Kebo dan Pantai
Siangnya, setelah puas main ciprat-cipratan sambil mandi di air terjun Nirmala, mereka langsung turun ke sawah setelah menyempatkan diri ke rumah untuk ganti baju. Emak dan Bapak yang lagi makan siang di saung kecil di pinggiran lahan persawahan memanggil mereka ketika mereka mendekat.
"Udah mandinya, Ji?" tanya Emak setelah dua cowok itu duduk di saung.
"Udah, Mak."
"Bagus air terjunnya?" tanya Bapak sambil mengunyah makanannya—menu siang itu adalah pergedel kentang.
"Bagus banget, Pak. Tinggi. Bening. Sejuk. Keren pokoknya." Oji terlalu bersemangat ketika menjawab pertanyaan Bapak. Mood-nya emang lagi bagus setelah berendam lama-lama di kolam air di bawah air terjun Nirmala.
"Syukur kalo Oji suka sama air terjunnya, berarti kapan-kapan masih mau mampir ke sini," kata Bapak, menelan makanan yang sudah dikunyahnya.
Tersenyum, Emak menambahkan, "Besok-besok kalo Tria pulang kampung kamu ikut lagi ya, Ji. Nanti Emak masakin jengkol yang banyak buat kalian berdua."
Oji mengangguk sambil senyum superlebar karena ucapan kedua orangtua Bangsat terdengar sangat tulus, nggak ada kesan cuma basa-basi.
Bangsat yang ternyata diam-diam mengambilkan makan buat Oji langsung menyodorkan piring berisi nasi dan pergedel itu ke hadapannya. "Nih makan dulu, Ji."
Oji mengambil piring itu dengan senyum masih terukir di wajahnya. "Makasih, Bang."
Mereka berempat makan dengan tenang sambil sesekali ngobrol di tengah-tengah kegiatan mengunyah dan menelan makanan. Langit pukul dua belas siang nggak seperti biasanya yang terik dan menyengat dikarenakan mendung yang masih menggantung di atas sana. Selagi makan Bapak memprediksi bahwa sebentar lagi pasti bakal turun hujan karena indra penciuman Bapak yang tajam bisa mencium aroma hujan yang mulai mendekat. Emak lain lagi, beliau memprediksi hujan turunnya pasti nanti malam karena awan mendung yang menggantung di langit belum terlalu pekat, airnya belum terlalu banyak untuk bisa ditumpahkan ke bumi. Bangsat dan Oji nggak memprediksi apa-apa, tapi mereka sama-sama berharap semoga hujan nggak jadi turun hari ini.
Selepas pukul setengah satu siang, rantang plastik berisi bekal makan siang yang dibawa Emak dari rumah sudah kosong melompong, habis tak tersisa. Emak menumpuk rantang, mengumpulkan piring, kemudian bergegas pulang ke rumah, sementara Bapak bergegas pergi ke surau kecil yang letaknya nggak jauh dari lahan sawah miliknya.
"Kok nggak ikut shalat, Bang?" tanya Oji.
"Nanti aja deh, belum mandi wajib."
"Loh? Katanya udah hampir seminggu nggak muncrat?"
Bangsat tertawa kecil sambil menjawil pipi Oji. "Tadi kan habis nyium kamu, Jiii."
"Emang ciuman doang harus mandi wajib, ya?"
Bangsat angkat bahu. "Nggak tahu. Yang jelas, gue masih ngerasa belum bersih untuk shalat." Dia nyengir, giginya berjejer rapi.
Setelah itu mereka sepakat untuk langsung turun ke sawah, mencari belut. Bangsat tahu bagian-bagian sawah mana saja yang ada banyak belutnya, jadi dia membawa Oji ke sana dan menyuruh anak itu melepas sandalnya karena kaki mereka bakal terbenam di lumpur yang tingginya semata kaki. Petak sawah yang Bangsat pilih adalah lahan yang baru dibajak Bapak dua hari yang lalu, karena belut paling suka tinggal di sawah yang belum banyak kontaminasi pupuknya. Ketika jalan di pinggiran sawah yang baru digarap itu, mereka melihat ada banyak lubang-lubang kecil yang jaraknya cukup berdekatan.
"Mana belutnya?" tanya Oji, yang masih nggak tahu bahwa ternyata lubang-lubang kecil yang dia lihat di lumpur itu adalah sarang belut.
"Mungkin lagi tidur," jawab Bangsat, setengah terkikik. "Soalnya belut paling banyak keluar kalo malem hari."
Oji angguk-angguk sambil membenamkan kakinya ke lumpur. Dingin. Lembek. Kayak nginjek tahi. "Terus gimana cara nangkap belutnya?"
"Lihatin gue, nih," kata Bangsat, menyingsingkan lengan bajunya. "Gue udah pakar."
Bangsat jongkok di dekat salah satu lubang belut, kemudian pelan-pelan dia memasukkan jari telunjuknya ke lubang itu, membenamkannya terus ke dalam sampai akhirnya dia merasakan ada benda licin yang dia yakin adalah kepala belutnya. Lalu dia masukkan juga ibu jarinya ke lubang, kemudian dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, dia menjepit kepala belut yang terasa licin itu, lalu menariknya ke atas sehingga belut itu berhasil ditarik keluar dari lubangnya.
"Hiii!!" Oji terlompat kaget ketika Bangsat melempar belut itu ke dekat kakinya, dan dia buru-buru naik ke pinggiran, marah-marah karena Bangsat goblok banget nggak ngasih tahu bakal melempar belut itu ke kakinya.
Bangsat tertawa ngakak, geli lihat tingkah Oji yang lompat kayak perempuan lihat tikus mati. "Jangan takut, Ji. Ini bukan belut listrik."
