Just Friends

Kembali kuliah, Bangsat murung karena mulai hari ini dia sudah nggak normal.

Dia sudah jadi homo karena ngeue dengan adik pacarnya yang berjenis kelamin cowok.

Kalau bisa memutarbalikkan waktu, Bangsat juga mau melakukannya. Dia bakal mengulang hari kemarin, menolak untuk tidur seranjang dengan Oji, menolak untuk dibangunin oleh Oji, menolak untuk diajak membuktikan homo atau nggak sama si Oji. Pokoknya Bangsat bakal menolak apa saja yang berhubungan dengan Oji.

Tapi sayangnya dia nggak bisa. Menolak Oji rasanya sama kayak menolak Kim Kardashian yang telanjang di depan mukanya. Mustahil. Karena setiap kali Bangsat melamun, apa yang dia dan Oji lakukan malam itu langsung melintas di dalam benaknya. Mati-matian Bangsat berusaha melupakan malam penuh kenikmatan itu, tapi hasilnya nihil. Suara desah Oji dan licin kulitnya yang basah karena keringat selalu mengganggu pikirannya.

"Sat, kenapa lo?" Juni menepuk bahunya cukup keras sehingga Bangsat sadar saat ini dia lagi nongkrong bareng teman-temannya di bawah pohon beringin cinta. "Kesurupan lo?"

Bangsat menyingkirkan tangan Juni yang menempel di bahunya. Kalau kemarin-kemarin sih dia nggak masalah tangan temannya itu nemplok lama-lama di bahunya, tapi sekarang dia risih dengan sentuhan itu. Rasanya beda, kayak sempak yang nyelip di pantat, nggak pas.

"Jangan sentuh gue," katanya, jutek.

"Wiih, lagi halangan kayaknya Kapten kita ini," kata Rian.

"Ngapa sih lo, Sat? Nggak enak badan? Muka lo merah."

Bangsat memegang keningnya sendiri. Nggak panas. Kepalanya juga nggak pusing. Dia nggak merasakan sesuatu yang salah dengan tubuhnya. "Gue sehat-sehat aja."

"Mending lo nyanyiin kita lagu deh," Hafiz menyerahkan gitar klasik warna cokelat tua yang ditempeli banyak stiker di badannya.

Dia menerima gitar itu dengan nggak semangat. "Lagu apa yang harus gue nyanyiin?"

"Terserah lo, Boy. Daripada lo ngelamun kayak orang bego, mending lo nyanyi. Tumpahin semua perasaan lo ke lagu. Itu cara kita mengungkapkan perasaan, kan?" Juni menepuk bahunya lagi, yang segera disingkirkan oleh Bangsat seolah-olah tangan Juni adalah kecoak jahat menjijikkan.

"Gue bilang nggak usah sentuh gue!" Bangsat nyaris menggebuk kepala Juni dengan gitar milik Rian yang ada tanda tangan Hindia-nya itu, tapi untungnya berhasil dicegah oleh teman-temannya yang lain.

"Selow geh, Boy. Ngeri amat lo hari ini. Lupa pakek kondom tah?" Hafiz berusaha menenangkan, tapi kata-katanya justru malah membuat dia dipelototin galak oleh Bangsat.

"Diem lo semua. Nggak usah ganggu. Gue mau nyanyi." Bangsat menempatkan gitar dengan nyaman, bersiap memetik senarnya sambil memikirkan lagu apa yang kira-kira cocok untuk menumpahkan semua perasaannya kepada Oji yang masih nggak mau pergi dari kepalanya.

Selera musik Bangsat memang nggak sebagus selera musiknya Rian, tapi paling nggak dia tahu beberapa lagu yang pas banget dengan suasana hatinya sekarang. Contohnya kayak lagu Just Friends dari Keshi. Entah kenapa tiba-tiba Bangsat merasa lagu ini cocok dengan apa yang lagi dia rasakan sekarang.

Memulai intro dari kunci C minor, Bangsat memejamkan mata sambil menumpahkan semuanya ke dalam melodi yang tercipta lewat petikan jarinya.

Baby boy is saying that we just friends
That we just friends
If we fuckin', are we just friends?
Are we just friends?

Saking terbawa suasana, Bangsat nggak sadar dia salah lirik. Yang seharusnya Baby girl malah dia ganti Baby boy. Untungnya bukan Baby Oil, kata Hafiz dalam hati sambil ketawa.

