Air Terjun Nirmala

Besoknya, hari Senin, setelah Ratu dan Wina pulang sore hari sebelumnya, Bangsat dan Oji akhirnya bisa berduaan lagi di kampung.

Kemarin sore sebelum pulang Ratu berpesan pada Oji untuk jaga diri di kampung orang, jangan banyak tingkah kalau nggak mau kena masalah dan nggak boleh malas-malasan di rumah Emak. Oji mengangguk mengerti, lalu sebelum dia sempat mengantisipasi, Kak Ratu sudah keburu memeluknya. Pelukan seorang kakak yang tulus dan benar-benar mengkhawatirkan adiknya. Oji nyaris nggak bisa menahan diri. Seandainya Kak Ratu tahu tentang hubungan terlarangnya dengan Bangsat, mungkin pelukannya nggak akan seerat itu.

"Ji?" Bangsat berbisik pelan di belakangnya, menyadarkannya dari lamunan.

"Ya?" Oji berbalik menghadap Bangsat, menikmati wajah tampan cowok itu yang kelihatan natural sehabis bangun tidur.

"Ngelamunin apa?"

Oji menggeleng, tersenyum. "Bukan apa-apa."

Bangsat menarik Oji ke dalam pelukannya, meletakkan kepala anak itu di dadanya sambil mengecup puncak rambutnya. "Jangan kebanyakan ngelamun."

"Kita mau ke mana hari ini?" tanya Oji, memejamkan mata.

"Lo yang pilih. Laut atau air terjun?"

"Air terjun?" Oji tersenyum. "Gue belum pernah lihat air terjun."

Bangsat mengangkat kepala Oji, menatap matanya dalam-dalam. "Serius?"

Oji mengangguk. "Kalau lihat di gambar doang sih pernah, tapi lihat aslinya belum pernah."

"Serius, selama ini lo ke mana aja sih?"

"Di rumah aja. Nggak pernah ke mana-mana."

"Oke, mulai hari ini gue bakal bawa lo ke mana-mana. Kita mulai dari air terjun, terus ke sawah—nyari belut, dan sisanya kita ke laut. Gimana?"

Oji mengangguk, tersenyum lebar. Sekejap, ketika dia menatap mata Bangsat yang teguh, ingatan tentang hangatnya pelukan Kak Ratu langsung dia lupakan. Saat ini dia cuma ingin bersama Bangsat, menikmati detik-detik paling berharga dalam hidupnya, meraih kebahagiaan yang ditawarkan oleh cowok mesum, bajingan, tapi ganteng ini. Intinya, Oji memilih bahagia walaupun konsekuensinya dia harus menyakiti kakaknya.

"Sekarang, yuk kita bangun sebelum Emak mendobrak pintu dan ngelihat kita lagi pelukan." Bangsat cengengesan sambil pelan-pelan mengangkat tubuh Oji dari atas tubuhnya.

Mereka memang sama-sama telanjang dada, tapi mereka nggak habis ngapa-ngapain, kok. Tadi malam Bangsat kepingin banget ngewe dengan Oji setelah Ratu dan Wina pulang, tapi Oji menolak karena masih nggak mood. Dan Bangsat yang emang sayang banget dengan Oji akhirnya mengerti dengan dilema yang dialami oleh anak itu. Dia nggak memaksa Oji untuk ngewe dengannya, tapi dalam hati dia berharap semoga cepat atau lambat anak itu mau diajak ngewe lagi, karena sudah hampir seminggu Bangsat nggak mengeluarkan spermanya.

Sepanjang malam mereka tidur berpelukan. Oji yang minta dipeluk karena katanya dia kedinginan. Tapi, mendekati pukul satu pagi mereka sama-sama kepanasan karena mati listrik yang menyebabkan kipas angin juga ikutan mati. Jadi mereka membuka baju, dan tidur kembali sambil tetap berpelukan.

