Ratu Drama
Ketika Tupperware berisi brownies yang dipegang Wina jatuh ke lantai, suaranya menggema bagaikan bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Bangsat dan Oji buru-buru melepas bibir mereka yang menyatu, dan keduanya kaget ketika mendapati Wina menatap nanar dengan tubuh gemetar dan wajah pucat pasi seperti mayat. Oji menelan ludah, sementara Bangsat memperhatikan Tupperware yang isinya berserakan ke mana-mana.
"Win," kata Oji, serak.
Wina masih nggak bergerak. Matanya yang bergetar membelalak ke Oji seolah-olah nggak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Win, aku bisa jelasin," kata Oji lagi, kali ini mendekat ke ceweknya itu. Tapi ketika dia menyentuh Wina, cewek itu menggubrisnya dengan kasar.
"Jangan sentuh aku!" bentaknya. Sama seperti Ratu, air mata cewek itu nggak bisa dibendung lagi.
Oji nggak menyentuh Wina, tapi juga nggak menjauh dari sisinya.
"Jadi selama ini bener, ya? Kamu ternyata homo, Ji!" Suara Wina bergetar, sakit.
"Win, aku—" Oji berusaha meraih tangan Wina lagi.
Tapi tangan cewek itu sudah keburu melayang ke udara sebelum akhirnya mendarat di pipi Oji dengan suara tamparan yang sama kerasnya dengan tamparan Ratu tadi. Saking kuatnya tamparan itu, cetakan tangan Wina sampai terbentuk di pipi Oji yang mulus dan putih cemerlang seperti mutiara.
Bangsat yang menyaksikan tamparan itu cuma bisa meringis tanpa melakukan apa-apa. Dia pingin banget mengusap pipi Oji yang memerah, tapi situasinya lagi nggak menyenangkan, dan bersikap romantis di tengah badai seperti ini hanya akan membuat segalanya jadi lebih rumit. Prioritas utamanya saat ini adalah memberi dukungan ke Oji untuk menyelesaikan masalahnya dengan cewek cengeng itu.
Wina menghapus air mata di pipinya, kemudian tanpa disuruh dia masuk ke dalam dan mendudukkan diri di kursi yang tadi jadi singgasana Ratu. Kalau Ratu memancarkan aura kemarahan ketika duduk di situ, Wina justru memancarkan aura kematian yang kental. Tanpa ampun, Wina memelototi Oji dengan buas sampai-sampai matanya yang basah itu hampir melompat keluar. Tapi Wina nggak berani memelototi Bangsat. Cewek itu bahkan bersikap seolah-olah Bangsat nggak ada.
Oji duduk di kursinya tadi, sementara Bangsat menyempatkan diri sebentar untuk memunguti brownies yang berserakan di lantai, memasukkan kembali kue cokelat itu ke Tupperware, kemudian duduk di sebelah Oji dengan Tupperware berada di pangkuannya. Tanpa rasa takut sedikit pun, Bangsat memakan brownies buatan Wina yang rasanya nggak enak banget di mulut. Jadi Bangsat berhenti mengunyah brownies itu dan menaruhnya di kolong kursi. Makanan nggak enak kayak gitu cocoknya dikasih ke tikus. Atau ke kecoa. Untung Bangsat nggak meninggal gara-gara makan kue nggak enak itu.
Wina melotot lebih garang melihat Bangsat yang menyingkirkan brownies buatannya ke bawah kolong kursi. Duduk di hadapan Wina, Oji dan Bangsat tampak sangat kerdil sementara Wina sangat besar seperti Red Queen di film Alice in Wonderland yang kepalanya gede banget kayak pantat Nicki Minaj.
Keheningan menggantung di tengah-tengah mereka bagaikan kapal induk alien di film The 5th Wave yang sewaktu-waktu dapat dengan bebas menghancurkan apa saja yang dikehendaki. Wina menangis lebih deras, air matanya meninggalkan jejak maskara yang memanjang sampai ke bawah pipinya. Cewek itu membuka tas jinjingnya, kemudian menarik empar lembar tissue dari dalam sana dan menghapus air matanya, tapi maskaranya dibiarkan mengering di pipi. Mungkin sebagai bukti bahwa dia habis menangis gara-gara Oji.
"Sejak kapan kamu jadi kayak gini, Ji?" tanyanya, memecah keheningan.