Teman-temannya cekikikan pelan, tapi nggak ada yang berniat mengoreksi. Jarang-jarang mereka lihat si Kapten galau sampai salah lirik begitu. Ini momen langka buat mereka. Bahkan Rian langsung mengeluarkan hapenya dan membuat video Bangsat lagi gitaran sambil memejamkan mata. Rasanya kayak melihat cowok melankolis yang lagi patah hati. Dan itu bukan Bangsat banget.

And what about the feelings that we had? Yeah
Throw 'em all away to the trash, yeah
Fuckin' wreck my heart, I'll take you back, yeah
I don't want nobody else but me to have ya

If I can't have you, no one can~
If I can't have you, no one can~

Tiba-tiba saja mata Bangsat yang tertutup langsung terbuka, dan Rian yang kaget hampir saja menjatuhkan hapenya ke tanah. Bangsat nggak menyadari kamera yang mengarah kepadanya, karena dia lagi kepikiran sama Oji. Entah anak itu lagi di mana, lagi apa, lagi sama siapa, Bangsat ingin tahu. Tiba-tiba Bangsat berdiri, menyerahkan gitar kepada yang punya, lalu dia ngomong sendiri kepada pohon beringin cinta.

"Gue harus temuin dia sekarang!" katanya, penuh tekad.

Tanpa pamit kepada teman-temannya, Bangsat ngeloyor pergi gitu aja kayak nggak punya dosa harus menjelaskan segalanya ke tiga temannya yang masih kebingungan dengan sikapnya itu.

"Mau ke mana lo, Sat? Buru-buru amat!" Rian teriak.

"Ada urusan penting!" Bangsat balas teriak sambil mengangkat sebelah tangan dan berlari.

Selepas Bangsat pergi, ketiga temannya saling melempar tatapan penuh tanya. Tapi satu pun di antara mereka nggak ada yang tahu apa yang terjadi, jadi ketiganya sama-sama menggeleng.

Sudah hampir seminggu Bangsat bertingkah aneh kayak gitu. Sering melamun salah tempat. Kadang nggak fokus dengan apa yang lagi mereka obrolin. Kalau gitaran, dia lebih sering milih lagu-lagu yang liriknya daleeeem banget kayak hati perempuan. Padahal selama ini Bangsat dikenal nggak pernah nyanyi lagu yang dalem-dalem. Dia juga biasanya jarang melamun, dan selalu fokus dengan setiap obrolan mereka.

Ketiga temannya ini sudah mencoba cari tahu ada apa dengan Bangsat, tapi hasilnya nihil. Bangsat terlalu tertutup orangnya. Kalau masalah hati, dia ogah mau buka-bukaan. Setiap kali ditanya ada apa? Dia jawab nggak ada apa-apa. Ditanya apakah dia baik-baik saja, dia mengangguk dan mengacungkan jempol tanda baik-baik saja. Sikap Bangsat yang merahasiakan segalanya ini membuat teman-temannya bingung setengah mampus. Rian bahkan hampir menyewa mata-mata untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan sahabatnya itu, tapi dia urungkan niat itu karena cuma akan buang-buang duit.

Ketiga cowok itu masih bertanya-tanya dan duduk di bawah pohon beringin cinta yang daunnya bergemerisik ditiup angin. Sekarang masih pukul setengah empat, tapi langit sudah terlihat seperti pukul setengah enam. Mendung. Bau-bau hujan sudah tercium dari tempat mereka duduk, dan mereka berniat pindah tongkrongan ketika Ratu datang menghampiri.

"Ada yang lihat Satria?" tanya cewek imut pacarnya Bangsat itu.

Hafiz, yang diam-diam menyimpan rasa kepada Ratu, nggak bisa ngomong apa-apa. Dia terpana melihat kecantikan Ratu yang sempurna layaknya seorang ratu dari kerajaan dongeng. Kulitnya mulus, putih merona gitu, dengan polesan make up tipis yang membuatnya tampak lebih cantik.

Cuma Juni yang mau jawab pertanyaan Ratu, karena Rian sudah pegang prinsip bakal membenci cewek itu selamanya—Rian beranggapan bahwa berubahnya Bangsat disebabkan oleh cewek ini, dan dia membenci siapa pun yang membuat sahabatnya berubah. "Satria barusan aja pergi."

"Pergi?" Ratu mengerutkan kening. "Tapi dia bilang mau nunggu gue di sini."

