You'll Be Mine
Mereka sampai di kota Bandar Lampung sekitar pukul sepuluh pagi dan Bangsat bersikeras nggak mau langsung memulangkan Oji, tapi mengajak anak itu singgah sebentar ke kosannya di daerah Gedong Meneng.
Indekos yang ditempati Bangsat adalah bangunan dua lantai yang setiap lantainya berisi lima kamar berukuran 4x3 meter dengan kamar mandi di dalam. Kamar Bangsat berada di lantai atas, letaknya yang paling pojok. Dia sengaja pilih yang pojok karena dia suka mojok.
Berdiri di depan pintu, Oji memandangi bagian muka pintu itu yang ditempeli banyak stiker bertuliskan kata-kata nggak jelas. Bangsat memasukkan kunci ke lubang pintu, setelah terdengar bunyi "klik", pintu itu didorong membuka ke dalam. Dan, dari ambang pintu Oji menyaksikan kamar Bangsat yang berantakannya naudzubillah. Nyaris semua benda yang ada di dalam kamar bukan berada di tempat yang seharusnya: sempak di kasur, kaus dalam di lantai, sampah bekas makanan ringan di atas tivi kecil, kaleng Coca-Cola berserakan di dekat meja belajar. Seprai kasurnya juga berantakan. Pokoknya sedikit pun nggak ada yang rapi, membuat Oji meringis jijik melihat sempak kotor ada di atas kasur yang barangkali bakal jadi tempat mereka untuk ngentot. Ew.
Oji masuk ke dalam kamar dan memilih duduk di kursi meja belajar. Matanya berselancar memandangi kamar kosan itu dari atas langit-langit sampai ke lantai. Ada lukisan pemandangan yang tergantung di tembok sebelah pintu masuk, dan poster kesebelasan Juventus menggantung di sebelahnya. Oji menatap ke meja kecil di sebelah kasur, tempat Bangsat menyimpan segala macam perlengkapannya mulai dari baby oil, tissue, parfum, pengharum ruangan, deodoran, beberapa buah pin, tiga jam tangan, dan lima bingkai foto yang berdiri menghadap ke meja belajar—tepat ke wajah Oji yang saat itu sedang menyipitkan mata memandangi salah satu foto yang ada di bingkai itu.
"Itu Kak Ratu?" tanya Oji, mulai merasakan debar nggak enak ketika melihat foto kakaknya tersimpan rapi di dalam bingkai.
Bangsat langsung menyomot bingkai itu, kemudian menarik keluar foto Ratu dari dalamnya. Dia menyelipkan kertas foto itu ke dalam buku Filsafat Hukum yang kebetulan lagi tergeletak di lantai. Sambil nyengir lebar, dia menjelaskan:
"Kemarin nyimpan foto Ratu karena dipaksa sama dia, Ji. Soalnya waktu itu Ratu marah-marah karena aku nggak nyimpan foto dia satupun." Bangsat khawatir Oji bakal ngambek dan marah-marah, nanti gagal pula rencananya ngewe siang ini.
Tapi anak itu malah tersenyum sambil mengucap, "Nggak apa-apa, Bang. Aku ngerti, kok. Biar gimana pun, Kak Ratu kan masih pacar kamu."
Bangsat ingin memeluk Oji sekarang. Walaupun anak itu bilang nggak apa-apa, tapi tetap saja dia merasa nggak enak. Oji sudah sering sakit hati gara-gara Ratu. "Maaf ya, Ji? Gue janji bakal secepatnya menyingkirkan Ratu—"
"Kak Ratu nggak perlu disingkirkan, Bang. Kita masih butuh dia."
Bangsat nggak mau mendebatnya. Dia mendekati anak itu, lalu memeluknya. Tubuh Oji yang kecil rasanya pas sekali di dalam pelukannya, seolah-olah Tuhan memang menciptakan anak itu dari tulang rusuknya. Ceileh.
"Aku sayaaaang banget sama kamu, Ji," ucapnya sambil membelai kepala Oji sayang.
"Aku juga sayang kamu, Bang," balas Oji, menghirup dalam-dalam aroma parfum Bangsat yang bercampur dengan keringat. Seksi. Macho. Jantan. "Ada satu hal yang mau aku tanya ke kamu."
"Tanya aja."
"Kamu pernah ngewe dengan Kak Ratu di sini?"
Sambil tertawa, Bangsat melepas pelukannya. Dia memandangi Oji geli, seolah-olah anak itu bodoh karena melontarkan pertanyaan semacam itu. "Mana berani aku bawa cewek ke kosan buat ngewe," jawabnya, masih tertawa. "Kamar ini bersih dari segala kegiatan mesum dengan cewek."
"Jadi kalian kalo ngewe di mana?" tanya Oji, penasaran. "Jangan bilang di rumah gue, Bang." Tiba-tiba hati Oji perih memikirkan Bangsat bugil dengan Kak Ratu dan mereka sama-sama saling menggigit, menjilat, mendesah ... sementara Oji sedang berada di kamarnya ketika mereka melakukan itu.
