Bahagia Adalah Pilihan

Masalah sebenarnya adalah Wina. Kalau saja cewek itu nggak pernah ada di hidup Oji, mungkin mudah baginya untuk mengiyakan kata-kata Bangsat yang mengajaknya pacaran. Walaupun sebenarnya Oji masih nggak yakin dengan Bangsat, tapi hatinya berkata lain. Dan seringnya apa yang dikatakan oleh hati itu nggak bisa dibohongi, ya kan?

Sebenarnya, Wina itu sayaaaang banget sama Oji walaupun sikapnya belakangan ini berubah keterlaluan dan kadang membuat Oji jengkel. Bisa aja sih Oji menyingkirkan Wina. Tinggal bilang, "Win kita putus ya, karena aku udah nggak nyaman lagi sama kamu," tapi ... Oji masih nggak yakin dengan perasaannya sendiri. Di sudut terdalam hatinya masih ada suatu perasaan nggak tega melihat Wina sedih.

Wina adalah anak yatim piatu karena orangtuanya memutuskan pergi dan nggak mau kembali lagi untuk menengoknya. Dia dititipkan kepada neneknya dan tinggal di rumah kecil yang nyaris roboh kalau saja nggak ada pilar kayu yang menyanggah rumah kecil dan bobrok itu. Awal kenal Wina, Oji pikir cewek itu berasal dari keluarga yang hidup bahagia seperti dirinya. Tapi ternyata kisahnya sangat pilu. Oji bahkan nyaris menangis ketika Wina menceritakan tentang hidupnya. Dan dulu, ketika mereka jadian, Oji membuat sumpah kepada dirinya sendiri bahwa dia bakal membahagiakan Wina dengan cara apa pun.

Terikat dengan sumpah dan janji yang sudah dibuatnya sendiri itulah yang jadi alasan utama Oji masih nggak yakin untuk menerima Bangsat dan menyingkirkan Wina.

Wina selalu berkata kepada Oji, "Saat ini cuma kamu sama Nenek yang aku punya di dunia ini, Ji. Kalau nggak ada kamu, dan nggak ada Nenek, aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan di dunia ini."

Kalau sudah mendengar ucapan itu, jantung Oji rasanya mau dicopotin aja saking nggak kuatnya merasakan perih yang luar biasa. Seorang gadis cantik dan mungil, ditinggalkan oleh orangtuanya untuk alasan yang nggak jelas, hidup bertahun-tahun di rumah bobrok bersama neneknya, dan gadis itu mengucapkan permohonan kecilnya yang ingin terus-terusan bersamamu ... memangnya siapa yang bisa menolak permohonan itu? Oji terlalu baik untuk menolak itu.

Tapi, Oji juga terlalu mencintai untuk bisa menolak Bangsat.

Hatinya berkata bahwa dia ingin terus bersama Bangsat, ada di sisi cowok itu, menyaksikan betapa mesumnya Bangsat yang selalu punya seribu satu cara ampuh untuk membuatnya merasa jengkel, merasa senang, tapi juga merasa sangat diinginkan.

"Ji ... gue nungguin," kata Bangsat. Jemari tangan mereka masih menyatu, saling menggenggam erat seolah nggak mau dilepaskan lagi.

Memang Oji nggak mau melepaskan tangannya yang menyatu dengan tangan Bangsat, karena kehangatan yang terpancar dari sana terasa sampai ke hatinya.

"Gue masih bingung," kata Oji, menggeleng.

"Udah gue pegangin, tapi masih bingung?"

"Gue masih mikirin Wina, Bang."

"Ck!" Bangsat berdecak, kesal. "Bisa nggak sih kita pikirin diri kita dulu? Kalau kita terus-terusan mikirin mereka, kapan kita ngewenya?"

"Hah?" Oji mengerutkan kening.

"Eh salah, maksud gue, kalau kita terus-terusan mikirin mereka, kapan kita bahagianya?"

Oji melepaskan jemarinya yang bertaut dengan Bangsat. Ngambekkk. "Gue jadi makin nggak percaya dengan lo, Bang. Barusan lo bilang soal ngewe, berarti lo cuma pingin ngewe doang sama gue."

Bangsat mengutuk dirinya sendiri karena salah ngomong. "Ji, nggak gitu ... tadi gue salah ngomong."

Oji memeluk lutut, menempelkan dagunya di puncak lutut sambil mengucap, "Salah ngomong atau nggak, yang jelas gue nggak bisa nerima lo jadi pacar gue."

Bangsat diam, mencerna ucapan Oji barusan. Dia berharap mendengar kata belum bisa, bukannya nggak bisa yang mengindikasikan bahwa Oji, dengan alasan apapun, nggak akan mau menjalin hubungan dengannya. Bangsat kecewa dan sedih, dan dia nggak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun untuk menanyakan alasan anak itu menolaknya.

"Bukan cuma karena ada Wina," akhirnya Oji menjelaskan tanpa harus diminta. "Tapi juga karena masih ada banyak hal yang harus kita selesaikan dulu sebelum semua ini bisa berjalan seperti yang kita inginkan."

Bangsat kembali semangat mendengar seperti yang kita inginkan keluar dari mulut Oji. Ini menandakan bahwa Oji juga sebenarnya menginginkannya, hanya saja anak itu terlalu takut menghadapi kenyataan yang ada di hadapan mereka. "Jadi lo juga sebenernya kepingin, kan?" Bangsat nggak bisa menahan diri untuk bertanya.