Kedua teman Bangsat tukar pandang—Hafiz nggak ikut tukar pandang karena dia lagi asik memandangi wajah cantik Ratu.

"Gue kira Satria pergi nyari lo," kata Rian yang sudah nggak lagi membenci Ratu, karena sekarang dia percaya bukan Ratu penyebab perubahan mendadak temannya.

Ratu menggeleng sambil mengibaskan rambutnya ke belakang punggung—gerakan ini malah membuat Hafiz menelan ludah banyak-banyak. "Emang Satria bilang mau pergi ke mana?"

Juni menggeleng. "Dia cuma bilang ada urusan penting."

Ratu menyelipkan rambut nakal ke belakang telinga sambil membuang napas pelan-pelan.

"Oke deh, kalau gitu gue duluan yaa," kata Ratu, sambil tersenyum. Senyuman khas seorang Ratu—memikat, mempesona.

Juni balas tersenyum, tapi masih dalam batas yang wajar karena dia bukan tipe sahabat yang mau nikung pacar sahabatnya sendiri. "Oke."

Setelah Ratu pergi, Hafiz bangkit berdiri. Rian memasukkan gitar ke dalam tas kemudian menyandangnya di bahu, bersiap pergi.

Tapi Juni masih duduk sambil bertanya kepada dua temannya, "Kira-kira di mana si Satria, ya?"

Jawabnya ada di ujung langit, kita ke sana dengan seorang anak. Anak yang tangkas, dan juga pemberaniiii ...

Oh, salah. Maksudnya jawabnya ada di Jalan Z. A. Pagar Alam, tempat Bangsat lagi kebut-kebutan di atas motor Mio Soul hijau keluaran tahun 2010 yang sangat disayanginya. Dia ngebut karena dia harus segera sampai ke sekolah anak itu.

Anak yang dimaksud Bangsat itu Oji, ya. Hari ini dia bertekad untuk menemui adik pacarnya itu, dan menuntut dirinya sendiri untuk menyelesaikan semua masalah yang membelit hatinya. Seminggu berlalu sudah sejak dia ngeue dengan Oji malam itu, dan seminggu itu pula dia selalu dihantui bayang-bayang penuh kenikmatan itu. Yang lebih ngeri, kemarin sore waktu Bangsat coli, sambil ngocok, yang ada di pikirannya bukanlah wajah Ratu, melainkan wajah Oji. Gila, kan? Baru kali itu Bangsat coli sambil ngebayangin cowok.

"Mungkin karena wajah Oji mirip dengan wajah Ratu." Dia selalu memberikan sugesti ini kepada dirinya sendiri supaya nggak melenceng dari jalur hidupnya yang normal.

Tapi nyatanya, sugesti semacam itu pun nggak berhasil. Yang muncul Oji lagi, Oji lagi. Kayak tadi waktu gitaran di bawah beringin cinta, yang terlintas di kepalanya adalah Oji, bukan Ratu.

Bangsat mendongakkan kepala melihat langit. Awan mendung sepertinya menutupi seluruh langit Bandar Lampung hari ini. Angin dingin berembus, membuat Bangsat yang nggak pakai jaket langsung kedinginan. Dia tancap gas lebih cepat lagi karena nggak mau kehujanan di jalan. Pertigaan Urip Sumoharjo dia terabas. Ada polisi yang lagi gabungan di depan Makam Pahlawan, dia tetap ngebut walaupun seorang polisi berusaha menghadang jalurnya, tapi Bangsat berhasil menyingkir dan bebas. Dia bawa motor gila-gilaan. Demi seorang cowok.

Cobaan demi cobaan masih menguji kesabarannya. Ada kecelakaan motor tabrakan motor di jalan Teuku Umar yang membuat jalanan macet sehingga Bangsat mau nggak mau harus memelankan laju motornya. Lepas dari kemacetan itu, dia harus menghadapi kemacetan lain di depan Ramayana Tanjungkarang sambil mengutuki siapa saja yang menyebabkan kemacetan ini. Jarum jam di arlojinya sudah menunjuk ke angka empat, yang berarti sudah setengah jam dia habiskan di perjalanan. Kalau setengah jam lagi dia masih nggak sampai juga ke sekolahnya Oji, maka sia-sia aja dia ngebut-ngebutan cuma buat nemuin anak itu.