"Gue kaget, Kampret! Geli juga! Itu belutnya gerak-gerak gitu, Bang!" Oji menunjuk ke belut yang kepalanya masih dijepit oleh Bangsat. Badan belut yang licin bergerak ke sana kemari, berontak ingin lepas dari jepitan Bangsat.
"Mau pegang, nggak?" tanya Bangsat, menyodorkan belut itu ke Oji.
Oji mengulurkan tangannya takut-takut. "Tapi aman kan kalo dipegang? Nggak akan nyetrum, kan?"
Bangsat tertawa lagi. "Nggak akan, ini bukan belut listrik."
Oji memberanikan diri menjepit kepala hewan itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Kulit belut yang licin nyaris membuat binatang itu lolos dari jepitannya.
"Pegangnya yang kuat, ditekan, jangan cuma dijepit doang."
Setelah yakin jepitan Oji kuat dan binatang itu nggak bisa kabur, Bangsat melepasnya. Akhirnya Oji berhasil menjepit binatang itu walau dari tadi bergidik geli karena harus memegang belut yang ekornya mengibas-ngibas sampai kena ke pergelangan tangannya.
"Gimana rasanya megang belut? Enak, kan?" tanya Bangsat, nyengir.
Oji nyengir sambil meringis. "Licin, Bang. Gue jadi inget Mali kalo megang belut ini."
"Kok Mali?"
"Soalnya Mali pernah baca cerita My Evil Prince karya Ipul RS yang ada seks sama belutnya gitu," jawab Oji.
Sekarang gantian Bangsat yang bergidik geli. "Orang gila kali ya ngewe sama belut." Dia nggak mau membayangkannya, tapi gambaran belut yang menggerayangi kelaminnya membuat dia merinding tambah hebat.
"Belutnya kita taruh mana nih, Bang?" tanya Oji, nggak tahan dengan belut yang meronta-ronta itu.
"Bentar, gue ambil ember dulu di saung." Dia bergegas ke saung, mengambil ember kecil di bawah kolong, kemudian membawanya ke Oji. Anak itu langsung menjatuhkan belut ke ember.
"Cari lagi?" tanya Bangsat.
Oji mengangguk penuh semangat. "Lagi dong. Nggak puas kalo belum dapet yang gede."
"Belut gue gede nih, Ji." Bangsat nyengir sambil mengusap selangkangannya.
Oji putar bola mata, lalu iseng-iseng dia mendorong Bangsat sampai cowok itu jatuh tercebur ke lumpur. Oji ketawa-tawa, sementara Bangsat mengumpat karena dia jatuh ke lumpur dengan muka duluan sehingga ketika dia bangkit, mukanya dipenuhi lumpur. Dia harus meludahkan lumpur dari mulut dan menggosok tanah becek itu dari matanya sebelum bisa memarahi Oji.
"Kurang ajar lo, Ji!" Bangsat terseok-seok di lumpur mendekati Oji yang masih tertawa ngakak di pinggiran.
Bangsat berhasil memegang tangan Oji dengan tangannya yang berlumpur. Wajah anak itu sontak ketakutan setelah tahu Bangsat berhasil memegangnya. Dan Oji terlambat sedetik menyadari sebelum akhirnya Bangsat menariknya turun ke sawah sehingga dia pun tercebur ke lumpur, mendarat dengan wajahnya duluan.
"Bangsat, Anjing! Puah!" Oji meludahkan lumpur banyak-banyak karena tadi waktu jatuh dia lagi teriak—jadi mulutnya mangap.
Gantian Bangsat yang ngakak lihat muka Oji dipenuhi lumpur. Dia masih ketawa sambil memegangi perutnya yang geli nggak ketulungan ketika Oji menyerang tubuhnya sehingga mereka jatuh bertindihan di lumpur sambil ketawa-ketawa kayak orang bego. Mereka pura-pura bergulat di lumpur sambil guling-gulingan—kadang Oji yang di bawah, kadang Bangsat yang di bawah. Rambut, wajah, baju, dan celana mereka basah kuyup karena lumpur, tapi mereka nggak peduli. Yang penting bahagia. Ya, kan?
Akhirnya, kegiatan mencari belut itu berubah jadi ajang gulat yang dimenangi oleh Bangsat, karena biar bagaimana pun Oji nggak akan menang melawan tubuh Bangsat yang gedenya dua kali lipat badannya. Dan ketika Bangsat mengunci Oji di bawah tubuhnya, anak itu pasrah sebagaimana biasanya dia pasrah kalau Bangsat sudah memerangkapnya di atas kasur. Dalam posisi seperti itu, mereka memandangi wajah satu sama lain yang berlumpur seolah-olah mereka lagi maskeran.
"Muka lo kayak Mak Lampir," ejek Bangsat.
"Muka lo juga kayak Genderuwo."
Bangsat ngakak, lalu matanya mengawasi sekeliling. Di saung nggak ada Bapak, dan satu-satunya orang yang ada di sekitar mereka jaraknya sangat jauh sehingga nggak mungkin bisa melihat mereka dari jarak sejauh itu. Ketika kembali memandang Oji, Bangsat tersenyum sambil mengucap:
"Gimana kalo kita ciuman?"
"Jangan tolol! Bibir lo berlumpur."
"Justru karena berlumpur makanya gue ngajak ciuman." Bangsat nyengir. Giginya putih bersinar di tengah-tengah cokelat lumpur yang menutupi wajahnya.
"Ogah!" Oji menolak, tapi setengah hati karena sebenarnya dia juga penasaran.
"Ah, banyak bacot lo!"
