Isi Hati Oji

Oji ganteng banget berdiri di trotoar dengan latar belakang lampu-lampu mobil yang lewat di jalanan. Anak itu memasukkan tangan ke kantung depan celana pendeknya. Kaus lengan pendek terlihat cocok sekali di tubuhnya, pas dengan gayanya yang santai, tapi modis.

"Lama banget sih! Gue tungguin juga!" dumel anak itu.

"Sorry," Bangsat cengengesan. "Jadi kita langsung aja?"

Oji nggak jawab dan langsung melangkah pulang ke rumah.

Kalau di dalam mal tadi Bangsat jalan di depan Oji, sekarang dia jalan di sebelah anak itu. Langkah kakinya seirama dengan langkah Oji yang mantap. Untungnya trotoar itu lebar, jadi mereka jalan bersisian pun nggak masalah. Masih muat.

Perjalanan mereka ditemani bulan purnama yang bersinar terang di langit seperti mata raksasa. Langit bersih tanpa awan sehingga bintang-bintang yang bertaburan dapat dilihat dengan jelas oleh mata telanjang. Satu bintang berkedip lebih terang daripada bintang yang lainnya, dan Oji selalu menyukai bintang itu. Dia nggak tahu itu bintang apa, tapi dengan melihatnya saja bisa membuatnya merasa nyaman.

Angin bersemilir lembut, menerbangkan segala yang bisa diterbangkan: debu, asap dari knalpot kendaraan, daun-daun tua dari pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Mesin mobil di jalan, daun yang bergesekan, angin yang membelai wajah, suara tukang mi tek-tek yang terdengar di kejauhan menemani perjalanan pulang mereka, menciptakan sensasi yang terasa baru di sanubari Oji.

Sepanjang jalan Oji memasukkan tangan ke dalam saku celananya sambil berpikir, sementara Bangsat di sebelahnya bersiul.

"Katanya siulan malam-malam itu pamali." Dia memulai obrolan sambil melirik ke Bangsat.

"Lahir di tahun millenium, tapi masih percaya takhayul."

Oji angkat bahu sambil tertawa kecil. "Gue ngomong gitu bukan berarti gue percaya. Kan tadi gue bilang 'katanya', bukan 'kata gue'."

Bangsat berhenti siulan. Rambutnya terbang disapu angin yang membelai seperti tangan lembut tak kasat mata. "Malem ini indah ya, Ji."

Oji memandang ke atas langit, menyaksikan bulan yang melotot dan bintang yang berkedip ke arah mereka. "Kayaknya nggak bakal hujan, jadi lo nggak bisa curi-curi lagi kesempatan buat ngeue gue."

"Sorry untuk yang itu," Bangsat terdengar menyesal.

Niat Oji tadi cuma bercanda soal ngeue itu, tapi sepertinya Bangsat terlalu serius menanggapinya. "Udahlah, Bang. Gue cuma bercanda, kok. Gue tahu lo nggak mungkin ngeue gue lagi."

"Apa yang kita lakuin di rumah kosong itu—"

"—murni karena kebutuhan." Oji menyelesaikan kalimat Bangsat. Matanya balas melotot ke bulan. "Kita butuh untuk hangat, jadi kita melakukan itu. Semua itu murni karena kebutuhan."

Bangsat ingin mendebatnya, tapi nggak jadi. Dia sadar betul bahwa apa yang mereka lakukan di rumah kosong itu lebih dari sekadar kebutuhan semata. "Gimana dengan ranjang bergoyang?"

Oji diam lamaaaaa banget, sampai-sampai Bangsat curiga jangan-jangan dia sedang menghitung bintang?

"Mungkin malam itu gue sleepwalking."

"Tapi lo nggak jalan sambil tidur, Ji. Kita ngewe. Nge-weeeee!"

Oji berdecak kesal. "Gue nggak ngerti apa yang terjadi dengan gue, Bang!"

"Dengan kita," Bangsat meralat. "Bukan cuma lo doang yang nggak ngerti, tapi gue juga."

