Chatting-an

Oji kira Tio dan Mali bakal marah karena kemarin dia membatalkan janji nonton bareng mereka, tapi kedua temannya itu biasa-biasa aja seolah janji yang Oji langgar nggak ada apa-apanya. Oji sih bersyukur karena mereka nggak marah, tapi kan tetap saja nggak enak.

"Jadi gimana filmnya?" tanya Oji takut-takut ketika mereka bertiga duduk di kursi panjang halaman tengah sekolah.

"Bagus." Mali menjawab sambil membuka tutup kaleng sodanya. "Lo tahu kan gue nggak terlalu suka film fantasi, tapi waktu nonton film ini—beuuuh, gue langsung suka!"

"Sorry ya kemaren gue dipaksa sama Wina—"

"Jangan kayak anak kecil deh!" Tio merobek bungkus Chitato dengan sekali sentakan. "Kita berdua tahu kok lo bakal lebih milih Wina daripada main bareng kita."

Oji makin nggak enak hati. "Guys, gue beneran minta maaf."

"Santai aja kali, Ji. Kayak sama siapa aja,deh." Mali meraup segenggam keripik Chitato, kemudian memakan semuanya sekaligus. "Lo nuh uwah ita angep aya odala endili."

Oji kebingungan. "Gue nggak ngerti lo ngomong apa."

Mali harus menelan keripiknya terlebih dulu sebelum bisa ngomong dengan benar. "Tadi gue bilang, lo itu udah kita anggep kayak sodara sendiri."

Gemas, Tio memukul kepala sahabatnya itu. "Lain kali habisin dulu makanan di mulut, baru ngomong!"

Mali nyengir sambil gosok-gosok kepalanya yang dipukul Tio. "Sorry."

Oji ikutan nyengir melihat tingkah dua sahabatnya yang sangat akrab. Saking akrabnya sampai-sampai kelihatan kayak orang pacaran. Bahkan, tadi malam mereka nonton bioskop berdua—persis kayak orang pacaran. Oji nyengir lebih lebar, memandangi dengan khidmat kedua sahabatnya yang sekarang lagi ngemilin Chitato bareng-bareng sambil melempar ejekan.

Tiba-tiba keakraban dua sahabatnya itu mengingatkannya pada Bangsat. Tadi malam dia dan Bangsat bisa dibilang cukup akrab di sepanjang jalan pulang dari MBK ke rumah. Walaupun tadi malam udaranya dingin, tapi Oji merasa hangat karena bersama Bangsat. Apalagi Bangsat dengan baik hati meminjamkan jaketnya. Setiap kali membayangkan itu, Oji susah untuk nggak tersenyum. Ingatan tentang Bangsat selalu bisa memicu debaran hangat yang terasa menyenangkan di hatinya.

Sekarang Oji sedang memandangi layar hapenya, bimbang antara ingin WA Bangsat, tapi malu. Soalnya apa yang mau dibahas? Mereka kan nggak pernah WA-an sebelumnya. Dapat nomor WA Bangsat juga baru tadi pagi saat mereka terbangun dalam keadaan bugil sambil pelukan. Oji sudah nggak kaget lagi karena dia sadar tadi malam mereka habis ngeue. Rasa sakit di pantatnya sudah nggak terlalu menyakitkan, tapi tetap saja lubangnya masih terasa agak perih. Anehnya, walaupun perih, tapi Oji suka. Dia bahkan ciuman lagi dengan Bangsat setelah bangun tidur.

Jangan salahkan Oji karena nggak bisa menahan dirinya setiap kali berada di dekat Bangsat. Pun jangan salahkan hormon Oji yang memang sedang menggebu-gebunya. Tapi salahkan suasananya. Salahkan motor Bangsat yang nggak mau hidup. Salahkan Wina yang maksa-maksa Oji ikut double date itu. Dan salahkan juga Kak Ratu yang menyuruh Oji pulang bareng Bangsat. Kalau itu semua nggak terjadi, Oji nggak mungkin harus berhadapan dengan Bangsat.

