Oji Bimbang
Pulang ke rumah, hal pertama yang dilakukan Oji adalah menempelkan sepotong kecil Hansaplast ke lehernya yang merah-merah bekas cupangan Bangsat. Sambil menggerutu, otaknya sibuk mencari alasan yang bagus kalau-kalau Kak Ratu curiga dengan lehernya yang dipenuhi tambalan-tambalan itu.
"Lain kali jangan sampe merah dong, Bang," ucapnya, jengkel. "Kan ribet kalo begini."
Bangsat cuma bisa nyengir. "Maaf. Habisnya kamu seksi banget sih, jadinya aku nggak tahan. Lagian, kamu juga kan bikin cupangan di leher aku. Nih," Bangsat menunjuk bagian lehernya yang juga merah tanda cinta. "Punya aku warnanya malah merah banget, berarti kamu ngisepnya kuat banget."
Oji ingin tertawa, tapi ditahan. Jadinya dia cuma senyum kecil. "Habisnya kamu juga nafsuin banget, sih. Pakek acara keringetan segala, kan aku juga jadi nggak tahan."
"Nah, jadi jangan saling menyalahkan, dong. Kan buat tanda cintanya juga bareng-bareng." Bangsat membantu Oji menempelkan Hansaplast terakhir ke lehernya. Total ada empat Hansaplast yang menutupi bekas isapan mulut Bangsat di leher anak itu.
"Mudah-mudahan Kak Ratu nggak ada di rumah," kata Oji memandangi lehernya yang penuh tambalan dari kaca spion.
Sore itu mereka sudah berada di depan tembok pagar rumah Oji, tapi nggak berani masuk karena Oji masih harus menyembunyikan cupangan itu. Bangsat sudah menyarankan Oji supaya lehernya dikerok sampai merah-merah biar kesannya Oji kayak habis dikerokin karena masuk angin. Tapi anak itu menolak karena nggak biasa dikerok, katanya sakit.
"Kamu yakin nggak mau aku anter sampe ke dalem?" tanya Bangsat, memandangi raut wajah Oji yang tegang.
"Yakin. Kita kan udah sepakat jujur ke Kak Ratu besok."
Bangsat mengangguk, menarik ritsleting jaket sampai ke atas sehingga kerah tingginya menutupi leher, lalu meraih helm, kemudian memakainya. "Oke."
"Bang." Oji mencengkeram lengan Bangsat, agak kuat.
Ketika menatap mata Oji, Bangsat merasakan getar ketakutan itu di dalam sana. "Kamu takut, Ji?" tanyanya.
Oji mengangguk, menarik-embuskan napas sambil mengurut dada. "Aku takut Kak Ratu maksa aku lepas Hansaplast ini."
Bangsat juga takut Ratu bakal melakukan itu. Walaupun kecil kemungkinannya Ratu curiga Bangsat yang membuat tanda merah itu, tapi tetap saja dia khawatir Oji bakal kena masalah karena ketahuan dicupang oleh orang yang bukan pacarnya.
"Kalau emang kamu masih takut, lebih baik jangan pulang dulu deh." Bangsat nggak bisa mikir jalan keluarnya lagi.
"Kalau aku nggak pulang nanti Bunda sama Ayah marah."
"Tapi kalau kamu pulang, kemungkinan besar Ratu yang marah."
"Kenapa semua pilihannya nggak ada yang bener, sih?" Oji mengacak-acak rambut, kesal.
Tiba-tiba sebuah gagasan melintas di pikiran Bangsat. "Gimana kalo kamu pulangnya nanti malem aja? Sekitar jam sepuluh atau jam sebelas, gitu? Kan biasanya Ratu udah tidur jam segitu."
Gagasan itu sukses tertransfer dengan baik ke pikiran Oji sehingga anak itu tersenyum sambil mengangguk. "Ide bagus, Bang. Aku kan bawa kunci belakang, jadi nggak perlu takut bakal dimarahin Bunda ataupun Ayah." Sebelum membiarkan dirinya naik ke boncengan motor Bangsat, Oji bertanya, "Terus kita mau ke mana?"
"Ke kosan, lah. Emangnya ke mana lagi?"
Oji cemberut. "Nggak ke hotel, gitu? Kamu kan ada janji mau ngajak aku—"
"Itu nanti, nggak sekarang."
Oji tambah cemberut. Naik ke boncengan motor Bangsat, dia menolak untuk memeluk cowok itu dan melipat tangan di depan dada sebagai bentuk protes. "Terus sekarang ke mana? Aku nggak mau di kosan terus, nanti kamu minta ngewe lagi."