Tap, tap, tap ... serrr... serrr... brrrm... brrmm... tek... tek.... tek....

Suara langkah kaki mereka menyatu dengan suara-suara yang menjadi pelengkap keindahan malam. Setelah ucapan terakhir Bangsat, mereka diam nggak ngomong apa-apa lagi. Mereka bingung harus bahas apa, karena setiap kali mereka ngobrol ujung-ujungnya selalu ranjang bergoyang dan rumah kosong itu yang jadi trending topic obrolan mereka. Dan mereka sebenarnya nggak suka bahas-bahas itu, tapi susah menahan diri untuk nggak membahasnya.

Bangsat siulan lagi, tapi kali ini nggak dikomen sama Oji, karena anak itu sedang terpekur dengan pikirannya sendiri. Dia masih bertanya-tanya kenapa dia selalu menolak Bangsat, padahal selama ini hatinya selalu ingin menerima? Seperti sekarang. Harusnya tadi dia menjelaskan kepada Bangsat bahwa apa yang mereka lakukan di rumah kosong itu murni karena keinginan, bukan cuma karena kebutuhan. Karena ketika mencium Bangsat, Oji bisa merasakan dirinya menginginkan cowok berotot itu luar dalam, seolah-olah Bangsat adalah makanan penutup dari makan malam yang paling enak.

Akhirnya Oji cuma bisa ngedumel dalam hati sambil melotot galak ke bulan yang terang benderang. Nggak sama Wina, nggak juga sama Bangsat, dia selalu aja nggak bisa mengutarakan isi hatinya yang sesungguhnya. Yang bisa dia lakukan cuma menjerit dalam hati, memarahi dirinya sendiri karena lemah dan kalah oleh keadaan.

"Kalau gue boleh tahu, tadi lo kenapa sama Wina?" Bangsat bertanya sambil melirik Oji yang sedang melotot ke langit.

"Nggak apa-apa." Dalam hati Oji melayangkan sumpah serapah kepada dirinya sendiri. "Gue baik-baik aja sama Wina."

Bangsat berkedip, melihat Oji bukan lagi dengan matanya yang biasa, tapi dengan versi matanya yang bisa mendeteksi ada yang nggak beres dengan lawan bicaranya. "Lo sedih," katanya. "Suara lo bergetar."

Oji menggeleng. "Gue baik-baik aja."

"Ji, lo bisa cerita apa aja ke gue—bahkan soal Wina sekalipun, dan gue bakal dengerin semua cerita lo. Gue bakal dengar semua keluh kesah lo."

Oji memasukkan tangan lebih dalam ke kantung celana karena dingin mulai menyerbu. "Gue nggak biasa cerita ke orang lain tentang masalah gue."

"Karena lo takut?"

"Karena menurut gue nggak ada gunanya juga gue ceritain! Kalian nggak akan ngerti. Nggak ada yang bakalan ngerti."

Bangsat diam sebentar, mencari kata-kata yang pantas untuk diucapkan. "Gue bakal coba untuk mengerti, Ji."

Oji melirik Bangsat lewat ekor mata kirinya. Bangsat kelihatan keren malam ini karena jaket parka hitam yang membungkus tubuhnya. Mata Bangsat yang hitam tampak berkilauan disorot cahaya bulan. Walau nggak ada senyum di bibir Bangsat, tapi Oji merasa ada sesuatu yang membuat darahnya bergolak panas hanya dengan melihat bibir Bangsat yang melekuk indah. Hidung mancung Bangsat tampak menantang, menggoda untuk dicubit. Akhirnya Oji tersenyum, walaupun dia sendiri masih nggak ngerti untuk apa dia tersenyum.

"Gue nggak bercanda," Bangsat berkata tegas. "Gue serius bakal coba buat ngertiin lo."

"Oke," Oji tersenyum lebih lebar. Tangannya masuk lebih dalam ke kantung karena angin dingin baru saja berembus di dekat mereka. "Jadi sebenarnya gue udah ngerasa nggak nyaman dengan Wina."

"Nggak nyaman gimana?"