Tanpa persetujuan Oji, Bangsat langsung menerkam bibir anak itu yang dilumuri lumpur. Awalnya memang bau tanah, dan rasanya kayak ada pasir yang memenuhi mulutnya, jadi dia menahan diri untuk nggak menelan ludah, atau dia bisa mati keracunan karena menelan tanah yang banyak kumannya itu. Bibir Oji masih terasa lembut setelah dia berhasil menghapus lumpur yang menutupinya, dan sambil berciuman Oji memejamkan mata berusaha menikmati rasa bibir Bangsat yang berlumpur.
Selepas ciuman, mereka meludah nyaris bersamaan. Setelah itu mereka tertawa lagi, dan bibir mereka yang tadinya ditutupi lumpur, sekarang sudah bersih dari tanah becek itu. Mereka nyengir. Bangsat kembali mengawasi keadaan sekitarnya. Setelah dirasa aman, mereka kembali ciuman di tengah-tengah lahan sawah milik Bapak.
Lokasi dan suasananya memang nggak romantis, tapi kebahagiaan yang mereka rasakan saat itu nggak ada tandingannya.
***
Sorenya, sekitar pukul lima, mereka sudah siap-siap pergi. Oji yang paling antusias karena akan menikmati sunset di Pantai Muara yang kata Bangsat bagus banget pemandangannya. Dia sudah menyiapkan kamera hape untuk mengabadikan sunset pertamanya.
Jarak Pantai Muara dari rumah Bangsat nggak jauh-jauh banget, jadi mereka jalan kaki ke sana. Sepanjang jalan, mereka ngobrol. Oji banyak tanya tentang jenis-jenis tanaman yang tumbuh di sepanjang jalan yang mereka lewati, dan Bangsat menjawab pertanyaan-pertanyaan Oji yang dia tahu jawabannya. Kalau nggak tahu, biasanya dia cuma angkat bahu, dan Oji bakal pindah ke pertanyaan selanjutnya.
Ketika mereka melewati lahan sawah milik orangtua Bangsat, ingatan tentang "ciuman berlumpur" tadi membuat mereka sama-sama tersenyum. Untungnya, mereka mengakhiri ciuman itu sedetik sebelum Bapak memergoki mereka lagi bertindihan di lumpur. Kalau cuma tindihan doang sih Bapak nggak curiga, karena saat itu beliau mikirnya mereka lagi main berantem-beranteman, jadi Bapak cuma geleng-geleng kepala sambil memarahi mereka yang bertingkah kayak anak kecil. Tapi yang nggak diketahui mereka berdua, ketika Bapak balik badan, senyum beliau terkembang di pipinya.
Setelah lahan sawah Bapak, mereka melewati jalan tanah berbatu-batu. Sisi kiri dan kanan jalan ditumbuhi rerumputan liar yang tingginya melebihi tinggi badan Oji. Awan mendung masih menggantung seolah-olah betah menutupi matahari yang mulai condong ke arah Barat. Oji khawatir, dengan adanya awan mendung pekat itu apakah dia bisa menikmati sunset di Pantai Muara nanti?
Ada percabangan jalan. Yang satu ke kiri, yang satunya lurus ke depan. Bangsat milih yang ke kiri, karena jalan yang lurus itu mengarah ke desa Kampung Baru.
Nggak jauh dari percabangan itu ada jembatan kayu yang melintang dari pinggiran sungai tempat Oji berdiri sampai ke pinggiran sungai di seberang sana. Sungai itu lebar, airnya berwarna kecokelatan pekat dengan arus tenang yang tampak menghanyutkan. Jembatan itu berdiri kokoh kira-kira tiga meter di atas permukaannya.
"Yakin ini aman?" tanya Oji, takut-takut karena jembatan kayu ini kelihatan kurang meyakinkan dibanding jembatan beton yang tadi pagi dia lewati. "Kayunya nggak ada yang rapuh, kan?"
"Aman, Ji. Jangan takut, lah. Jembatan ini dibuat bukan dari kayu sembarangan."
Itu saja masih belum cukup. "Lo duluan," kata Oji, mundur ke belakang tubuh Bangsat. Dia mendorong Bangsat, menyuruh cowok itu melangkah duluan ke jembatan.
Bangsat menapakkan kakinya di kayu jembatan yang mulai menghitam termakan usia. Ketika dia menginjaknya, kayu itu mengeluarkan suara keriut menyedihkan seakan-akan mengeluh nggak kuat menopang bobot tubuh Bangsat yang berotot.
"Nah, lihat kan? Nggak apa-apa. Ayo." Bangsat menggenggam tangan Oji, kemudian menarik anak itu sampai berada di sebelahnya. Lengannya melingkar di pinggang Oji. "Gue kan dah pernah bilang, lo bakal aman selagi lo ada di sisi gue."
Pipi Oji merona karena gombalan itu. Sejuknya udara sore yang mendung tiba-tiba berubah jadi hangat karena gombalan Bangsat tadi.
Setelah berhasil menyeberangi jembatan, mereka lanjut berjalan. Lengan Bangsat nggak lagi melingkari pinggang Oji, tapi cowok itu selalu berada di sisinya, nggak mau jauh-jauh dari anak itu karena dia nggak mau orang yang dicintainya lepas dari pengawasannya. Lebay memang, tapi Bangsat benar-benar nggak mau sesuatu yang buruk menimpa Oji.
Nggak jauh dari situ, rumah-rumah warga mulai bermunculan.
"Masih ada rumah di sini, Bang?" tanya Oji, setengah heran, setengah kagum. Rumah-rumah di daerah sini bergaya panggung, tinggi-tinggi udah kayak panggung hiburan beneran. Walaupun monoton karena warna rumah-rumah itu yang nyaris sama—yakni cokelat kehitaman—tapi kesan asri dan nyaman sangat kental Oji rasakan di situ.
"Ini RT 06. Masih kampung Kekatang juga," jawab Bangsat.