Bangsat terkekeh geli. "Yaaah, kok gitu sih? Padahal kan aku masih kepengen."
"Dasar cowok mesum! Otaknya selangkangan melulu!"
"Tapi kamu suka kan sama selangkanganku?"
"Bodo amat!" Oji membentak. "Dah, jalan! Pergi ke mana kek gitu, asal jangan di kosan!"
Tepat ketika Bangsat menekan starter hingga mesin motor tuanya mengeluarkan suara yang sangat menyedihkan, Ratu keluar dari gerbang dan terkejut melihat Bangsat dan Oji ada di hadapannya.
"Loh? Kalian berdua udah pulang?" tanya cewek imut itu.
Oji langsung panas dingin, panik. Sementara Bangsat gemetar, wajahnya berusaha dia buat setenang mungkin, tapi gagal. Kewaspadaan terukir jelas di raut wajahnya.
"Kenapa, sih?" kata Ratu, menangkap tatapan Oji dan Bangsat yang melihatnya seolah-olah baru melihat hantu. "Kalian berdua kok tegang gitu?"
Setelah batuk sejenak untuk menyingkirkan ketegangan, Bangsat menjawab, "Nggak apa-apa. Kita cuma capek habis perjalanan jauh."
Ratu angguk-angguk lalu tersenyum. "Kalau gitu kalian masuk dulu, deh. Aku mau ke Indomaret sebentar, beli jajanan—lagi kepengen ngemil nih, hehe."
Patuh, Bangsat menghidupkan motor dan membawanya masuk ke garasi rumah Oji yang luasnya minta ampun sampai-sampai Bangsat yakin pesawat Cessna pun pasti bisa masuk ke garasi itu. Setelah mematikan mesin, mereka berdua sama-sama mematung tanpa ada gerakan ingin turun dari atas motor. Kalau bisa, dan seandainya benar bisa, Bangsat kepingin banget kabur dari garasi rumah itu, membawa Oji lari bersamanya, meninggalkan segala kekhawatiran mereka di belakang. Tapi, itu bukan tindakan yang tepat. Gegabah hanya akan membuat segalanya jadi lebih rumit. Toh, mereka sudah berjanji untuk menghadapi ini bersama-sama, kan?
"Ji, ayo," Bangsat turun dari motor, mencabut kunci dan mengantonginya.
Oji yang tampak lemas, turun dengan malas-malasan. Anak itu terlihat seperti kura-kura lemot dengan tas ransel di punggung sebagai tempurungnya. Wajahnya dipenuhi kecemasan. "Bukan sekarang kan, Bang?" katanya, nyaris berbisik. "Tapi kok rasanya horor, ya. Ngelihat Kak Ratu senyum bahagia pas lihat kita pulang—rasanya aku makin nggak tega untuk jujur ke dia."
Kalau Bangsat nggak merasakan hal yang sama, dia pasti sudah memarahi Oji karena plin-plan dengan pilihannya. Ratu yang sumringah dan tampak antusias melihat kepulangan mereka rasanya seperti seolah-olah cewek itu benar-benar merindukan mereka. Dan, mungkin saja Ratu memang merindukan mereka.
"Yang penting kita masuk dulu, Ji." Bangsat menggenggam tangan Oji dengan harapan bisa memberinya kekuatan supaya anak itu tetap optimis dan nggak mengubah pendiriannya.
Oji berusaha tersenyum walaupun tipis. Dengan berpegangan tangan, dia bersama Bangsat masuk ke dalam rumah lewat pintu yang menghubungkan garasi dengan dapur.
Di dapur, Mbok Tarmi, dibantu dengan Hani, sedang berkolaborasi memasak sesuatu. Hani memotong kentang, sementara Mbok Tarmi mengaduk isi panci. Mereka tenggelam dalam pekerjaan mereka sehingga ketika Oji dan Bangsat masuk ke dalam, perhatian mereka nggak teralihkan sama sekali.
"Lagi masak apa, Han?" tanya Oji, lembut.
Adiknya yang masih kelas 6 SD itu agak terkejut ketika mendapati kakaknya muncul di hadapannya. "Kak Oji!" pekiknya, agak sedikit berlebihan sambil menghentikan kegiatan memotong kentangnya dan menghambur ke dalam pelukan Oji.
"Loh, loh, kenapa ini?" tanya Oji, bingung sekaligus heran dengan pelukan Hani yang erat banget kayak nggak ketemu dengannya bertahun-tahun.