"Ya nggak nyaman. Kayak ada sesuatu yang salah, tapi masih tetap aja gue lanjutin." Kakinya menendang sebuah kerikil hingga terpental ke jalan aspal. "Wina sekarang jadi suka maksa dan gampang cemburuan."

"Mungkin dia lagi PMS," Bangsat menanggapi. "Tahu, kan? Cewek sering nggak jelas gitu perasaannya kalau lagi PMS."

"Entahlah, Bang. Bukan cuma Wina, tapi gue juga merasa diri gue berubah. Ada sesuatu yang terasa aneh dalam diri gue."

"Apa itu?"

Oji nggak menjawab, kakinya masih menendangi kerikil di trotoar. Matanya menatap ke bawah, murung. Dalam hatinya ada suatu bisikan yang menyuruhnya untuk jujur. Tapi lebih jauh lagi di dalam hatinya ada bisikan lain yang menyuruhnya untuk bungkam. Bukan sekarang saat yang tepat untuk jujur ke Bangsat tentang isi hatinya. Mungkin nanti. Atau nggak usah sama sekali, karena itu hanya akan membuatnya lebih bingung dengan perasaannya.

"Ada sesuatu yang membuat gue berubah." Dalam kantung celana, telapak tangan Oji terkepal.

"Sesuatu apa?"

Oji menggeleng, memilih mendengarkan suara di dalam hatinya yang menyuruhnya untuk bungkam. "Bukan apa-apa. Cuma hal biasa."

"Jadi lo udah nggak nyaman dengan Wina karena ada sesuatu yang mengganggu pikiran lo?" Bangsat menyimpulkan.

Oji mengangguk. "Ya."

Bangsat membenamkan kedua telapak tangannya ke kantung depan jaket. Kepalanya mendongak ke langit, menatap ke bintang-bintang yang bersinar warna-warni. "Gue nyaris nggak pernah punya pengalaman tentang cinta, Ji, jadi gue nggak bisa ngasih solusi apa-apa buat lo. Yang penting," Bangsat menatap Oji sambil tersenyum, "asal lo bahagia, gue juga ikut bahagia."

Oji nggak balas tersenyum. Dia membuang mukanya ke samping, menatap ke mobil Avanza yang baru saja lewat di samping tubuhnya. Setelah mobil itu menghilang di kejauhan, barulah dia kembali menatap Bangsat. "Gue bingung, Bang."

Bangsat memegang tangan Oji, bergandengan. "Sini, kalau bingung gue pegangin."

Oji tersenyum, tapi nggak menarik tangannya menjauh. "Nggak jelas banget sih, Bang. Orang lagi bingung kok malah dipegangin."

"Ya lo bingung karena nggak tahu harus ngapain, kan? Makanya gue pegangin biar lo punya pegangan."

Senyum Oji jadi lebih lebar. Walaupun Bangsat ini nyebelin dan bikin dia jengkel setengah mampus, tapi sesungguhnya dia juga baik hati, dan lucu.

"Tangan lo dingin, Ji."

"Emang lumayan dingin di luar sini." Oji menarik tangannya lepas dari Bangsat, kemudian memasukkannya lagi ke kantung. Hangatnya kantung cuma bisa melindungi telapak tangannya, sementara bagian lengannya yang lain tetap kedinginan.

Bangsat punya inisiatif sendiri. Dia nggak mau egois. Anak SMA itu kulitnya hampir pucat karena kedinginan, jadi dengan sikap nggak mementingkan diri sendiri dia langsung melepas jaket parka yang membungkus tubuhnya, kemudian memakaikan jaket itu ke tubuh Oji.

"Nih, pakai jaket gue," katanya sambil membungkus tubuh Oji yang kecil ke dalam jaketnya yang kegedean. "Walaupun kegedean, tapi paling nggak lo nggak harus kedinginan."

Oji berusaha menolak, tapi Bangsat sudah keburu menutup ritsleting jaketnya sampai ke leher. "Nah," katanya, "sekarang lo udah nggak kedinginan lagi." Bangsat nyengir melihat tubuh Oji yang tenggelam di dalam jaketnya.

