia seolah menatapi pasir putih yang dipijaknya.
Aku menggeleng lalu menatapnya. Menarik tangannya pelan dan menghadapkan wajahnya ke arahku.
" Aku jarang ke sini." Jawabku sambil menatapnya.
" Kau tidak suka pantai?" Tanyanya lagi. Dia menghadapku tapi wajahnya tetap menunduk.
" Aku suka pantai, hanya malas saja." Jawabku sambil mengusap sisi wajahnya.
" Apa kau punya kenangan dengan tunanganmu itu?" Tanyanya pelan dan terdengar ragu. Aku mengulas senyum lalu menggeleng.
" Danissa tidak menyukai pantai. Dia tidak suka aktivitas di luar ruangan." Jawabku tenang. Dia menatapku sekilas lalu kembali menunduk.
" Lalu pergi kemana saja kalian selama bersama?" Tanyanya dengan mata terlihat gelisah. Aku tertawa pelan.
" Kami sering pergi menonton, makan, belanja atau menghabiskan waktu menonton cerita drama." Ucapku sambil kembali mengajaknya menyusuri pantai.
" Semua bukan kebiasaanku." Lirihnya. Aku menolehnya dan menghentikan langkahku. Aku menatapnya.
" Lalu apa kebiasaanmu?" Tanyaku lembut. Dia menarik sudut bibirnya.
" Berjalan jalan seperti ini. Melakukan aktivitas di luar ruangan yang akan membuatku berkeringat dan kulitku menggelap." Ucapnya santai.
" Kau suka hiking atau rock climbing?" Tanyaku sambil menatapnya. Dia mengangguk tegas. Aku tersenyum senang.
" Aku akan mengajakmu nanti, diliburan berikutnya."
Gadis itu menatapku terpana. Aku tertawa pelan lalu kembali menarik tangannya untuk berjalan.
" Mulai sekarang aku akan selalu mengambil cuti bulananku dan mengajakmu berlibur. Liburan saat ini adalah permulaan, selanjutnya akan ada liburan berikutnya. Setiap bulan dan kau boleh menentukan juga untuk tempatnya."
Aku membawa tangan yang kini kugenggam ke bibirku. Kukecup punggung tangannya perlahan. Lalu aku meliriknya yang kini terlihat tersipu.
Aku menghentikan langkahku di jembatan kayu yang mengarah ke laut. Aku mengajaknya berdiri menghadap pagar. Mariz yang berdiri disebelahku, menyandarkan tubuhnya di pagar dengan menumpu kedua tangannya ke pagar. Aku beralih berdiri di belakangnya. Memeluk pinggangnya dengan lembut. Tubuh itu terasa sedikit menegang tapi kemudian tenang. Aku membawa kepalanya untuk menyandar di dadaku. Gadis itu tidak menolak. Debaran jantungku mengeras. Aku tahu, Mariz pasti dapat merasakan debaran itu.
" Senja selalu menjadi waktu paling ditunggu. Saat dimana Matahari kembali ke peristirahatan setelah seharian memberikan sinarnya untuk kehidupan kita." Ucapku pelan. Gadis itu mengangguk.
" Aku menyukai eksotisme langit senja. Aku selalu terpukau dengan sembarut jingganya saat matahari akan tenggelam."
Ucapan pelan Mariz menghadirlan senyuman di bibirku. Aku mengecup lembut puncak kepalanya.
" Aku akan mengajakmu melihat pemandangan ini dari atas gunung." Ujarku pasti.
" Akan terlihat lebih indah dan jelas." Ucapnya dengan nada senang.
Aku mengecup pelipis gadis dalam pelukanku. Aku menikmati suasana sore ini. Suasana yang baru kurasakan dan kualami dihidupku. Memandangi tenggelamnya matahari sambil memeluk gadis yang membuatku merasakan getaran getaran nyaman.
" Aku mencintaimu." Bisikku di telinganya.
Gadis itu menolehku. Aku memegang ke dua pundaknya dan membalikkan tubuhnya sehingga menghadapku.
" I love you, Marizta. Aku tidak mau kau menerka keadaan ini. Biarkan semua melaksanakan perannya. Lambat laun semua akan terlihat jelas. Tidak akan ada jarak yang memberikan jeda dan aku yakin waktu akan menciptakan sebuah rasa. Lalu keadaan akan berubah sebagaimana mestinya." Aku menjeda, mengusap wajahnya pelan.
" Kau hanya harus menyiapkan dirimu untuk menyusun setiap kejadian yang akan datang, sehingga nanti akan menjadi sebuah cerita yang lengkap. Cerita perjalanan cinta kita. Kau mau kan selalu menatapi senja bersamaku, sepanjang hidupmu?"
Aku menatap mata abu abu itu yang meluluhkan butiran beningnya. Aku mengusapnya cepat. Lalu mengecup kedua mata itu lembut. Gadis itu menatapku dengan mulut sedikit terbuka. Aku tak kuasa menahan diri untuk tidak mencium bibir menggoda itu dan aku senang sekali dia tidak menolak ciumanku bahkan aku merasakan balasannya. Aku memperdalam ciumanku ketika tangan gadis itu merangkul leherku. Aku pun merengkuh pinggangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top