Untungnya kemacetan itu nggak terlalu padat, jadi Bangsat bisa nyalip sana nyalip sini dengan mudah di antara mobil-mobil. Setelah bebas, dia langsung ngebut lagi.

Sampai di SMA Negeri 10 Bangsat langsung parkir. Parkiran siswa sudah sepi banget jam segini, dan Bangsat mulai khawatir. Jelas aja anak-anak sekolah sudah pulang jam segini. Tapi dia masih berharap semoga entah dengan kebetulan atau dengan takdir yang menyatukan, si Oji masih ada di sekolah untuk kerja kelompok bareng teman-temannya atau lagi ngapain gitu—anak SMA kan biasanya gitu, pulang sekolah nggak langsung pulang.

Bangsat nggak punya nomor hape Oji, karena dia malu mau mintanya. Terakhir dia ketemu Oji—seminggu yang lalu saat sarapan bareng keluarga Ratu—anak itu terlihat sangat marah padanya. Dan sekarang Bangsat berharap semoga setelah seminggu berlalu anak itu nggak marah lagi dengannya—anak SMA kan gitu, labil, dikit-dikit marah, besoknya udah baikan lagi.

Di dalam sekolah dia melihat empat cewek yang lagi cekikikan di dekat lapangan basket dan segera mendekati mereka.

"Dek, numpang tanya," kata Bangsat dengan nada selembut mungkin dan wajah semanis mungkin supaya dia nggak dikira begal.

"Ih, jangan panggil Dek, emangnya aku adek kamu. Hihi," jawab salah seorang cewek berambut keriting sosis. "Panggil aku Adinda."

Teman-teman Adinda cekikikan geli, persis kayak cabe-cabean yang doyan godain om-om—bukan om-om yang godain mereka.

"Oke, Adinda, gue mau tanya—"

"Nomor hape? Atau pin BBM?" Adinda langsung aja nyamber sebelum Bangsat menyelesaikan kalimatnya.

Teman-teman Adinda cekikikan lagi. Untungnya ini masih siang, jadi Bangsat nggak takut mereka cekikikan kayak kuntilanak gitu.

"Bukan," katanya, berusaha sabar, "gue mau tanya soal—"

"Soal kecantikan aku? Oh, Kakak ini pasti cowok-cowok homo yang pingin tahu rahasia kecantikan aku, kan? Ih, kalian para bottie kenapa sih selalu sirik dengan kecantikan aku? Please, deh, just be yourself, Kak!" Adinda mengibaskan rambutnya dengan gaya yang seolah mengatakan: I'm fabulous.

"Bukan itu, Kampret!" tanpa sadar Bangsat membentak, yang membuat teman-teman Adinda mengkeret ketakutan. Tapi dia nggak peduli. "Gue mau tanya lo kenal dengan Oji, nggak?"

Adinda tampak nggak terpengaruh sama sekali dengan bentakan Bangsat. "Oji siapose? Ada lima yang namanya Oji di sekolah ini. Oji Kumis. Oji Kurus. Oji IPA 2. Oji Anak Basket. Dan Oji Jelata."

Fuck, kenapa mau ketemu anak itu harus dipersulit gini, sih? Yang pasti, Oji yang Bangsat kenal bukan Oji Kumis dan Oji Jelata—dia yakin karena Ratu sekeluarga kan golongan keluarga kaya. Oji Kurus bisa masuk pertimbangan, karena tubuh anak itu memang kurus. Oji Anak Basket? Bangsat nggak tahu anak itu hobi main basket atau nggak. Oji IPA 2 apalagi, Bangsat kan nggak tahu anak itu IPA/IPS.

Jadi yang mana dooong?

"Mungkin yang Kakak cari itu Oji IPA 2, soalnya cuma dia sih yang kayaknya kelihatan homo," kata Adinda setelah Bangsat terpekur lama dengan pikirannya.

Teman-teman Adinda yang lain kembali mengeluarkan suara cekikikan geli kayak kuntilanak.

"Di mana dia sekarang?" Bangsat berusaha melupakan fakta bahwa Adinda barusan bilang Oji IPA 2 yang kayaknya kelihatan homo.

"Udah pulang, mungkin. Atau masih di kamar mandi, lagi coli?" Adinda tertawa genit, yang segera diikuti oleh tawa teman-temannya.

"Gue serius! Di mana dia?" Bangsat pasang muka tukang begal sekarang, yang ternyata berhasil mengintimidasi cewek itu.