Oji memandang Bangsat, tapi Bangsat nggak membantu sama sekali. Cowok itu malah sempat-sempatnya ngupil di situasi kayak gini dan menyentil upil yang ada di jari telunjuknya sampai mental ke lantai di dekat kaki Wina. Meleset. Padahal Bangsat sudah membidik upil itu supaya mendarat di muka Wina yang asem. Dia memang sengaja melempar rudal upil ke Wina biar cewek itu tahu rasa karena melototin dia dengan matanya yang mengerikan itu. Cewek itu melotot lebih garang ke Bangsat, jijik sekaligus murka karena bisa-bisanya Oji milih cowok yang doyan ngupil salah tempat.
"Jawab aku, Ji!" bentak Wina.
Oji menelan ludah seember, dan suaranya bergetar ketika menjawab, "Sejak pertama aku ketemu Bangsat, aku udah merasakan sesuatu sama dia."
Bibir Wina yang dipoles lipstik warna merah jambu bergetar ketika dia terisak-isak dan air matanya membanjir lebih deras lagi. Maskaranya sudah membentuk dua cabang di pipi bagaikan air sungai yang tercemar limbah pabrik. Cewek itu mengusap matanya dengan tissue, tapi masih nggak mengusap noda maskaranya. Itu malah membuatnya terlihat mengerikan, seolah-olah yang keluar dari matanya adalah air mata hitam penuh kejahatan.
"Seharusnya dari kemarin-kemarin aku dengerin omongannya Dayena," kata Wina, tersedu-sedu.
"Dayena?" Oji mengerutkan kening, otaknya langsung ingat dengan cewek yang pingsan di ambang pintu kamar mandi ketika memergoki dia berciuman dengan Bangsat.
Wina mengangguk. "Dayena itu tetangga aku. Aku sama dia bisa dibilang sahabatan dari kecil karena kami selalu satu sekolah sejak SD. Cuma di SMA aja aku nggak satu sekolah sama dia."
Ini berita baru buat Oji. Wina nggak pernah cerita kalau dia punya tetangga yang satu sekolah dengannya, dan Oji juga nggak terlalu dekat dengan si Dayena itu untuk mengetahui bahwa pacarnya bersahabat dengan cewek yang hidungnya berdarah-darah sampai pingsan cuma gara-gara lihat dua cowok ciuman.
"Dua minggu yang lalu waktu aku cerita ke Dayena kalo aku pacaran sama kamu, dia langsung marah-marahin aku karena katanya kamu nggak cocok buat aku. Kata Dayena, kamu cocoknya sama cowok karena kamu mukanya homo banget, sikap kamu homo banget, dan cara ngomong kamu juga homo banget. Pokoknya semua yang ada di diri kamu homo bangetlah."
Penuturan Wina malah membuat Bangsat menahan tawa supaya nggak terbahak-bahak. Bakalan awkward kalau Bangsat ketawa di situasi yang lagi tegang kayak gini. Habisnya memang lucu, sih. Oji ke mana-mana udah kelihatan homonya.
"Aku nggak mau percaya dengan Dayena, jadi aku marahin dia balik dan aku bilang ke dia kalo kamu itu normal. Kamu masih suka sama perempuan. Kamu pernah ciuman sama aku. Kamu pernah nenen sama aku. Kamu juga pernah aku emut itunya. Dan kamu juga pernah masukin aku." Wina sengaja membeberkan ini semua di hadapan Bangsat supaya cowok itu tahu bahwa Oji pernah tidur dengannya, pernah menjadi miliknya.
Tapi Bangsat nggak terperanguh dengan omongan Wina. Cowok itu menganggap omongan Wina angin lalu. Buat Bangsat, bodo amat kalau Oji pernah ngentot dengan Wina. Itu nggak berpengaruh buatnya karena sekarang kan Oji sukanya dientotin, bukan ngentotin. Tapi, Bangsat tetap menatap Wina dengan sorot permusuhan yang sangat kental. Saat ini, mereka berdua tengah bertarung memperebutkan Oji. Wina nggak mau melepas Oji begitu saja, dan Bangsat bakal melakukan apa saja untuk bisa membuat Oji lepas dari jerat mautnya si Wina.