"Nggak di rumah kamu, kok. Biasanya sih di hotel, atau di penginapan." Kemudian, Bangsat melihat perubahan air muka Oji yang mendadak kesal. "Maaf," ucapnya, lalu memeluk anak itu lagi. Erat-erat. Dia tahu ucapannya pasti melukai Oji. "Maafin aku, Ji. Aku nggak ada maksud bikin kamu sedih."
"Gue juga kepengen, Bang," kata Oji. Suaranya gemetar.
"Kepengen apa?"
"Ngewe di hotel."
"Memangnya kenapa kalo kita ngewe di sini?"
Oji cemberut. Pipinya menggembung lucu dan mulai merah karena jengkel. "Kamu ngewe sama Kak Ratu harus di tempat-tempat yang mahal, tapi ngewe sama aku cuma di kosan doang yang gratisan," katanya, pedas.
Bangsat garuk-garuk kepala, merasa bersalah. Gagal deh ngewe siang ini, pikirnya. "Oke, oke. Nanti aku pesan kamar deh buat ngewe sama kamu."
Oji masih cemberut. Tapi, ketika bibirnya melengkung ke bawah kayak gitu malah membuat wajahnya kelihatan lebih unyuk-unyuk dan menggemaskan. Bangsat nggak tahan untuk nggak mencubit pipi Oji yang menggembung kayak balon.
"Udah dong ngambeknya," rayu Bangsat. "Itu kan dulu waktu aku masih sering nakal sama dia. Sekarang kan udah nggak lagi. Aku kan sekarang cuma punya kamu, Sayaaang. Aku nggak mau lagi ngewe dengan yang lain kecuali kamuuu." Bangsat masih merayu dengan menggesekkan hidungnya yang mancung ke hidung Oji yang pesek.
Tapi Oji masih cemberut. Sekarang dia bahkan melipat tangannya di depan dada. "Aku masih suka sedih tiap kali bayangin kamu dengan Kak Ratu."
Bangsat jongkok di hadapan Oji. Kepalanya mendongak, menatap mata anak itu yang bulat sempurna. "Apa yang bisa aku lakuin untuk nyembuhin sakit di hati kamu?"
"Nggak tahu, Bang. Pokoknya kalo kamu mulai cerita tentang Kak Ratu, hati aku sakit." Oji meremas dada kirinya, menunjukkan kepada Bangsat tempat di mana rasa sakit itu benar-benar dirasakannya.
"Sakitnya kayak mana?" tanya Bangsat, sendu.
"Kayak nggak ikhlas gitu, Bang." Oji mengembuskan napas, pasrah. "Tapi, ya mau gimana lagi? Bukan salah Kak Ratu, sih. Tapi salah aku karena merebut pacarnya—"
"Kamu nggak merebut aku dari dia, kok," potong Bangsat, cepat. "Aku sendiri yang milih kamu untuk jadi pacar terakhirku."
"Pacar terakhir?" Oji menaikkan sebelah alis matanya. "Yakin?"
Bangsat mengangguk, mantap. Dia menggenggam tangan Oji erat-erat, matanya terpaku ke mata anak itu yang tampak berbinar-binar. "Yakin! Aku cuma pingin sama kamu, nggak mau dengan yang lain. Karena aku pegang prinsip: Sekalinya aku benar-benar jatuh cinta dengan seseorang, aku berjanji nggak akan ninggalin orang itu untuk selamanya."
"Itu gombal!"
"Mana ada aku gombal," kata Bangsat, mencium lagi punggung tangan Oji dengan lembut. "Aku beneran, Ji. Aku serius. Selagi mampu, aku rela kok ngasih apa pun yang kamu mau."
Akhirnya Oji tersenyum. "Saat ini aku cuma lagi pingin dengar kamu nyanyi, Bang." Senyumnya berubah jadi cengiran lebar yang membuat wajahnya kelihatan jauuuuuh lebih manis.
"Kamu mau aku nyanyiin lagu apa?"
"Lagu apa aja deh, yang penting nyanyi. Tiba-tiba aku kangen suara kamu."
"Oke." Dia bangkit dari jongkoknya, berniat mengambil gitar yang dia letakkan di dekat kasur, tapi langkahnya berhenti mendadak ketika Oji memanggilnya. "Kenapa, Ji?"
Oji memandang ke kasur, ke sempak kotor yang tergeletak tak berdaya di sana. Dia meringis jijik sambil berkata, "Tapi beresin dulu kasurnya, Bang. Aku nggak mau duduk dekat sempak kamu."
Bangsat cengengesan, dan langsung memunguti semua pakaian dalamnya yang berserakan. Nggak lupa, dia juga mengganti seprainya yang kotor bekas kena muncratan spermanya kalau dia coli di kasur. Seperempat jam kemudian Bangsat disibukkan dengan aksi "membersihkan kamar". Sesekali dia berhenti di tengah-tengah kegiatan karena harus mengelap butir-butir keringat yang muncul di kening dan di lehernya. Ternyata menunduk memunguti pakaian, menyapu, dan membuang sampah di tempatnya membutuhkan banyak tenaga. Nggak lama kemudian, kamarnya jadi bersih dan bebas pakaian kotor. Terakhir dia menyemprot pengharum ruangan untuk menyingkirkan segala aroma yang tidak sedap.
