Pulang Kampung
Minta izin ke orangtua Oji ternyata nggak semenakutkan yang dikira Bangsat. Ayah Oji langsung setuju gitu aja tanpa syarat harus ngapa-ngapain, dan ini membuat Bangsat girangnya bukan main.
Justru, yang paling sulit dilewati adalah ketika Bangsat harus berhadapan dengan Ratu.
Pacarnya itu mengerutkan kening heran ketika mendengar Bangsat ngajak Oji ke kampungnya. "Kok Oji doang yang diajak? Aku nggak?"
Bangsat menelan ludah banyak-banyak sebelum menjawab, "Kamu kan cewek, Yang, nggak boleh pergi jauh-jauh, nanti kesambet setan."
"Setan, setan, palamu peyang!" Ratu ngedumel sambil memukul kepala Bangsat. "Kamu tuh jahat, ya! Pacar sendiri nggak pernah dikenalin ke orangtua kamu, tapi orang lain—"
"Oji kan bukan orang lain, Yang," Bangsat memotong, membela diri. "Dia adik kamu."
"Tapi kenapa dia yang diajak dan bukannya aku? Aku juga kan pingin dikenalin sama orangtua kamu, Sat!" Muka Ratu yang imut berubah jadi Ida Pasha versi Mak Lampir ketika marah. Matanya melotot kayak seolah-olah mau meloncat keluar. Serem.
"Emangnya kamu mau nginep di rumah aku?"
"Ya mau, lah!"
"Rumah aku di kampung jelek, lhooo. Kamar mandinya nggak ada, kalau mau mandi harus di kali. Nggak ada WC juga, kalau mau boker harus ke jamban yang jaraknya dua ratus meter di belakang rumah. Yakin kamu mau?"
Ratu diam sambil memonyongkan bibir, jengkel. Dia marah bukan karena Bangsat ngajak Oji, tapi karena Bangsat nggak bilang mau ngajak Oji, seolah-olah mereka berdua nggak mau Ratu tahu tentang kepergian mereka.
"Pokoknya aku masih marah sama kamu!" Ratu mendudukkan dirinya di sofa.
Tepat saat itu Oji keluar dari kamar dengan membawa koper berukuran besar. Bangsat mengerutkan kening, heran bercampur kaget melihat koper yang dibawa Oji.
"Mau ke mana, Ji?" tanyanya.
"Lah, kan kita mau pulang kampung, Bang?" Oji balas mengerutkan kening, sama herannya.
Bangsat menepuk jidat sambil geleng-geleng kepala. "Pulang kampung sih pulang kampung, tapi nggak harus bawa koper gitu juga kaliii!"
Oji garuk-garuk kepala, bingung. Kalau orang pulang kampung bawaannya koper, kan? Kayak yang sering dia lihat di berita di tivi-tivi itu, setiap mau lebaran orang-orang yang pulang kampung pasti selalu bawa koper. "Ya emang kenapa nggak boleh bawa koper?"
Bangsat mendekati Oji, mengacak-acak rambut anak itu dengan sayang sambil tersenyum sok manis. "Kampung gue nggak jauh, Ji—cuma dua setengah jam dari sini. Nggak usahlah bawa-bawa koper segala. Gue aja nggak bawa apa-apa, cuma bawa tas gitar itu doang tuh." Bangsat menunjuk tas gitarnya yang ada di sebelah Ratu.
Oji melihat ke tas gitar Bangsat, kemudian melihat Kak Ratu yang pasang muka jutek di sofa. "Bang, Kak Ratu ..."
Bangsat mengangguk. "Dia ngebolehin kita pergi, kok. Tenang aja, kita langsung berangkat."
Oji merasa bersalah dengan kakaknya, tapi dia juga nggak mau membatalkan niatnya pergi bersama Bangsat. Ini pengalaman pertamanya pulang kampung dan pergi jauh dari rumah—jadi dia nggak mau melewatkan kesempatan emas ini. "Oke. Gue bongkar koper dulu."
"Bawa barang-barang seperlunya aja." Bangsat berpesan sebelum Oji menghilang di balik pintu kamarnya yang tertutup.
Kembali ke Ratu, Bangsat duduk di sebelah cewek itu dengan hati yang berbunga-bunga karena bakal berduaan dengan Oji di kampung halamannya. Dia bakal ngajak Oji jalan-jalan ke tempat-tempat bagus di kampungnya. Dia bakal ngajak Oji ke Pantai Muara, menyaksikan keindahan air sungai yang bertemu dengan air laut. Dia juga bakal ngajak Oji ke sawah, menanam padi, mencari belut, main lumpur, menikmati keindahan sore hari di pantai. Dan yang terpenting, dia ingin mengenalkan Oji dengan suasana kampung yang asri, sejuk, dan jauh dari hiruk pikuk suasana kota yang membosankan.
