Love, Bangsat
"Udah siap, Ji?" tanya Kak Ratu, tersenyum.
"Udah, Kak. Ini tinggal diturunin dari mobil." Oji membalas senyum kakaknya, lalu mengangkat koper besarnya.
"Angkatin punya gue juga dong, Kak!" Ihsan ngedumel di belakang tubuh Oji.
Sambil tertawa, Oji membantu adiknya yang berbadan subur itu menurunkan koper dari dalam mobil. Setelah semua barang bawaan turun, Oji dan Ihsan berbalik untuk berhadapan dengan keluarga yang akan mereka tinggali.
"Gue bakal kangen banget sama kalian," ucap Kak Ratu, maju untuk memeluk Oji dan Ihsan secara bersamaan. "Sering-sering ngabarin gue, ya? Jangan nakal di sana." Ada setetes air mata yang mengalir keluar dari pelupuk mata cewek itu.
Oji menahan diri supaya nggak nangis. Kakaknya inilah yang membantunya bangkit dari patah hati gara-gara cowok yang dicintainya—dan juga yang pernah dicintai kakaknya—memilih untuk meninggalkannya demi cewek yang dihamilinya. Kak Ratu bahkan menampar cowok itu habis-habisan karena berani-beraninya menyakiti adik kesayangannya. Tapi, itu sudah lebih dari tiga bulan yang lalu. Sekarang mereka sudah membuka lembaran baru.
"Hani, kamu jangan pacaran dulu ya kalo belum tamat sekolah. Inget, kamu itu masih SD!" Oji mengomeli adiknya yang masih SD, kemudian menarik tubuh adiknya itu untuk dipeluknya juga. Dia sayang banget sama Hani.
Setelah adiknya itu mengangguk haru, Oji segera melepas pelukan dan langsung menggendong si kecil Rani yang menangis sesegukan karena bakal ditinggalkan dua kakak lelakinya. "Kakak jangan pelgi," ucap Rani sambil mengusap pipinya yang belepotan air mata dan ingus yang keluar dari hidungnya. "Nanti yang jagain Adek siapa?"
"Kan masih ada Kak Ratu, Kak Hani. Ada Ayah sama Bunda juga," balas Oji, tersenyum kecut. Dia mau nangis, tapi menahan diri demi nggak terlihat lemah di hadapan adik bungsunya itu. Sekonyong-konyong, ingatan tentang foto bersama Rani yang pernah dilakukannya bersama cowok bajingan itu membuat hatinya pedih oleh kenangan yang nggak seharusnya dia ingat-ingat lagi. Dengan penuh kasih sayang dan sambil mengikhlaskan segalanya, dia mengecup lembut kening Rani. "Adek baik-baik ya di sini, jangan nakal. Jangan cengeng lagi, ya."
Setelah mendapat anggukan sedih dari Rani, Oji menurunkan anak itu dari gendongannya dan langsung menghambur ke pelukan orangtuanya. Bunda sama Ayah membalas pelukannya dengan hangat. Walaupun kedua orangtuanya melarang Oji untuk ikut, tapi tekad bulat Oji akhirnya berhasil meluluhkan mereka. Anak mereka sudah besar, sudah bisa hidup mandiri di kota orang. Jadi dengan berat hati, orangtua Oji mengeratkan pelukan di tubuh anak kedua mereka.
Setelah semua anggota keluarganya dipeluk—Nenek nggak ikut mengantar karena beliau sudah tua dan nggak bisa jalan karena stroke yang dialaminya—Oji berbalik untuk masuk ke dalam bandara. Ihsan sudah masuk duluan, tapi Oji masih berat meninggalkan semuanya.
Ratu melihat keengganan di mata Oji, jadi dengan lembut dia mengucapkan, "Kita pasti bakal ketemu lagi, Ji, pas lebaran. Setahun dari sekarang—itu bukan waktu yang lama, kan?"
Oji menarik napas panjang kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Setahun adalah waktu yang dibutuhkannya untuk melupakan semua kepahitan dalam hidupnya. "Ya, Kak. Sampai jumpa setahun lagi."
Kak Ratu mengangguk. "Dah sana pergi, love you my brother."
Oji masuk ke dalam bandara, tapi kemudian berbalik untuk melihat keluarga kecilnya sekali lagi, lalu melambai sambil memberikan kiss bye. Kalau di luar tadi dia berusaha untuk tetap tegar, di dalam bandara semua usahanya runtuh jadi aliran air mata yang membasahi pipi. Dia bakal merindukan keluarganya.