"Ini jaket apa baju gamis, sih? Masa sampe betis gue?" Oji ngedumel karena jaketnya kegedean. Tapi, toh, sebenarnya dalam hati dia bersyukur karena nggak kedinginan lagi.

Bangsat tertawa, lalu mereka jalan lagi. Melihat Oji tenggelam di jaketnya mengingatkan Bangsat dengan orang-orangan sawah milik orangtuanya di kampung. "Lo jadi tambah lucu pakek jaket kegedean gitu."

Oji cemberut, pipinya merah karena kedinginan, juga malu karena dikatain lucu. "Emangnya gue badut, apa?!" dia menggeram, pura-pura jengkel.

Bangsat tertawa lebih keras, karena lucu banget ngelihat orang-orangan sawah marah-marah. Tanpa sadar, didorong oleh suatu perasaan entah apa namanya, Bangsat melingkarkan lengannya ke bahu Oji, kemudian menarik tubuh anak itu menempel ke tubuhnya. Tubuh Bangsat yang tadinya kedinginan seketika menghangat ketika dia memeluk Oji.

"Bang," Oji bicara dari balik dada Bangsat. "Ngapain peluk gue? Malu dilihat orang-orang."

Secepat pelukannya, secepat itu pula Bangsat melepaskannya. "Maaf," Bangsat gelagapan sambil garuk-garuk belakang kepalanya yang nggak gatal sama sekali. "Gue nggak tahan."

Oji meninju perut Bangsat, tapi pelan doang karena itu cuma pukulan bercanda. "Jangan yang aneh-aneh. Lo udah janji nggak bakal ngeue gue lagi."

Bangsat nyengir, menampilkan barisan giginya yang putih rapi. Kalau Bangsat nyengir gitu, sinar bulan yang putih seolah-olah tersedot ke dalam giginya, membuat gigi itu terlihat lebih putih dan bersih. Bibir Bangsat yang kemerahan juga disorot cahaya bulan, membuat lekukannya terlihat lebih tegas dan indah. Sempurna. Bangsat punya mulut yang sempurna, kata Oji dalam hati.

"Lo nggak coba minta maaf ke Wina?" tanya Bangsat sambil menahan diri supaya nggak menggigil. Dia berusaha sok tegar di hadapan Oji, padahal sebenarnya dia hampir membeku.

Oji menggeleng. "Bahkan di dalam hati gue nggak ada niatan pingin minta maaf sama dia."

Bangsat tertegun. "Serius?"

Oji mengangguk, matanya menatap ke bawah, ke sebuah kaleng soda yang langsung dia tendang hingga terpental ke jalan raya. "Udah gue bilang ada sesuatu yang membuat gue berubah, tapi anehnya sesuatu itu nggak membuat gue menyesal."

Bangsat diam sambil memandangi Oji yang kelihatannya murung banget. Mata anak itu memang menunduk ke bawah, tapi Bangsat bisa merasakan ada kesedihan yang menggantung di matanya. Dia nggak tahu bagaimana cara menghibur Oji, karena sesungguhnya dia bahkan nggak terlalu mengenal anak itu. Dia hanya tahu Oji sebatas adik kandung Ratu yang sudah diewenya.

Tapi Bangsat tetap kepingin menghibur Oji. Dia mengulurkan tangan, kemudian menyentuh bahu Oji dengan lembut. "Udahlah, semua pasti bakal baik-baik aja. Setiap masalah selalu ada jalan keluarnya, kok. Gue percaya sama lo. Lo udah gede, jadi gue yakin lo pasti bisa menyelesaikan masalah lo sendiri." Entah dapat kata-kata ini dari mana, tapi Bangsat berhasil membuat Oji tersenyum walaupun tipis.

"Makasih, Bang." Oji mengerjapkan mata, menahan diri supaya nggak menangis. Baru kali ini ada orang yang sepercaya itu dengan dirinya, karena selama ini semua orang selalu saja meragukannya, selalu memperlakukannya seolah-olah dia anak kecil yang nggak akan bisa menyelesaikan apa pun dalam hidupnya.