"Ih galak amat jadi homo," kata Adinda, sewot. "Coba cari sana di kelasnya, siapa tahu masih ada. Dah, sana pergi, kejar uke kamu."

Bangsat nggak ngerti apa itu kejar uke yang dimaksud Adinda, tapi dia langsung menanyakan di mana letak kelasnya Oji. Setelah Adinda menunjukkannya, Bangsat langsung bergegas menuju ke sana. Tapi dia nggak sadar, di belakangnya, diam-diam Adinda dan tiga temannya mengintilinya dari belakang.

Di kelas IPA 2, ternyata memang benar ada Oji di sana. Sendirian. Cowok itu sedang akan mematikan AC ketika Bangsat masuk ke dalam kelas.

"Ji," panggil Bangsat.

Yang dipanggil langsung membalikkan badan, terkejut. "Bang Sat?"

"Hadir," Bangsat angkat tangan sambil nyengir. Dia nggak mau pura-pura ngelucu, tapi toh Oji tersenyum juga. "Kok belum pulang, Ji?"

"Abis piket, Bang," jawabnya. Dia langsung lupa sama sekali dengan AC-nya, dan meletakkan remote AC ke meja terdekat. "Bangsat ngapain di sini?"

"Mau ketemu lo, Ji," jawab Bangsat, masih nyengir.

"Oh, mau ngapain?" Oji pura-pura tegar, padahal jantungnya kayak mau copot karena berdebar sangat cepat.

"Mau ngomongin soal yang minggu kemarin," jawab Bangsat, jantungnya juga kayak lagi dikejar-kejar anjing galak—ngebut betul.

"Soal yang mana?"

"Ranjang bergoyang."

Bangsat pikir Oji bakal mengamuk, atau paling nggak memaki-maki dia karena nggak tahu malu masih bahas soal itu. Tapi, Oji malah tersenyum. Senyumnya maniiis banget, dengan pipi yang mulai tampak kemerahan. Bangsat suka ngelihatin senyum Oji hari ini.

"Mau ngomongin apa lagi tentang itu, Bang? Kan udah beres. Nenek dan yang lain percaya kok kalo gue tidurnya emang suka grasak-grusuk."

"Ya memang sih, Ji," kata Bangsat, tiba-tiba gugup. Dia mengutuki dirinya sendiri karena bertingkah kayak perempuan pemalu. "Tapi gue masih kepikiran tentang yang kita lakuin itu."

Senyum Oji menghilang bukan karena dia marah topik itu dibahas lagi, tapi karena dia juga merasakan apa yang dirasakan Bangsat. Kepikiran. Kecanduan. Merindukan rasa lidahnya yang diisap oleh mulut Bangsat yang lihai.

"Kita lupain ajalah, Bang," kata Oji, berusaha tetap tenang.

"Mudah buat lo ngomong kayak gitu, Ji," Bangsat menatap mata Oji.

"Seharusnya mudah juga buat lo, Bang." Oji balas menatap Bangsat, dan jantungnya langsung kayak bedug masjid yang digebuk waktu takbiran. "Kita bukan homo, oke? Yang kita lakuin kemarin itu cuma sebagai pembuktian, nggak lebih."

"Mustahil lo nggak ngerasain apa-apa, Ji."

"Gue masih bisa sayang sama Wina, Bang. Gue masih nafsu ciuman sama Wina. Apa yang kita lakuin malem Minggu kemarin itu nggak berarti apa-apa buat gue." Oji tahu ini munafik, tapi dia nggak punya pilihan lain. Menolak adalah satu-satunya cara terbaik yang dia tahu bisa membuatnya tetap aman bersama Wina.

Bangsat nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Kalau Oji sudah bilang begitu, apa lagi yang bisa dia katakan? Bahwa dia mulai kepikiran Oji setiap hari? Bahwa terakhir kali dia coli yang muncul dalam fantasinya adalah wajah Oji? Bangsat nggak mungkin membeberkan itu semua kepada anak itu.

Saat ini, menolak mungkin satu-satunya cara terbaik yang bisa dia ambil.

"Lo bener," katanya, tersenyum. "Gue juga masih normal-normal aja dengan Ratu." Kemunafikan ini sungguh menyiksa, katanya dalam hati. "Gue kepikiran malem itu karena gue merasa bersalah sama lo, Ji."

Oji akhirnya tersenyum, dan Bangsat bersyukur karena bisa melihat senyum manis itu lagi. "Nggak apa-apa, Bang. Gue udah lupain itu semua."