Nggak jauh dari sana, suara lembut ombak yang memecah di pantai mulai kedengaran. Oji menghirup napas dalam-dalam, menikmati aroma air asin, menikmati sejuknya udara mendung yang menutupi sinar matahari sore. Dia makin yakin bahwa dia nggak akan bisa melihat sunset, sebab awan mendung kembali bersatu sehingga membentuk gumpalan abu-abu pekat yang mulai mengeluarkan suara guntur di kejauhan. Itu pertanda hujan pasti akan segera turun, dan Oji berdoa dalam hati semoga hujannya turun nanti ketika mereka sudah sampai rumah.
Melewati jejeran rumah terakhir, mereka akhirnya sampai di pantai. Pohon-pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang pesisir pantai daunnya bergerak-gerak tersapu angin yang kebetulan sore itu memang lagi kencang. Angin juga menerbangkan rambut Oji. Tapi karena saking terpananya dengan pantai yang ada di hadapannya, dia nggak peduli lagi dengan rambutnya yang berantakan.
Pantai itu adalah hamparan pasir hitam yang membentang sejauh kira-kira lima ratus meter—atau bisa jadi lebih dari itu, karena jarak pandang Oji terhalang oleh bukit yang ada di ujung terjauh pantai. Angin yang bertiup kencang sore itu membuat ombak bergelung lumayan tinggi—tingginya hampir satu meter—sebelum akhirnya memecah di pantai dengan suara jrasss yang khas dan menciptakan buih putih yang kontras dengan pasirnya yang hitam. Kapal-kapal getek milik nelayan sudah ditarik sejauh mungkin dari sapuan ombak yang tinggi karena biasanya hasil tangkapan ikan nggak terlalu bagus di cuaca yang berangin kencang itu.
Pantai itu bersih dari karang, dan sejauh mata memandang kita hanya akan mendapati pasir hitam, yang konon sejarahnya berasal dari material hasil erupsi gunung Krakatau yang meletus tahun 1883 silam. Ketika melepas sandal dan menjejakkan kakinya di pasir hitam itu, Oji merasa seperti sedang menginjak spons. Dia melompat-lompat kecil di atas pasir lembut itu sebelum akhirnya berhenti karena sadar Bangsat memperhatikannya sambil tersenyum mengejek. Pipi Oji merah karena tertangkap basah bertingkah kayak anak kecil.
"Sungainya mana?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Bangsat menoleh ke kiri, ke bagian air yang tenang dan berwarna kehijauan, yang sepanjang sisi sebelahnya ditumbuhi pohon-pohon bakung, sementara sisi sebelahnya lagi ditutupi tanah padat berwarna cokelat kehitaman.
"Itu sungai?" tanya Oji, mengerutkan kening. Dia nggak pernah melihat muara sungai sebelumnya, jadi nggak yakin kalau yang dikasih tahu Bangsat itu beneran sungai.
"Delta sungai," jawab Bangsat sambil angguk-angguk. "Lihat bagian tanah yang di sebelahnya? Itu endapan material yang dibawa arus sungai."
Oji mengangguk. Dia perhatikan air sungai itu mengalir dengan tenang sebelum akhirnya disambut oleh gelombang laut yang melahapnya sehingga kedua air yang berbeda itu menjadi satu. Air payau.
"Nah, kalau itu namanya kebo." Bangsat menunjuk ke bagian terjauh sungai yang luput dari pandangan Oji. Di sana, ada segerombolan hewan berkulit hitam dengan tanduk mencuat dari kedua sisi kepala mereka, sedang berendam di air sungai.
"Itu kebonya lagi mandi?" Oji tertawa geli.
"Iya. Itu kebo milik Abah Sakri. Nanti deh aku ajak kamu ke sana biar lihat kebo dari jarak deket. Belum pernah, kan?"
Oji menggeleng karena dia memang belum pernah lihat kebo secara langsung.
"Ayo kita jalan-jalan," Bangsat menggenggam tangan Oji. Kecuali mereka, di pantai itu nggak ada orang lain karena warga sekitar biasanya malas pergi ke laut saat matahari hampir tenggelam.
Mereka jalan bersisian di sepanjang garis pantai yang airnya terasa sejuk, dan buih-buih putih mendesis ketika ombak memecah di bawah kaki mereka. Angin laut masih bertiup kencang, menerbangkan rambut mereka, terdengar agak bising tapi nggak terlalu memekakkan. Bau asin semakin tajam tercium, dan Oji seakan-akan bisa merasakan garam di mulutnya ketika dia membuka mulut untuk bicara.
"Jadi, apa yang mau kita obrolin?" tanyanya di sela-sela suara angin.
"Tentang langkah kita selanjutnya." Bangsat mengeratkan genggamannya di tangan Oji. Kaki mereka disapu oleh air. "Gue udah memikirkan semuanya matang-matang, bahwa setelah pulang dari sini gue bakalan jujur ke Ratu."
Tertegun, Oji mendadak berhenti sehingga Bangsat harus menghentikan langkahnya. Anak itu menggigit bibir sambil menatap Bangsat takut-takut. "Kalau untuk Kak Ratu gue masih belum yakin, Bang. Tapi kalau untuk Wina, gue siap."
Bangsat meraih tangan Oji yang satunya lagi, menggenggamnya dengan lembut, matanya nggak lepas dari mata Oji. "Gue tahu kecemasan lo tentang Ratu, tapi lo juga harus tahu bahwa ini satu-satunya cara yang harus kita lakukan kalau kita mau bahagia."
Oji menggigit bibir lebih kuat, dan kali ini dia benar-benar merasakan garam di bibirnya. "Gimana ya, Bang? Gue sayang banget sama Kak Ratu, dan Kak Ratu juga sayang banget sama gue. Gue nggak tega—"
"Lo nggak tega nyakitin Ratu tapi masih berani backstreet di belakang dia."