Berkali-kali Oji menanyakan dalam hati: ada apa dengan gue? Apa yang spesial dari Bangsat sampai-sampai gue nafsu banget sama dia? Apa yang membuat jantung gue berdetak nggak keruan hanya karena melihat mata Bangsat yang menyorot tegas, tapi juga terasa sangat teduh? Oji selalu kebingungan karena pertanyaan-pertanyaan itu nggak pernah bisa dia jawab.

"Jangan ngelamun, Ji. Katanya di sekolah ini banyak setannya." Mali melempar keripik ke kepala Oji.

Oji tersadar dari lamunan. "Ganggu orang ngelamun aja, sih!" dongkolnya.

"Pasti ngelamun jorok." Tio ikutan melempar Oji dengan keripik.

"Sok tahu lo ah!" Oji dongkol karena dua kali dilempar keripik. "Nih, kalau mau nimpuk pakek batu sekalian." Dia mengambil batu seukuran kerikil dari tanah, kemudian menimpuk ke arah teman-temannya. Meleset. Batu itu mendarat pasrah di dekat kaki Mali.

"Timpukan lo kayak bencong, lemah betul." Tio tertawa, lebaaaaar banget sampai-sampai Oji kepingin melempar batu ke mulut sahabatnya itu.

Oji cemberut karena dikatain bencong. Dia kan orangnya gampang bawa perasaan, jadi dia langsung berpikir mungkin teman-temannya bisa merasakan ada yang berubah di dalam dirinya. Diam-diam Oji berdoa dalam hati semoga teman-temannya nggak tahu bahwa dia pernah diewe cowok.

Suara bel berbunyi, menandakan jam istirahat pertama telah berakhir. Oji bangkit dari kursi semen yang dia dudukin, membersihkan bagian belakang celananya yang tertempel butiran debu, kemudian melangkahkan kaki ke kelas.

Dari belakang, Mali memanggilnya. "Ji!"

Oji berbalik, dan saat itu juga sebuah batu kecil mendarat tepat di tengah keningnya.

"Anjing! Sakiiit!" Dia meringis sambil gosok-gosok jidat. Kepalanya sampai pening karena batu kerikil tadi. "Taik, ngapa sih lo nimpuk gue?" Dia marah, matanya melotot galak.

Tio sama Mali nggak takut. Mereka malah ngaceng (ngakak kenceng). "Itu baru namanya lemparan cowok. Penuh kekuatan, nggak lemah kayak lemparan lo tadi."

"Lemparan bencong," Mali menambahkan sambil ngakak lebih lebar.

Oji geram. Dia mengambil batu yang ukurannya segede batu bata, kemudian mengambil ancang-ancang ingin melempar batu itu ke teman-temannya. Tapi ... sial! Dua temannya itu sudah kabur duluan lari ke kelas sambil ngaceng.

Akhirnya Oji cuma bisa ngedumel dalam hati sambil menggosok jidatnya yang mulai muncul benjolan kecil.

Bangsat, kenapa gue sial banget hari ini?

***

Seolah-olah punya telepati, Bangsat kayak bisa mendengar suara Oji yang memanggil-manggil namanya.

Bangsat ... Bangsat ... ohh Bangsat ....

Terbuai, Bangsat pun tersenyum. Dia tahu ini gila karena suara itu adalah suara dalam hatinya sendiri. Mana mungkin Oji nyebut-nyebut nama dia. Anak itu kan masih sering kebingungan. Dikit-dikit manis, dikit-dikit cemberut, dikit-dikit minta cium, eh pas udah dicium malah nyalahin Bangsat. Kayak tadi pagi ketika mereka bangun tidur, Oji langsung mencium bibir Bangsat. Bangsat sih keenakan karena dia pikir bakal ngewe Oji lagi saat morning erection­-nya lagi keras-kerasnya, tapi ternyata nggak jadi karena tiba-tiba Oji marah-marah. Katanya, Bangsatlah yang sudah menyesatkannya. Bangsatlah yang membuat Oji jadi seperti ini. Bangsatlah yang menyakiti pantat Oji. Padahal, selama ini kan Oji yang minta—Oji yang mulai duluan—dan Bangsat cuma menerima apa yang Oji kasih—kayak kucing garong dikasih ikan asin, mana mungkin nolak. Ya, kan?