Semudah itu, Ji? pikir Bangsat. Gue aja seminggu ini susah lupa sama desahan lo, masak lo dengan mudahnya bisa lupain kegagahan kontlo gue?

"Oke, gue cuma pingin ngomong itu aja, Ji," kata Bangsat, memasang senyum kemunafikan. "Kalau kayak gini kan semuanya kelar."

"Iya, Bang."

"Lo belum mau pulang?"

"Udah sih, Bang."

"Gue anter, yuk?" Bangsat menawarkan karena dia tahu Oji nggak mungkin bawa kendaraan, soalnya dia kan masih 16 tahun, jadi orangtuanya yang galak itu nggak mengizinkannya bawa kendaraan karena belum punya SIM—Bangsat tahu ini semua dari penuturan Ratu.

Oji menimbang-nimbang sebentar. Akal sehatnya menolak, tapi hatinya menyetujui. Perang antara akal sehat melawan perasaan ini hampir sering terjadi belakangan ini, dan Bangsat yang selalu jadi pemicu antara apakah dia harus mengikuti akal sehatnya—yaitu menolak Bangsat—atau mengikuti perasaannya—menerima Bangsat. Biasanya akal sehatnya yang selalu menang. Tapi kali ini, justru perasaanlah yang mengambil alih segalanya.

"Oke, tapi tunggu sebentar ya. Gue harus matiin AC dulu."

Bangsat mengangguk kelewat semangat dan mengamati Oji mengambil remote AC lalu mematikannya. Setelah itu dia menggendong ransel sekolahnya.

"Kuy, Bang?"

Bangsat tersenyum mengikuti Oji keluar dari kelas.

Tanpa mereka sadari, ketika mereka menuju tempat parkir, Adinda dan tiga temannya sedang mengipasi wajah mereka yang memerah kayak kepiting rebus. Salah seorang teman Adinda bahkan ada yang mengeluarkan darah dari hidungnya.

"Ya ampun, gue sampe mimisan lihat mereka berdua," katanya.

"Cute af, oh my God! Kenapa tadi mereka nggak pegangan tangan, atau ciuman gitu?" kata teman Adinda yang lain.

"Pelan-pelan, Bitches." Adinda tersenyum penuh kemenangan sambil menatap dua cowok yang berboncengan itu. "Kita berdoa aja semoga hujan turun." Dia menatap ke atas langit yang mendung semakin pekat. "Mereka pasti bakal kehujanan di jalan. Dan begitu sampai rumah—"

"—mereka bakal kedinginan, kemudian mereka pelukan, ciuman, dan—oh my God! Darah di hidung gue keluar makin banyak." Si cewek mimisan buru-buru lari ke kamar mandi.

Adinda dan dua temannya yang lain tertawa penuh kemenangan ketika gerimis mulai turun membasahi bumi.

Satu kilometer dari Adinda dan dua temannya yang tertawa penuh kemenangan, dua cowok yang berboncengan itu mulai diserang hujan habis-habisan.

"Berteduh, Bang!" Oji memekik. "Gue bawa laptop."

"Sabar, ini gue lagi nyari tempat neduh!"

Sepanjang jalan mereka cari, tapi nggak ada. Bagian depan ruko-ruko sudah ramai dipenuhi orang-orang yang juga berteduh. Mereka nggak mungkin kebagian tempat di sana. Mereka terus mencari sampai bagian depan kemeja Bangsat basah kuyup dan Oji mulai memukul-mukul punggung Bangsat.

"Laptop gue nanti rusak! Tas gue nggak tahan air!"

"Sakit, Taik! Nggak usah mukul-mukul! Itu di depan ada tempat berteduh." Bangsat segera mengarah ke tempat berteduh yang dilihatnya itu.

Begitu sampai di sana, Oji buru-buru turun dari motor dan berlindung ke tempat yang nggak terjangkau air hujan. Bangsat mengikutinya setelah mencabut kunci motor.

"Untung airnya belum merembes ke dalam tas," Oji bersyukur sambil meletakkan tasnya ke lantai keramik di bawah kakinya.

Bangsat melepas helm sambil memandangi Oji. Wajah anak itu basah, kulitnya nyaris pucat, tapi bibirnya kelihatan lebih merah merona. Rambut hitamnya menempel di kening, meneteskan air sampai ke bawah hidungnya. Bangsat menyukai cara Oji menggosok rambutnya yang basah sehingga air terciprat ke sana kemari, bahkan ke wajahnya sendiri. Aura Oji terlihat lebih seksi di cuaca hujan begini.