"Siapa bilang gue berani backstreet di belakang dia?" kata Oji, defensif. Dia menarik lepas tangannya yang digenggam Bangsat, kesal karena nada menuduh yang terdengar dalam ucapannya tadi.
Bangsat membuang napas, berusaha sabar. "Lo sayang sama gue kan, Ji?"
Oji mengangguk. Dia sayang banget sama Bangsat. Tapi, dia juga sayang banget sama Kak Ratu.
"Lo cinta sama gue?" tanya Bangsat lagi.
Oji mengangguk. "Gue emang cinta sama lo, Bang. Tapi Kak Ratu—"
"Kalau lo beneran cinta sama gue, dan kalau lo beneran sayang dengan Ratu, harusnya lo nggak perlu takut untuk jujur di hadapannya."
"Semuanya nggak semudah itu, Bang." Oji menatap ke lautan, memandangi ombak yang bergerak cepat ke pantai, lalu pecah menjadi buih yang mendesis di bawah kakinya. Seandainya memecahkan masalah semudah ombak memecah di pantai, mungkin Oji nggak harus sebingung ini sekarang.
Bangsat berdiri di sebelah Oji, memandangi ombak yang sama, tapi pikiran mereka berbeda. Buat Bangsat, jujur ke Ratu tentang hubungan terlarangnya dengan Oji adalah prioritas utama, sedangkan buat Oji ini semua masih terlalu rumit dan membingungkan.
"Sekarang gini aja, lo maunya gimana dengan Ratu? Mau tetap backstreet di belakang dia sampai dia tahu sendiri tentang hubungan kita, atau jujur di hadapannya dan nggak menyakitinya dari belakang?"
"Dua-duanya nggak ada yang bagus," jawab Oji, sadar betul bahwa dilemanya yang sesungguhnya adalah Kak Ratu, bukan Wina.
"Kalau saran gue sih kita jujur aja, Ji. Lebih baik Ratu tahu di depan daripada tahu belakangan. Paling nggak, kalau kita jujur, dia tahu bahwa kita beneran serius nggak mau nyakitin dia. Tapi kalau kita nyumput-nyumput di belakang dia, sekalinya ketahuan pasti bakal lebih runyam urusannya."
Matahari nggak muncul sama sekali dan Oji kesal karena gagal mendapatkan sunset pertamanya. Tapi, dia lebih kesal lagi karena nggak punya keberanian untuk menyetujui rencana Bangsat. "Gimana kalau setelah kita jujur, Kak Ratu langsung membenci kita berdua? Gimana kalau Kak Ratu ngadu ke Mama dan Papa?"
Gantian Bangsat yang diam. Untuk pertanyaan Oji yang pertama, dia sudah memikirkan jawabannya. Tapi untuk pertanyaan yang kedua, Bangsat nggak punya ide sama sekali untuk menjawabnya. Nyatanya, Ratu mungkin saja mengadukan Oji ke orangtuanya. Walaupun kemungkinannya kecil, tapi tetap harus diwaspadai. Karena kalau Bangsat gegabah dalam mengambil langkah, maka nasib Oji yang akan jadi taruhannya.
Selama beberapa saat, mereka diam sambil memandangi pucuk-pucuk ombak yang mulai terbentuk di kejauhan, bergerak menghampiri mereka seolah ingin menerjang, tapi selalu gagal karena setiap kali mencapai pantai ombak itu perlahan-lahan menyurut dan kemudian pecah menjadi buih yang mendesis di bawah kaki mereka. Dalam hati Oji bertanya-tanya bagaimana ombak yang tingginya hampir tiga meter dan berisiko menenggelamkan itu bisa jadi nggak ada apa-apanya ketika mencapai garis pantai? Sedangkan Bangsat sedang memikirkan jawaban untuk pertanyaan Oji yang kedua.
Bangsat sadar bahwa risiko yang harus dia hadapi nggak sebanding dengan pengakuan terlarangnya nanti. Ada banyak masalah yang mungkin bakal timbul setelah pengakuan terlarangnya itu, dan apakah Bangsat siap menghadapi masalah-masalah itu? Dia memang siap untuk dibenci oleh Ratu, tapi apakah dia sanggup melihat Oji dibenci oleh kakaknya sendiri? Apakah dia tega memaksa Oji untuk jujur kepada Ratu dengan konsekuensi anak itu akan dibenci selamanya oleh kakaknya? Rasanya nggak. Bangsat nggak cukup tega melihat Oji menderita seperti itu.
Tapi, dia juga nggak mau lama-lama menyakiti Ratu dengan kebohongan ini. Jadi, dia berencana untuk tetap jujur ke Ratu tanpa harus melibatkan Oji. Dia akan bilang ke Ratu bahwa dia jatuh cinta pada orang lain, bahwa orang inilah yang berhasil membuatnya benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya. Memang sih, Bangsat nggak tahu apa-apa tentang cinta. Tapi kalau dengan bersama Oji dia merasa bahagia dan nyaman, dia yakin itulah cinta yang sesungguhnya.
"Mungkin lo emang nggak harus jujur sekarang," kata Bangsat akhirnya.
Oji masih diam. Matanya menatap ke kejauhan, seperti sedang mencari sesuatu. Sampai akhirnya dia yakin nggak menemukan apa pun di sana, dia bergumam, "Maaf, Bang."
"Maafin gue karena terlalu maksa-maksa lo untuk ikutan jujur." Bangsat melingkarkan lengan di bahu Oji. "Gue bakal berusaha untuk ngerti keputusan lo yang nggak mau jujur ke Ratu."