Oji menggoyangkan badannya ke depan ke belakang sambil matanya menatap lurus ke kegelapan malam yang mulai terasa dingin. "Mungkin iya, mungkin juga nggak, Bang."

Oji bicara dengan nada yang terdengar seperti nggak mau menjelaskan lebih banyak, jadi Bangsat nggak memaksa anak itu untuk menjelaskan apa maksud dari jawabannya tadi. Yang jelas, Bangsat merasa cukup lega cuma dengan mengetahui bahwa Oji juga menginginkannya, meskipun masih sebuah kemungkinan.

Bangsat bergeser ke Oji, lalu melingkarkan lengannya di sekeliling pinggang anak itu. Udara dingin di luar sini mulai menggigit, dan Bangsat selalu benci dengan udara dingin. Dia mengusap telapak tangannya di pinggang Oji, membuat anak itu mengeluarkan suara yang terdengar seperti desahan—atau mungkin erangan?—tertahan.

"Gue ngerti kalo lo nggak bisa nerima gue sekarang. Memang masih banyak urusan yang harus kita selesaikan sebelum kita bisa memperoleh kebahagiaan yang seutuhnya."

Oji nggak menjawab. Dia mematung, seolah-olah cuaca dingin yang datang tiba-tiba itu membekukan tubuhnya.

"Ji?" Bangsat melihat mata Oji yang menatap lurus ke kegelapan, nyaris nggak berkedip. Dia khawatir jangan-jangan Oji kesurupan? "Lo baik-baik aja?"

Oji menggeleng. "Gue cuma lagi pingin sendirian, Bang." Mata Oji rasanya panaaas banget, seolah-olah bola matanya diselimuti api. Tapi dia menahan diri kuat-kuat supaya air matanya nggak meleleh. Dia memeluk lutut lebih erat, membenamkan wajahnya lebih dalam ke rongga di antara tubuh dan dua lututnya yang disatukan.

Bangsat menangkap nada pilu di suara Oji. Kehampaan dalam keheningan. Mungkin memang ide yang buruk membiarkan Oji sendirian di tengah kegelapan yang nyaris menelan segalanya yang ada di sekeliling mereka. Tapi, Bangsat juga nggak mau memaksakan kehendaknya, karena biar bagaimana pun setiap orang punya privasinya masing-masing.

"Oke," Bangsat melepaskan lengannya yang melingkar di pinggang Oji. Kehangatan yang terpancar langsung menguap begitu saja seperti asap. "Gue bakal nunggu di kamar." Bangsat berdiri, memandangi Oji sekali lagi, memastikan batang lilin yang menemani anak itu cukup untuk membuatnya merasa aman, lalu dia masuk ke dalam kamar.

Setelah Bangsat pergi, barulah Oji bisa melepaskan semua emosinya. Dia nggak ngerti kenapa dia harus menangis, tapi yang jelas hatinya terasa sesak karena lengan Bangsat yang melingkari pinggangnya tadi. Dengan satu sentuhan saja Bangsat bisa membuatnya luluh lantak oleh rasa aman, nyaman, dan juga kehangatan. Dia nggak pernah merasakan sensasi yang seperti ini sebelumnya. Cuma bersama Bangsat.

Wina pernah menyentuhnya. Jari-jari lentik perempuan itu pernah beberapa kali menyentuh kejantanan Oji, tapi nggak ada satu pun sentuhannya yang terasa begitu menghancurkan seperti sentuhan Bangsat kepada tubuhnya. Kalau sentuhan Wina diibaratkan gempa bumi yang membuatnya bergetar hebat, maka sentuhan Bangsat adalah kiamat yang menghancurkan segala yang ada di dalam tubuhnya. Kewarasannya. Hasratnya. Segala macam hormon yang sedang bekerja di dalam otaknya.

Dan Oji menyukai itu.

Yang lebih aneh, dia mendambakan semua itu.

Tapi, lagi-lagi, Wina selalu membayangi pikirannya.

Oji masih bingung apa yang harus dia lakukan dengan hubungan mereka? Sumpah itu ... saat dia menatap mata Wina yang menyorot sedih sambil mengucapkan permohonannya. Bahkan dalam keheningan yang terasa dingin itu pun Oji masih bisa membayangkan ekspresi sedih Wina yang menyayat hati. Seorang gadis sebatang kara, tanpa keluarga kecuali neneknya yang tua dan ringkih, yang nggak menjamin sampai kapan nenek tua itu bisa merawatnya seorang diri. Hidup Wina dipenuhi dengan keenggakpastian, dan hanya Ojilah satu-satunya kepastian yang dia miliki.

Apakah Oji akan tega menyakiti Wina, sementara cewek itu menggantungkan harapan hidupnya kepadanya?

Tangisan mengalir lebih deras di pipinya yang mulus. Oji bukan orang yang cengeng. Terakhir kali dia menangis kayaknya tujuh bulan yang lalu ketika Kakek pergi meninggalkan keluarga kecilnya. Air mata Oji kali ini bisa dibilang cukup berharga karena dia nggak pernah sekalipun nangis yang disebabkan oleh hatinya yang gundah gulana. Dan setelah menangis, hatinya memang sedikit lebih plong, tapi tetap nggak bisa menyelesaikan apa pun.

Dia menginginkan Bangsat.

Tapi dia nggak bisa meninggalkan Wina.