"Bang?" Oji menggoyangkan tangan di depan wajah Bangsat.

Bangsat mengerjap-ngerjap. "Ya."

"Kita di mana, ya?" tanya Oji sambil menatap tempat mereka berteduh.

Secara teknis mereka berada di Jalan Way Sekampung dan berteduh di teras depan rumah seseorang—yang anehnya teras itu sangat kotor dan ditumbuhi ilalang setinggi lutut Bangsat. Ketika Bangsat menoleh ke belakang, ternyata ini adalah rumah yang sudah lama nggak ditempati. Pintu depan rumah itu sudah rusak, kayunya keropos dimakan waktu dan rayap, sehingga kalau Bangsat menendangnya sedikit saja pintu itu pasti langsung hancur. Jendela depan rumah itu pecah, meninggalkan kusen jendela dengan sedikit pecahan kaca masih tertinggal di sana.

"Ini rumah kosong, Bang," kata Oji, seolah-olah baru sadar.

Bangsat mengangguk. "Tapi masih kelihatan bagus, ya."

Oji mengangguk, setuju. Walaupun teras depannya kotor dan ditumbuhi ilalang, tapi bagian dalam rumah itu tampaknya masih bersih. "Gue mau ke dalam," katanya, mengambil tas yang dia letakkan di lantai, kemudian masuk lewat pintu yang sudah rusak.

Mau nggak mau Bangsat pun mengikuti.

Dinding dalam rumah kosong itu banyak dicoret-coret dengan gambar grafiti dan tulisan-tulisan nggak bermutu. Lantainya kotor banget, dan lampu hias yang menggantung di langit-langit dipenuhi sarang laba-laba. Ada pintu-pintu lain yang mengarah masuk ke ruang entah ada apa di dalamnya.

"Lihat ke atas, ah," kata Oji, yang langsung menaiki tangga menuju lantai atas.

Bangsat pun mengikuti Oji naik ke atas, walaupun sebenarnya dia menolak melakukan itu. Tapi, toh, dia harus tetap menemani anak itu.

"Keren, Bang," kata Oji berbinar-binar ketika Bangsat sudah sampai di atas.

Memang keren. Lantai atas itu langsung mengarah ke balkon yang menampilkan pemandangan hijau lapangan sepak bola yang kebetulan letaknya di depan rumah kosong itu. Genangan air hujan berkumpul di beberapa bagian lapangan, terutama di daerah gawang. Di sebelah lapangan bola ada kebun pohon pisang milik warga. Daun-daun pohon pisang yang lebar bergoyang-goyang ditiup angin air hujan.

"Duduk sini, Bang," kata Oji yang ternyata sudah duduk di kursi yang ada di situ.

"Kok ada kursi, ya?"

"Mungkin yang punya rumah lupa bawa kursi ini," jawab Oji.

Tapi menurut Bangsat sih bukan begitu. Dia beranggapan kursi ini bukan punya si pemilik rumah, tapi punya orang-orang jail yang sering masuk ke rumah ini. Tuh, buktinya ada lima botol minuman keras di pojokan balkon, juga ada beberapa puntung rokok dengan abu berserakan di sekitarnya. Bangsat menengok sana-sini untuk mencari bekas kondom, tapi nggak menemukannya. Berarti nggak ada yang pernah mesum di rumah kosong ini. Atau mungkin ada, tapi nggak pakai kondom? Entahlah.

Lagian kenapa Bangsat peduli? Memangnya dia mau mesum sama Oji di rumah kosong ini?

"Sejuk ya suasananya," kata Oji, matanya menatap lurus ke depan, ke air hujan yang turun sangat rapat.

"Sejuk apaan? Dingin begini," kata Bangsat jengkel.

"Baju lo basah kuyup," komentar Oji setelah melirik bagian depan kemeja Bangsat. "Makanya lo kedinginan."

"Gue buka ajalah." Tanpa minta persetujuan, Bangsat langsung melepas kemejanya yang kuyup itu dan meletakkannya di tembok setinggi satu meter yang mengelilingi balkon. Telanjang dada malah membuat semuanya jadi lebih buruk. Dingin yang dia rasakan jauh lebih menggigit. "Buka baju malah tambah dingin."