"Jangan lupa oleh-oleh," kata Ratu, cemberut.
"Iya, Sayang. Kamu mau aku bawain apa? Jengkol? Pete? Atau ... belut? Nanti aku yang cariin belutnya untuk kamu."
"Ih!" Ratu berdecak sebal. "Oleh-olehnya tuh beliin sepatu kek, baju kek, atau tas! Yang romantis dikit ngapa, sih?!"
Bangsat menahan diri supaya nggak ngakak. Pacarnya ini kadang kalau lagi marah justru malah kelihatan lucu. "Sayang, aku ini pulang kampung lhooo, bukannya lagi liburan."
Eskpresi Ratu yang tadi jengkel dan merengut tiba-tiba berubah jadi sedih. "Aku masih sedih karena kamu nggak ngajak aku." Matanya mulai berkaca-kaca, mau nangis.
Bangsat paling nggak tega melihat perempuan nangis, jadi dia menggenggam tangan Ratu dan mengucapkan: "Tenang aja, nanti ada saatnya aku ngajak kamu ke kampung dan ngenalin kamu ke semuuuua orang yang ada di sana."
"Dikenalinnya kayak mana?" Ratu tersenyum. Air matanya nggak jadi menetes.
"Aku bakal bilang ke seluruh kampung kalo kamu adalah pacar aku yang paling tersayang, yang paling cantik, yang paling ngegemesiiiin." Bangsat mencubit kedua pipi Ratu yang merah sambil ketawa kecil. "Lihat? Sekarang aja aku gemes sama pipi kamu."
Ratu nggak jadi menangis, sekarang dia malah ketawa. Punya pacar kayak Bangsat yang sering membuatnya bete, tapi juga pintar membuatnya tersenyum, rasanya sangat membahagiakan. "Janji ya kamu bakal ngenalin aku ke seluruh warga kampung?"
Bangsat mengangguk, tersenyum. "Janji." Dia memeluk Ratu, lembut. "Tapi sekarang aku sama Oji dulu, ya. Boleh, kan?"
Ratu mengangguk di dalam pelukan Bangsat. Kedua tangan cewek itu melingkar di leher Bangsat. "Jagain Oji, ya? Jangan sampe ada yang nakalin dia di sana."
Bangsat balas mengangguk sambil mengusap-usap pungggung Ratu. "Ya, Sayang. Aku pasti bakal jagain dia."
"Aku sayang kamu, Sat." Ratu menyurukkan hidungnya ke leher Bangsat, mengendus aroma tajam parfum Bangsat yang enak.
"Aku juga sayang kamu," balas Bangsat, bimbang.
Tepat ketika Bangsat bilang sayang ke Ratu, Oji keluar dari kamar. Dia mendengar dengan jelas cowok itu mengucapkan sayang ke Kak Ratu sambil memeluknya—pelukan mereka terkesan sangat intim dan erat, membuat Oji iri, sakit, marah, tapi juga buat apa? Bangsat kan memang pacarnya Kak Ratu, jadi dia nggak punya hak untuk iri ataupun marah ke mereka.
Tapi hati Oji beneran sakit melihat pelukan itu. Apalagi Bangsat sampai bilang sayang ke Kak Ratu, padahal tadi siang Bangsat juga bilang sayang ke Oji di WA. Mungkin keputusan Oji yang nggak langsung menerima Bangsat sebagai pacarnya adalah pilihan yang benar, karena kalau mereka pacaran, rasanya pasti dua kali lebih menyakitkan daripada yang sekarang—yang sekarang saja sakitnya minta ampun.
"Bang ..." Oji sebenarnya nggak mau ganggu momen intim mereka, tapi dia harus melakukannya. Makin dibiarkan hatinya makin terasa sakit.
Bangsat kaget mendengar suara Oji, jadi dia buru-buru melepas pelukannya. Ketika menatap Oji, Bangsat langsung tahu bahwa Oji pasti melihat pelukannya dengan Ratu. Sebab, ekspresi terluka dan sakit hati itu terlihat sangat kentara di wajah Oji yang manis.
"Ji ..." Bangsat balas menyebut nama Oji, dan hatinya dibanjiri perasaan yang nggak enak banget rasanya. Rasa bersalah.
"Kita langsung berangkat kan, Bang? Udah nggak sabar, nih." Oji tersenyum dipaksakan. Dia harus terlihat baik-baik saja di hadapan kedua orang yang disayanginya.
