negen

Aku menggendong Mariz yang tertidur dalam pelukanku. Aku yakin dia teramat lelah. Dia mempunyai beban yang teramat berat. Luka yang teramat dalam dan kecewa yang tiada terkira. Aku membawanya menuju sebuah kamar yang dipenuh coretan coretan tangan tak beraturan. Kata kata makian yang tertulis di sana. Satu bentuk ungkapan kekecewaan gadis itu.

Aku membawa gadis itu ke kamar atas perintah Dewi. Gadis remaja itu datang beberapa menit yang lalu. Kurebahkan tubuh lelah itu di tempat tidur berukuran sedang yang ada di dalam kamar itu. Aku memandangi wajah polos itu. Cantik sekali. Kukecup keningnya lalu bibirnya. Aku tersenyum menatap wajah yang begitu damai terlelap itu.

" Apa dokter memberinya obat?" Tanya Dewi begitu aku keluar dari kamar. Aku menggeleng.

" Tidak, kenapa?" Aku balik bertanya. Gadis itu tersenyum.

" Biasanya dia sulit tidur. Dia akan membuat tubuhnya lelah agar bisa terlelap. Makanya aku bertanya, diberi obat apa. Dia begitu mudah tertidur."

Aku tersenyum menatap Dewi. Aku teringat apa yang yang kulakukan tadi. Aku menciumnya. Mungkin itu yang membuatnya tidur nyenyak. Aku tertawa pelan mengingat apa yang telah kulakukan.

" Ada apa, dok?"

Dewi menatapku heran. Aku menggeleng. Kubawa langkahku keluar dari Base Camp.

" Aku harus ke Rumah Sakit, ada pasien yang harus ku tangani. Tolong jaga Mariz."

Dewi mengangguki ucapanku. Gadis itu tersenyum tulus. Aku mengangguk menatapnya.

" Terima kasih, Wi."

Gadis itu kembali tersenyum. Ada sedikit perasaan lega meninggalkan gadis itu dengan Dewi yang akan menjaganya. Aku tadi sudah memutuskan untuk menemaninya, jika saja Dewi tidak datang.

Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit pikiranku masih dipenuhi oleh wajah Mariz. Wajah yang terlihat begitu tertekan. Mata penuh luka dan kecewanya.

Aku seolah dilemparkan ke masa lalu. Saat dihadapkan pada situasi yang hampir sama. Memandang wajah kuyu tanpa gairah hidup. Wajah Danissaku yang cantik. Danissa tercintaku yang harus pergi karena sudah tidak sanggup lagi melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Kanker itu berkembang cepat di otaknya.

Aku mengusap butiran bening yang tanpa bisa kucegah menggelayut di sudut mataku. Danissa masih tetap menghadirkan kedukaan ketika kenangannya menyapa hati dan pikiranku.

Aku semakin terpuruk jika mengingat saat dimana Danissa berbisik lembut di telingaku. Dua hari sebelum dia pergi untuk selamanya.

" Aku sedang mengandung buah cinta kita."

Kata kata itu tidak akan pernah kulupakan. Seakan selalu teringat di telingaku.

Lalu ketika dia pergi. Aku ditinggalkan oleh dua orang yang paling kucintai. Janin itu genap berusia delapan minggu dalam kandungannya.

Aku melalui bulan bulan pertama kepergiannya dengan keadaan yang sangat kacau. Beruntunglah aku memiliki Orang tua dan adik yang begitu perhatian.

" Abang kan Psikiater, jangan sampai jadi pasien Psikiater ya."

Itu gurauan yang selalu dilontarkan Gina. Setiap kali mataku merebakkan butiran bening. Gurauan bermakna memotivasi sebenarnya. 

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menghilangkan bayanganku akan Danissa. Aku teringat Mama yang selalu bijak dalam berpetuah.

" Jangan lagi mengingat apalagi menangisinya, Gene. Biarkan Danissa tenang di sana. Tidak ada lagi rasa kesakitan yang dia rasakan."

Aku meraih ponselku. Lampu lalu lintas di depanku berwarna merah. Aku berkesempatan membuka galery untuk menatap sebentar wajah gadis yang menghadirkan rasa nyaman karena bibirnya bertemu dengan bibirku.

Aku menatap lekat senyum samar gadis itu. Menatap wajah polos tanpa riasannya. Menatap rambut warna warninya yang dikuncir asal. Lalu seolah tersadar menatap manik abu abu tuanya yang cantik.

" Kau cantik, Mariz. Kau gadis nakal yang membuatku ingin selalu bertemu. Kau gadis yang membuatku melupakan bayangan sedih itu. Gadis yang membuatku menghadirkan rasa yang telah lama hilang. Kau gadis unik yang menawan pikiranku untuk terus mengingatmu."

Aku terkekeh mendengarkan gumamanku sendiri. Aku seakan menjadi pria dewasa yang bodoh karena bertingkah seperti remaja. Lihat saja aku saat ini. Memandangi gambar seorang gadis sambil tersenyum senyum. Terkadang tertawa kegirangan sambil menahan hentakan hasrat yang meletup di dalam dada, mengingat aku tadi mencium bibirnya. Menikmatinya dengan rasa nyaman yang membuat hatiku tenang.

" Mariz, aku akan menghadirkan senyum dan tawa di wajah cantikmu itu. Akan kubuat matamu memandangku penuh cinta."

Lalu apa aku jatuh cinta, aku rasa begitu. Batinku bersorak karena bisikan hatiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top