Dan masih ada Kak Ratu yang harus dia pikirkan juga bagaimana perasaan kakaknya kalau dia tahu tentang cintanya yang terlarang kepada Bangsat.

Semua ini berkecamuk di dalam hati Oji seperti tornado yang menghancurkan segala yang ada di permukaan.

"Kak Oji?"

Dia buru-buru menghapus air mata di pipinya, mengerjap-ngerjap untuk menghentikan air mata yang masih mendesak minta dikeluarkan. Dengan malu, dia membuang muka ke samping ketika Sari duduk di sebelahnya. Dia berharap semoga cahaya lilin nggak cukup terang untuk memperlihatkan matanya yang masih sedikit berlinangan air mata.

"Ngapain di sini sendirian, Kak? Dingin, lhooo."

"Lagi pingin sendirian aja, Sar," jawab Oji, tersenyum. Dia nggak berani menatap Sari karena takut bakal dikira cowok cengeng, jadi dia menunduk ke bawah.

"Kak Tria mana?"

"Di kamar."

"Kak Oji nggak ikut masuk ke kamar?"

"Nggak. Tadi aku bilang ke dia lagi pingin sendiri."

"Sendiri kok kepengen sih, Kak? Aku aja pengennya punya pacar kok, bukan sendirian." Sari terkikik geli.

Mau nggak mau Oji tersenyum. "Kamu jomblo, Sar?"

Sari mengangguk samar. "Iya. Sebenarnya kemarin ada cowok yang ngejar-ngejar Sari, tapi nggak Sari ladenin."

"Kenapa?"

"Karena dia udah punya pacar." Tiba-tiba Sari murung. Dalam remang cahaya lilin, bibir Sari yang bentuknya mirip dengan bibir Bangsat—hanya saja lebih tipis—terlihat manis dan lucu ketika merengut ke bawah. "Padahal dia ganteng banget tahu, Kak. Kak Tria aja kalah gantengnya."

Oji ketawa kecil. "Kamu kelas berapa sih, Sar?"

"Kelas 10, Kak."

"Setahun di bawahku, dong? Aku kira kita seumuran."

"Loh? Aku kira Kak Oji malah udah kuliah."

"Ngawur!" Oji ketawa geli. "Emangnya muka aku tua banget ya sampe kamu kira udah kuliah?"

"Ya nggak, soalnya waktu itu Kak Tria pernah ngajak Kak Juni dan teman-temannya main ke sini. Kak Oji kenal sama Kak Juni?"

Oji menggeleng. Kalau Juni yang dimaksud Sari adalah nama bulan di kalender, mungkin dia kenal.

"Kak Oji punya pacar?" tanya Sari, masih aja manggil Kak walaupun dia sudah tahu mereka cuma beda setahun.

"Udah," jawab Oji, nggak terlalu semangat.

Sayangnya, Sari menangkap nada nggak semangat itu. "Punya pacar tapi kok murung gitu jawabnya?" tanyanya, menyelidik. "Kak Oji nggak bahagia ya sama pacarnya?"

Kalau Sari ini bukan adiknya Bangsat, mungkin Oji bakalan risih. "Bahagia, kok." Dia berusaha tersenyum, tapi hanya berhasil membuat senyuman kecil.

"Kalau nggak bahagia tinggalin aja, Kak." Sari makin kelewatan.

"Sar, kita ini nggak saling kenal, jadi jangan ngasih kesimpulan yang nggak-nggak. Kamu aja nggak tahu kan siapa pacarku?" Oji berusaha menjaga suaranya supaya nggak terdengar tersinggung.

"Ya memang nggak tahu, sih. Tapi tadi Kak Oji jawabnya murung gitu kayak nggak bahagia sama pacarnya." Sari menatap Oji, lekat. "Biasanya kalau cowok bahagia dengan pacarnya dia bakal menjawab dengan penuh semangat dan berbunga-bunga seolah-olah dia bangga bisa pacaran dengan orang itu."

Jantung Oji bagai tertohok tombak. Apakah sejelas itu perasaannya kepada Wina di mata orang-orang? Kalau Sari aja bisa dengan jelas mengetahui perasaannya ke Wina, apakah Bangsat juga bisa? Apakah Kak Ratu juga bisa? Apakah Wina juga menyadarinya? Berdetak nggak keruan, jantung Oji kayak mau copot rasanya.

"Makanya tadi Sari bilang, kalau nggak bahagia tinggalin aja." Sari menatap api lilin yang bergoyang-goyang. "Bahagia itu pilihan, Kak. Kita selalu bisa memilih untuk bahagia, atau justru menderita selama-lamanya."

Oji diam, merenung. Matanya ikut menatap api yang bergoyang tertiup angin. Memikirkan ucapan Sari, dia teringat dengan kata-kata Bangsat tadi. Kalau kita terus-terusan mikirin mereka, kapan kita bahagianya? Kalau Oji terus-terusan terjebak dalam hubungan-yang-dipaksakannya dengan Wina, kapan dia bahagia bersama Bangsat-nya?

Sari benar. Kebahagiaan itu pilihan.

Pilihan antara terjebak selamanya dalam hubungan yang nggak membuatnya nyaman sama sekali, atau dia bisa berlari masuk ke kamar dan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam sana?

"Makin dingin, Kak," Sari menggigil sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Sari tinggal masuk dulu, ya? Kak Oji jangan duduk lama-lama di sini, nanti masuk angin."