Bangsat mengambil tas gitarnya, kemudian mendekati Oji. Dari dekat, mata Oji seolah-olah merefleksikan perih yang dialaminya. Mata itu bergetar. Sakit. "Ji ..." Bangsat cuma bisa menyebut namanya. Dia ingin sekali memeluk Oji dan menghapus rasa sakit itu, tapi nggak bisa. Ratu masih menyaksikan mereka. Ratu masih ada di tengah-tengah mereka.
"Kalian mau pergi jam berapa, sih? Kok dari tadi berdiri bengong kayak orang bego di situ?" Ratu menginterupsi, jengkel karena adik dan pacarnya malah saling menatap kayak orang yang nggak ketemu bertahun-tahun.
"Yuk, Ji ..." Bangsat berusaha meraih tangan Oji, ingin menyentuhnya.
Tapi, Oji menggubrisnya. Dia menyingkirkan tangannya jauh-jauh supaya Bangsat nggak bisa memegangnya. "Kuy, Bang. Langsung aja." Memegang tali ranselnya dengan kuat, Oji melangkah ke luar rumah.
"Hati-hati di jalan ya, Ji. Jangan lupa oleh-oleh!" Ratu berteriak ketika adiknya menghilang di balik pintu depan. "Sana, Sat. Susul Oji."
Bangsat mengangguk, dengan langkah cepat dia keluar rumah dan menyusul Oji yang berdiri di sebelah motor tuanya. Anak itu buang muka dari Bangsat, seolah-olah muak melihatnya.
"Ji ..." Bangsat menyebut namanya untuk yang ketiga kali, tapi nggak ada satu pun kalimat yang bisa keluar dari mulutnya.
"Ayo berangkat, Bang." Oji tersenyum, tapi nggak tulus. Bangsat tahu senyum itu palsu. Di dalam hatinya, Oji pasti terluka. Matanya nggak bisa membohongi Bangsat.
"Maaf ya, Ji."
"Buat apa, Bang? Lo nggak salah, kok."
"Jangan pura-pura deh. Gue tahu apa yang lo—"
"Kita jadi pergi apa nggak? Kalo nggak, gue masuk lagi nih ke rumah." Senyum Oji menghilang, digantikan dengan kejengkelan. "Gue bilang kan lo nggak salah, jadi buat apa minta maaf? Langsung aja kita pergi dari sini!"
Bangsat menurut. Tentang apa yang dirasakan Oji bisa ditanya nanti ketika mereka sudah sampai di kampung. Masih ada banyak waktu untuk Bangsat minta maaf ke Oji. "Ayo naik, Ji."
Setelah pakai helm, Oji naik ke boncengan Bangsat. Karena masih marah, Oji duduk di jok paling ujung, nggak mau dekat-dekat sama Bangsat, takut kesentuh.
"Ji, pegangan." Bangsat memerintah, suaranya terdengar nggak jelas dari balik helm yang kacanya ditutup.
"Nggak mau." Oji melipat tangan di depan dada, memundurkan tubuhnya hingga duduk lebih ke ujung.
"Ya udah kalo emang nggak mau." Jail, Bangsat langsung putar gas motornya dengan kecepatan penuh, yang membuat Oji memekik karena dia nyaris terjungkal.
"Anjing! Gue hampir jatoh, Bego!" Oji memukul helm Bangsat, kesal. Mau nggak mau akhirnya dia duduknya majuan dekat ke cowok itu.
"Kalo nggak digas gitu lo pasti nggak mau maju." Bangsat ketawa dari balik kaca helm. Laju motornya sudah nggak sekebut tadi. "Sekarang majuan, Ji. Nanti jatoh lhooo."
"Bangkek! Modus aja lo, Taik! Bilang aja lo pengen gue peluk!"
"Emang!" Bangsat teriak senang. "Gue ini kalo bawa motor ngebut, jadi sebaiknya lo peluk gue biar nggak jatoh."
"Gue meluk lo juga nggak jamin gue nggak bakal jatoh!"
"Tapi paling nggak, dengan pelukan kita berdua jatohnya bakal barengan."
Oji memukul punggung Bangsat. Dia gemas karena Bangsat sempat-sempatnya gombal walaupun lagi bawa motor. "Dah, lo fokus aja ke depan, nggak usah sok-sok gombalin gue."
"Gue bakal berhenti gombalin lo kalo lo meluk gue."
Oji nggak punya pilihan. Bangsat kayaknya serius bakal bawa motor kebut-kebutan, jadi daripada jatuh terguling dari motor, mending cari aman aja. Dia lingkarkan kedua lengannya ke pinggang Bangsat, memeluk cowok itu di atas motor. "Udah, kan? Udah gue peluk."
"Nah kan kayak gini enak." Bangsat nyengir dari balik helm. "Bakal lebih enak lagi kalo tangan lo elus-elus selangkangan gue—"
PLAK!!!