"Aku kangen Kak Oji," kata Hani setelah melepas pelukan. Senyum manis yang merupakan warisan dari ibu mereka terkembang di kedua sudut pipinya yang montok.
Oji tertawa, benar-benar tertawa mendengar ucapan adiknya. "Aku cuma pergi—berapa hari?" Dia berhitung menggunakan jari sebelum mendapat jawabannya, "Cuma empat hari dan kamu udah kangen denganku?"
"Memangnya nggak boleh?" Tiba-tiba Hani cemberut. Dia bergegas kembali ke pisau dan kentang yang sedang dipotongnya. "Bukan cuma aku, kok. Kak Ihsan sama Rani juga—"
Belum juga Hani menyelesaikan kalimatnya, si gembrot Ihsan muncul dari ruang keluarga dengan binar terkejut tampak jelas di wajahnya.
"Kak Oji!" kata anak SMP itu dan menghambur untuk memeluk kakaknya erat-erat.
Kali kedua dipeluk tiba-tiba oleh adiknya membuat Oji jadi tambah bingung dan heran. Apalagi ini Ihsan, yang ibaratnya sering banget adu mulut dengannya. "Ini kenapa sih semuanya pada meluk gue?" kata Oji setelah tubuh kurusnya bebas dari dekapan Ihsan yang gembrot.
Pertanyaannya belum juga terjawab ketika si bungsu Rani tergopoh-gopoh dengan kaki kecilnya masuk ke dapur dan langsung memeluk kaki Oji. "Kak Oji!" kata anak kecil itu dengan suara yang menggemaskan. Pelukannya di kaki Oji benar-benar tulus. Oji menggendong adik bungsunya itu dan mencium pipinya.
"Adek kangen ya sama Kakak?" tanyanya.
Rani mengangguk, melingkarkan lengan di leher Oji. "Kak Oji pelgi gak ajak-ajak Lani."
Walaupun heran dengan sikap adik-adiknya yang aneh, tapi Oji tetap bersyukur dalam hati karena sambutan yang dia terima dari keluarga kecilnya sangatlah hangat dan menyenangkan.
Kak Ratu muncul dari balik pintu garasi, melihat keempat adiknya berkumpul, lalu tersenyum penuh syukur. Dia meletakkan kantung plastik Indomaret ke meja dapur, kemudian mendekati Oji yang masih menggendong Rani, dan memeluk adiknya itu dengan penuh rasa sayang.
Oji terkejut. Pelukan Kak Ratu masih nggak ada bedanya—persis sama seperti terakhir kali dia memeluknya, yaitu saat Kak Ratu pamit pulang dari kampung Bangsat.
Melihat kakak sulung mereka memeluk Oji, Ihsan dan Hani ikut-ikutan berpelukan. Ihsan meluk dari belakang, sementara Hani dari sisi sebelah kiri Oji. Rani masih berada di gendongan Oji, lengannya yang mungil melingkar di lehernya.
"Apa-apaan nih?" tanya Oji, geli. "Kenapa semuanya mendadak jadi sayang dengan gue? San, lo ngapain meluk gue dari belakang? Lepasin, risih gue."
"Kita semua kangen sama lo, Ji. Nggak ada lo di rumah, kita rasanya kayak keluarga yang nggak utuh. Selama ini kan kita selalu lengkap—ke mana-mana berlima. Ke mal berlima. Nonton bioskop berlima." Kak Ratu menjelaskan.
Oji merasakan panas di kedua bola matanya. Menahan diri kuat-kuat, dia berusaha supaya nggak menangis. Memang, selama ini Oji mengira dia nggak pernah benar-benar dekat dengan saudara sekandungnya. Tapi, setelah empat hari pergi jauh dari rumah, pisah dari orang-orang yang selalu ditemuinya membuatnya merasakan rindu yang baru sekarang terasa membanjiri hatinya. Empat hari tanpa melihat Ihsan yang bersungut-sungut kepadanya. Empat hari tanpa memandangi Hani yang rajin nyapu dan membantu Mbok Tarmi membersihkan rumah. Empat hari tanpa mendengar Rani yang rewel dan suara tangisnya yang memekakkan telinga. Biar bagaimana pun, empat saudara/i kandungnya ini telah menjadi bagian dari hidupnya sejak lama—dan selamanya akan selalu jadi bagian dari dirinya.