Jadi ketika Oji lagi marah-marah, Bangsat langsung memeluk anak itu. Oji berontak, menggebuk-gebuk minta dilepaskan, tapi Bangsat nggak mau melepaskannya. Dia malas mendengar Oji ngoceh-ngoceh, jadi dengan dipeluk Oji pasti bakalan diam. Nggak lama kemudian anak itu pun diam, nggak berontak lagi walau masih ngedumel. Saat itulah Bangsat menjelaskan semuanya. Dia bilang ke Oji bahwa dia nggak pernah berniat menyakiti anak itu. Dia juga mengatakan bahwa apa yang dia lakukan itu murni karena dia sayang dengan Oji, bukan karena ingin menyakitinya. Setelah dijelaskan begitu, Oji nggak ngedumel lagi. Kemudian mereka bertukar nomor WA, niatnya cuma pingin kenal lebih dalem aja gitu, biar nggak ada lagi kecanggungan di antara mereka—karena kata Oji dia masih canggung dekat-dekat sama Bangsat.

Walau sudah dapat nomor WA Oji, Bangsat masih ragu untuk memulai obrolan. Dia bingung harus ngomong apa? Nggak mungkin kan dia nanya lagi apa? Udah makan belum? Belajar yang bener ya, Ji. Jangan nakal di sekolah. Semua itu kedengaran sok peduli dan sok dekat, padahal selama ini Bangsat nggak pernah benar-benar merasa dekat dengan Oji.

"Aaaanjriiit!!" Bangsat mengumpat kesal sambil mengacak-acak rambutnya yang basah.

"Ngapa sih lo! Teriak-teriak kayak di hutan!" Rian memarahinya.

Bangsat langsung sadar dia sedang berada di kolam renang Unila bareng Rian dan dua temannya yang lain. Mereka sengaja datang ke sini karena si Juni kepingin berenang.

"Nggak apa-apa. Banyak pikiran."

"Mikirin Lampung yang kalah di perempat final Grand Champion PSFC?" tanya Rian.

Bangsat mengangkat bahu. Dia bahkan nggak memikirkan itu sama sekali, karena jengkel habis-habisan tim futsal Lampung kalah di babak yang hampir mendekati final. "Bukan itu. Ngapain gue repot-repot mikirin mereka?"

"Entah. Mungkin karena lo nggak lolos seleksi masuk tim inti?"

Bangsat cemberut. Omongan Rian memang benar, tapi kan dia nggak mau diingatkan lagi tentang itu. "Udah gue bilang, ya. Bukannya nggak lolos, tapi emang gue nggak mau ikut masuk ke tim inti!"

"Terus lo mikirin apa dong?"

"Bukan apa-apa. Udah sana, lo nyebur lagi ke kolam. Gue lagi pingin sendirian." Bangsat mendorong Rian dari gazebo kecil di pinggir kolam.

Rian menggerutu, kemudian nyebur ke kolam dan berenang mendekati dua temannya yang lain.

Bangsat meraih hapenya, membuka kunci kombinasi, kemudian menyentuh ikon WA di layar utama. Dia mencari kontak Oji, kemudian melihat display picture anak itu yang tersenyum manis sambil mengedipkan sebelah matanya ke kamera. Cuma memandangi foto Oji aja berhasil membuatnya tersenyum, apalagi kalau melihatnya langsung. Bangsat selalu nggak bisa menahan diri untuk nggak memuji senyum Oji yang manis.

Nggak usah diragukan lagi, Oji memang ganteng. Kulitnya yang putih merona dan halus dipadu dengan senyumnya yang manis membuat siapa pun yang melihatnya pasti akan langsung menyukainya. Gaya berpakaian Oji juga nggak pernah norak, selalu modis dan santai. Pertama kali melihat anak itu, Bangsat langsung suka dengan penampilannya yang sesuai dengan kondisi wajahnya.