Oji mengangguk, matanya mengikuti Sari yang menghilang di dalam rumah.

Udara yang makin dingin mulai menggigit sehingga Oji harus melingkarkan lengan di kedua pinggangnya. Dalam gemetarnya dia berharap seandainya lengan Bangsat yang memeluk tubuhnya ...

Lalu, dia langsung sadar bahwa dia bisa mewujudkan itu. Dia bisa mendapatkannya. Meraih kebahagiaan itu semudah dia masuk ke dalam kamar dan memeluk cowok yang akan memberinya kehangatan. Masalahnya cuma di kemauan. Apakah dia benar-benar memiliki kemauan yang kuat untuk itu, atau ... nggak sama sekali?

Angin yang dinginnya minta ampun membelai tubuh Oji sehingga dia menggigil lebih hebat. Dalam hati dia berbisik bahwa dia memang menginginkannya. Kehangatan. Kelembutan. Dan kasih sayang Bangsat yang dia inginkan saat ini.

Dengan mengangkat lilin, Oji bergegas masuk ke dalam rumah.

Dia mengambil napas panjang ketika sampai di depan pintu kamar Bangsat yang terbuka sedikit. Hatinya berdebar memikirkan apa yang harus dia katakan ke Bangsat? Tadi dia menolaknya, dan sekarang dia berharap Bangsat mau memeluknya? Konyol. Dan memalukan. Bangsat pasti akan menganggapnya cowok labil. Mungkin sebaiknya dia nggak usah masuk ke kamar itu. Tapi, lagi-lagi udara dingin membuatnya nyaris menggigil.

Sekonyong-konyong Oji teringat dengan rumah kosong ketika mereka berteduh di sana sore itu. Dingin yang dia rasakan sekarang kurang lebih sama dengan yang dirasakannya waktu itu. Saat itu, untuk menghangatkan tubuh, dia nekat mencium Bangsat dan menuntut cowok itu memberi kehangatan yang sangat dia idam-idamkan. Apa yang mereka lakukan di rumah kosong itu murni karena kebutuhan untuk saling menghangatkan. Tapi sekarang, Oji mantap dalam hati bahwa dia bukan hanya sekadar membutuhkan sebuah kehangatan, tapi juga menginginkan kebahagiaan.

Dengan sekali embusan napas, Oji mendorong pintu kamar Bangsat yang menimbulkan suara derit pelan ketika terayun membuka ke dalam.

Setelah mengunci pintu, Oji membiasakan matanya dengan cahaya kamar yang remang-remang karena hanya ada sebatang lilin di dekat kasur. Bangsat berbaring telungkup di kasur, wajahnya dibenamkan ke bantal, lengan terlipat di bawah bantal. Bangsat memakai kaos lengan panjang dan celana olahraga panjang yang kelihatan pas di tubuhnya. Sepertinya cowok itu tertidur, sebab dia nggak terperanguh sama sekali dengan kedatangan Oji yang langsung duduk di sebelahnya.

Dengan lembut, Oji membelai rambut Bangsat. Halus. Mengingatkannya pada saat terakhir kali dia menjambak rambut itu dengan ganas—yaitu saat mereka ngewe di kamar Oji pada malam setelah pulang jalan kaki dari MBK. Oji tersenyum memikirkan itu.

Entah usapan Oji di kepala Bangsat yang terlalu keras, atau memang Bangsat yang pura-pura tidur ketika cowok itu berbalik telentang di kasur dan kedua matanya terbuka lebar menatap ke Oji yang kaget karena dia pikir Bangsat beneran udah tidur.

"Lo nggak tidur," kata Oji.

"Emang. Pura-pura doang biar gue tahu apa yang bakal lo lakuin kalau ngelihat gue tidur." Bangsat nyengir. "Dan gue suka lo ngusap-ngusap rambut gue. Romantis."

"Nenek lo ngesot!" cibir Oji. Dia bergeser menjauh dari Bangsat—tapi nggak terlalu jauh karena dia nggak mau Bangsat berpikir dia menjauhinya.

"Udah selesai menyendirinya?"

Oji mengangguk. "Di luar dingin."

"Di sini juga dingin, makanya gue pakek lengan panjang." Dia mengulurkan kedua lengannya ke depan. "Lo juga pakek baju tangan panjang gih, biar nggak kedinginan."

"Nggak bawa baju tangan panjang."

"Sebentar, gue cariin dulu di lemari." Bangsat sudah bangkit dari kasur, mendekati lemari, tapi Oji menarik bagian bawah bajunya hingga membuatnya tersentak ke belakang, dan dia berputar tepat pada waktunya ketika tubuhnya bertabrakan dengan tubuh Oji sehingga mereka berdua jatuh bertindihan di atas kasur.

"Awh!" Oji mengerang, merasakan berat badan Bangsat yang dua kali berat badannya menimpa tubuhnya. Rasanya seperti dijatuhi semen lima sak.

"Maaf," kata Bangsat, nyengir, tapi nggak segera menyingkir karena dia suka dengan posisi mereka yang bertindihan. "Lo yang narik belakang baju gue."

"Gue pikir lo nggak bakal jatoh!"

"Tapi bagus deh gue jatoh, jadi kita bisa ada di posisi begini." Bangsat nyengir lebih lebar, giginya yang putih tampak berkilauan di cahaya remang-remang. Anehnya, walaupun tadi habis makan jengkol, mulut Bangsat malah menguarkan aroma mint yang manis.