Namun, Bangsat sadar semua keputusan tetap ada di tangan Oji. Anak itu yang berhak menentukan kepada siapa dia akan melabuhkan cintanya. Walaupun Bangsat yakin Oji pasti bakal memilihnya, tapi dia tetap nggak terima kalau Wina masih berusaha dengan keras menjaganya supaya nggak lepas dari cengkeramannya. Karena Bangsat tahu Wina itu perempuan yang suka ngatur-ngatur dan maksa-maksa. Dan Bangsat benci melihat cewek itu yang nggak menghapus noda maskara di pipinya.
"Kamu pasti dihasut kan, Ji? Aku tahu kamu itu masih labil, kamu masih kayak anak kecil yang nggak bisa nentuin pilihan dengan bener. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini, Ji. Kamu udah diseret terlalu jauh sama Kakak ini!" Wina menunjuk Bangsat, tapi matanya ogah menatap ke cowok berotot itu.
Bangsat mengernyit dan dia ingin sekali menepis tangan Wina yang menunjuk ke arahnya. Apaan-apan cewek itu pakek nyalahin Bangsat segala? Memangnya dia tahu apa tentang kisah cinta mereka?
"Kamu pernah bilang kalo kamu nggak mungkin ninggalin aku, Ji. Kamu pernah bilang selamanya kamu bakal nemenin aku, ada di samping aku. Tapi kenapa kamu tega ninggalin aku dan ngebiarin diri kamu sendiri terjerumus ke dunia yang kayak gini?" Wina masih berusaha mencari celah supaya dia bisa menyadarkan Oji yang kayaknya kesurupan setan homo. Entah setan homo itu ada apa nggak, tapi yang jelas Wina yakin Oji pasti kena hasut.
"Win," Oji mulai angkat bicara, mulai gerah karena ocehan Wina yang nggak kunjung ada habisnya. "Sebenarnya aku mau jujur sama kamu kalau selama tiga bulan belakangan aku udah mulai nggak nyaman sama kamu."
Eskpresi Wina terlihat seperti seseorang yang menelan lidahnya sendiri. Kaget. Wajahnya pucat pasi. "Apa maksudnya itu, Ji?" Tangisan Wina pecah lagi, air matanya banjir lagi, sungai maskara di pipinya membentuk cabang baru yang sekarang terlihat seperti akar pohon.
"Maksudnya aku udah nggak bisa sayang sama kamu lagi, Win." Oji mantap mengatakan ini. Kalau ada waktu yang tepat untuk mengatakan segala macam perasaannya kepada Wina, sekaranglah saatnya. Biar Wina merasakan sekaligus pedihnya. Bukannya Oji ingin bersikap kejam atau balas dendam, tapi memang sudah sepantasnya Wina tahu segalanya.
"Apa salahku ke kamu, Ji?" Drama Wina dimulai.
"Kamu terlalu suka maksa. Kamu terlalu protektif. Cemburuan. Curigaan. Bikin aku risih. Aku nggak suka dengan sikap kamu—"
"Aku bisa ubah sikap aku itu," Wina memotong diiringi dengan isakan tangis.
"Semua udah terlambat, Win. Aku udah nggak bisa lagi sayang sama kamu. Sekarang, aku sayangnya cuma sama Bangsat." Oji mencari-cari tangan Bangsat yang lagi enak ngegarukin pantatnya yang gatel. Begitu berhasil mendapatkannya, dia genggam tangan cowok itu dengan kuat. Meremasnya di depan Wina, menunjukkan dengan jelas kepada ceweknya itu bahwa dia bahagia bersama Bangsat, dia menginginkan Bangsat.
Wina menatap Bangsat dengan jijik dan marah. "Emang dasar bangsat!" umpatnya, geram.
Bangsat cuma mengangkat bahu, menang. "Memang itu nama gue, kan? Bangsat. Silakan aja umpat gue sesuka hati lo. Yang jelas, Oji lebih milih gue daripada milih lo."
Itu adalah kata-kata penuh kebencian pertama yang diucapkan Bangsat kepada Wina. Bangsat memang nggak pernah ngomong dengan Wina, kecuali waktu di kampung saat Wina mau nyuapin Oji makan tapi dilarang olehnya. Sekarang, bicara dengan Wina membuat kepala Bangsat mendidih oleh kemarahan. Dia awalnya memang sudah nggak suka dengan cewek lebay dan ribet macam si Wina itu, ditambah dengan drama yang terjadi sekarang membuatnya jadi tambah nggak suka dengannya.