Di sini Bangsat mulai bertanya-tanya apakah itu sebabnya dia sangat menikmati ngewe dengan Oji? Apakah itu yang membuat Bangsat panas dingin hanya karena berdekatan dengan Oji? Secara garis besar Oji nggak beda jauh dengan Ratu—mereka sama-sama imut, sama-sama wangi, sama-sama punya penampilan yang menarik—jadi mungkin itulah penyebab Bangsat sangat suka ngewe dengan Oji, karena anak itu mirip dengan Ratu.

Tapi, kalau memang Bangsat ngewe dengan Oji cuma karena dia mirip dengan Ratu, lantas bagaimana cara dia menjelaskan detak jantungnya yang berdetak cepat ketika berada di dekat Oji? Bagaimana cara dia menjelaskan kenapa senyum Oji selalu bisa membuatnya merasa hangat, sedangkan senyum Ratu nggak pernah membuatnya merasakan hal itu? Apa yang nggak dia rasakan di Ratu, justru malah dia rasakan di Oji.

"Babi! Kenapa anak itu nggak mau pergi dari kepala gue, sih? Sialan!" Bangsat menjambak rambutnya kuat-kuat, tapi itu malah membuatnya kesakitan.

Masih ada satu pertanyaan lagi yang sampai sekarang masih nggak bisa dia temukan jawabannya oleh Bangsat:

Kenapa otaknya selalu memunculkan wajah Oji? Seolah-olah yang ada di pikirannya cuma Oji, Oji, Oji. Bangsat sudah berusaha menolak, berusaha mengusir wajah manis-ganteng itu dari kepalanya, tapi susah. Sejauh apa pun dia menyingkirkannya, wajah Oji bakal selalu muncul lagi. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, bahkan di setiap langkahnya, wajah Oji selalu memenuhi pikirannya.

"Gue harus WA dia." Dia akhirnya punya tekad. Apa pun alasannya, pokoknya dia harus WA Oji. Mau ngomongin apa, terserah. Yang penting WA dulu. Yang penting anak itu pergi dulu dari kepalanya.

14:45 Satria H. Afriawan
P

14:46 Oji Ananda Ramadhan
Iya.

Dia menelan ludah. Fast respons coy, seolah-olah Oji juga nungguin WA dari Bangsat.

14:48 Satria H. Afriawan
Lagi apa Ji?

14:50 Oji Ananda Ramadhan
Baru sampe rumah

14:51 Satria H. Afriawan
Oh ydh, ganti baju dulu

14:52 Oji Ananda Ramadhan
Iya. Bangsat lg apa?

14:53 Satria H. Afriawan
Lg berenang

14:54 Oji Ananda Ramadhan
Sama Kak Ratu?

Bangsat garuk-garuk kepala. Ketika nama Ratu muncul di antara obrolan mereka, hatinya mendadak berubah jadi nggak enak.

14:56 Satria H. Afriawan
Nggak. Sama kawan2 gua

14:58 Oji Ananda Ramadhan
Oh, oke. Asikin aja dulu.

Dia menggigit bibir, menahan diri. Cuma WA-an aja rasanya jadi kepingin guling-gulingan di tanah.

15:00 Satria H. Afriawan
Iya ji. Mandi sana

15:03 Oji Ananda Ramadhan
Iya ini mau mandi bang

15:06 Satria H. Afriawan
Yg bersih ya

15:07 Oji Ananda Ramadhan
Klo gk bersih emg knp?

15:08 Satria H. Afriawan
Klo gk bersih nanti gua yg mandiin sampe bersih :D

Dia senyum-senyum sendiri sambil guling-gulingan di lantai gazebo. Perutnya terasa geli-menyenangkan. Seperti ada bulu ayam menggelitik perutnya, campuran antara pingin ketawa, tapi pingin loncat-loncatan juga.

15:10 Oji Ananda Ramadhan
Ngawur. Gua mandi dlu ya bang

15:12 Satria H. Afriawan
WA ya klo udh

15:14 Oji Ananda Ramadhan
Klo gua gk mau WA?