Oji menampar helm Bangsat sampai cowok berotot itu hilang fokus, dan motor yang dikendarainya hampir saja nabrak trotoar.
"Anak setan lo, ya! Udah gue peluk malah minta lebih! Dasar cowok mesum!"
Bangsat nggak ngomong apa-apa lagi setelahnya karena kepalanya pusing gara-gara ditampar tadi. Dia fokus ke depan, putar gas nyaris sampai full, dan motornya melaju kencang di sepanjang jalan menuju kampung halamannya di daerah Marga Punduh, Pesawaran.
Marga Punduh adalah nama sebuah kecamatan di kabupaten Pesawaran, Lampung. Seperti yang sudah dijelaskan Bangsat, jaraknya kurang-lebih dua setengah jam ditempuh pakai motor dari pusat kota Bandar Lampung. Geografis daerah Marga Punduh terletak di pesisir selatan pulau Sumatera, dekat dengan teluk Semangka, berbatasan dengan kabupaten Tanggamus. Karena letaknya yang di pesisir, jadi kampung Bangsat berhadapan langsung dengan lautan selat Sunda. Wisata laut dan vegetasi alam yang masih terjaga membuat daerah tempat tinggal Bangsat terkenal karena keindahan alam wisatanya. Itu sebabnya kenapa Bangsat kegirangan bisa ngajak Oji ikut ke kampung, karena dia ingin menghabiskan waktu berduaan dengan anak itu di tempat-tempat bagus.
Sementara fokus Bangsat bawa motor, Oji justru terpukau dengan semua keindahan alam yang dilihatnya di sepanjang perjalanan. Karena mereka melewati daerah pesisir, jadi di sebelah kiri mereka terhampar air laut berwarna hijau kebiru-biruan yang tampak berkilauan disiram cahaya matahari sore yang mulai condong ke arah barat. Di sebelah kanan mereka menghampar bukit-bukit dan tebing-tebing yang ditumbuhi vegetasi alam yang warna hijaunya begitu cerah dan menyejukkan mata. Bangsat bawa motor nggak terlalu ngebut, juga nggak terlalu lambat, jadi Oji bisa dengan khidmat memandangi semua keindahan yang disuguhkan oleh alam untuk matanya.
Buat Oji, semua keindahan yang dilihatnya adalah sesuatu yang baru karena selama ini dia nggak pernah pergi ke mana-mana. Selalu di rumah. Selalu di kamar. Nonton tivi. Main game. Internetan. Baca komik. Nonton bokep. Ngocok. Udah, gitu aja. Hidupnya monoton, seolah-olah nggak ada warna karena hampir setiap hari terkurung di kamarnya yang berukuran 5 x 5 meter. Alasannya, karena orangtua. Karena Bunda dan Ayah terlalu menyayanginya sehingga mereka nggak mau Oji kenapa-kenapa. Bunda paling nggak suka Oji main jauh-jauh. Ayah paling nggak suka kalau Oji main ke tempat-tempat yang nggak jelas. Padahal, apa yang nggak jelas buat Ayah adalah yang terbaik buat Oji.
Jadi sambil memeluk Bangsat di atas motor, Oji memejamkan mata. Dia ingin menikmati sensasi angin kencang yang membelai tubuhnya. Menikmati aroma laut yang asin di hidungnya. Menikmati otot perut Bangsat yang keras tapi agak sedikit kenyal-kenyal dalam balutan jaketnya. Menikmati suara mesin motor yang kayak kakek-kakek penyakitan. Pengalaman pertama jalan-jalan keluar kota ini bakal selalu dikenang Oji sebagai pengalaman terindah dalam hidupnya.
Bangsat, makasih karena udah ngasih pengalaman yang begitu berharga ... Oji menyandarkan kepalanya di punggung Bangsat sambil mengeratkan pelukannya.
***
Satu jam setengah ternyata waktu yang nggak sebentar—mereka sampai satu jam lebih cept karena Bangsat bawa motornya kayak orang kesurupan tukang begal. Begitu sampai di desa Kekatang—nama desa tempat Bangsat tinggal—Oji langsung mendesah lega karena akhirnya mereka sampai juga. Satu jam setengah duduk di atas motor rasanya kayak duduk di atas balok es, membuat pantatnya seolah-olah membeku. Turun dari motor, dia langsung melemaskan otot-ototnya yang kaku.