Setelah memakai kaos, mereka segera keluar kamar dan ikut gabung sarapan bareng Emak, Bapak, dan juga Sari yang sudah pakai seragam sekolah. Setelah cuci muka dan sikat gigi, mereka mengambil makanan dari piring saji ke piring mereka sendiri, kemudian makan dengan lahap dan tenang sambil sesekali melempar senyum dari seberang—mereka duduk berseberangan. Iseng, diam-diam Bangsat mengulurkan kakinya di bawah meja, kemudian jari-jari kakinya bergerak nakal membelai selangkangan Oji di bawah sana. Ketika Oji memelototinya, Bangsat berhenti memainkan jari kakinya sambil terkekeh geli.

Emak sama Bapak geleng-geleng kepala melihat anak mereka yang gila cekikikan sendirian. Sari cuma tersenyum kecil, seolah tahu apa yang menyebabkan abangnya terkekeh-kekeh seperti itu.

Selesai sarapan, Emak dan Bapak bersiap pergi ke sawah, dan Sari sudah ditungguin teman-temannya di depan rumah.

"Sari berangkat dulu ya Mak, Pak, Kak." Sari menyalami tangan Emak, Bapak, Bangsat, dan Oji sebelum bergegas lari ke luar rumah. Mereka berangkat sekolah jalan kaki karena jarak sekolahnya nggak jauh-jauh banget.

"Tria sama Oji juga langsung berangkat, Mak," kata Bangsat.

"Mau ke mana kalian?"

"Air terjun Nirmala, Mak."

"Masih pagi udah ke air terjun?" tanya Bapak yang sudah memakai topi petaninya.

"Sekalian mandi, Pak."

"Hati-hati di sana, ya?" pesan Emak. "Jagain Oji, jangan sampe dia kenapa-kenapa."

Pipi Oji merona merah mendengar ucapan Emak yang menurutnya lebih terdengar seperti kata-kata yang diucapkan seorang mertua untuk menantunya.

"Oji bakal baik-baik aja, Mak." Bangsat menepuk-nepuk bahu Oji sambil nyengir.

"Sana pergi. Sekalian bawa sabun kalo mau mandi di sana."

Bangsat mengangguk, membawa Oji ke kamar untuk menyiapkan baju ganti, handuk kecil untuk mereka berdua, gayung dan sabun serta shampoo, kemudian mereka bergegas ke luar.

Jarak air terjun Nirmala dari rumah Bangsat memang nggak terlalu jauh, tapi medan yang harus mereka tempuh lumayan sulit karena kontur jalan yang bergelombang—kadang menanjak, kadang menurun—berbatu, hutan-hutan, banyak nyamuk, ada ular dan binatang-binatang liar lainnya, dan masih tanah merah. Untungnya nggak hujan, jadi jalannya nggak becek dan licin.

"Kenapa kita nggak jalan kaki aja, Bang?"

"Emang mau jalan? Nanti kaki kamu pegel."

"Emang jauh banget, ya?"

"Lumayan, sih. Nggak jauh-jauh banget, tapi medannya susah. Turun nanjak gunung."

Oji mengangkat bahu, nggak peduli. "Ya udah jalan kaki aja."

"Yakin, Ji?" Bangsat mengerutkan kening. Dia nggak tega dengan kaki Oji yang indah itu kalau harus dibawa jalan naik turun gunung.

"Yakin, Bang. Kalo jalan kaki kan lebih kerasa petualangannya." Oji nyengir.

Bangsat mengangguk senang melihat antusiasme yang sangat besar dari cengiran Oji yang manis. "Oke. Kita jalan sekarang."

Mereka menyeberangi jalan aspal, masuk lewat gang perkampungan rumah warga, lalu sampai di jembatan beton yang lebar dan tinggi di atas kali. Mereka foto-foto sebentar di situ, selfie berdua, atau kadang-kadang gantian fotoin. Bangsat paling suka kalau dia ngefotoin Oji, karena ketika Oji senyum ke kamera hati Bangsat kayak menemukan tempat yang sangat sejuk gitu. Adem.

Melanjutkan perjalanan, mereka sampai di jalan tanah setapak agak lebar yang mengarah ke hutan. Di kiri kanan jalan setapak itu tumbuh berbagai macam pohon dan rumput-rumput liar yang tingginya sebahu Oji.