"Lo makan permen, ya?" tanya Oji.

Bangsat mengangguk. Hidungnya bergesekan dengan hidung Oji ketika kepalanya bergerak-gerak. "Mulut gue nggak bau jengkol lagi, kan?"

"Gue minta satu," kata Oji.

Bangsat mengeluarkan permen dari mulutnya, menjepit permen itu di gigi, kemudian menyodorkannya ke mulut Oji. "Nih," katanya.

Awalnya Oji nggak mau nerima, karena permen itu berasal dari mulut Bangsat. Tapi, karena dia sudah berkali-kali merasakan ciuman Bangsat, jadi nggak ada salahnya, kan? Dia memajukan bibirnya, menjepit permen itu dengan giginya, kemudian membiarkan permen itu menggantung di antara dua bibir mereka yang nyaris menyatu.

Oji tahu jantungnya berdebar-debar dan dia yakin Bangsat pasti bisa mendengar debarannya. Darahnya bergolak panas ketika matanya bertatapan dengan mata Bangsat yang memantulkan cahaya api warna oranye—seolah-olah api itulah yang membakar darahnya. Mereka masih menggigit permen, jarak bibir mereka hanya dipisahkan oleh permen itu. Napas Bangsat yang hangat berembus di pipi Oji, membuai, membuatnya terlena.

Bangsat yang pertama membuat gerakan. Dia mendorong permen masuk ke dalam mulut Oji, bersamaan dengan bibirnya yang juga didorong menempel dengan bibir Oji. Awalnya, bibir yang menyatu itu terasa dingin. Lama-lama, ketika Oji memejamkan mata dan membuka sedikit mulutnya, Bangsat mulai merasakan kehangatan yang semestinya.

Oji kembali merasakannya. Rasa ketagihan yang sangat kuat ketika Bangsat menciumnya.

Mencium Bangsat rasanya sangat nikmat. Sangat benar. Tubuh Oji mulai bereaksi seperti seharusnya. Darah panas mulai memenuhi bagian yang mulai bangkit mengeras di balik celana dalamnya. Putingnya mengeras di balik kaosnya. Tubuhnya seolah-olah sudah siap menerima kenikmatan yang akan diberikan oleh Bangsat.

Bangsat menghentikan ciuman sejenak hanya untuk mengambil napas. Matanya terbakar hasrat, bibirnya merah berkedut-kedut, rambutnya acak-acakan.

"Yakin ini yang lo mau, Ji?" tanya Bangsat, lembut. Tangannya membelai rahang Oji, meninggalkan jejak panas yang seolah-olah melelehkan kulitnya.

Oji mengangguk, sambil tersenyum. Dia sudah memantapkan dalam hati bahwa inilah yang dia inginkan. Bukan cuma seksnya, bukan cuma kehangatannya, tapi kebahagiaan dan juga cinta yang Bangsat berikan kepadanya. Dia ingin merenggut semua cinta dan kebahagiaannya sekaligus malam ini. Dia ingin malam ini Bangsat hanya untuknya.

Oh ralat, dia ingin mulai malam ini Bangsat hanya untuknya.

Bangsat kembali memerangkap Oji di bawah tubuhnya. Kedua lengan Bangsat yang berotot berada tepat di samping kepala Oji. Selangkangan Bangsat yang membesar berada di atas selangkangan Oji. Kalau Bangsat menurunkan badannya sedikit saja, selangkangan mereka pasti bakal saling—

Ahh ... Oji menikmati rasa yang dihasilkan oleh selangkangan mereka yang bergesekan.

Bangsat kembali menciumnya, kali ini lebih ganas, tapi masih terasa benar dan wajar. Oji nggak membiarkan Bangsat menikmati ini semua sendirian. Dia juga balas mencium cowok itu, menikmati bibirnya yang kenyal, menikmati desah lembut yang keluar dari tenggorokannya. Bangsat seksi ketika mendesah, dan Oji ingin menikmati desahan itu hanya untuknya sendiri, bukan untuk orang lain.

Satu tangan Bangsat mulai nakal menggerayangi tubuh Oji. Jari-jarinya perlahan-lahan masuk lewat bagian bawah kaos Oji, menjalar di pusarnya, mengusap perutnya, sampai akhirnya berhenti di putingnya. Oji sangat terbuai oleh usapan jari-jari Bangsat di putingnya yang mengacung keras—terasa geli, menyetrum, membangkitkan hasrat yang lebih membakar, membuatnya melenguh dalam ciuman panas yang tengah mereka lakukan.

Oji juga nggak mau tinggal diam. Dia menarik kaos Bangsat melewati kepalanya hingga cowok itu telanjang dada. Dia letakkan telapak tangannya di dada Bangsat, merasakan jantung cowok itu berdetak cepat di balik tangannya, merasakan ototnya yang pejal dan terasa hangat. Oji terbuai oleh keindahan otot Bangsat yang nggak terlalu keras, tapi juga nggak terlalu lembek. Pas. Sempurna.

Lenguhan dan desahan pelan sama-sama lepas dari tenggorokan mereka, menjadi satu dalam ciuman yang panas dan memabukkan. Bangsat nggak puas hanya bermain-main dengan bibir Oji, jadi dia menurunkan ciumannya ke dagu, lalu turun lagi ke lehernya yang selalu menguarkan aroma parfum yang disukainya. Oji menjambak pelan rambut Bangsat ketika cowok itu mengecup, menjilat, dan mengendus kulit lehernya.