"Bukannya gue nggak mau, tapi—"
"Ssstt," Bangsat membungkam bibir Oji dengan jari telunjuknya. "Jangan ngomong apa-apa lagi. Urusan Ratu biar gue yang selesaiin. Gue bakal tetap jujur, tapi nggak akan bawa-bawa nama lo. Jadi dengan begitu lo bisa tetap aman."
Oji meletakkan kepalanya di bahu Bangsat, menjadikan bahu kokoh itu sebagai sandaran ketika dia sedang dilanda kebingungan hati yang luar biasa. "Maafin gue, Bang," katanya, pedih. "Bukan maksud gue cari aman dalam hubungan kita ini. Gue pingin banget ada di sisi lo, jujur di hadapan Kak Ratu, tapi ini semua terlalu menakutkan untuk dilakukan, Bang. Memang sih ketakutan gue ini berlebihan, tapi nggak ada salahnya kita pikirin mateng-mateng semua risikonya, ya kan?"
"Gue ngerti, Ji." Bangsat tersenyum. Lengannya kali ini turun ke pinggang Oji. "Mungkin gue terlalu semangat untuk menyingkirkan semua orang yang menghalangi kebahagiaan kita."
"Jangan buru-buru, Sayang. Pelan-pelan tapi pasti, semua masalah ini pasti bisa kita lewati bareng-bareng." Oji memejamkan mata sambil menikmati bahu kokoh yang menopang kepalanya dan sapuan angin yang membelai wajahnya.
Bangsat terperangah mendengar kata-kata Oji yang manis, karena itu pertama kalinya Oji mengucapkan "Sayang" kepadanya, dan pertama kalinya juga Oji terdengar optimis terhadap masalah yang sedang mereka hadapi saat ini. Senang mendengar kata-kata itu, Bangsat mengecup puncak kepala anak itu dengan sayang.
"Wina gimana?" tanya Bangsat, ingin tahu.
"Sama kayak yang bakal kamu lakuin ke Kak Ratu, aku juga bakal kayak gitu dengan Wina."
"Jadi pacar-pacar kita nggak tahu kalau kita saling jatuh cinta?"
Oji masih memejamkan mata sambil mengangguk. "Nggak ada ngaruhnya juga kan mereka tahu kita jatuh cinta atau nggak? Yang jelas, aku beneran sayang sama kamu, Bang. Bukan cuma sayang, tapi juga cinta." Oji mengangkat kepalanya dari bahu Bangsat, membuka mata, lalu mengecup lembut pipi Bangsat yang tirus. "Aku tahu aku kayak anak kecil yang masih sering kebingungan dan nggak punya pendirian tetap. Tapi yang jelas, untuk sekarang, perasaanku ke kamu nggak bisa diganggu gugat lagi. Udah harga mati. Aku cintanya sama kamu. Cuma pingin sama kamu, Bang Sat."
Mendadak pipi Bangsat terasa seperti kebakaran. Panaaas banget. Sensasi panas itu menjalar di sekujur tubuhnya, masuk ke hatinya. Bangsat tersenyum lebar karena sejak dia lahir, baru kali itu dia merasakan sesuatu yang terasa sangat membahagiakan sampai-sampai dia nggak bisa berhenti untuk tersenyum. Inikah cinta yang sesungguhnya? Dia bertanya-tanya. Kalau memang iya, dia bersyukur karena dikasih kesempatan untuk bisa merasakannya.
"Gue pingin peluk lo, Ji." Bangsat menatap Oji, pipinya masih panas karena kebahagiaan. "Boleh?"
Oji mundur selangkah. Sambil tersenyum, dia merentangkan tangannya lebar-lebar sambil berucap, "Sini, Bang. Peluk dedek."
Bangsat tertawa mendengar suara Oji yang manja. Tanpa pikir panjang, karena sudah dikasih izin dia langsung menghambur ke tubuh Oji, melingkarkan lengannya di tubuh kurus anak itu. Sensasi panas yang dia rasakan tadi kembali menjalar sampai ke ujung mata kaki, dan dia menyukainya. Bangsat memang nggak pernah mengenal yang namanya cinta dan kebahagiaan, tapi saat itu dia tahu bahwa anak SMA yang sedang dipeluknya itulah sumber kebahagiaannya.
"Gue sayang lo, Ji," ucap Bangsat, membenamkan kepalanya di bahu Oji, memeluk lebih erat seolah-olah dia takut kehilangan anak itu.
"Aku sayang kamu." Oji setengah tertawa sambil balas melingkarkan lengan di tubuh Bangsat yang berotot. "Mulai sekarang jangan pakek gue-lo lagi. Kita kan udah resmi pacaran."
Bangsat melepas pelukan. Dia menatap Oji dengan sebelah alis terangkat. "Oh yeah? Emang kapan lo pernah nerima gue sebagai pacar lo? Waktu itu kan lo belum jawab."
Oji gelagapan. Dia menggaruk belakang kepalanya yang nggak gatal sama sekali. "Hmm ... itu ... hmm ...."
"Ck!" Bangsat berdecak. Lalu, dengan inisiatifnya sendiri, dia bertekuk sebelah lulut di pasir sambil tangannya memegang salah satu tangan Oji. "Gue ulangin, ya. Karena waktu itu gue nembaknya nggak berkesan, jadi sekarang gue bertekuk lutut di hadapan lo, di pantai berpasir hitam dengan awan mendung menutupi sunset, dan buih putih air laut membasahi kaki."
Oji menahan tawa sambil menggigit bibir karena dia ingin menangis. Konyol memang nangis cuma karena mau ditembak, tapi mau gimana lagi? Cowok yang kamu cinta bertekuk lutut di hadapanmu sambil memegang tanganmu, di pantai yang indah dengan suara ombak mengalun lembut seperti musik romantis ... rasanya kayak dia lagi dilamar di depan menara Eiffel.