Ucapan Bangsat yang mungkin terdengar biasa-biasa saja di telinga orang lain, entah bagaimana menyusup ke dalam relung hatinya yang terdalam, menyentuhnya, membuat Oji seketika sadar bahwa nggak ada salahnya mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya kepada cowok berotot itu. Toh, dia saja sudah percaya dengan Oji, kan?

Nggak kerasa ternyata mereka hampir sampai di rumah Oji. Tinggal belok ke jalan Pahlawan, menyeberangi rel kereta api, setelah itu sampai deh di rumah Oji yang gedongan.

Ketika menyeberangi rel, Oji bertanya: "Bangsat mau nginap?"

Bangsat, yang sedang berjuang melawan udara dingin, menoleh ke Oji. "Kayaknya sih gitu, Ji. Soalnya jauh kalau mau balik ke kosan."

"Emang kosan lo di mana?"

"Di gang Kopi, dekat Unila."

"Sorry ya Bang, gara-gara gue ngajak pulang jalan kaki," ucap Oji, menyesal.

"Nggak apa-apa. Gue juga emang kepingin nemenin lo pulang, kok. Ini kan tanggung jawab gue, juga" kata Bangsat, mantap. "Anggep aja sebagai kata maaf karena gue nggak bisa nganter lo pakek motor."

Oji tertawa lembut, kedengaran sangat manis. "Jadi malem ini lo mau nginep di rumah?"

Bangsat mengangguk. "Ya."

"Oke." Tawa Oji seketika menghilang entah ke mana.

Bangsat menangkap nada yang terdengar ganjil di suara Oji, dan dia langsung tahu apa penyebabnya. "Gue tidur di sofa juga nggak apa-apa kok, Ji. Jangan takut. Gue nggak bakal tidur seranjang dengan lo lagi, kok."

Oji nggak menjawab karena dia lagi perang batin antara menolak Bangsat, atau menerima Bangsat? Dia ingin tidur seranjang dengan Bangsat, tapi dia takut dengan apa yang akan terjadi kalau tidur seranjang dengan Bangsat. Terakhir mereka satu ranjang, ujung-ujungnya berakhir dengan ngewe yang panas dan nikmat. Dan setiap kali mereka selesai ngewe, ujung-ujungnya muncul rasa bersalah itu lagi.

Tahu-tahu mereka sudah sampai di depan rumah. Oji membuka gerbang yang digembok pakai nomor kombinasi, kemudian mengendap-endap masuk lewat pintu belakang. Untungnya OJi selalu bawa kunci pintu belakang, jadi dia nggak perlu repot gedor-gedor pintu depan dan dimarahin seisi rumah.

Jam sudah menunjuk ke angka satu ketika mereka sampai di rumah. Berarti mereka menghabiskan satu setengah jam di jalan pulang tadi.

"Gue tidur di sofa aja," kata Bangsat, menjatuhkan tubuhnya ke sofa di ruang keluarga rumah Oji.

"Nggak mau ganti baju dulu?" tanya Oji.

"Nggak bawa baju ganti."

"Pakek baju gue. Gue punya beberapa baju yang ukurannya gede dan kayaknya cocok di tubuh lo."

Mau nggak mau Bangsat menyetujui. Nggak mungkin kan dia tidur pakai kemeja dan celana jins? Berat.

Di kamar Oji, suasananya dingin dan remang-remang gitu. Bangsat menunggu di ambang pintu, nggak berani masuk karena takut. Bukan karena takut setan, tapi takut dihasut setan. Kan bisa berabe kalau misalnya lagi berdiri di ujung kasur tiba-tiba Bangsat dibisikin setan dan kemudian merkosa Oji. Ew.

"Nih, Bang. Yang ini kayaknya cocok." Oji menyerahkan kaos oblong warna pink.

"Anjrit, kenapa warnanya pink?" Bangsat ngedumel.

Oji tertawa. "Yang gede cuma ini, Bang. Yang lainnya kecil. Atau lo mau pakek kaos yang kekecilan, biar lo kepanasan?"