Wina berdiri dari duduknya. Maskaranya sudah membentuk sepuluh cabang di pipi. "Oke kalo kamu emang lebih milih cowok bangsat ini daripada aku!" Wina membentak sambil menunjuk-nunjuk ke Bangsat. "Mulai sekarang, aku mau kita putus! Aku nggak mau pacaran sama kamu yang homo!"
Entah kenapa, Oji malah merasa lega. "Aku terima keputusan kamu, Win. Aku bahkan ngerasa bebas kalo kamu memang mutusin aku dari sekarang."
Mulut Wina menganga, kaget dengan respons Oji yang santai. "Kamu jahat sama aku, Ji! Huhuhu." Wina mulai terpuruk, dan dramanya mulai menjengkelkan hati Bangsat.
"Aku bukannya jahat, Win. Aku cuma jujur. Aku nggak mau kita menjalin hubungan yang udah nggak sehat ini. Aku nggak mau kamu semakin terluka karena aku sering bohong di belakang kamu. Intinya, aku nggak mau nyakitin kamu lebih parah lagi. Mulai sekarang, kita urus jalan hidup kita masing-masing."
Wina yang pada dasarnya memang ratu drama langsung jatuh ke lantai, menangis di situ kayak orang yang nggak punya semangat hidup lagi. Sambil memegangi dadanya dengan kuat seolah-olah ada pedang yang menancap di sana, Wina mendongak menatap mata Oji. "Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Ji!" ucapnya, mengeluarkan jurus terakhir.
Bangsat mengulurkan tangan, berniat membantu Wina bangkit dari lantai. Dia geli melihat cewek itu baringan di lantai udah kayak suster ngesot aja. Masih cantikan juga suster ngesot daripada Wina yang mukanya penuh noda maskara itu. Tapi cewek itu menepis tangan Bangsat dengan kasar, lalu melotot galak kepadanya. "Jangan sentuh gue!" salaknya. "Gue maunya ditolongin Oji!"
Ew. Mau nggak mau Oji mengulurkan tangannya ke Wina, dan cewek itu menerima uluran tangan Oji seolah-olah tangan itu adalah malaikat penolongnya. Setelah Wina bisa berdiri, cewek itu berkata dengan sesegukan, "Memangnya apa yang spesial dari cowok bangsat ini daripada aku, Ji? Aku punya buah dada, aku punya tubuh yang seksi, aku punya bibir yang imut, tapi kenapa kamu malah pilih cowok bangsat ini yang item, dekil, tapi emang ganteng sih."
Oji nggak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan Wina karena jawaban itu sudah ada di luar kepalanya. "Karena cowok bangsat ini satu-satunya yang nggak pernah meragukanku."
Wina yang bodoh dan cengeng gagal nyambung dengan perkataan Oji.
Melihat kebingungan di wajah Wina membuat Oji harus menjelaskan. "Bangsat ini satu-satunya orang yang nggak pernah menganggap aku kayak anak kecil, satu-satunya orang yang bisa mengerti aku luar dan dalam, satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa bebas tapi juga aman dan nyaman. Bangsat juga satu-satunya orang yang ngasih tahu aku tentang apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Pokoknya, dengan sikapnya yang sederhana Bangsat selalu bisa menunjukkan kasih sayang dan cintanya kepadaku dengan ketulusan yang nggak dibuat-buat."
Sementara Wina masih nggak nyambung dengan apa yang diomongin Oji, Bangsat justru terkagum-kagum karena ternyata perannya sangat penting di hati anak itu. Bangsat kepingin banget meluk Oji, tapi Wina yang matanya bagaikan elang itu bisa kapan saja menerkam mereka berdua kalau dia nekat melakukannya.
Wina akhirnya menghapus noda maskara di pipinya, dan sapuannya malah membuat noda maskara itu lebih lebar memenuhi seluruh pipinya yang putih.
"Kalo emang itu pilihan kamu, ya apa boleh buat, Ji?"
Oji dan Bangsat kaget mendengar nada menyerah dalam suara Wina, seakan-akan cewek itu mengangkat bendera putih yang menandakan kekalahannya.
"Percuma juga aku nangis-nangis tapi kamunya masih tetep pengen sama cowok bangsat ini." Wina menunjuk Bangsat dengan jari tengah. Ngasih fuck.