"Ji ...," Bangsat memulai sambil membelai jemari tangannya, "gue sayang dan cinta banget sama lo. Seumur hidup gue nggak pernah jauh cinta, dan lo adalah orang pertama yang membuat gue tahu rasanya jatuh cinta. Gue tahu gue emang bajingan karena udah nidurin banyak cewek, termasuk kakak lo, tapi mulai hari ini—detik ini juga—gue bersumpah nggak akan mau nidurin siapa pun lagi selain lo karena gue udah terlanjur tergila-gila dengan pantat lo yang sempit dan suara desahan lo yang—"
PUK!
Oji menepuk kepala Bangsat, jengkel. "Lo mau nembak gue apa mau gombalin gue, sih? Yang bener, dong!"
Bangsat nyengir, lalu wajahnya berubah jadi serius. "Intinya, aku cinta sama kamu, Ji. Nggak ada apa pun yang aku inginkan di dunia ini kecuali kamu, kamu, dan kamu." Bangsat menciumi jari-jari tangan Oji. "Kamu mau kan nerima aku jadi pacar kamu?"
Oji pura-pura mikir sambil nyengir. Tanpa harus diucapkan pun mereka berdua sudah sama-sama tahu jawabannya.
"Ya, Bang," jawab Oji akhirnya. "Aku mau jadi pacar kamu."
Bangsat berdiri, masih menggenggam tangan Oji. Senyum nggak mau lepas dari wajahnya yang tegas dan mulai ditumbuhi bulu-bulu halus bakal kumis dan janggut yang memang sudah lama nggak dia cukur. Bangsat maju selangkah, memotong jaraknya dengan Oji hingga wajah mereka hanya berjarak setengah jengkal yang memudahkan mereka untuk meraih bibir satu sama lain. Tapi, mereka nggak melakukannya. Mereka hanya saling menatap di antara kencangnya angin yang menerbangkan rambut dan buih ombak yang membuat kulit kaki mereka mengerut.
Oji mengangkat sebelah tangannya untuk mengelus rahang Bangsat yang berbulu jambang halus. Dia menyukai sensasi geli-geli kasar dari bulu-bulu yang tumbuh sampai ke bawah dagu lancip cowok itu.
"Jadi kita resmi pacaran?" tanya Bangsat, setengah menggumam, setengah mendesah sambil menunduk menempelkan keningnya ke kening Oji.
Oji mengangguk. Dia ingin sekali menerkam bibir Bangsat, tapi dia menahan diri sekuat mungkin karena bahaya ciuman di pantai terbuka seperti ini.
"Gue sayang lo, Ji." Bangsat juga sudah nggak tahan ingin menggigit Oji, menikmati tubuh anak itu dari atas sampai ke bawah, memilikinya hanya untuk dirinya sendiri.
"Gue juga sayang lo, Bang."
"Sumpah, gue pengen cium lo." Hidung Bangsat menabrak hidung Oji. Kalau dia memiringkan kepalanya sedikit saja, bibir Oji pasti bisa diraihnya dengan mudah.
"Jangan di sini." Oji menarik kepalanya mundur. "Bukan nggak mau, Bang. Cuma rasanya nggak mungkin ciuman di pantai."
Setelah beberapa saat, akal sehat kembali menguasai Bangsat. "Iya, Ji. Lagian ngeri ciuman di laut, takut kena adzab."
Oji putar bola mata, tapi kemudian tersenyum setelah ingat sesuatu. "Bang, katanya mau lihat kebo?"
"Oh iya." Bangsat menepuk jidat. Lalu dia melihat arloji di tangannya. "Belum jam enam. Masih ada waktu. Yuk, mumpung kebonya belum pulang."
Bangsat membawa Oji ke bagian sungai yang ada kebonya. Air sungai yang tenang berwarna cokelat agak kehijauan di sebelah kanan mereka. Sambil jalan mendekati kebo-kebo itu, Oji bertanya:
"Di sini ada buaya nggak, Bang?"
"Kalo ada, kebo-kebo itu pasti udah lari kebirit-birit," jawab Bangsat, terkekeh. "Kata warga sini, dulu emang pernah ada buaya muara, tapi sekarang udah nggak lagi."
"Kenapa?"
"Entahlah. Yang jelas, muara bagian sini aman dari buaya."
Mereka sampai di gerombolan kebo yang lagi asik berendam. Sebagian kebo masih berada di sungai, tubuh mereka terendam seluruhnya ke dalam air. Cuma kepala dan ekor yang mengibas-ngibas yang tampak berada di atas permukaan. Sebagian kebo yang lain berada di daratan seberang, sedang merumput. Seorang Bapak Tua dengan rambut putih, badan kurus kerempeng dan berkeriput duduk di salah satu batu di dekat pinggiran sungai.
"Itu Abah Sakri." Bangsat mengenalkan Bapak Tua itu. "Ayo, aku mau pinjam kebonya."
"Pinjam?" tanya Oji, keheranan.
Tapi Bangsat sudah keburu lari menghampiri Abah Sakri sebelum pertanyaan Oji dijawab.
Setelah basa-basi mengenalkan Oji sebagai orang kota yang baru pertama kali lihat kebo, Bangsat langsung mengutarakan niat sesungguhnya ke Abah Sakri, yaitu minjam seekor kebo.
"Mau yang mana? Roberto atau Francisco?" tanya Abah Sakri dengan suara seraknya.
"Francisco aja, kayaknya dia yang paling kuat," kata Bangsat, mengangguk pada seekor kebo yang baru saja naik dari dalam air. Kulit kebo yang hitam tampak berkilauan karena air.
Abah Sakri membawa Fransisco mendekat ke Bangsat. "Jangan jauh-jauh ya, Tria. Abah udah mau pulang."