Bangsat menggerutu ketika menerima kaos itu. Kemudian dia berbalik, berniat pergi ke kamar mandi untuk ganti baju, tapi dicegah oleh Oji.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Ganti bajulah," jawab Bangsat.

"Ganti di sini aja," Oji menarik Bangsat masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu. "Ngapain ganti baju di luar?"

Bangsat menelan ludah. Suasananya dingin, cahayanya minim—cocok buat yang intim-intim. Mendadak Bangsat gugup setengah mampus karena harus ganti baju di hadapan Oji.

"Buruan ganti!" Oji menegur. "Nggak usah kelamaan."

"Iya iya, Bawel!" Bangsat melepas kancing satu per satu, kemudian menarik kemeja lepas dari badannya. Dinginnya kamar membuat tubuh telanjangnya agak menggigil. Dia buru-buru memakai kaos pink memalukan itu.

"Celananya nggak mau diganti?" Oji melirik ke celana jins Bangsat.

Bangsat menggerutu lagi, kemudian melepas celananya. Untung dia pakai boxer, jadi aman, nggak perlu pinjam celana Oji lagi.

Setelah Bangsat ganti baju, sekarang giliran Oji yang melepas semua pakaiannya. Pertama-tama anak itu mengembalikan jaket punya Bangsat, kemudian dia membuka kaosnya hingga telanjang dada, dan Bangsat membuang muka ke samping, menatap ke poster Maroon 5 yang menempel di dinding, berusaha menahan diri supaya nggak tergoda dengan badan Oji yang mulus kayak baru diamplas.

Setelah ganti baju, Oji langsung ganti celana. Dan sialnya anak SMA itu nggak pakai boxer, jadi Bangsat bisa lihat dengan jelas celana dalam Oji yang merknya CK. Dia agak malu dengan celana dalam itu, karena persis di baliknya ada benda mungil yang pernah dia main-mainkan dengan tangannya.

Selesai ganti baju dan celana, Oji langsung melompat ke kasur dan menarik selimut sampai ke dagu. Bangsat tahu inilah saatnya dia keluar dari kamar dan tidur di sofa. Jadi dia putar badan berniat pergi, tapi langsung dicegah sama Oji.

"Tidur sini aja, Bang," kata anak SMA itu.

Bangsat balik badan, menatap Oji yang sudah terbenam di dalam selimut hangatnya. "Katanya lo takut—"

"Nggak apa-apa. Gue percaya sama lo, kok." Oji tersenyum. Bahkan dalam cahaya remang-remang pun Bangsat bisa merasakan senyum Oji yang manis.

"Oke." Akhirnya Bangsat mendekat ke ranjang, kemudian naik ke kasur dan membenamkan diri di dalam selimut.

Bangsat pikir, setelah naik ke kasur dan berlindung di balik selimut yang hangat bakal langsung bisa tidur, tapi ternyata nggak. Jantungnya berdegup kencang kayak habis lari berkilo-kilometer jauhnya. Walaupun dingin karena kamar itu ber-AC, tapi dia merasa tubuhnya panas seperti ada yang membakar. Sensasinya aneh. Bangsat sadar ini pasti disebabkan oleh keberadaan Oji di sampingnya. Anak SMA itu jaraknya cuma setengah jengkal dari tubuhnya, sehingga kalau Bangsat miring ke kiri, dia bakal langsung bisa meluk anak itu.

"Nggak bisa tidur, ya?" tanya Oji, yang ternyata juga belum tidur.

Bangsat mengangguk, kemudian melipat tangannya di bawah kepala. "Lo juga nggak bisa tidur?"

"Iya, Bang."

Bangsat menatap ke langit-langit kamar Oji. "Sebenarnya bukan cuma lo aja yang punya masalah dengan pacar, Ji."

Oji melirik ke Bangsat. Dalam remang-remang cahaya, raut wajah Bangsat kelihatan lebih tegas dan berwibawa. "Lo juga ada masalah dengan Kak Ratu?"

"Entah bisa dibilang masalah atau nggak, tapi yang jelas gue merasa ada yang beda."