Mereka berhenti di sebuah bangunan rumah yang bagian depannya bergaya panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu. Lantai kayu, dinding kayu, pagar kayu, pilar yang menyangga atap juga terbuat dari kayu. Yang nggak kayu cuma atapnya doang, sama bagian rumah yang di belakang—tapi rumah yang ini nggak bergaya panggung. Rumah yang di belakang itu kayaknya masih nyambung dengan rumah panggung yang di depan. Yang unik dari rumah Bangsat adalah kesannya yang sangat tradisional, tapi juga modern karena di samping rumah ada parabola besar yang menancap ke tanah.
"Ini rumah kamu, Bang? Keren." Oji suka dengan rumah Bangsat, tampak asri dengan taman bunga kecil di depan rumah panggung.
Bangsat mencubit pipi Oji. Anak itu dari tadi melongo kayak baru pertama kali melihat rumah panggung. "Ciyeee yang terpana sampe bilang kamu-kamuan segala."
"Apaan, sih! Mana ada gue manggil lo kamu!"
Bangsat ketawa. Dia mengambil pizza, kemudian mengajak Oji masuk ke rumah.
Mereka nggak lewat rumah panggung, tapi lewat rumah belakang yang lantainya keramik. Pintu rumah ditutup rapat, jadi Bangsat mengetuk tiga kali.
"Assalamualaikum, Mak. Tria pulang." Sambil mengetuk dia mengucap salam. "Mak? Buka dong, Mak. Entar pizza-nya keburu dingin, Mak." Bangsat mengintip lewat jendela di sebelah pintu. Tivi menyala di dalam, tapi nggak ada yang nonton.
"Ada orang nggak, Bang?" tanya Oji.
"Entah, Ji. Mungkin Emak masih di saw—"
"Kak Tria!" Sebuah suara anak perempuan memekik dari kejauhan. Bangsat segera menoleh ke sumber suara, yang ternyata adalah Sari, adik Bangsat satu-satunya.
"Sari!" Bangsat langsung memeluk adiknya karena nyaris sebulan dia nggak ketemu dengannya. Sari seumuran dengan Oji. "Emak sama Bapak mana, Sar?"
"Emak lagi mandi di kali. Bapak lagi ngeriung di rumah Mak Ida," jawab Sari. Matanya menoleh ke Oji.
"Oh iya, kenalin ... ini Oji." Bangsat mengenalkan Oji ke adiknya, berharap semoga Sari nggak naksir Oji karena nanti urusannya bisa berabe. Bangsat nggak mau rebutan dengan adiknya sendiri.
Oji dan Sari berjabat tangan sambil tersenyum. Senyum Sari mirip banget dengan senyum Bangsat. Manis, lembut, tulus. Senyuman yang selalu Oji suka.
"Oji," katanya, menyebut nama.
"Sari."
Lepas jabat tangan, mata Sari menangkap bungkus pizza yang dibawa abangnya. "Apa itu, Bang?"
"Pizza. Emak yang minta."
"Ya udah masuk dulu Bang, biar Sari bikinin kopi." Sari membuka pintu rumah dengan kunci, dan mereka bertiga masuk ke dalam.
Ternyata benar dugaan Oji, rumah panggung itu nyambung dengan rumah yang di belakang. Ada empat anak tangga semen yang menghubungkan lantai kayu rumah panggung dengan lantai keramik rumah bawah. Di rumah panggung itu tampak kosong nggak ada apa-apa, tapi di rumah yang lantainya keramik ini rasanya lebih kayak rumah sungguhan. Ada kursi kayu beserta mejanya di dekat pintu. Dapur terletak di sebelah kanan, sementara ada sebuah pintu yang Oji yakin pasti mengarah ke kamar entah siapa. Tivi besar berada di pojok ruangan, mati.
"Kak Oji mau minum kopi atau teh?" tanya Sari, sopan.
"Teh aja, terima kasih." Oji balas bersikap sopan.
"Teh dua ya, Sar. Sama keripik singkong kalo ada. Aku kangen keripik buatan Emak," Bangsat menambahkan.
"Keripik lagi kosong, Kak. Tapi ada kerupuk, kok. Mau?"
"Keluarin semuanya, Sar. Tamu kita ini harus dilayanin dengan baik." Bangsat mengedipkan sebelah mata ke Oji, menggoda.
Oji membalasnya dengan menjulurkan lidah.
"Habis ini langsung mandi ya, Ji," kata Bangsat.
"Iya, Bang," jawab Oji. "Kita kapan pulangnya, Bang?"
"Baru juga nyampe, masa udah nanyain pulang?"
"Soalnya gue izin cuma sampe hari Selasa, Bang."
"Berarti Selasa sore kita pulang."
"Apa nggak capek, ya? Besoknya gue harus masuk sekolah."
"Ya udah Senin deh kita pulang," kata Bangsat.
"Kok Senin sih, Bang? Bentar banget dong gue liburannya?"