"Nah, udah bersih," katanya setelah puas melihat hasil kerjanya.
"Bagus," Oji tertawa kecil, ikut puas karena Bangsat berhasil membersihkan kamarnya sendirian. Dia sengaja nggak membantu karena dia suka melihat Bangsat yang keringatan ketika bergerak ke sana kemari memunguti pakaiannya. "Sampe keringetan gitu, Bang."
Bangsat mengelap keringat di keningnya dengan punggung tangan. "Iya, nih. Gerah. Buka baju, ah." Kaosnya yang basah dia tarik ke atas kepala sampai akhirnya lepas sehingga dia telanjang dada.
Menelan ludah, Oji takjub melihat badan Bangsat yang licin dan berkilauan karena keringat. Matanya nggak bisa berhenti memandangi tubuh telanjang itu. Bangsat punya otot yang terlatih, pejal, dan kuat. Oji menggigit bibir ketika matanya asik terpaku ke dua puting yang mengacung di dada Bangsat. Dia ingin sekali menjilat puting Bangsat, merasakan kenyal-kenyal di mulutnya, menikmati desahan cowok itu yang seksi. Tapi, dia menahan diri. Dia nggak mau memulainya sebelum mendapat izin dari cowok itu.
"Sini, Ji," kata Bangsat, mengundang.
Tapi Oji nggak langsung bergerak. Dia masih memandangi bulir keringat yang mengalir dari kening Bangsat, turun melewati garis rahang sampai ke dagu, hingga akhirnya berhenti di dadanya yang berotot. Oji mulai gelisah dalam duduknya karena hasrat mulai menguasai akal sehatnya. Dalam pikirannya yang cabul, dia berharap seandainya bisa jadi keringat itu ....
"Ji, sini!" Bangsat mengulang.
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Oji menurut. Anak itu menghampiri Bangsat dengan malu-malu. Pipinya merah padam bagai buah ceri.
"Muka kamu merah," kata Bangsat, nyengir.
Oji angguk-angguk seperti robot.
"Ji?" Dengan ibu jarinya, Bangsat mengangkat kepala Oji sehingga dia bisa melihat matanya yang berkobar oleh hasrat. "Kenapa?" tanyanya, agak mendesah.
Oji memejamkan mata, menikmati jari-jari Bangsat yang sekarang membelai rahangnya. Tanpa sadar, desahan lembut keluar dari mulutnya. Dia terangsang hebat hanya karena sentuhan cowok itu. Tubuhnya bergerak sendiri ketika dia melingkarkan lengannya di pinggang Bangsat dan menempelkan pipinya di dada cowok itu yang basah karena keringat. Oji bisa mendengar degup jantung Bangsat yang berpacu sangat cepat, dan samar-samar aroma keringat bercampur deodoran memenuhi indra penciumannya. Seksi. Jantan. Oji menggigit bibir lebih keras karena kelamin di dalam celananya sudah setegang kabel yang ditarik.
Bangsat mengusap rambut Oji, sayang. "Kenapa sih, Jiii?" tanyanya, agak manja karena dia tahu Oji pasti suka dimanja-manjain.
Oji nggak menjawab dan malah mengeratkan pelukannya. Pipinya dia gesek-gesekkan di dada Bangsat, merasakan bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di sekitar dada berotot itu. Hidungnya masih asik mengendus aroma Bangsat yang maskulin, membakar hasratnya yang sudah nggak tertahan lagi.
Akhirnya, Bangsat nggak mau melewatkan kesempatan. Dia mengecup puncak kepala Oji, lalu mengangkat wajah anak itu sehingga dia bisa memandangi bibirnya yang tipis dan berwarna merah alami. Mata Oji yang bulat indah balas menatapnya seolah-olah memohon. Lalu, kedua mata itu terpejam, dan Bangsat tahu sekaranglah saatnya dia mendaratkan bibirnya ke bibir merah ranum itu.
Menunduk sedikit, Bangsat akhirnya berhasil meraih bibir Oji yang selalu terasa lembut dan kenyal ketika dia menggigitnya. Sama seperti tubuh Oji yang terasa pas dalam pelukannya, bibir anak itu juga rasanya sangat benar berada di dalam mulutnya, seakan-akan dua bibir yang menyatu itu berasal dari satu bagian yang sama.
Selagi ciuman, Bangsat merasakan jari-jari tangan Oji menggerayangi tubuh telanjangnya. Mulai dari pinggulnya, pinggangnya, sampai naik ke atas dadanya. Bangsat menyukai jejak panas yang dihasilkan oleh sentuhan Oji yang lembut, membelainya bagaikan surga, membuatnya semakin terpacu untuk melahap bibir Oji yang manis.