"Beres, Bah!" Bangsat mengacungkan jempol sambil memegang tanduk Francisco yang panjang, besar, dan hitam. Hewan itu memang nggak pernah dipakaikan tali sama Abah Sakri karena sudah jinak.
Oji mengikuti Bangsat yang membawa Francisco menjauh dari Abah Sakri. Dia nggak ngerti untuk apa Bangsat meminjam kebo itu. Apa untuk membajak sawah, ya? pikir Oji sambil mengamati Bangsat yang mengusap punggung Francisco dengan lembut.
Setelah berada di pantai lagi, Bangsat berhenti.
"Kenapa berhenti?" tanya Oji.
"Ayo kita naik kebo," kata Bangsat, nyengir.
"Ngawur! Lo kira ini kuda!"
"Kok ngawur? Aku serius. Kita naikin Francisco."
"Ih! Jangan! Kasihan dia. Nanti keberatan. Tahu sendiri badan kamu beratnya hampir sama kayak berat kebo ini kan?" kata Oji.
"Udah deh, bawel banget!" Bangsat menarik tangan Oji. Kemudian, dengan cukup mudah dia mengangkat tubuh Oji dan meletakkannya di punggung Francisco yang kokoh.
"Eh eh, Bang!" Oji protes sambil meluk leher Francisco erat-erat karena takut jatuh. Padahal, kalau dia jatuh juga nggak apa-apa karena jaraknya nggak tinggi-tinggi banget. Tapi, tetap saja. Ini pertama kalinya dia naik kebo.
"Tenang aja, aman kok. Francisco ini udah jinak. Dia kuat juga. Enam bulan lalu gue pernah bantuin Abah Sakri ngangkat karung beras ke punggung Francisco." Bangsat sudah ambil ancang-ancang mau naik ke punggung Francisco.
"Bang, lo jangan naik!" Oji menyingkirkan sebelah kaki Bangsat yang sudah naik ke punggung Francisco. "Nanti kalo Francisco patah tulang gimana?"
Bangsat tertawa, tapi sambil melompat naik ke punggung Francisco. Setelah membenarkan posisi duduknya, Bangsat menjawab, "Santai aja, Ji. Nikmatin aja. Ini bukan pertama kalinya gue naik kebo, kok."
Oji akhirnya diam dan nggak panik lagi ketika lengan Bangsat melingkar di perutnya, menjaganya.
"Lo aman bersama gue," ucap Bangsat, lembut, sambil mengecup sebelah pipi Oji.
"Oke." Oji akhirnya pasrah sambil menelan ludah karena Francisco mulai jalan menyusuri garis pantai. "Tapi ini beneran aman, kan?"
"Aman, Sayang. Nikmatin aja. Kapan lagi coba kamu naik kebo di pinggiran pantai bareng orang yang kamu sayang?" Bangsat mengecup leher Oji ketika mengatakan ini.
Oji makin panas karena kecupan Bangsat di lehernya. Mendadak dia tegang di dalam celananya. "Seharusnya kita naik kuda, Bang. Biar romantis. Bukan malah naik kebo." Oji terkikik geli.
"Nggak apa-apa naik kebo biar anti mainstream. Soalnya adegan naik kuda udah sering muncul di cerita-cerita orang lain." Bangsat mengecup leher Oji lagi.
"Jadi, kita mau ke mana bareng Francisco?" tanya Oji, akhirnya benar-benar bisa rileks. Dia menyandarkan punggungnya ke dada Bangsat sambil menikmati embusan angin laut yang menerpa mereka dari arah kiri.
"Kita puterin garis pantai ini bareng Francisco." Tangan Bangsat yang tadi di perut Oji sekarang turun ke selangkangannya.
Oji memejamkan mata ketika Bangsat mengusap selangkangannya. Enak banget rasanya. Kombinasi antara kebo, pantai, dan tangan Bangsat yang mengusap-usap membuat Oji terlena oleh kenyamanan dan juga kenikmatan yang mendambakan.
"Mau tahu apa persamaan langkah kaki Francisco dengan hubungan kita?" tanya Bangsat.
"Apa?"
"Walaupun pelan, tapi pasti. Sama kayak hubungan kita. Walaupun pelan, tapi kebahagiaan itu pasti." Bangsat mengecup leher Oji, menikmati aroma asin bercampur sabun yang samar-samar tercium di kulitnya. Seksi.
Kecupan Bangsat ternyata kurang. Oji membutuhkan lebih. Jadi, dengan menendang jauh-jauh ketakutannya terhadap kehadiran orang lain, dia menarik kepala Bangsat mendekat ke kepalanya, kemudian menerkam bibir cowok itu yang merah ranum seperti baru saja minum Fanta. Bibir Bangsat terasa agak asin, tapi lembut dan kenyalnya membuat Oji makin tegang di dalam celananya.
Sore itu, biarpun nggak mendapatkan sunset pertamanya, tapi Oji tetap bersyukur karena bisa ciuman di atas kebo sambil ditemani suara angin dan ombak yang menjadi saksi bisu kesungguhan cinta mereka.
A/N:
Ini adalah air terjun Putri Malu, di daerah Banjit, Way Kanan, Lampung.
Kurang lebih, air terjun Nirmala yang ada di cerita ini sama dengan air terjun yang ada di gambar.
Atau dengan kata lain, air terjun Nirmala itu nggak ada. Saya membuatnya ada karena saya emang kepengen air terjun itu ada. Haha.
Terus, ini adalah Pantai Muara:
Ini namanya Pantai Harapan, kecamatan Kelumbayan, Tanggamus, Lampung. Saya pilih tempat ini sebagai Pantai Muara di dalem cerita ini karena baru seminggu yang lalu saya ke sana, wkwk. Bayangin aja Oji dan Bangsat naik kebo di sepanjang pantai itu wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top