Bangsat gemassssssh. Dia cubit pipi Oji pakai dua tangan, yang membuat anak itu meringis kesakitan. "Jadi lo mau pulang hari apa, Jiii? Hari Selasa capek, hari Senin kecepetan."
Oji mendengus jengkel karena pipinya sering banget dicubitin Bangsat. "Terserah lo aja deh Bang mau pulang hari apa. Gue mah ngikut aja."
"Dasar anak SMA! Nggak konsisten!" Bangsat nguyel-uyel rambut Oji sampai berantakan.
Oji ingin balas mengacak rambut Bangsat, tapi nggak jadi karena Sari sudah kembali dengan membawa baki berisi dua gelas teh panas dan setoples kerupuk serta makanan yang dibungkus daun pisang.
"Itu apa, Bang?" Oji menunjuk ke makanan itu.
Bangsat mengambil satu. "Ini namanya lamang sari. Enak, lho." Dia menyerahkannya ke Oji, yang disambut dengan antusias oleh anak itu.
"Rasanya apa?"
"Stroberi."
Oji membuka bungkus daun pisang lengket itu dan menemukan sebuah makanan berwarna putih susu di dalamnya. "Stroberi kok warnanya putih, Bang?"
Bangsat ngakak. Ngegoblokin orang polos emang enak bangeeeets. "Itu berarti yang rasa susu, Ji. Makanan ini kan banyak rasa."
Bibir Oji membulat sambil angguk-angguk. Dia memang nggak tahu lamang sari karena selama ini camilan yang dia kenal cuma es krim, black forest, red velvet, dan makanan sejenis lainnya yang mengandung banyak gula. Jadi ketika dia makan lamang sari itu rasanya aneh di mulutnya. Kayak kurang gula. Dan ada pisangnya juga. "Ini rasa susu pisang, Bang," kata Oji dengan mulut penuh karena dia memasukkan lamang sari itu sekaligus ke mulutnya.
Bangsat tertawa. Gemes banget lihat Oji ngomong dengan mulut penuh kayak gitu. Dia jadi kepingin cipok bibir Oji ... "Nanti cobain rasa yang lain, ya. Yang stroberi enak, lhooo."
"Yang rasa duren nggak ada, Bang?"
Bangsat menggeleng. "Adanya Durex, Ji."
PLAK!!! Oji memukul kepala Bangsat. "Bisa nggak sih sehari aja nggak usah mesum! Jijik gue dengernya!" Oji ngoceh sampai lamang sari yang lagi dimakannya muncrat ke mana-mana, bahkan ke pipi Bangsat.
Ew. Bangsat mengelap butiran lembek lamang sari di pipinya sambil meringis kesakitan karena kepalanya dipukul. "Iya iya maaf, sih. Namanya juga udah lama nggak col—" Bangsat langsung sadar masih ada Sari di dekat mereka. "Colali lali ... ohla ohlala ..."
Krikk ... Krik ... Krikkkk ....
Oji sama Sari tukar pandang, nggak ngerti kenapa Bangsat malah nyanyi. "Abangmu udah gila, Sar," kata Oji. "Otaknya konslet."
Sari terkekeh geli. "Kak Tria dari dulu juga udah gila, kok. Waktu SMP dia pernah nyaris tenggelam di kali gara-gara ngejar sandalnya yang hanyut. Padahal dia nggak bisa berenang, tapi nekat pingin ngambil sandal jepitnya di tempat yang dalam."
Oji tertawa sambil mencomot satu lagi lamang sari dari piring. "Terus apa lagi hal bloon yang pernah dilakuin Bangsat?"
"Hm ... apa ya? Pokoknya banyak, deh. Kak Tria bahkan pernah nyaris digebukin warga sekampung gara-gara ngintipin Bu RT lagi mandi."
Tawa Oji meledak. Pantas saja otak Bangsat mesum, orang dari dulu juga udah begitu. "Nggak heran kenapa otak dia ada di selangkangan."
Bangsat gerah gara-gara adiknya membongkar semua kejelekannya. Kalau dibiarin, anak itu bakal membongkar semua hal memalukan yang pernah dilakukannya. "Udah yuk Ji, mandi! Udah sore, entar keburu malem." Bangsat berdiri dari kursi, membawa tas gitarnya, dan masuk ke dalam kamar yang ada di rumah panggung.
Oji meletakkan kembali lamang sari yang nggak jadi dia makan, kemudian ikut masuk ke kamar yang dimasuki Bangsat. Di dalam, Bangsat lagi telanjang dada sambil melepas gesper ikat pinggangnya. Oji menelan ludah melihat otot-otot Bangsat yang berlekuk, kemudian dia balik badan hendak pergi dari hadapan tubuh telanjang yang menggiurkan itu.