"Lah, yang nyuruh lo nangis-nangis emangnya siapa?" Bangsat nggak tahan untuk nggak ngomong ini. Dia gemas dan kepingin banget tenggelamin Wina ke kolam renang Unila yang dalemnya 5 meter tempat dia pernah nyaris tenggelam di sana.
Wina nggak menggubris Bangsat. Cewek itu meraih tasnya dengan gaya sok anggun, kemudian mengelap lagi pipinya sehingga wajahnya tambah cemongan, udah kayak tentara yang siap pergi berperang. "Kalo kamu bahagia sama cowok bangsat ini, aku cuma bisa berharap semoga kamu nggak nyesel karena udah mencampakkan aku dengan cara yang sehina ini."
Bangsat putar bola mata. Yang membuat dirinya hina kan dia sendiri, tapi kenapa malah nyalahin Oji? Kan nggak ada yang nyuruh dia terpuruk di lantai dengan wajah penuh air mata hitam mengerikan itu. Bangsat akhirnya cuma bisa geleng-geleng kepala. Anak SMA zaman now sikapnya ajaib-ajaib.
"Jadi kamu nggak apa-apa aku pacaran sama Bangsat?" tanya Oji.
Wina menggeleng. "Aku tetep benci sama kamu karena udah ninggalin aku gitu aja demi seorang cowok yang suka ngupil sembarangan." Wina mendelik jengkel ke Bangsat. "Mungkin, kalo cowok yang kamu pilih sikapnya lebih sopan sedikit, aku pasti nggak akan membenci kamu. Selera kamu itu buruk, Ji. Kenapa harus cowok bangsat ini, sih? Yang lebih sopan kan banyak."
"Tapi nggak ada yang lebih gede daripada Bangsat," celetuk Oji, nyengir.
Wina mengusap pipinya lagi, wajahnya sekarang berubah jadi mirip Mak Lampir. Air matanya sudah mengering. Tiba-tiba saja ratu drama berubah jadi Ratu Penguasa Gunung Merapi. "Aku masih benci sama kalian berdua. Tapi, aku juga nggak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah kalian, karena aku juga sadar sebenarnya kamu udah lama nggak nyaman sama aku, kan? Dan daripada makin dipaksakan kamu makin terluka, memang mungkin lebih baik aku terima semuanya dengan lapang dada kalau kamu memang nggak akan pernah bisa cinta sama aku."
Mendadak jadi serius. "Win, soal sumpah yang pernah aku bilang ke kamu ..."
"Oh itu? Itu bukan sumpah di depan penghulu, kan? Jadi kamu nggak perlu pusing mikirin itu, Ji. Santai aja. Aku memang sedih karena nggak punya orangtua, tapi aku masih punya nenek yang sayang sama aku. Dan kalo kamu lupa, aku ini cantik imut dan menggemaskan. Kalau aku mau, aku bisa dapetin cowok yang lebih baik dari kamu, kok."
Cantik dari Hong Kong, ejek Bangsat sambil memandangi wajah Wina yang dipenuhi noda hitam maskara.
Seperti simpul mati yang dibuka ikatannya, hati Oji terasa lega. Wina benar. Walaupun omongannya agak nyebelin, tapi Wina benar. Dia cantik dan menggemaskan, pasti banyak lelaki lain yang masih mau sama dia? Dan Oji pernah mendengar kalau Wina ini sebenarnya jadi primadona di sekolahnya.
"Kamu nggak akan bilang-bilang ke orang lain kan kalo aku pacaran sama Bangsat?" tanya Oji, cemas.
Wina menggeleng. "Nggak akan. Lagian apa untungnya? Aku bahkan sekarang lagi pertimbangin untuk gabung sama Dayena dan temen-temennya yang suka sama homo itu," katanya. "Kamu tahu nggak Dayena itu punya perkumpulan cewek-cewek yang suka ngelihatin cowok-cowok homo ciuman dan pegangan tangan? Nah, aku mau gabung ke situ, ah. Kayaknya seru. Siapa tahu kalo nanti aku punya pacar yang homo kayak kamu, aku bisa lebih mudah menghadapinya."
"Oh, ya? Perkumpulan apa itu namanya?" tanya Oji.
"Perkumpulan Fujoshi gitu namanya. Kamu tahu nggak?"
"Nggak. Itu perkumpulan apa, sih? Seru banget emangnya?"