"Apa mungkin ini karena—"

"Ranjang bergoyang?" Bangsat memotong, matanya terpejam.

"Gue takut, Bang."

"Takut kenapa?"

Oji menggigit bibir, matanya menatap lurus ke langit-langit, tapi sebenarnya dia sedang memantapkan hati: apakah sebaiknya dia mengatakannya?

"Takut kenapa, Ji?" ulang Bangsat, sangat ingin tahu.

Kebohongan yang dipendam lama-lama hanya akan membuatnya terluka. Sekarang aja dia sudah hampir tersiksa. Dengan mantap Oji berkata, "Takut gue mencintai lo, Bang."

Bangsat nggak menjawab, yang terdengar darinya hanyalah suara embusan napasnya yang teratur.

"Sesuatu yang tadi gue bilang mengganggu pikiran gue sebenarnya adalah lo, Bang."

"Jadi, maksudnya ..." Bangsat sengaja menggantungkan kalimatnya karena dia tahu Oji juga pasti paham dengan ucapannya.

Oji memejamkan mata, mendengar suara jantungnya yang berdetak nggak beraturan. Hanya ketika dia bersama Bangsat-lah detak jantungnya berdetak secepat itu. Dan anehnya, itu justru memicu sesuatu yang terasa hangat dan menyenangkan menjalar di sekujur raganya. Oji menyukai sensasi debar hangat itu.

"Gue selalu kepikiran lo, Bang."

Bangsat yakin dia salah dengar. Pasti salah dengar, karena nggak mungkin Oji ngomong kayak gitu, kan?

"Sejak pertama kali ketemu lo—waktu double date pertama kita—gue mulai kepikiran sama lo. Awalnya emang cuma pikiran samar, yang membuat gue selalu bertanya-tanya kenapa Kak Ratu mau pacaran sama lo? Apa yang spesial dari lo sampai-sampai Kak Ratu jatuh cinta dengan lo?"

Bangsat diam, membiarkan Oji membeberkan semua yang ingin dia beberkan.

"Tapi semakin gue mikirin hal itu, malah makin sering gue kepikiran lo. Awalnya gue cuma pingin tahu apa yang dilihat Kak Ratu dari lo, tapi lama-lama justru malah gue yang tertarik dengan lo. Kayak ada suatu kekuatan yang membuat otak gue selalu memunculkan wajah lo."

Sementara Oji ngomong, Bangsat berusaha menetralkan detak jantungnya. Mendengar Oji bicara memicu debaran demi debaran di jantung Bangsat yang rasanya hangat dan anehnya menenangkan. Debar hangat itu mengalir memenuhi raganya, membuatnya merasa nyaman dan tentram.

"Jadi itu sebabnya kenapa malam itu lo ngajak gue ngeue?" Bangsat nggak bisa menahan diri untuk bertanya ini.

Oji mengangguk samar. "Kurang lebih iya. Gue ketakutan setengah mati karena otak gue selalu mikirin lo. Makanya gue ngajak lo ngeue untuk pembuktian apakah gue ini homo karena terus-terusan kepikiran dengan lo, atau ... apa? Gue bingung, Bang. Selama ini gue selalu kebingungan."

Bangsat beringsut mendekat ke Oji. "Mau gue pegangin lagi biar nggak kebingungan?"

Oji diam, matanya menatap lurus ke langit-langit.

"Sini deh." Bangsat memiringkan tubuhnya ke kiri, kemudian melingkarkan lengannya ke tubuh Oji, memeluk anak itu. Hangat. Wangi. Oji punya tubuh yang wanginya enak banget, bikin Bangsat betah. "Daripada lo bingung, mending gue peluk."

Oji nggak marah ketika Bangsat memeluknya. Anak itu malah diam, matanya masih terlihat seperti menerawang ke langit-langit. "Bang, kalau Kak Ratu tahu kita pernah ngeue, kira-kira apa yang bakal terjadi, ya?"

"Sekarang gue tanya ke lo: kalau misalnya Wina tahu kita pernah ngeue, apa yang bakal terjadi?"