"Ji ... sini," Bangsat memanggil dari dalam.
"Nggak mau, ah. Aurat lo kelihatan."
Bangsat tertawa dari dalam kamar. "Nggak tahan ya ngelihat badan gue?"
"Nggak tahan sama baunya!" Oji masih denial. "Badan lo bau busuk."
"Makanya gue mau mandi biar wangi. Yuk, lo juga harus mandi."
"Ya udah lo duluan aja," kata Oji.
"Kita mandi barengan."
"Setan! Mulai mesum lagi, kan! Bisa nggak sih Bang, sehariiii aja nggak usah—"
Bangsat keluar dari kamar, telanjang dada dengan bongkahan otot dada terpampang nyata. "Kita mandi di kali, Ji. Jadi harus barengan."
Oji menelan ludah. Bukan karena mandi di kali yang membuat dia risih. Tapi ... mandi bareng Bangsat yang membuat darahnya serr-serran hebat. "Jadi ki-kita ma-mandi berdua gi-gitu?" Oji gelagapan. Matanya menelusuri kulit Bangsat yang berwarna cokelat eksotis. Seksi.
"Kok lo jadi kayak Aziz Gagap sih? Ya iyalah kita mandinya berdua. Emang lo mau mandi sendirian di kali? Entar kalo lo dimakan buaya, siapa yang mau tanggung jawab?"
Oji menelan ludah seember. Tiap kali Bangsat bicara, dadanya yang berputing kecokelatan itu bergerak-gerak, membuat Oji keras di dalam celana. "Hm ... ya. Kita mandi bareng. Oke. Gue buka baju dulu."
"Apa mau gue bukain?" Bangsat maju dua langkah, memotong jarak di antara mereka. Matanya menatap ke dalam mata Oji yang tampak gugup dan bergetar.
"Ada Sari, Bang ..." Oji mengingatkan. Jarak Sari dengan mereka cuma dipisahkan oleh anak tangga semen itu.
Bangsat berdecak kesal. Dia harus sabar. Nggak boleh di sini. Walaupun kontlonya sudah sekeras baja, tapi dia harus bisa menahannya. "Oke. Mungkin nanti."
"Nanti apa?"
Bangsat menunduk, memajukan bibirnya ke telinga Oji, lalu berbisik lembut, "Nanti malem aja kita ngewenya."
PLAK!!! Satu tamparan mendarat di kepala Bangsat. Kali ini dia beneran roboh ke lantai. Pukulan Oji sakit banget sampai-sampai membuatnya pening. Emang dasarnya lagi pening karena nahan sange, eh malah dipukul ... kan taik.
"Sakit, Goblok!" Bangsat bangkit sambil mengusap-usap kepalanya.
"Mampus! Rasain! Makanya nggak usah ngomong sembarangan! Lo pikir gue cowok apaan, hah?! Dasar cowok mesum nggak tahu adab!" Oji menampar kepala Bangsat sekali lagi, kemudian lari ke dalam kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.
Bangsat masih menggosok-gosok kepalanya yang pening sambil memandangi pintu kamarnya yang ditutup. Walaupun pukulan Oji rasanya sakit, tapi anehnya dia malah pinginn ketawa. Melihat muka Oji yang merah banget ketika dia membisikkan tentang ngewe tadi ... itu sangat langka. Kapan lagi coba dia bisa lihat seorang cowok malu-malu kayak perempuan gitu?
***
Jam sudah menunjuk ke angka setengah enam ketika mereka bergegas menuju ke kali yang letaknya di seberang rumah Bangsat. Langit sore mulai memunculkan warna oranye cerah yang menyejukkan mata.
Kali yang dimaksud Bangsat adalah sungai kecil yang mengalir dari atas pegunungan yang kemudian bermuara di laut. Air kali itu jernih, dipenuhi batu-batu dan pasir. Sampah yang berserakan nggak terlalu banyak, tapi tetap saja ada. Ada empat remaja cowok yang lagi mandi di bagian kali yang dangkal dekat ke tepian, dan Bangsat segera menuju ke sana. Oji mengikuti cowok berotot itu.
"Wang! Jar! Ton! Pri!" Bangsat menyahuti keempat cowok itu, yang langsung menoleh ketika nama mereka dipanggil.
"Tria? Woy! Tria pulang woy!" teriak salah seorang cowok yang cuma pakai celana dalam doang.
Ew. Oji berusaha membuang muka, tapi percuma. Ujung-ujungnya dia harus menatap ke depan, karena kalau nggak dia bakal kepeleset lumpur.
"Akhirnya lo pulang juga, Tria!" Seorang cowok lain, yang pakai boxer tipis sehingga jendolan di depan selangkangannya kelihatan sangat menonjol, langsung memeluk Bangsat. Ketiga temannya yang lain ikut berpelukan. Persis kayak Teletubbies.