"Ya gitu, deh. Aku juga baru tahu dua minggu yang lalu pas Dayena ngenalin ke aku ke temen-temennya yang aneh-aneh itu. Aku sampe heran, masa sih ada cewek yang suka ngelihat cowok sama cowok ciuman? Kan nggak banget, ya? Apalagi si Adinda itu, dia menel banget deh orangnya. Kamu kenal sama Adinda, kan?"
"Kenal banget, ih! Dia itu emang gatel, tahu. Semua cowok di sekolah pasti selalu digodain sama dia. Bikin ilfeel deh lihatnya!" Tanpa sadar Oji menggigiti kukunya.
"Kan bener tebakan aku! Sekali lihat aja aku langsung tahu kalo Adinda itu pasti cewek gatel. Mungkin dia nggak ada yang garukin kali ya makanya jadi gatel kayak gitu?" Wina tertawa dengan gaya centilnya.
Oji ikutan ketawa. Agak centil. "Ya ampun, kasihan ya si Adinda. Untung kita nggak kayak dia, ya. Hiiii, amit-amit deh kalo kita juga gatel kayak dia itu."
Akhirnya, dua orang yang tadinya pacaran itu tertawa centil bersama kayak ibu-ibu tukang gosip yang suka ngomongin orang sambil beli sayur dari tukang sayur keliling. Dan yang jadi tukang sayurnya adalah Bangsat, yang cuma bisa melongo bingung melihat Oji dan Wina yang malah jadi akrab kayak perempuan-perempuan sosialita.
Setelah puas ngomongin Adinda, Oji dan Wina akhirnya sadar kalau mereka baru saja kesurupan ibu-ibu kompleks. Awalnya Oji kebingungan, kok dia malah ngegosip bareng si Wina? Tapi, beberapa saat kemudian Wina ketawa, dan Oji pun ikutan tertawa. Tapi, kali ini tawa mereka nggak centil.
"Ih ternyata bener ya apa kata Dayena, cowok homo itu emang paling enak diajak ngomongin orang!" Wina melompat-lompat kecil, girang. "Ih aku mau ikut perkumpulan mereka, ah. Jadi fujoshi. Biar aku nemu cowok homo kayak kamu yang bisa diajakin ngegosip."
Oji cuma bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala. Dia juga tadi ngerasa bebas banget pas ngomongin si Adinda. Selama ini Oji memang selalu menyimpan kekesalannya pada Adinda dalam hati, dan begitu tahu ternyata Wina juga nggak suka Adinda, kekesalannya itu tersalurkan lewat omongan centilnya barusan. Yang masih membuat Oji bingung adalah, kenapa tadi dia centil banget kayak perempuan?
"Ya ampun, aku harus buru-buru pulang dan nelepon Dayena. Besok aku mau mulai ritual jadi seorang Fujoshi."
"Memang ada ritualnya?" tanya Oji.
Wina mengangguk. "Dayena bilang kalo mau jadi Fujoshi syaratnya aku harus nonton film homo dan baca komik-komik homo."
Oji terkikik geli. "Kalo gitu, oke deh. Aku dukung kamu, Wina."
Tanpa diduga-duga, Wina memeluk Oji. Pelukannya bukan jenis pelukan seorang pacar, tapi pelukan seorang sister. "Aku seneng karena hubungan kita tetep baik setelah putus, Ji. Dan sebentar lagi aku bakal jadi Fujoshi, jadi kita bakal tetap jadi sahabat, kan?"
Oji mengangguk. Semua yang terjadi di sini benar-benar membuatnya bingung, tapi juga membuatnya lega karena dia bisa tetap berteman dengan Wina walaupun mereka sudah putus.
"Kalo gitu aku pergi dulu, ya. Sampein salamku untuk Kak Ratu." Wina menjinjing tasnya, kemudian melangkah pergi keluar rumah Oji tanpa melihat ke Bangsat. Cewek itu jelas masih benci sama Bangsat.
Setelah Wina menghilang, Bangsat mendekati Oji. "Apa itu tadi?" tanyanya, geli. "Kamu centil banget kayak perempuan."
Oji terkikik geli. "Nggak tahu. Tiba-tiba aja pas Wina ngomongin Adinda, semua unek-unek yang aku pendam selama ini keluar gitu aja."