Bangsat juga nggak mau tinggal diam. Pelan-pelan dia menarik kaos Oji sampai akhirnya lepas dari tubuhnya yang kurus. Sambil lanjut menciumnya, Bangsat merabakan jari-jarinya ke tubuh Oji yang berkulit putih merona seperti susu segar di pagi hari. Dia menikmati lembutnya kulit anak itu yang sehalus sutra. Menikmati desahan pelan yang keluar di sela-sela ciuman mereka. Menikmati rasa hangat basah yang dia rasakan ketika lidahnya masuk ke rongga mulut Oji.
Nggak tahan, buru-buru Bangsat melepas celananya yang terasa sempit karena desakan kelaminnya. Celana itu dia tendang jauh-jauh ke lantai, membebaskan kontolnya yang langsung mengacung keras seperti pedang. Sambil mendesis penuh kenikmatan, Bangsat membimbing satu tangan Oji untuk membelai benda pusakanya yang berurat.
Memejamkan mata sambil mendesah, Bangsat menikmati belaian Oji yang sangat lembut di sepanjang batang kontolnya yang berkedut-kedut. Sesekali Oji mengocoknya pelan, dan Bangsat merasa sangat melayang karena nikmat luar biasa. Oji seolah-olah tahu bahwa itulah yang diinginkan Bangsat untuk dilakukannya.
Bangsat juga membantu Oji melepas celananya sehingga ketika celana itu sudah lepas, tytyd Oji yang juga sudah ngaceng hebat langsung dia genggam, dia belai, dia usap kepalanya yang mengeluarkan lendir bening, membuat Oji mendesah sangat seksi sehingga membangkitkan gairah seks yang lebih membakar hasrat mereka berdua.
Kurang puas, masih dengan mencium Oji, pelan-pelan Bangsat mendorong tubuh anak itu sampai mentok ke dinding. Dia memerangkap tubuh kecil Oji di sana, nggak membiarkan anak itu lolos. Bibirnya masih melumat, kontolnya bergesekan dengan tytyd Oji, jari-jarinya menggerayangi puting anak itu.
Bangsat mengangkat kedua kaki Oji menggunakan lengannya yang kokoh sehingga anak itu menggantung dengan bersandar pada tembok. Kemudian, Oji melingkarkan lengannya di leher Bangsat, berpegangan pada bahunya yang kekar. Bibir mereka masih saling memagut, berbagi saliva, beradu lidah, sampai akhirnya Bangsat merasa bosan dan mulutnya turun ke leher Oji, mengecup lembut kulit leher yang beraroma harum itu. Dia menyukai sensasi getaran nikmat yang dirasakannya ketika mendengar desahan Oji yang lembut dan terpuaskan. Semangatnya tambah berpacu, dia mengisap leher anak itu kuat-kuat sampai Oji memekik pelan, diiringi erangan nikmat yang nggak bisa lagi ditahan.
Bibir Bangsat turun lagi ke dada Oji, mengecup berkali-kali di sana. Menggesernya ke samping, dia menemukan puting Oji yang berwarna cokelat muda lembut. Dilahapnya puting itu sampai habis seolah-olah dia sedang melahap makanan paling lezat di muka bumi. Dijilat, dikulum, diisap, sambil sesekali digigitnya ujung puting Oji dengan lembut. Desahan Oji yang tadi pelan, sekarang jadi lebih keras, dan Bangsat suka mendengarnya.
Berpindah ke puting yang satunya lagi, Bangsat melakukan gerakan yang sama sampai Oji terlihat begitu pasrah dalam gendongan Bangsat, dan wajahnya memerah bagaikan seluruh darahnya lari ke muka. Seksi sekali.
"Ji ..." Bangsat menatap Oji, memohon. Kontolnya sudah berkedut dari awal mereka ciuman, dan sekarang kontol itu sudah mengeluarkan banyak lendir bening yang menandakan nafsu Bangsat sudah nggak bisa ditahan lagi.
Oji mengangguk mengerti, lalu kakinya menapak lantai lagi, dan dia langsung mengubah posisi. Bangsat bersandar di tembok, sementara Oji berjongkok di hadapannya, tepat di depan kontolnya yang gemuk besar. Dan ketika Oji menjilat lubang kencingnya, Bangsat mengerang.
Itu adalah pemandangan paling erotis yang pernah dilihat Bangsat seumur hidupnya, memicu kobaran nafsu yang lebih membakar lagi saat lidah Oji yang panas menjalar di sepanjang batang kemaluannya. Keintiman yang Oji lakukan terhadapnya, panasnya, kenikmatannya, membuat Bangsat merem-melek sambil sesekali mendesis ketika lidah Oji menemukan titik paling sensitif di kontolnya. Dengan lembut, Bangsat memegangi kepala Oji, lalu menggoyangnya, supaya kontolnya bisa merasakan sensasi yang lebih nikmat lagi.
Jari-jari Oji nggak tinggal diam. Satu jarinya mencubit puting Bangsat, sementara jari-jarinya yang lain meremas buah zakarnya. Kenikmatan tiada tara yang Bangsat rasakan membuat tubuhnya bergetar pelan. Sambil menunduk memandang ke bawah, dia menyaksikan mulut Oji yang menggembung penuh dengan kontolnya. Walaupun nggak masuk seluruhnya, tapi buat Bangsat segitu saja sudah cukup. Oji makin pakar mengulum kejantanannya.