Ew. Oji bergidik geli membayangkan gimana rasanya dipeluk cowok yang cuma pakai celana dalem doang. Geli, ih. Bikin merinding. Horor.
"Siapa tuh, Sat?" tanya teman Bangsat yang rambutnya gondrong sampai ke bahu.
Bangsat menarik Oji mendekat ke teman-temannya. "Ini Oji, temen gue di kota."
"Oohh ... pantesan kulitnya putih mulus kayak perempuan."
Kayak perempuan? Ew. Memang sih, di antara Bangsat dan teman-temannya cuma Oji yang punya kulit putih merona seperti mutiara.
"Jangan lo perkosa, Pri!" Bangsat menarik Oji mundur ke belakang tubuhnya, melindungi. "Anak ini punya gue."
Teman-temannya tertawa. "Serakah lo, Sat! Barang bagus lo makan lo sendiri!"
"Anjing lo semua kelamaan jomblo sih makanya laki-laki juga pingin diembat!" Bangsat ikut ketawa. Sudah lama sekali dia nggak ngakak bareng teman-teman masa kecilnya. Awang, Ijar, Toni, Sapri.
"Yuk, Sat. Ajak temen lo nyebur. Pasti dia belum pernah mandi di kali, kan?" tanya Ijar. Dia ini yang pakai boxer tipis dan kontlonya nyeplak karena basah.
"Iya, lo semua lanjutin aja mandinya. Entar gue nyusul," kata Bangsat.
Teman-teman Bangsat kembali jebur ke kali.
"Itu temen-temen lo, Bang?" tanya Oji, memandangi teman-teman Bangsat yang berenang di bagian kali yang warna airnya kotor karena teraduk lumpur.
"Aneh, ya? Lo pasti belum pernah lihat yang beginian."
"Gue malah belum pernah sama sekali mandi di kali."
"Nggak heran, sih. Selama ini kan lo selalu mandi di shower, pakek sabun yang wangi, pakek air hangat ..."
"Tapi gue nggak masalah kok mandi di kali. Kayaknya seru. Seger juga. Dingin nggak airnya?"
"Kalo udah sore gini biasanya dingin. Ayo, kita nyebur."
"Tapi temen-temen lo ..."
"Temen-temen gue kenapa?" tanya Bangsat.
"Nanti mereka perkosa gue ..."
Bangsat ngakak. Oji ini polos dan gampang digoblokin ternyata. "Temen-temen gue nggak homo, Ji. Mana mungkin mereka mau ngentotin lo."
"Tapi lo mau ngentotin gue, Bang."
"Itu karena ..." Bangsat mikir, mencari jawaban. Karena apa, ya? Karena Oji ganteng? Karena Oji kayak perempuan? Karena bibir Oji manis? Karena pantat Oji enak digenjot? Semua jawaban yang dia pikirkan nggak ada yang bagus. Bisa-bisa dia dipukul lagi kalau salah jawab.
"Karena apa?" Oji menuntut, nggak sabar.
"Karena ... entahlah. Gue juga masih cari tahu kenapa gue mau ngentotin lo."
Tiba-tiba Oji murung. Ekspresinya merengut kayak orang yang lagi sedih. "Tadi di rumah gue denger obrolan lo dengan Kak Ratu ...."
Bangsat sadar cepat atau lambat topik itu pasti bakal dibahas. Tapi, bukan sekarang waktunya. Mereka harus mandi. Bangsat ingin mengenalkan Oji dengan keseruan mandi di kali sore-sore begini.
"Mandi aja dulu, yuk? Ngobrolnya nanti." Bangsat meraih tangan Oji, menggenggamnya. Kehangatan menyebar dari genggaman itu.
"Oke. Tapi bener ya mereka nggak akan merkosa gue?"
Bangsat ngakak lagi. Lalu, sekonyong-konyong dia mencium kening Oji dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Gue nggak bakal ngebiarin siapa pun nyakitin lo, Ji. Janji."
Oji meleleh. Dia nyaris pingsan kalau saja tangan Bangsat nggak memegangi tangannya. Kata-katanya memang terdengar biasa, tapi ciuman di kening dan juga ketulusannya itu lhooo yang membuatnya nyaris pingsan.
Setelah Oji mengangguk, Bangsat membawa anak itu nyebur ke kali dan membiarkannya menikmati keseruan mandi di kali bareng teman-temannya yang tergokilllll.
Berbahagialah, Ji. Semua ini gue lakuin cuma buat lo ....
Bandar Lampung, Minggu 27 November 2016
Diedit 28 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top