***
Oji dan Ihsan akan tinggal di Yogyakarta, tempat Pakde Kamto dan Bukde Asri tinggal. Bukde Asri adalah adik kandung Bunda yang sudah menikah sepuluh tahun silam tapi masih belum dikaruniai seorang anak. Karena itu, setelah tahu Ihsan baru saja lulus SMP, Bukde Asri langsung meminta keponakannya itu untuk tinggal bersamanya di Yogya. Ihsan sih senang tinggal di Yogya, jadi dia menyetujui permintaan Bukde-nya. Dan Oji, yang melihat peluang untuk pindah dari kota Bandar Lampung yang penuh dengan kenangan buruk langsung minta ikut bersama Ihsan dan memutuskan akan melanjutkan kelas XII-nya di Yogyakarta.
Memang berat rasanya meninggalkan kota yang sudah ditinggalinya selama lebih dari 17 tahun. Tapi, mau gimana lagi? Kalau Oji nggak pergi dari sana, cowok bajingan itu akan terus berusaha untuk mendekatinya lagi dan lagi walaupun dia sudah berkali-kali mengatakan nggak mau berhubungan dengannya lagi. Sakit hati yang dirasakannya sangat luar biasa dan nggak ada lagi kata maaf untuk cowok bajingan itu. Kalau dia memilih untuk bersama cewek hamil itu, maka Oji juga memilih untuk melupakannya selama-lamanya.
Dua bulan lalu—tepatnya sebulan setelah Oji mendengar pengakuan Aura—dia menerima sebuah kartu undangan warna biru muda dengan sampul depan bergambar burung merpati yang sedang berpelukan, dan bertuliskan: Pernikahan Satria H. Afriawan & Aura Lakasumtu Wabika Amantu. Ketika membaca dua nama itu, kertas undangan yang dipegangnya langsung melayang jatuh ke tanah karena Oji nggak sanggup lagi untuk membaca isi dari undangan tersebut. Dia lantas bergegas masuk ke kamar, menumpahkan semua rasa sakitnya di sana, berteriak dari balik bantal yang menutupi kepalanya. Oji bahkan sempat berharap seandainya dia mati kehabisan napas, mungkin itu lebih baik daripada menghadapi kenyataan yang harus dihadapinya. Mengetahui cowok yang pertama kali mengajarkannya tentang cinta dan kebahagiaan menikah dengan orang lain, rasanya pedih nggak tertahankan.
Oji mengerti dengan pilihan Bangsat yang nggak mau menelantarkan cewek yang mengandung darah dagingnya, tapi dia menolak untuk berdamai dengan hal itu. Bangsat mengatakan bahwa dia terpaksa melakukan itu karena desakan dari orangtuanya, juga desakan dari orangtua Aura. Walaupun cowok berotot itu sudah berdalih bahwa anak yang dikandung Aura bukanlah darah dagingnya, tapi dia nggak punya bukti untuk menguatkan dalih tersebut. Faktanya, Aura nggak pernah pacaran dengan orang lain selain Bangsat. Mau ditelusuri sampai sejauh manapun, semuanya bakal balik lagi ke Bangsat, karena cuma dialah satu-satunya cowok yang pernah tidur dengan Aura. Teman-teman, keluarga, dan masyarakat sekitarlah yang membuktikan bahwa Aura nggak pernah terlihat jalan dengan cowok lain selain Bangsat. Maka, mau nggak mau Bangsat harus bertanggung jawab untuk anak yang ada di perut cewek itu.
Ketika Bangsat mengutarakan pilihannya untuk tetap menikahi Aura dan memutuskan hubungan dengan Oji, anak itu langsung kabur dari hadapan Bangsat, menolak untuk bertemu lagi dengannya, bersumpah akan membenci cowok itu seumur hidupnya, tapi tetap menangisi kepergian cowok itu dari sisinya. Oji terpuruk selama dua bulan lamanya, dan baru belakangan ini dia bangkit kembali setelah memutuskan untuk menjalani hidup baru di suasana kota yang baru.