Dua menit kemudian, Oji mulai kelelahan. Dia bangkit berdiri, lalu melumat lagi bibir Bangsat, salah satu tangannya mengocok batang kelamin cowok itu. Oji menyukai sensasi genggamannya yang tergelincir di kontol Bangsat karena benda itu licin oleh liurnya, memudahkannya mengocok benda pusaka itu sehingga Bangsat mendesah sangat seksi dalam ciumannya.
Bangsat menarik lepas bibirnya dari bibir Oji, matanya menatap anak itu dalam-dalam. "Aku sayang kamu."
"Aku juga sayang kamu."
Kembali ciuman, Bangsat mengubah posisinya berjongkok di hadapan Oji. Tytyd anak itu yang bentuknya agak kecil langsung dia lahap habis sampai ke pangkalnya. Oji menggelinjang sambil menjambak rambut Bangsat, dan Bangsat dengan penuh semangat langsung memacu mulutnya mengeluarkan-masukkan tytyd Oji. Desahan dan erangan nikmat Oji terdengar bagaikan melodi di telinga Bangsat.
Semenit mengulum, Bangsat menyudahinya. Sambil menciumi Oji dari paha sampai ke leher, pelan-pelan Bangsat memutarbalikkan tubuh anak itu hingga menghadap ke tembok. Bangsat berdiri di belakang Oji, menggesekkan kontolnya di belahan pantat anak itu sambil menciumi punggungnya berkali-kali.
"Aku masukin, ya?" desah Bangsat, lembut di dekat telinga Oji.
Anak itu mengangguk pasrah sambil menggigit bibir. Bangsat yakin Oji juga pasti menginginkan kontolnya masuk ke dalam tubuhnya.
Bangsat meraih baby oil dari meja kecil di dekat kasur, kemudian melumuri cairan minyak bening itu ke batang kontolnya yang gemuk dan berurat. Dia mengurut pelan kontolnya supaya baby oil itu terbalur rata sampai ke pangkalnya. Setelah itu, dia juga membaluri lubang pantat Oji, membuat Oji mendesah geli sambil menggigit bibir.
Setelah yakin semua persiapannya selesai, Bangsat membuka kedua paha Oji hingga anak itu agak mengangkang dengan sedikit mengangkat pinggul.
"Aku masukin ya, Sayang," bisik Bangsat, menyempatkan diri untuk menciumi leher Oji.
Melihat Oji mengangguk, Bangsat langsung menempelkan kepala kontolnya yang sudah licin ke depan lubang pantat anak itu. Sambil mengecup leher dan punggung Oji, Bangsat mendorong kontolnya masuk. Sensasi terjepit yang dirasakan kontolnya membuat Bangsat mendesis nikmat sambil memejamkan mata. Pelan-pelan dia mendorong lagi, membuat kontolnya terbenam setengah badan, dan Bangsat bergetar karena rasa hangat yang mulai dia rasakan di dalam sana.
"Bang, masukin semuanya," desah Oji, memohon.
Semangat Bangsat makin berkobar mendengar nada memohon dalam suara Oji. Dengan sekali entakan keras, didorongnya kontol besar itu sampai akhirnya masuk seluruhnya ke dalam lubang Oji. Oji memekik pelan sambil menggigit bibir kuat-kuat ketika kontol itu sukses bersarang di dalam tubuhnya.
Kini mereka sudah menyatu. Melekat menjadi satu dalam panasnya cinta dan juga nafsu yang berkobar.
Bangsat menciumi tengkuk dan punggung Oji sambil mendesah lega. Akhirnya dia berhasil menyarangkan kontolnya ke lubang sempit itu, yang sekarang rasanya bagaikan surga, padahal belum digerakkin sama sekali.
"Bang, goyangin ...." Oji memohon lagi.
Bangsat tersenyum, mengisap leher Oji dengan gemas, lalu menggerakkan kontolnya.
"Aaahhh ...." Mereka mendesah bersamaan, menikmati rasa yang sudah mereka idam-idamkan sejak lama.
Oji merasa penuh di lubang pantatnya, tapi juga merasa ada sensasi tergelitik yang membuat seluruh tubuhnya bergetar, dibarengi dengan hangatnya ciuman Bangsat yang bertubi-tubi di sekitar tengkuknya. Jemari cowok itu menggerayangi dadanya, mengusap putingnya dengan lembut, membuat Oji merasa sangat melayang, dan tubuhnya bergetar lebih hebat karena sensasi geli-geli nikmat itu.
Di belakang Oji, Bangsat masih keenakan menggenjot kontolnya pelan-pelan dan nggak terburu-buru. Dia ingin menikmati setiap detik yang dia habiskan untuk meraih kenikmatan dari lubang sempit itu. Nggak lupa, dia juga memuaskan Oji dengan cara mencubit putingnya, meremas pantatnya, mengocok tytydnya, dan sesekali menjilati telinganya dari belakang. Bangsat benar-benar bergairah setiap kali Oji mendesah sambil berbisik:
"Lebih cepet, Bang. Goyang yang keras."
