twaalf
" Hei, tumben kau pulang sesiang ini?"
Sambutan Ibuku dengan kening berkerut membuatku tertawa pelan. Aku mencium pipi wanita terkasih itu.
" Dimana papa, Ma?" Tanyaku sambil memeluknya. Wanita itu mengusap pelan lenganku yang memeluknya. Rasa kasih sayang begitu terasa menjalari hatiku.
" Biasa, di belakang. Hobby baru."
Ucapannya diiringi dengan senyum. Aku tersenyum sambil mengangguk. Lalu aku berlalu menuju kamarku.
" Gene, kau belum menjawab pertanyaanku."
Ibu mengekoriku dan menarik tanganku. Aku tersenyum menatapnya. Ibuku sedikit terpana menatapku.
" Belakangan ini kau terlihat aneh, apa kau sedang jatuh cinta?"
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil melanjutkan langkahku.
" Gene, aku senang jika kau sudah bisa jatuh cinta lagi. Gene, benarkan. Gene..."
Ibuku yang lembut itu terdengar suaranya meninggi. Aku terkekeh memandangnya. Wajah lembut itu terlihat kesal.
" Perasaan seorang ibu tidak pernah salah, Mam. You're the best, Mam."
Ucapku dengan senyum.
Ada riak mewarnai mata teduh Ibuku lalu mata itu merebakkan kristal beningnya. Aku mengecup lembut pipinya.
" Aku selalu berdoa untuk ini, Gene. Kau anakku dan aku mencintaimu. Aku ingin melihatmu bahagia, Gene."
Wanita paruh baya yang masih cantik itu mengusap lembut pipiku. Senyum hangatnya terkembang.
" Thank you, Mam. Doakan terus ya, Mam. Doakan agar gadis itu mau menerimaku." Ucapku lirih.
Aku mencium punggung tangan yang mengusap pipiku tadi. Dia telihat mengangguk dan tersenyum tulus.
" Tentu, dear." Ucapnya lembut. Aku tersenyum menatapnya.
" Hei, ada apa ini. Kau membuat wanita tercintaku menangis, Son. Ada apa huh?"
Suara khas pria yang kupanggil papa itu membuatku terkekeh. Kurangkul hangat tubuh yang kini terlihat lebih gemuk. Kuusap perlahan perutnya.
" Ada Bapak Bapak gendut cemburu. Aku harus kabur." Ucapku sambil setengah berlari masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
" Dasar, anak ini. Honey, walau aku gendut kamu masih cintakan?"
Pertanyaan Ayahku membuatku tertawa pelan. Lalu aku mendengar Ayahku mendaratkan ciuman di bibir Ibuku. Suara decapannya seolah sengaja dibuat terdengar olehku. Sudah pasti itu dilakukan setelah Ibuku yang lembut itu tersenyum dengan cantik dan mengangguk.
Aku merebahkan tubuhku sejenak. Mencoba berpikir, apa yang harus kulakukan saat ini. Aku yakin, bahwa Mariz tidak akan dengan mudah mau menerimaku. Tapi aku tidak akan pernah menyerah. Dari awal aku tahu, bagaimana hatiku. Awalnya memang hanya tertarik. Kemudian tumbuh menjadi rasa yang lain. Aku ingin selalu bertemu dengannya. Lalu getaran aneh yang selalu hadir disetiap berdekatan dengannya, membuatku dapat menyimpulkan perasaanku. Aku menginginkan gadis itu.
Aku bergegas mengganti pakaianku dengan kaos santai. Langkahku mengayun ringan menuju garasi, menjalankan kendaraanku perlahan. Tujuanku sudah pasti, ke tempat di mana gadis itu biasa menghabiskan harinya.
Aku memarkirkan kendaraanku di depan rumah dengan gambar gambar meriah di dindingnya. Lalu senyumku terkembang begitu melihat raut wajah cantik itu membukakan pintu.
" Hei, apa kabar?" Tanyaku begitu pintu terbuka lebar dan menampakkan sosok itu berdiri dengan senyum samar di depanku.
" Masuklah." Ucapnya pelan.
Tubuhnya sedikit bergeser untuk mempersilahkanku masuk. Aku menurutinya lalu duduk di sofa hitam yang berada di sana. Dia juga mengikutiku.
" Kau libur?" Tanyanya setelah duduk disebelahku.
Aku meneliti wajah yang tidak sepucat kemarin. Tanpa sadar tanganku terulur mengelus pipinya. Segera saja pipi itu membiaskan warna merah jambu.
" Cantik sekali." Desisku. Gadis itu menunduk gelisah.
" Eh, iya. Aku mengambil cuti, satu minggu. Aku akan mengajakmu jalan jalan. Di mulai hari ini. Setelah matahari sedikit turun, aku mau mengajakmu menikmati danau di dekat kampus adikku. Menurutnya danau itu cukup bagus dan suasana di sekitarnya begitu tenang." Ucapku menjawab tanyanya.
Dia menengadah menatapku. Aku tahu ada keraguan tersirat di mata bermanik abu abu tua itu. Aku mengulas senyum dan menyelipkan rambutnya yang keluar dari kuncirannya ke balik telinga. Gadis itu terlihat menegang. Aku menatapnya lembut. Dia dengan sedikit kaku mengulas senyum.
" Kamu lebih cantik jika tersenyum. Teruslah tersenyum, cantik."
Gadis itu menatapku malu malu. Rona merah di pipinya membuatku merasa tak karuan dengan debaran yang menghentak dadaku.
Mama, aku jatuh cinta. Hatiku tertawa bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top