"Kiamat kali, Bang." Tanpa sadar Oji mengusap-usap lengan Bangsat yang melintang di perutnya. "Wina kan galak."

"Ratu jauh lebih galak. Mungkin kita bakal dibunuh kalau dia tahu kita pernah ngeue."

"Ngeri ya, Bang." Oji menggeser kepalanya mendekat ke dada Bangsat yang terasa lembut ketika dijadikan sandaran.

Akhirnya mereka membenarkan posisi. Bangsat meletakkan lengan kanannya di bawah tubuh Oji, sementara anak itu menaruh kepalanya di atas dada Bangsat. Kedua lengan Bangsat memeluk tubuh Oji yang kecil, yang terasa pas sekali dalam dekapannya. Detak jantung mereka yang menggebu menjadi satu.

"Jadi kesimpulannya?" Bangsat yang mulai bicara setelah agak lama mereka terdiam karena menikmati sensasi debar hangat dari pelukan yang nyaman itu.

"Kesimpulan apa?"

"Curhatan lo tadi tentang perasaan lo ke gue."

"Oh." Oji diam sebentar untuk mencari kesimpulan, tapi nggak ketemu, karena dia lagi nggak bisa fokus kepada apa pun kecuali ke Bangsat. "Kesimpulannya adalah lo perusak hubungan gue dengan Wina."

Bangsat menampar pantat Oji dengan keras hingga anak SMA itu meringis kesakitan. "Gue serius, Bego!"

Oji cemberut karena dikatain bego. "Gue nggak ngerti apa yang harus gue simpulkan, Bang. Gue sendiri aja masih bingung, kok."

Bangsat nggak memaksa Oji menjawab lagi setelah itu karena mereka sudah terbuai oleh rasa hangat yang berubah jadi keinginan untuk saling memiliki satu sama lain.

"Gimana dengan lo, Bang?" Oji balik bertanya.

Bangsat mengangkat bahu. "Kalau mau dibilang kepikiran, ya jelas gue juga kepikiran sama lo, Ji. Bahkan kemarin waktu coli yang gue bayangin adalah wajah lo."

Anehnya Oji malah terkikik geli. "Dasar mesum!"

Bangsat nyengir, giginya bersinar di cahaya remang-remang. "Soalnya gue sange berat tiap kali bayangin wajah lo yang mendesah keenakan pas gue ewe."

Oji menggigit bibir. Kelamin di balik celananya bergerak bangkit karena obrolan mereka yang mulai menjurus. Ditambah lagi wangi parfum bercampur keringat Bangsat yang enak dicium, membuat Oji hampir nggak bisa menahan godaan untuk melumat bibir Bangsat.

"Ji, badan lo wangi." Bangsat mulai meluncurkan aksi. Dia mengendus-endus leher Oji, menikmati aroma manis yang membuat hidungnya jadi doyan menciumi aroma itu.

Oji juga sudah kegatelan karena hangat napas Bangsat yang menyapu kulit lehernya. Rasanya geli, membangkitkan libido. Panas di tubuhnya mulai meningkat. Kelamin di celananya mulai menggesek-gesek celana dalam. Sial, pikirnya, mulai lagi nih.

Apa-apa yang sudah dimulai biasanya bakal susah untuk diakhiri. Itulah yang terjadi selanjutnya ketika Oji mendongak menatap wajah Bangsat yang mulai merah karena nafsu. Awalnya Oji cuma sedikit memajukan kepalanya, tapi lama-lama wajahnya jadi semakin dekat dengan wajah Bangsat. Mata mereka menatap satu sama lain, sama-sama terbakar oleh hasrat. Oji cuma bisa pasrah ketika bibirnya dilumat oleh mulut Bangsat yang hebat. Dan sekalinya bibir Oji digigit oleh Bangsat, maka susah baginya untuk menolak rasa nikmat yang begitu dahsyat.

Malam itu mereka melakukannya lagi. Kali ini bukan karena ingin pembuktian, juga bukan karena kebutuhan. Mereka melakukannya karena sama-sama menginginkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top