Tapi Bangsat nggak menurutinya. Dia sengaja pelan-pelan karena dia nggak mau buru-buru muncrat.
"Santai dong, Sayang," desahnya sambil mengecup bahu Oji. "Aku nggak mau muncrat sekarang."
Pinggul Bangsat bergerak seirama desahan mereka yang bersahutan. Sebelah tangannya masih asik mengocok tytyd Oji, sementara tangannya yang lain mengusap putingnya. Bibirnya menciumi punggung Oji yang halus bagaikan sutra, dan Bangsat menikmati setiap desah nikmat yang lepas dari mulut anak itu. Ditambah ekspresi Oji yang sangat memabukkan—matanya terpejam, wajahnya merah, dan keringat mulai bermunculan di keningnya. Oji sangat seksi sampai-sampai Bangsat menggerakkan pinggulnya agak lebih cepat sehingga desahan Oji jadi lebih keras dan ganas.
Bosan dengan gaya yang itu, Bangsat mencabut kontolnya dari tubuh Oji, kemudian memutar tubuh anak itu sehingga mereka berhadapan. Mata bulat Oji menatapnya dengan kobaran yang begitu panas sehingga Bangsat merasakan tubuhnya seolah-olah terbakar oleh tatapan itu. Dia segera menerkam bibir kenyal Oji, dan perlahan-lahan membaringkan tubuh anak itu di kasur.
"Panas, Bang," desah Oji di sela-sela ciuman mereka. Jari-jarinya yang lentik menggerayangi tubuh Bangsat, menikmati setiap jengkal ototnya.
Bangsat mengecup kening Oji, lalu mengelap keringat yang ada di sana. Sambil tersenyum, dia berucap, "Masukin lagi, ya?"
Oji mengangguk penuh semangat. Dia menyukai cara Bangsat memintanya dengan lembut, seakan-akan di dunia ini hanya Oji yang diinginkan oleh cowok itu.
Merileksasikan diri, Oji memejamkan mata ketika Bangsat mendorong kontolnya masuk sambil mendesah bersamaan. Ketika kontol Bangsat sudah kembali bersarang di lubangnya, Oji mengalungkan lengan ke leher cowok itu, lalu menarik kepalanya dan mencium bibir Bangsat dengan buas. Oji selalu menyukai rasa bibir Bangsat yang membuatnya kecanduan. Apalagi ketika Bangsat balas menciumnya, Oji hanya bisa pasrah karena Bangsat adalah pencium yang sangat baik dan sangat nikmat.
Bangsat begitu besar, keras, dan panas ketika mulai menggerakkan pinggulnya sehingga kontol itu keluar-masuk di dalam tubuh Oji. Gerakannya mula-mula lambat, tapi lama kelamaan berubah jadi agak cepat sehingga Oji harus ikut menggoyangkan pantatnya seirama dengan sodokan Bangsat. Dengan melayang-layang oleh kenikmatan, Oji merangkulkan tungkainya ke pinggang Bangsat, sakan-akan melarang cowok itu mencabut kontol dari dalam tubuhnya.
Dekapan lengan Oji di leher Bangsat semakin mengerat ketika dia merasakan sensasi getaran nikmat yang hanya bisa dihasilkan oleh kontol yang merangsang prostat. Tubuhnya bagaikan diselimuti ratusan semut yang membuatnya gatal, geli, sehingga dia harus menggeliat dan tungkainya ikut mengerat mencengkeram pinggang Bangsat. Kenikmatan itu membuat Oji terkesiap lalu memekik pelan oleh pesona Bangsat yang sangat seksi ketika genjotan pinggulnya berubah jadi lebih ganas, diiringi desah napasnya yang memburu.
Oji memandangi wajah Bangsat yang mulai berkeringat sedang tampak memejamkan mata, mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan erangan nikmat yang membakar Oji dari dalam. Ketika mata itu terbuka, tatapannya bagaikan lava yang membuat tulang-tulang Oji meleleh. Dibenamkannya jari-jarinya ke rambut Bangsat yang kasar dan mulai basah karena keringat. Dengan menjambaknya pelan, Oji menekan kepala Bangsat ke bawah sehingga cowok itu menunduk untuk menciumnya tanpa menghentikan gerakan pinggulnya yang semakin buas.
Ketika lidahnya diisap oleh mulut Bangsat, jari-jari tangan Oji mencakar punggung cowok itu yang licin berkeringat. Kenikmatan tiada tara membuat Oji jadi liar dan semakin bernafsu, dan dia rela melakukan apa saja yang diinginkan Bangsat, membiarkan cowok itu melakukan apapun yang ingin dia lakukan pada tubuhnya sehingga ketika Bangsat mengisap lehernya kuat-kuat sampai meninggalkan tanda merah di sana, Oji pasrah begitu saja.