15:16 Satria H. Afriawan
Klo lo gk WA, nanti gw kepikiran sama lo lagi

15:17 Oji Ananda Ramadhan
:D
Org gila. Pikirin Kak Ratu aja sana

15:19 Satria H. Afriawan
Gua maunya mikirin lo ji

15:21 Oji Ananda Ramadhan
Gua udh dipikirin sama Wina

Jantungnya bagai tertohok bambu runcing. Sama seperti nama Ratu, kalau nama Wina muncul di antara obrolan mereka, Bangsat merasa nggak ikhlas cewek itu ada di tengah-tengah mereka.

15.23 Satria H. Afriawan
Ydh klo gitu gua gk mau mikirin lo lagi

15:25 Oji Ananda Ramadhan
Ngambek cieeee :D

15:27 Satria H. Afriawan
Bodo amat. Udah sana mandi

15:28 Oji Ananda Ramadhan
Ya ya bawel.
Lo juga bilas sana.
Awas masuk angin

15:30 Satria H. Afriawan
Ciyeeee perhatian :p

15:32 Oji Ananda Ramadhan
Idih, kepedean. Haha :p
Dah dlu ya bang
Mau mandi, gerah nih

15:33 Satria H. Afriawan
Ok. Kabarin klo udh

15:35 Oji Ananda Ramadhan
Iya

Asik WA-an, tanpa sadar Bangsat guling-gulingannya bukan lagi di gazebo, tapi di rumput-rumput di luar gazebo. Begitu sadar, langsung aja dia garuk-garukin badannya karena gatal-gatal digigitin semut—Bangsat guling-gulingannya di atas sarang semut. Badannya langsung bentol-bentol merah setelah digaruk-garuk. Karena nggak tahan, dia buru-buru lari ke kolam, kemudian nyebur di bagian kolam yang dalamnya 5 meter.

Emang dasarnya Bangsat bloon, dia lupa kalau dia nggak bisa berenang. Langsung aja dia meronta-ronta minta tolong ke orang-orang yang ada di situ.

"Tolooong! Gue nggak bisa berenang! Tolooong!!!" Mulut, hidung, dan juga telinganya kemasukan air. Dia batuk-batuk sambil berusaha menjaga kepalanya tetap di permukaan air. Tapi, susah. Seperti ada sebuah tangan besi yang menarik Bangsat untuk masuk ke bawah air.

"Woy, tolong gue woy! Gue mau mati ini woy!" Bangsat terus meronta, sambil melihat-lihat di mana orang-orang berada.

Untungnya di situ ada Juni yang bisa berenang. Melihat Bangsat meronta-ronta, Juni langsung berenang mendekati temannya, kemudian menolongnya. Bangsat sudah nyaris pingsan sewaktu Juni mengalungkan lengan Bangsat ke lehernya. Kemudian Juni membawa Bangsat ke pinggir kolam, di sana sudah ada Rian dan Hafiz yang nungguin.

Setelah naik ke pinggiran kolam, Bangsat langsung batuk-batuk hebat memuntahkan air dari mulutnya. Padahal tenggorokannya kemasukan air, tapi rasanya seperti dibakar api. Perih. Panas. Hidungnya mengeluarkan air. Matanya merah karena kemasukan air.

"Gila lo! Nggak bisa berenang tapi sok-sokan nyebur di 5 meter!" Juni memarahinya.

"Gue digigit semut, Bego!" Dia kembali menggaruk badannya yang baru kerasa lagi gatelnya.

"Emang tolol temen kita satu ini!" Rian ketawa, lebar, sambil menepuk-nepuk kepala Bangsat. "Otaknya nggak segede pelernya."

Juni sama Hafiz ikut ketawa, ngakak.

Awalnya Bangsat cemberut, tapi lama-lama dia ikut ketawa juga. Jadilah keempat sahabat itu tertawa di pinggir kolam sambil dilihatin orang-orang di sekitar mereka.

Ji, makasih karena hari ini udah membuat gue jadi orang tolol.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top