achtentwintig
Hari ini aku sudah mulai masuk, tapi bukan ke kantor. Aku memilih pergi ke Rumah sakit tempatku praktek. Tiga hari saja aku tergeletak tidak berdaya di ranjang sempit Rumah sakit. Lalu dua hari di rumah, mendapatkan pelayanan telaten dari Ibuku tercinta dan tentu saja kekasihku yang cantik itu.
Aku menolak memakai kursi roda. Aku memilih memakai kruk untuk membantuku berjalan.
" Aku masih bisa berjalan, jadi tidak butuh kursi roda." Ketusku ketika Ibuku memintaku memakai kursi roda.
Lalu ketika aku berjalan tertatih dengan menggunakan kruk. Gina menertawaiku.
" Aku rasa Mariz akan lebih memilih lelaki normal, dari pada lelaki cacat sepertimu." Ucap Gina dengan tawa.
Aku tidak menanggapi gurauannya tapi sendok yang sedang kupegang mendarat mulus di kepalanya. Dia meringis sambil berteriak kesal.
" Kakak...nanti aku gegar otak."
Aku memukul gemas pipi adik tersayangku itu. Dia mencibir kesal.
" Halaaah....dasar bocah manja."
Aku meminjam sopir Ibuku untuk mengantarku. Senyum Jennifer menyambutku. Kali ini senyumnya terlihat wajar, tidak genit seperti biasanya. Aku tersenyum lega.
Aku memasuki ruanganku dan sedikit kaget karena mendapati David sudah duduk disana. Lelaki itu menatapku. Sinar matanya beriak antara marah dan malu.
Aku duduk dengan tenang dihadapannya. Menatapnya sekilas lalu berucap dengan tenang pula.
" Ada apa?"
Lelaki itu menunduk gelisah. Aku dapat membaca kegundahan di hatinya. Aku lurus menatapnya.
" Dia gadisku. Angel, aku biasa memanggilnya Angel. Karena seperti itulah dia. Seperti malaikat. Dia selalu saja menerimaku, apa pun yang menjadi kesalahanku."
Suara paraunya terdengar memulai ceritanya. Aku sudah merasa tidak enak mendengarnya. Tapi aku diam dan terus menatapnya.
Lelaki itu menggeleng. Aku tahu dia menahan kesedihan dan air matanya. Aku menunggu kelanjutan ceritanya.
" Sampai aku melakukan kesalahan itu. Kesalahan yang membuatnya membenciku dan aku tidak bisa lagi membuatnya kembali. Dua kesalahan sebetulnya, karena Erica pun hamil. Wanita monster itu sengaja menjebakku. Jalang murahan yang membuatku semakin kehilangan Angelku."
" Dokter, tolong aku. Tolong kembalikan Angelku.Aku mohon. Aku, aku mencintainya. Sangat mencintainya. Hidupku hancur tanpa dirinya."
Perkataan terakhirnya ini yang membuatku ingin sekali memukulkan kruk ke kepalanya. Enak saja, teriak batinku. Aku tidak akan pernah melakukan permintaannya walaupun ditukar dengan apa pun.
Aku menggeleng tegas. Dia menatapku dengan mata menyipit. Aku sebenarnya ingin meninju wajahnya yang menyebalkan itu. Tapi posisiku saat ini mampu membuatku tetap berada pada keadaan yang waras.
" Aku hanya bisa membantumu dan juga gadis itu. Memberikan Hipnoterapi, meresepkan obat dan memberikan motivasi untuk kembali pulih. Itu saja. Untuk urusan yang kau minta itu. Kau harus melakukannya sendiri."
Aku menatap lelaki dihadapanku yang kini terisak. Aku sebenarnya sudah mulai bosan, jika saja profesionalisme tidak berbicara.
" Kau harus menerima kenyataan, jika saja nanti dia tidak pernah mau menerimamu kembali. Aku rasa lebih baik jika kau menikahi Erica dan membesarkan anak kalian bersama sama." Ucapku dengan suara yang sangat tenang, padahal batinku kesal sekali.
" Tidak." Lelaki itu memggeleng tegas. Matanya menyorot tajam.
" Aku akan mendapatkannya kembali. Apa pun akan kulakukan, dok."
Ucapannya membuatku semakin kesal. Tanpa sadar aku berdecak. Lalu dengan suara menahan amarah aku berkata.
" Aku rasa aku butuh istirahat sejenak. Tolong kembali nanti, aku rasa cukup untuk hari ini. Mohon maaf David."
Aku beranjak dari kursi di hadapannya, membawa langkahku berpindah ke kursi di belakang mejaku. Kulihat lelaki itu berjalan dengan langkah malas keluar dari ruanganku.
" Ya Tuhan, aku tidak mau dia mengambil wanita tercintaku." Lirihku. Perasaan tidak nyaman singgah di hatiku.
Aku mengeluarkan ponselku lalu mendial nomor yang tersimpan di paling atas buku teleponku.
" Sayang, dimana. Aku kangen sekali." Ucapku begitu tersambung.
Suara tawa renyah terdengar, yang mampu membuat semangatku kembali. Rasa kesal seolah menghilang begitu saja.
" Honey, I miss you. Really, really miss you. I miss you like crazy."
" Gene, urusi dulu pasiennu. Jangan merayuku." Ucapnya disela tawa merdunya.
Aku tertawa pelan. Aku jadi ingin sekali segera berada di hadapannya lalu memeluknya erat. Menyalurkan rasa cinta yang kupunya. Rasa cinta yang begitu besar. Aku segera memutus sambunganku lalu mendial nomer lain.
" Darwin, siapkan mobil. Sepertinya aku ingin pulang saja."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top