Sambil menggelengkan kepala, Oji menghapus semua kenangan-kenangan buruk pascaberita kehamilan itu. Walaupun pedih, tapi dia harus bisa menahan kepedihan itu. Nggak ada guna lagi dia mengingat-ingat cowok bajingan itu. Nggak ada guna lagi dia menyesali nasibnya yang buruk. Semua sudah terjadi. Bangsat sudah jadi suami orang lain, dan sekarang kehamilan Aura sudah masuk bulan keenam, yang artinya tiga bulan mendatang Bangsat akan jadi seorang ayah. Oji nggak mau membayangkan bagaimana rupa anak yang dilahirkan Aura nanti. Apakah anaknya bakal mirip dengan Bangsat, atau justru malah mirip Aura? Ah, Oji menggeleng lebih keras karena nggak ada manfaatnya dia memikirkan tentang anak mereka.
Kabar terakhir yang Oji dengar tentang Bangsat adalah cowok itu memutuskan untuk berhenti kuliah karena nggak sanggup menanggung malu akibat di-bully habis-habisan oleh semua cewek yang pernah menjadi penggemarnya. Aura juga dikeluarkan dari sekolahnya karena hamil di luar nikah. Sekarang, pasangan suami istri itu tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di kampung tempat Bangsat tinggal. Emak dan Bapak menolak untuk menerima Aura di rumah mereka lantaran mereka nggak suka dengan sikap Aura yang terlalu manja dan banyak nuntut. Untuk menghidupi dirinya dan calon anak yang ada di kandungan Aura, Bangsat bekerja sebagai kuli bangunan di kampungnya. Nggak ada pilihan lain yang bisa diambilnya karena dia cuma tamatan SMA, dan di zaman sekarang susah cari kerjaan enak hanya bermodalkan ijazah SMA. Mendengar cerita hidup Bangsat yang pilu, mau nggak mau Oji merasa iba, tapi nggak bisa berbuat apa-apa selain berdoa untuk pasutri itu. Semua informasi tentang Bangsat kebanyakan Oji dengar dari Sari, adik kandung Bangsat yang masih sering komunikasi dengannya di Instagram.
Sekarang, di dalam lobby pesawat, Oji benar-benar menghapus semua pikiran tentang Bangsat sampai nggak ada lagi ruang tersisa untuk cowok itu di dalam benaknya. Kak Ratu berkata sudah saatnya Oji move on dari cowok bajingan itu. Hidup Oji terlalu berharga kalau hanya untuk menangisinya.
Semua pesan WA, sms, dan telepon dari nomor Bangsat nggak pernah Oji respons sampai sekarang. Dia bahkan mematahkan kartu SIM-nya dan mengganti nomor baru. Dia juga sudah blokir IG, LINE, FB, dan semua akun yang berhubungan dengan Bangsat. Pokoknya Oji bukan hanya melakukan pembersihan total pada pikirannya, tapi juga pada semua koneksinya dengan cowok bajingan itu. Tekadnya untuk memulai hidup baru sama besarnya dengan tekadnya untuk membenci cowok itu selamanya.
Hari itu, ketika Oji dan Ihsan sedang menunggu untuk naik ke pesawat, sebuah pesan WA masuk ke hapenya. Pesan dari nomor baru. Nomor Telkomsel. Nggak ada nama, dan Oji mulai khawatir jangan-jangan itu Bangsat yang menghubunginya lagi.
Dengan jantung berdebar dan rasa cemas yang membuat perutnya mulas, dia membuka pesan itu dan mulai membacanya:
Dear Oji,
Aku dengar kabar hari ini kamu pergi ke Yogya, ya? Hati-hati di jalan ya, Ji. Semoga selamat sampai ke tujuan. Aku nggak bakal ngejer-ngejer kamu lagi, kok. Nggak bakal maksa-maksa pengen ketemu kamu lagi. Maaf kalo selama ini aku selalu buat kamu risih. Kemarin aku cuma belum terbiasa hidup tanpa kamu.
Tapi bukan berarti sekarang aku udah terbiasa hidup tanpa kamu. Atau seenggaknya, belum. Karena aku masih sering kepikiran kamu, Ji. Masih sering kepikiran kenangan yang pernah kita lewatin. Masih kepikiran air terjun Nirmala, ciuman di sawah, dan naik kebo di Pantai Muara.
Oji berusaha mencegah pikirannya ketika kenangan-kenangan itu mulai bermunculan seperti kilas balik di dalam film. Bahkan ketika dia sedang berjuang keras mencegahnya pun, aroma air laut yang asin, rasa bibir Bangsat yang berlumpur, dan sejuknya percikan air terjun Nirmala yang membasahi kulit masih bisa dia rasakan dengan sangat jelas, sangat nyata, seolah-olah saat itu dia sedang berada di sana.