Rasanya memabukkan. Oji menyukai bibir Bangsat yang selalu tahu bagian-bagian mana yang akan membuatnya terbang tinggi ke langit ketujuh.

Puas dengan leher Oji, Bangsat masih kurang puas kalau belum menjamah seluruh tubuh Oji dengan bibir dan lidahnya. Jadi dia menarik lepas kaos anak itu, memandang takjub ke tubuhnya yang putih merona seolah-olah ini pertama kalinya dia memandangi tubuh anak itu. Setelahnya dia mengecup dadanya yang berotot polos, menggeser lidahnya sedikit sampai akhirnya menemukan puting Oji yang keras, tapi juga terasa lembut seperti marshmallow.

Lidah Bangsat yang dingin turun ke bawah, menjalari kulit Oji sampai berhenti di pusarnya. Oji membuka sebelah mata, mengintip Bangsat yang tersenyum lucu sambil mengecup pusarnya yang tenggelam di tengah perut. Geli. Oji tertawa kecil, lalu menahan napas saat lidah Bangsat turun lebih jauh ke garis celananya.

Oji makin berdebar-debar setiap kali Bangsat sampai di sana. Dia menahan napas, menahan segalanya ketika tangan Bangsat menarik celananya lepas dari pinggulnya, menyisakannya hanya dengan celana dalam. Oji merasa sangat panas, terbuai ketika Bangsat pelan-pelan menurunkan celana dalamnya, lalu cowok itu menciumi bulu-bulu kelaminnya, lalu tytyd Oji bebas dari kurungan celana dalamnya, tegang di perutnya, berkedut-kedut.

"Bentuknya lucu," ejek Bangsat, senyum kecil terkembang di wajahnya. Bahkan dalam cahaya remang pun Oji bisa melihat pipi Bangsat yang merona.

Oji menarik Bangsat mendekat ke tubuhnya, memeluknya. Debaran jantung mereka menyatu, bersahutan. Lalu Oji mengubah posisi, menggantikan Bangsat yang berada di bawah, sementara dia yang akan menjamah tubuhnya kali ini. Oji ingin Bangsat tahu bahwa dia juga menginginkannya. Dia menginginkan Bangsat seperti Bangsat menginginkan dirinya.

Menindih tubuh Bangsat, Oji mulai melakukan segalanya. Mencium bibirnya, merasakan panasnya lidah mereka yang bergelut di dalam mulut penuh cairan manis yang rasanya seperti mint. Lalu ciumannya turun ke leher Bangsat, mengecup jakunnya, sebelum akhirnya berhenti di puting cowok itu. Oji selalu menyukai puting Bangsat, karena setiap kali dia menggigitnya, atau menjilatnya, atau mengulumnya, Bangsat pasti akan mendesah sambil bergerak-gerak gelisah seolah-olah nggak kuat menahan serangan nikmat yang luar biasa.

Saat mulut Oji turun ke garis celana Bangsat, jantungnya serasa mau copot. Dia sudah pernah melakukan ini sebelumnya, dan akan melakukannya lagi. Anehnya, dia nggak pernah bosan. Karena di balik celana Bangsat ada sesuatu yang sangat dia idam-idamkan.

Oji menurunkan celana Bangsat sekaligus bersama celana dalamnya sehingga ketika celana itu sampai di lututnya, kontlo Bangsat yang gedenya minta ampun terkulai tegang sampai ke pusarnya. Oji menelan ludah. Benda pusaka besar ini selalu berhasil membuatnya terpana. Bentuknya indah, dengan urat-urat yang menonjol di sepanjang batangnya, berkedut-kedut. Kepalanya berwarna ungu kemerah mudaan, dan ketika Oji menyentuh lubang kencing di kepala kontolnya untuk merasakan precum yang keluar dari sana, Bangsat menggelinjang. Cowok itu menegang sebadan-badan hanya karena disentuh oleh satu jari. Dan Oji menyukai ekspresi Bangsat yang seperti itu.

"Ji, pleaseee ..." Bangsat memohon, menatap Oji dengan eskpresi seperti anak anjing minta dikasih makan.

Oji gemas, lalu dia menggenggam kontol Bangsat. Desahan lega keluar dari mulut Bangsat yang setengah terbuka. Matanya setengah terpejam, menikmati hangat tangan Oji yang menyentuh batang kejantanannya. Oji selalu menyukai saat-saat seperti ini, yaitu saat dia menyaksikan Bangsat tampak menyerah pada kenikmatan yang disebabkan oleh perbuatannya.

Oji mengocok pelan kontol besar itu dalam genggamannya, merasakan hangat dan juga kedutan demi kedutannya, menyapukan ibu jarinya di lubang kencing untuk mengelap precum, tapi itu malah membuat tubuh Bangsat melengkung kegelian dan keenakan sambil mendesah seksi. Oji jadi ikutan mengeras hanya dengan mendengar suara desah Bangsat yang seksi.

"Ji ... ayolah," Bangsat menatap Oji, memohon—sangat memohon.

Oji tahu apa yang diinginkan Bangsat. Ketika pertama kali mereka ngentot, Oji nggak tahu bagaimana caranya karena dia nggak pernah melakukannya. Tapi, berdasarkan pengalamannya dari nonton bokep, Oji akhirnya mengerti.

