achttien
Aku sampai di depan kamar Mariz bersamaan dengan gadis itu membuka pintu. Kami saling bertatapan. Aku menangkap jelas sinar kecewa di matanya. Aku jadi serba salah melihatnya.
" Kau, tidak tidur?"
Kata itu yang akhirnya mampu kukeluarkan setelah diam beberapa saat. Dia menggeleng dan berjalan melewatiku. Aku mengikutinya. Dia menuju lemari pendingin. Membukanya dan mengambil sekaleng coke yang ada di sana. Lalu gadis itu membawa langkahnya menuju ke keluar rumah. Aku seperti orang bodoh yang terus mengekorinya.
" Kau mau keluar, di luar masih panas. Sinar matahari masih terik." Ucapku begitu melihat dia membuka pintu.
Dia menatapku sekilas. Menarik sebelah sudut bibirnya lalu mengangguk. Kemudian dia menutup pintu dengan keras dan meninggalkan aku yang kini terbengong menatap kepergiannya.
Aku bergegas keluar rumah dan menengok ke kiri dan ke kanan mencarinya. Cepat sekali dia menghilang, sepertinya gadis itu berlari.
Aku membawa langkahku keluar dari halaman rumah. Mengedarkan pandanganku ke segala arah dan tatapanku tertumbuk dengan mata beriris abu abu itu. Beberapa meter di sebelah kanan aku berdiri. Aku masih dapat menangkap kilatan luka di matanya. Aku jadi merasa bersalah.
Langkahku mengayun ke arahnya. Mariz berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon yang lumayan rindang. Matanya kini lurus memandang ke depan. Memandangi ombak yang berkejaran di bibir pantai.
" Hei, masih panas kan, nanti kau sakit." Ucapku lembut begitu berdiri di sebelahnya. Dia menatapku dingin.
Dia kembali menatap ke depan seolah tak menghiraukan kehadiranku. Lalu langkah kakinya perlahan menjauhiku. Aku mengikutinya. Kaki kaki kecil itu bersentuhan dengan pasir panas. Dia sedikit terjengit. Aku baru sadar kini, gadis itu tidak memakai alas kaki.
" Mengapa kau melepas sepatumu?" Tanyaku panik.
Aku menatapi tempat tadi dia berdiri, tidak ada sepatu di sana. Jadi dia tadi berjalan dari rumah ke sini tanpa alas kaki. Aku tidak habis pikir mengapa dia melakukan itu. Aku segera mengangkat tubuh kecil itu. Menggendongnya. Gadis itu meronta dalam gendonganku.
" Diam, nanti kau jatuh jika tidak mau diam." Ucapku pelan. Gadis itu menatapku. Mata beriris abu abu itu berkilat.
" Tolong turunkan aku." Ucapnya lirih.
" Lalu kau akan berjalan tanpa alas kaki, sementara pasir ini panas. Nanti kakimu melepuh."
Aku terus menggendongnya, membawanya kembali ke rumah. Di depan pintu masuk ke halaman rumah. Aku melihat Dillah yang tersenyum menatapku.
" Gene, aku tak sabar menanti undangan darimu, aku suka sepupuku mendapatkan pengganti Danissa."
Ucapan Dillah yang terkadang tidak dapat di kontrol membuatku kesal. Aku jadi punya tugas menjelaskan dua masalah. Dillah dan Danissa. Damn it, umpatku dalam hati.
Aku meninggalkan Dillah begitu saja. Gadis dalam gendonganku memasang wajah seolah meminta penjelasan. Rasa keingintahuannya yang besar terlukis jelas di matanya yang menatap tajam. Aku seolah calon terpidana mati yang siap mendengarkan hakim memberikan keputusannya.
Aku mendudukkan Mariz di sofa ruang tamu. Badan gadis itu merebah nyaman. Matanya memejam membuatku gemas. Aku tahu dia tidak tidur. Aku mengambil duduk di sebelahnya. Memainkan kuncir rambutnya dan beralih mengusap wajahnya. Dia masih terpejam.
" Dillah itu sepupuku, gadis yang tadi kau lihat di luar sana." Ucapku pelan tanpa diminta.
Aku melirik menatapnya. Dia perlahan membuka matanya dan menengokkan wajahnya menatapku. Aku terdiam kemudian. Sedikit berat ketika mulut ini akan menyebutkan nama yang kedua. Gadis itu masih menatapku, dia sepertinya melihat ketidak nyamananku. Dia bergerak membetulkan duduknya. Menegakkan duduknya dan menatapku. Dia menanti kelanjutan ceritaku, aku tahu itu.
Aku menarik napas perlahan dan menghembuskannya sedikit kasar. Aku menaut tangannya. Dia diam saja. Dia seolah mengerti akan keadaanku.
" Danissa itu tunanganku." Ucapku lirih. Dia menaikkan kedua alisnya. Aku menghembuskan napas.
" Dia meninggal karena kanker otak tiga tahun yang lalu." Ucapanku terasa tercekat di tenggorokan.
Aku tahu pasti, Mariz pasti menangkap binar kesedihan di mataku. Dia menatapku lekat. Aku tidak dapat mengartikan tatapannya itu. Dia menarik sudut sudut bibirnya sedikit.
" Jangan memulai sesuatu yang baru jika kau tidak rela membuang yang lama. Pastikan dulu hatimu, agar kau tidak menyesalinya. Lagi pula aku bukan gadis yang pantas untuk menggantikan tempatnya."
Mariz beranjak menuju kamar, meninggalkanku yang merasa tertohok dengan ucapannya. Aku merasa semakin berat untuk mendapatkannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top