Tubuh mereka yang bermandikan keringat licin ketika bergesekan. Oji menikmati aroma Bangsat yang begitu jantan sehingga dia membenamkan kepala di lekukan lehernya yang berotot, menghirup aromanya dalam-dalam, kemudian menggigitnya dengan sama kerasnya seperti yang dilakukan oleh cowok itu sampai-sampai tanda merah itu pun terbentuk di sana.
"Ji ...," Bangsat mendesah di dekat telinga Oji, tubuhnya gemetar menahan enak. "Aku mau keluar—oh... yeaaah...."
Oji mengangguk, kemudian dia ikut menggoyangkan pantatnya, berusaha mengimbangi gerakan Bangsat yang nggak terkontrol. Di dalam sana, Oji merasakan kontol Bangsat menyodok-nyodok prostatnya, mengirimkan gelombang kejut listrik yang rasanya gatal dan enak itu sampai ke ubun-ubunnya. Dia mau muncrat. Sedikit lagi, Oji yakin dirinya pasti akan meledak.
"Ji—ohh... aahh... aku keluar...." Tubuh Bangsat menegang, bergetar, dibarengi dengan jeritan nikmatnya yang tertahan ketika cairan putih kental itu berlompatan keluar dari lubang kencingnya.
Oji juga melakukan hal yang sama. Tanpa disentuh, kontolnya berkedut-kedut ketika cairan putih kental itu muncrat ke atas perutnya. Sambil sama-sama mendesah, mereka memejamkan mata, menikmati orgasme nikmat yang dibarengi dengan ejakulasi barusan.
Setelah hampir satu menit gelombang nikmat itu mulai mereda, Bangsat membuka mata, lalu menunduk untuk mencium bibir Oji yang merahnya semakin ranum seperti buah ceri yang kelewat matang. Mencium Oji setelah ejakulasi rasanya jauh lebih enak, seperti menikmati makanan penutup setelah hidangan utama dihabiskan. Setelahnya, Bangsat ambruk ke kasur. Kelelahan.
Oji dan Bangsat berbaring sebelahan di kasur. Napas mereka ngos-ngosan, tubuh mereka banjir keringat sampai kasurnya ikut-ikutan basah, mata mereka terpejam sebelum akhirnya Bangsat membuka mata dan memiringkan tubuhnya ke kanan sehingga berhadapan dengan Oji yang matanya masih terpejam.
"Capek, Ji?" tanya Bangsat, sambil tangannya mengusap dada Oji.
Anak itu mengangguk, matanya terbuka. "Tissue, Bang."
Bangsat menarik tissue, kemudian membersihkan sperma kental yang tergenang di perut Oji. Tissue itu dibuangnya ke kotak sampah setelah perut Oji bersih. Bangsat segera melingkarkan lengannya ke pinggang Oji, bibirnya mengecup lembut pipinya.
"Enak banget, ya," ucapnya, sambil menjilat telinga Oji, membuat anak itu tertawa sambil merinding geli.
"Enakan mana sama Kak Ratu?" tanya Oji tanpa bisa menahan diri.
"Enakan kamu dong, Sayang," Bangsat mencium pundak Oji, menikmati aroma keringatnya yang asem-manis kayak buah stroberi. "Kamu seksinya minta ampun."
"Aku ngantuk," kata Oji, menguap.
"Tidur aja di pelukanku." Bangsat mengeratkan pelukannya di tubuh Oji.
"Bang, nyanyiin lagu," pinta Oji, dengan manja menggesekkan pipinya ke bulu ketek Bangsat yang kasar.
"Nyanyi lagu apa?" kata Bangsat. "Aku masih capek."
Oji cemberut. "Lagu apa aja. Aku pingin denger suara kamu," Oji merajuk, kali ini dia membelai perut Bangsat yang berotot.
Bangsat akhirnya mengangguk. Dia sayang banget dengan Oji, dan selama ini Oji nggak pernah meminta apapun darinya, jadi ketika anak itu memintanya untuk menyanyi, Bangsat nggak punya alasan untuk menolaknya. Walaupun dia kelelahan dan lututnya masih agak gemetar, tapi Oji adalah prioritas utamanya saat itu.
Dengan memakai boxer tanpa celana dalam, Bangsat mengambil gitar, kemudian duduk bersandar tembok di sebelah Oji yang masih tiduran di kasur. Oji juga sudah pakai celana, dan sekarang anak itu sedang memandangi Bangsat yang lagi serius ketika mengatur senar gitar.
"Kenapa senarnya dibenerin terus, sih?" tanya Oji. "Memangnya rusak, ya?"
"Nggak rusak. Cuma sering nggak enak aja senarnya. Maklumlah, gitar tua." Bangsat memetik-metik gitar, mencocokkannya. Setelah dirasa pas, dia berucap, "Udah, nih. Lagu apa yang mau kamu denger?"
Oji memeluk guling sambil tersenyum ke Bangsat. "Terserah. Lagu apa aja yang menurut kamu bagus."
"Yang bagus sih banyak. Aku bingung harus pilih yang mana."