Mula-mula dia menjilat lubang kencingnya, merasakan precum yang gurih, lalu membuat gerakan melingkar di sana. Bangsat menegang sambil mendesah, merasakan nikmat yang sangat luar biasa karena lubang kencingnya dijilat oleh Oji. Rasanya seperti kejut listrik, tapi menyenangkan. Membuatnya ketagihan.

Setelah menjilat kepalanya, Oji mulai melahapnya. Dia sudah pernah melakukan ini, dan sekarang melakukannya lagi. Batang kemaluan Bangsat yang berkedut langsung memenuhi rongga mulutnya. Dia nggak bisa memasukkan seluruh batang itu ke dalam mulutnya karena saking besarnya benda itu, jadi dia hanya bisa memasukkan setengah saja. Walaupun setengah, tapi itu lebih dari cukup buatnya—dan juga buat Bangsat—karena ketika Oji mulai menggerakkan mulutnya, Bangsat melepaskan desahan lega bercampur nikmat yang terdengar sangat seksi di telinga Oji.

Dengan sebelah mata, Bangsat mengintip ke bawah sana, ke tempat Oji sedang melakukan sesuatu yang begitu enak dengan kontolnya. Setelah berhari-hari nggak dimanjakan, akhirnya kontol Bangsat kembali merasakan nikmat yang menyengat dan luar biasa erotisnya. Apalagi ketika Oji menjilati batangnya dari bawah sampai ke atas—beuuuuh, rasanya Bangsat kepingin langsung muncrat. Tapi, dia tahu bahwa dia nggak boleh egois. Dia harus menahan ejakulasinya demi bisa memuaskan Oji.

Oji bisa dibilang sudah cukup pakar mengulum. Walaupun nggak sepenuhnya masuk ke mulut, tapi kontol Bangsat seolah-olah puas dengan isapannya. Apalagi ketika Oji memainkan lidahnya di sepanjang batangnya yang berurat, benda panjang dan besar itu pasti bakal berkedut-kedut hebat, sementara yang punya kontol malah bergerak-gerak gelisah sambil mengusap kepala Oji dengan sayang. Oji menyukai cara Bangsat memperlakukannya dengan baik, menganggap Oji bukan hanya sekadar pemuas nafsu, tapi juga sebagai seseorang yang dia ingin untuk terus berada di sampingnya untuk melakukan ini ...

Setelah hampir lima menit mengulum, Oji akhirnya berhenti. Kontol Bangsat sudah licin berlumur liurnya, jadi ketika dia mengocoknya dengan tangan, batang itu terasa licin dan membuat Bangsat merem-melek sambil menggigit bibir penuh kepasrahan.

"Enak, Ji ..." desah Bangsat.

Oji tertawa kecil, lalu dia naik ke atas dan menemukan bibir Bangsat. Mereka berciuman lagi, sambil tangan Oji masih asik mengocok kontol Bangsat. Bagi Bangsat, ciuman sambil dikocokin kontolnya adalah kenikmatan yang bertubi-tubi dan dia nyaris muncrat kalau nggak langsung menarik tangan Oji supaya berhenti.

"Jangan ... nanti aja. Gue nggak mau muncrat sekarang," katanya, tersenyum manis sambil mengubah posisi. Dia menelentangkan Oji di kasur, sementara dia sendiri di atas tubuh anak itu, menindihnya seperti tadi. Kedua lengannya yang berotot berada di samping kepala Oji. Matanya terpaku ke mata Oji, memandangi anak itu dengan cinta yang berkobar di dalam sana.

"Gue cinta sama lo, Ji ..." Bangsat mengucapkannya dengan selembut mungkin tanpa desahan, berharap Oji dapat mengerti bahwa dia mencintainya benar-benar tulus dari dalam hati, bukan hanya sekadar ingin seks doang.

"Gue juga, Bang." Oji mengalungkan lengannya di leher Bangsat, tersenyum. "Gue cinta sama lo."

"Tapi tadi lo bilang—"

"Gue berubah pikiran, oke?" Oji menarik Bangsat untuk bisa menggapai bibirnya. Mencium cowok itu dengan singkat, kemudian melepaskannya. "Sekarang gue sadar kalau gue cintanya sama lo, Bang."

Bangsat kegirangan. Apa pun yang membuat Oji berubah pikiran, dia bersyukur karena hal itu. Kemudian dia melanjutkan yang tadi, mencium Oji, menjamah tubuh Oji sampai ke bawah ... ke tytydnya yang selalu kelihatan menggemaskan. Tanpa berpikir panjang, Bangsat memasukkan seluruh batang kemaluan Oji ke dalam mulutnya, dan mengulum benda itu.

Oji memejamkan mata, menikmati sensasi hangat licin yang dilakukan mulut Bangsat pada kejantanannya. Dia mendesah seperti ular, "Ssshhh.... aaahhh... hhmmm...." Badannya terbakar oleh hasrat, api cinta memenuhi hatinya, akal sehatnya menghilang entah ke mana. Lagipula, siapa peduli? Oji rela menyerahkan apa saja asal dia bisa terus merasakan nikmat yang tiada tara seperti ini bersama Bangsat.

Puas mengulum Oji, bibir Bangsat mulai mengecup naik ke pusar Oji, kemudian ke putingnya, lalu ke lehernya, sampai akhirnya berhenti di bibirnya. Mereka berciuman lagi, kali ini lebih lembut dan romantis daripada sebelumnya. Lebih hangat. Apalagi Bangsat menggesekkan kontolnya dengan kontol Oji, menimbulkan percikan yang terasa bagaikan surga. Enak sekali.