Menggeleng keras-keras, Oji melanjutkan baca pesan Bangsat.
Intinya, kalaupun kamu benci sama aku dan segala perbuatanku yang bajingan ini, tolong, jangan pernah kamu benci kenangan yang pernah kita lewatin sama-sama. Paling nggak, biarkan kenangan itu terus melekat di hati kamu, supaya kamu selalu ingat bahwa kamu pernah bahagia bersama aku, bahwa dulu aku pernah membuat kamu bahagia. Bahwa aku ini nggak sepenuhnya bajingan. Bahwa ada satu bagian dariku yang pernah memberi kesan yang berarti di hati kamu.
Kamu boleh benci aku, kamu boleh lupain aku, tapi jangan lupakan kenangan itu. Jangan lupakan kebahagiaan itu. Selama ini, semua yang aku lakukan adalah untuk kebahagiaan kamu, Ji. Aku bahkan nggak pernah berniat nyakitin kamu—kamu pikir aku tahu kalau Aura hamil? Nggak, Ji. Aku nggak tahu. Kalau aku tahu Aura hamil, dari dulu juga nggak mungkin aku mau deketin kamu.
Sekali lagi maafin aku untuk rasa sakit yang udah aku goreskan di hati kamu. Bisa dibilang, itu sebenarnya nggak sengaja karena aku sendiri nggak pernah mengira aku bakal nyakitin kamu. Aku nggak termaafkan, aku tahu. Aku nggak bisa memperbaiki segalanya di antara kita. Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita. Aku akan menikmati hukuman yang setimpal untukku, dan kamu harus menjauh dari cowok bangsat kayak aku supaya nggak merasakan sakit yang lebih menyayat hati.
Sampai jumpa di lain waktu, Ji. Kalau Tuhan memang mengizinkan, kita pasti bakal ketemu lagi walaupun aku tahu kamu pasti berharap nggak akan pernah bertemu denganku lagi.
Hati-hati di jalan ya, Ji. Jangan nakal di sana. Mulai sekarang nggak ada lagi aku yang bakal jagain kamu, jadi kamu harus bisa mandiri ya, jangan manja lagi.
Itu aja yang mau aku omongin, Ji. Jangan pernah lupain kenangan tentang kita. Jangan pernah lupain kebahagiaan yang pernah kita lewati bersama. Aku memilih hidup bersama Aura karena inilah hukuman yang Tuhan berikan padaku. Inilah tanggung jawabku, Ji. Apa yang kuperbuat, inilah yang kudapat. Dan ini cara Tuhan menyelamatkan kamu dari cowok bajingan kayak aku.
Sayangnya, Tuhan memang sangat adil, kan?
Love,
Bangsat.
Dengan mata terpejam, tetes air mata membasahi pipi Oji yang merona merah. Pada akhirnya, dia sadar bahwa Bangsat mungkin sebenarnya bukan cowok bajingan. Pada akhirnya, dia sadar bahwa selama ini Bangsat memang nggak pernah menyakitinya. Berita kehamilan Aura memang membuat Oji sakit, tapi bukan berarti dia berhak menyalahkan Bangsat untuk rasa sakitnya itu. Cowok itu benar, dia menyakiti Oji bukan karena sengaja. Oji bisa membayangkan seandainya Aura nggak hamil ... mungkin jalan cerita mereka bakalan berbeda.
Sambil mengusap pipinya yang basah, Oji menghapus pesan terakhir Bangsat dengan tekad yang kuat. Cowok itu sudah tertinggal jauh di belakang, dan Oji nggak mau lagi memikirkannya. Biarkan cowok itu menjalani hukuman yang pantas untuknya. Biarkan cowok itu merasakan susahnya jadi seorang ayah di usianya yang masih sering dia pakai untuk main-main. Biarkan cowok itu merasakan akibat dari semua perbuatan bejatnya.
Bangsat benar. Oji memang berhak membenci cowok itu, tapi nggak seharusnya dia melupakan kenangan yang pernah mereka lewati bersama. Karena seperti yang dikatakan cowok itu dalam pesannya: Jangan lupakan kebahagiaan itu.
Oji nggak akan lupa.
Dia nggak akan pernah lupa bahwa dulu dia pernah bahagia.
Bandar Lampung, Minggu 29 Januari 2017
Diedit 1 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top