"Yang mewakili perasaan kamu hari ini? Kita kan habis ngewe romantis nih, jadi pilih aja lagu yang cocok untuk menggambarkan perasaan kamu ke aku."
Mendadak, dalam pikiran Bangsat terlintas sebuah lagu berjudul Mine yang dinyanyikan Petra Sihombing. Dia yakin inilah lagu yang cocok untuk dinyanyikan. Seperti kata Oji, mereka baru saja selesai ngewe romantis, dan tanda cinta yang dibuat Bangsat terukir jelas di leher Oji seakan-akan menandakan bahwa Oji hanyalah miliknya, untuknya. Jadi, sambil tersenyum, Bangsat berkata:
"Lagu Mine-nya Petra Sihombing. Kamu suka nggak?"
Oji mengangguk antusias. "Oke, aku dengerin."
Dengan menyamankan punggung di tembok, Bangsat memejamkan mata dan memulai intro dari kunci C. Suara petikan gitar yang lembut mengumandang di dalam kamar, membuat Oji ikutan memejamkan mata dan menikmati suara Bangsat yang jernih bagaikan kicauan burung.
Boy your heart, boy your face
is so different from them others
I'll say you're the only one that I'll adore
'Cause every time you're by my side
my blood rushes through my veins
and my geeky face blushed so silly yeah, oh yeah
and I want to make you mine ...
Bangsat berhenti sebentar, membuka mata, menatap Oji yang juga tengah menatapnya. Kekuatan cinta mereka seolah-olah terpancar lewat mata yang saling menatap itu. Senyum terkembang di pipi mereka. Dan Bangsat pun melanjutkan lagunya.
Oh Oji, I'll take you to the sky
Forever you and I, you and I, you and I
And we'll be together 'til we die
Our love will last forever and forever you'll be mine
You'll be mine ....
Oji antara ingin tertawa, tapi juga ingin nangis mendengar Bangsat mengubah lirik Oh baby menjadi namanya. Itu memang hal yang sepele, tapi karena Bangsat yang melakukannya, Oji merasa jadi spesial karena lagu itu memang dinyanyikan Bangsat untuknya. Lagu itu juga menunjukkan seberapa besar cinta Bangsat kepadanya, seberapa besar cowok itu benar-benar menginginkannya.
Tiba-tiba, Oji disengat rasa bersalah ketika dia ingat Bangsat harus menghadapi Kak Ratu sendirian. Cowok itu sudah memberikan banyak hal untuknya. Memberi pengalaman berharga pergi ke kampung, menggendongnya menuju air terjun Nirmala, mengajaknya jalan-jalan naik kebo di sepanjang Pantai Muara, menyanyikan lagu Mine yang menandakan bahwa dia menginginkan Oji hanya untuknya seorang. Walaupun mereka selalu ngewe di tempat yang gratisan, tapi momen romantis yang Bangsat berikan nilainya sangat mahal. Semua itu dilakukan Bangsat tujuannya hanya satu, yaitu untuk membahagiakan Oji, untuk membuat Oji nyaman bersamanya.
Pertanyaannya: apa yang sudah Oji berikan untuk Bangsat?
Cuma pantat dan seks panas yang baru saja mereka lakukan—inilah yang Oji berikan, dan apakah ini cukup? Nggak. Ini semua belum cukup. Pantat dan seks panas aja nggak cukup, kata Oji dalam hati.
"Bang ..." Oji bicara, membuat Bangsat terpaksa menghentikan petikannya.
"Kenapa?"
Oji menatap Bangsat tepat di mata, yakin. "Gue siap untuk jujur ke Kak Ratu."
Mata Bangsat melebar, kaget. "Serius, Ji?"
Oji mengangguk mantap. "Gue udah yakin, Bang. Gue nggak mau membiarkan lo menghadapi Kak Ratu sendirian. Biar gimana pun, masalah ini harus kita selesaiin bareng-bareng."
Bangsat menyingkirkan gitar, kemudian menarik Oji ke dalam pelukannya. Dia memeluk anak itu erat-erat sambil menciumi puncak kepalanya. "Kamu beneran, Ji? Nggak lagi bercanda, kan?"
"Beneran. Aku udah yakin, Bang."
Bangsat melepas pelukan, lalu menciumi seluruh wajah Oji sampai yang punya wajah terkikik geli. "Makasih, Ji."
Oji tersenyum. "Forever you and I, Bang. Kayak lirik lagu yang barusan kamu nyanyiin."
Bangsat tertawa, lalu mengambil gitarnya lagi. "Aku lanjutin nyanyinya, ya? Yang tadi belum selesai."
Oji mengangguk, lalu kembali berbaring di kasur. Kali ini, dia beneran ngantuk dan menguap sangat lebar saking nggak kuat menahan lelah. Ketika Bangsat memetik gitar dan bernyanyi, pelan-pelan Oji memejamkan mata. Hal terakhir yang dia ingat sebelum kesadarannya menghilang adalah sepenggal lirik lagu Mine yang dinyanyikan Bangsat untuknya.
...
And we'll be together 'til we die
Our love will last forever and forever you'll be mine
You'll be mine ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top