Lepas ciuman, sambil menatap Oji intens, Bangsat berbisik lembut, "Masukin, ya?"

Oji mengangguk pelan, tapi pipinya merona merah sehingga Bangsat nggak tahan untuk nggak mengecup pipinya. Hangat. "Aku sayang kamu, Ji," ucap Bangsat sambil mencium pipi Oji sekali lagi.

"Aku juga sayang kamu, Bang."

Bangsat mengambil baby oil yang biasa dia pakai untuk coli, kemudian melumuri kontolnya dengan cairan minyak itu sampai licin, lalu sisanya dia lumuri ke lubang Oji supaya lubang itu juga licin ketika dimasukkin.

Setelah Bangsat yakin lubang Oji sudah rileks, dia segera pasang kuda-kuda. Mengangkangi Oji lebar-lebar, Bangsat mengarahkan kontolnya yang kayak pentungan ke lubang itu. Dia menggesekkan kepala kontolnya ke lubang Oji sambil memandangi anak itu yang tampak ketakutan.

"Takut, Ji?" Bangsat mengerutkan kening.

"Nggak, Bang. Cuma degg-deggan bakal ngerasain enak." Oji menggigit bibir.

Bangsat tertawa, gemas. "Gue bakal bikin lo muncrat berkali-kali."

Oji menggigit bibir lebih keras. Ucapan Bangsat malah membuatnya makin nggak sabar. "Ayo, Bang. Masukin."

Itu dia aba-abanya. Bangsat paling suka kalau Oji memohon minta dimasukkin kayak gitu. Bangsat mendorong kontolnya, dan dia memejamkan mata sambil mendesah pelan, "Ssshhh.... aaahh..." ketika kepala kontolnya berhasil masuk dan dijepit oleh lubang yang terasa masih sempit walaupun sudah berkali-kali dia memasuki lubang itu.

Lagi enak-enak merasakan kontol yang dijepit oleh lubang sempit, pintu kamar Bangsat ada yang mengetuk.

Tok, tok, tok.

Bangsat mengerang, Oji juga tampak kecewa.

"Tria, ada teman kamu tuh!" Suara Emak.

Bangsat dan Oji saling pandang, lalu mereka sama-sama mengangguk, sepakat untuk terus melanjutkan kegiatan yang lagi tanggung ini. Peduli amat sama Emak. Paling juga itu Sapri atau si Ijar yang mampir, pikir Bangsat. Jadi dia mendorong kontolnya masuk lebih dalam ke tubuh Oji, memejamkan mata sambil mendesah pelaaaaan banget karena jepitan lubang Oji hampir membuatnya muncrat.

Dugg! Dugg! Dugg!

"Tria, buruan! Itu temen kamu nungguin!" Emak kedengaran jengkel sambil menggedor-gedor pintu—bukan lagi mengetuk.

Dugg! Dugg! Dugg!

"TRIA!" Emak menjerit sekarang.

Bangsat mengerang kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Lagi tanggung! Kontolnya hampir berhasil masuk seluruhnya ke dalam tubuh Oji! Dia menatap Oji. Anak itu tersenyum maklum sambil berbisik, "Lanjut nanti deh, Bang. Kayaknya temen kamu ada keperluan penting, tuh."

Akhirnya Bangsat pasrah. Dia mencabut kontolnya dari dalam tubuh Oji, kemudian mencium bibir anak itu dengan lembut.

Gedoran Emak di pintu makin keras sehingga Bangsat yakin Emak pasti bakal mendobrak pintu itu kalau dia nggak segera keluar dari kamar. "Bentar, Mak! Tria baru bangun!" jeritnya kepada Emak, lalu mencium Oji untuk yang keseribu kalinya.

Bangsat meraih celana dalam dan celana panjangnya. Dia segera memakainya dan menyuruh Oji untuk berpakaian juga. "Pakek celana aja, jangan pakek baju."

Oji menurut, memakai celananya dan kembali tiduran di kasur, sementara Bangsat berdiri membuka pintu.

Di balik pintu, dalam cahaya remang-remang yang berasal dari lilin di dalam kamar, Emak berkacak pinggang dengan tatapan garang menunggunya. "Lama banget, sih! Tidur kayak kebo!" Emak nggak heran lagi dengan Bangsat yang tidur nggak pakai baju, karena dia sudah biasa melihat anaknya telanjang dada di rumah.

"Ngantuk, Mak. Capek perjalanan jauh dari kota." Bangsat pura-pura menguap.

"Sana, temuin temen kamu di bawah." Emak cuma ngomong ini, kemudian menghilang di bawah anak tangga.

Bangsat nggak langsung mengikuti Emak. Dia masuk dulu ke dalam kamar, mencium Oji sekali lagi karena dia sudah nggak sabar ingin cepat-cepat merasakan lagi kontol yang dijepit lubang anak itu, kemudian dia menyusul Emak.

Kaki Bangsat baru saja menginjak anak tangga kedua ketika dia melihat dua cewek yang dikenalinya duduk di sofa ruang tamu. Salah seorang dari dua cewek itu melihat ke arah Bangsat, tersenyum sambil melambai, "Hai, Sat."

Bangsat menelan ludah sambil mengucap sumpah serapah dalam hati.

Itu Ratu dan Wina ...

... datang menyusul mereka.



Bandar Lampung, Senin 5 Desember 2016
Diedit 28 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top