Oji tertawa. "Badan lo bagus, Bang."

Ups, dia keceplosan. Oji langsung salah tingkah di depan Bangsat. Matanya menatap ke lantai, ke depan, ke langit-langit, ke mana saja asal jangan ke tubuh Bangsat yang telanjang. Tubuh itu mengingatkannya pada seks panas yang mereka lakukan malam Minggu kemarin.

"Gue tahu badan gue emang bagus." Bangsat sombong sambil memain-mainkan otot dadanya yang bidang.

Gerakan itu membuat Oji menelan ludah. Biasanya dia nggak pernah tertarik melihat badan cowok, tapi kali ini dia merasa beda. Ada sesuatu yang membakar pipinya sehingga terasa panas dan menyemburatkan warna merah muda terang yang membuat pipinya kelihatan lebih manis.

"Ji, kok lo imut sih?" Bangsat antara sadar nggak sadar ngomong kayak gini.

"Lo kira gue pantat bayi dibilang imut!"

Bangsat tertawa dan kembali duduk di kursi sebelah Oji. Tapi kali ini dia menggeser lebih dekat ke anak itu. "Pipi lo merah, Ji. Kedinginan, ya?"

Oji mengangguk. "Kalau kedinginan kulit gue sering merah-merah, Bang."

"Waktu gue cium, pipi lo juga merah." Sedetik setelah mengucapkannya, Bangsat menyesal karena dia baru saja membangkitkan kenangan rasa bibir Oji yang kenyal dan enak.

Tapi sepertinya Oji nggak peduli dengan apa yang barusan dia ucapkan, karena anak itu sekarang lagi sibuk menggosokkan telapak tangan sambil meniup-niupnya.

"Lo beneran kedinginan, Ji?" tanya Bangsat, kasihan. Anak itu pipinya merah banget.

Oji mengangguk.

"Lo nggak bawa jaket?"

Oji menggeleng.

"Gue juga nggak bawa jaket, Ji."

Oji diam, nggak jawab.

"Terus gimana? Apa mau gue peluk?"

Oji masih diam, nggak jawab.

"Gue juga kedinginan nih, Ji. Sampe mau beku rasanya."

Oji tersenyum, manis.

"Nah, coba lo senyum terus kayak gitu, Ji. Senyuman lo bikin gue hangat."

Oji tertawa kecil, lalu menggeleng. "Jangan godain gue, Bang. Entar gue tonjok lo."

"Siapa yang godain lo? Seriusan. Gue suka lihat senyum lo."

Oji menatap Bangsat, bimbang. Perang antar akal sehat melawan perasaan kembali terjadi dalam dirinya. Matanya terpaku pada tubuh Bangsat yang telanjang, atau lebih tepatnya pada putingnya yang mengacung. Oji paling suka jilatin puting, dan puting Bangsat kelihatan sangat jilat-able. Kelamin di balik celananya mulai keras dikarenakan cuaca dan gombalan Bangsat yang membuat jantungnya menggedor-gedor.

Akal sehat, atau perasaan?

Menolak Bang Sat, atau menerimanya?

"Ji, berhenti menjilat bibir," kata Bangsat, memandang penuh khidmat ke bibir Oji yang dijilat oleh lidahnya sendiri.

Fix, kata Oji dalam hati, perasaan yang menang.

Oji memajukan kepalanya ke kepala Bangsat, dan langsung menerkam bibir cowok berotot itu yang lagi kebuka karena mau ngomong sesuatu. Oji nggak ngasih kesempatan buat Bangsat mengucapkan apa pun yang ingin dia ucapkan karena bibir itu sekarang miliknya. Oji ingin melumat habis bibir itu hanya untuk dirinya sendiri.

Bangsat kaget tapi nggak menghindari terkaman Oji. Dia tadinya mau bilang "Gue pengen cium lo, Ji," tapi nggak jadi karena ternyata Oji duluan yang cium dia. Maka, Bangsat pun nggak mau melewatkan kesempatan ini. Dia balas melumat bibir Oji yang kenyal sambil tangannya melepas kancing kemeja Oji satu per satu. Bangsat nggak bisa lagi menahan dirinya sendiri.

Sore itu, mereka kembali melakukan seks panas di balkon rumah kosong itu dengan dilatarbelakangi hujan yang turun semakin deras.


Bandar  Lampung, Kamis 10 November 2016 (SELAMAT HARI PAHLAWAN!)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top