Bangsat nggak mau menanyakan lebih lanjut, jadi dia mengubah topik pembicaraan. "Jadi, urusan sama Wina beres?"
Oji mengangguk. "Bisa dibilang begitu."
"Aku agak aneh dengan semua ini," kata Bangsat, geleng-geleng kepala. "Mulai dari Ratu yang kita pikir bakal membenci kita habis-habisan, tapi ternyata dia malah mendukung kita. Dan Wina, yang awalnya kayak benci banget kamu jadi homo, tiba-tiba berubah haluan jadi suka sama kehomoan kamu."
"Entahlah, Bang. Wina berubah kayak gitu karena katanya cowok-cowok homo enak diajak ngegosip. Aku juga heran, selama ini aku nggak suka ngomongin orang, tapi pas Wina mulai ngomongin Adinda aku ngerasa kayak mulutku jalan sendiri."
Bangsat ketawa. "Yah, mungkin itulah yang disebut hubungan antara homo dan Fujembutshi."
"Fujoshi, Bang!" Oji memarahinya.
Bangsat ketawa lagi, lalu dia memeluk Oji erat-erat sambil mencium puncak kepalanya. Ciuman Bangsat turun ke kening Oji, lalu ke kedua matanya, kemudian ke hidungnya yang pesek. Dan, bibir Bangsat baru mau mendarat di bibir Oji ketika tiba-tiba Wina masuk lagi ke dalam rumah.
"Uups," ucap cewek itu ketika dia melihat Bangsat yang hampir menerkam bibir Oji. "Maaf."
Bangsat mengerang, lalu melayangkan tatapan galak ke Wina. "Mau ngapain lagi, sih?" bentaknya.
Wina nggak acuh dengan Bangsat. Cewek itu masuk ke rumah, kemudian menunduk di bawah kursi tempat Bangsat duduk tadi, dan menarik Tupperware dari dalam kolong. "Gue mau ngambil ini!" bentaknya.
"Sana, pergi!" usir Bangsat.
Wina menjulurkan lidahnya, sebal. "Harusnya tadi brownies ini gua kasih sianida biar lo mati sekalian!" Sebelum pergi meninggalkan ruang tamu, Wina menatap ke Oji sambil tersenyum dan berkata, "Dah, Oji. Tunggu sampe saku jadi Fujoshi, ya. Abis itu kita ngomongin si Adinda busuk itu lagi."
Oji ketawa, lalu mengangguk. "Oke, Win."
Setelah Wina pergi, ketawa Oji jadi lebih lebar karena geli membayangkan hubungannya dengan Wina yang tadinya pacaran sekarang berubah jadi hubungan "seorang Fujoshi dan seorang homo". Author memang selalu punya kejutan yang luar biasa.
Bangsat kembali memeluk Oji, kali ini bersumpah siapa pun yang mengganggu ciumannya dengan Oji bakal langsung dia tinju sampai babak belur. "Aku kesel karena ciumanku dengan kamu selalu diganggu orang-orang."
"Mau pindah ke kamar?" Oji menawarkan, pipinya memerah karena malu.
Bangsat menggeleng. "Aku mau cium kamu di sini." Lalu, tanpa mendengar persetujuan Oji, Bangsat langsung menerkam bibir anak itu yang manis. Ciuman mereka dipenuhi ledakan cinta yang sama kuatnya dengan ciuman-ciuman yang sebelumnya. Semenit kemudian, kedua bibir itu melepaskan diri, dan mereka hanya saling menatap mata satu sama lain yang memancarkan sinar cinta.
"Jadi, semua urusan kita selesai? Kita udah bisa bahagia kan sekarang? Nggak ada orang lain yang akan ganggu kita, kan? Kita udah nyingkirin semua pengganggunya, kan?" tanya Bangsat.
Oji tersenyum misterius. "Belum semuanya, Bang. Masih ada dua orang lagi yang harus kita kasih tahu tentang hubungan kita."
Bangsat mengerutkan kening. "Siapa?"
Oji nggak menjawab. Anak itu cuma memasang senyum misterius, kemudian dengan nafsu yang mulai membakar pikirannya, dia menarik Bangsat masuk ke kamarnya, mengunci pintu rapat-rapat, mendorong cowok berotot itu ke atas kasur ...
... maka dimulailah adu pedang yang sengit dan ganas itu.
Bandar Lampung, Kamis 19 Januari 2017
Diedit 31 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top