Seketika, sengatan rasa bersalah menghantamnya bagaikan palu godam yang menghancurkan tengkoraknya. Apakah pelukan saudara sekandung ini akan bertahan selamanya kalau Oji nekat memaksakan diri jujur ke Kak Ratu tentang hubungan terlarangnya dengan Bangsat? Kak Ratu tersenyum sangat tulus ketika memeluknya, dan Oji nggak pernah sekalipun melihat Kak Ratu menunjukkan perasaan yang nggak tulus kepadanya. Seperti yang pernah dikatakannya, walaupun galak dan kadang-kadang menyebalkan, tapi sesungguhnya Kak Ratu adalah orang yang sangat baik dan menyayangi adik-adiknya tanpa syarat apapun.
Balik lagi ke pertanyaan sebelumnya yang sudah sering dia tanyakan: Apakah Oji tega menyakiti kakak kandung yang sangat menyayanginya? Dia tahu itu dilakukannya demi cintanya kepada Bangsat. Tapi, bagaimana dengan cintanya kepada Kak Ratu? Oji mengenal Kak Ratu sejak dia dilahirkan, dan dia baru mengenal Bangsat selama tiga bulan, jadi kenapa harus mengambil risiko kehilangan cinta yang sudah bersamanya sejak lama demi cinta yang baru tumbuh selama tiga bulan belakangan? Oji merenungkan pertanyaan ini dalam-dalam selagi saudara-saudaranya masih memeluknya.
Terlupakan, Bangsat tampak seperti binatang pengerat yang nggak ada apa-apanya di mata kelima orang yang sedang berpelukan seperti Teletubbies itu. Dia masih berdiri di dekat pintu, memandangi Oji yang menjadi pusat pelukan kakak dan adik-adiknya. Walaupun agak kesal, tapi Bangsat tersenyum melihat Oji disambut dengan baik oleh saudara sekandungnya yang lain. Bangsat mengerti bagaimana rasanya merindukan saudara sedarahmu, karena dia pun sering kali merasakan hal yang sama kepada Sari. Ada satu titik di mana Bangsat benar-benar ingin kembali ke masa kecilnya, ketika dia dan Sari dulu sering bertengkar gara-gara siapa yang uang jajannya paling banyak.
Kemudian, Bangsat menyipitkan mata ketika melihat senyum Oji luntur dari wajahnya. Ekspresi anak itu tiba-tiba terlihat seperti berpikir keras. Bangsat yakin Oji pasti sedang memikirkan Ratu dan segala masalah yang terjalin di antara mereka.
Sesungguhnya, saat itu pun Bangsat sedang memikirkannya juga. Dengan melipat tangan di depan dada, Bangsat bertanya-tanya apakah Oji sedang mempertimbangkan untuk membatalkan niatnya? Bangsat nggak masalah kalau Oji memang belum siap jujur ke Ratu, tapi apapun pilihan yang diambil Oji nggak akan bisa menghalangi tekadnya yang sudah bulat. Cepat atau lambat, Bangsat harus mengakhiri hubungannya dengan Ratu. Karena dia seorang lelaki, jantan—dan lelaki jantan nggak akan tega menyakiti orang yang disayanginya dari belakang.
Bangsat masih memperhatikan ketika lima bersaudara itu melepas pelukan. Wajah kelimanya tampak berbinar, tersenyum malu-malu, canggung, tapi tulus. Bangsat ikutan tersenyum, merasa seakan-akan dia bagian dari lima serangkai itu. Tapi, mengingat jaraknya yang berada di pojokan dan terlupakan oleh mereka membuatnya langsung sadar bahwa dia nggak lebih dari cowok bajingan yang sudah meniduri dua dari kelima bersaudara itu.
Bangsat mengamati si mungil Tiny ketika turun dari gendongan Oji, kakinya yang mungil menjejak lantai dengan lembut. Setelah itu, mata Tiny yang menyorot polos menatap ke Bangsat, lalu menyipit. Bangsat tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Tiny, berharap anak kecil itu mengenalinya sebagai Kakak Pemberi Es Krim yang Baik Hati. Tapi sepertinya Tiny sudah lupa dengannya. Mata polosnya semakin menyipit, seperti tengah memastikan sesuatu. Dan nggak lama kemudian, tangan balita mungil itu menunjuk ke Bangsat sambil berkata lantang:
"Eh, itu kan kakak yang kemarin ciuman dengan Kak Oji?"
Bangsat dan Oji mematung, keduanya ketakutan. Panik.
Bandar Lampung, 6 Januari 2017
Diedit 31 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top