"Ini nggak apa-apa kita masuk ke hutan?" tanya Oji, agak ngeri melihat kelebatan hutan yang membuatnya merinding.

"Nggak apa-apa. Gue biasa masuk ke sini kalo mau nyolong duren Pak Slamet."

Oji nggak peduli dengan kebiasaan Bangsat nyolong duren. Ada hal lain yang lebih dia cemaskan. "Di sini ada harimau nggak? Atau macan tutul?"

Bangsat terkikik geli. Anak ini polosnya minta ampun, ya? "Nggak ada, Ji. Tenang aja. Di sini aman. Hewan liar paling seram cuma ular piton sepanjang tiga meter—"

Penjelasan Bangsat malah membuat Oji pucat pasi ketakutan, dan anak itu menelan ludah banyak-banyak sampai jakunnya bergerak-gerak gelisah.

"Nggak, gue bohong. Di sini nggak ada ular, kok. Tenang aja, lo aman bareng gue." Bangsat melingkarkan lengan di pinggang Oji, mendorong anak itu maju ke jalan setapak.

Masih di posisi seperti itu, mereka jalan berangkulan pinggang sambil sesekali mata Oji was-was menatap ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang untuk memastikan nggak ada ular piton sepanjang tiga meter yang mengikutinya. Dia jadi parno membayangkan ular piton tiga meter gedenya kayak apa, ya? Dia nggak pernah melihat ular piton secara langsung, karena di kota ular sejenis itu mana ada—dan dia juga nggak pernah ke kebun binatang. Tapi, dari acara-acara tivi edukasi yang ditontonnya, dia tahu bahwa ular piton itu bentuknya mengerikan dan membuatnya merinding hebat ketika memikirkannya.

Bangsat terkikik lagi merasakan tubuh Oji yang gemetaran dalam pegangannya. Wajah Oji masih pucat ketakutan, tapi Bangsat nggak terlalu khawatir karena dia yakin sudah memegangi Oji erat-erat sehingga anak itu nggak mungkin lolos dari sampingnya.

"Nggak usah tegang kali, Ji," kata Bangsat, mengajak bicara supaya Oji bisa rileks.

"Agak takut gue, Bang."

"Takut kenapa? Kan ada aku."

"Takut ada beruang—"

Bangsat ngakak, tapi segera membungkam tawanya ketika melihat Oji cemberut. "Di hutan sini nggak ada beruang, Ji. Aman. Jangan takut lagi, ya?" Bangsat mengusap lembut pinggang Oji, menenangkan anak itu.

Awan mendung berwarna abu-abu pekat menutupi langit yang seharusnya cerah. Sinar matahari tertutup awan, sehingga hutan itu terlihat agak mengerikan karena kekurangan cahaya. Angin sejuk pagi hari bertiup cukup kencang sehingga menggoyangkan ranting-ranting pohon, dan rumput-rumput liar yang tinggi saling bergesekan sehingga menciptakan suara yang sangat khas di telinga Oji. Daun-daun mati berguguran dari pohon ketika disapu angin, beberapa daun menggesek pipi Oji sebelum akhirnya jatuh dengan pasrah di bawah kakinya. Bagusnya, samar-samar Oji bisa mencium aroma daun di tengah-tengah campurna aroma hutan, hujan, dan tanah di suatu tempat yang mulai diguyuri hujan. Cuacanya memang lumayan sejuk, tapi karena dibawa gerak, tubuh Oji jadi nggak terlalu menggigil.

Lengan Bangsat masih melingkar di pinggang Oji, erat sekali seolah-olah takut akan kehilangannya. Mereka nggak bicara sepanjang perjalanan, karena Oji sibuk merekam semua yang dilihat, dihirup, dan dirasakannya di hutan itu. Ada tupai kecil yang hinggap di salah satu pohon Sindur, lalu hewan mungil berbulu abu-abu kecokelatan itu melompat ke pohon yang lainnya, lalu ke pohon lain, sampai akhirnya menghilang dari pandangan Oji. Ketika Oji melaporkan ke Bangsat bahwa dia baru saja melihat seekor tupai, abangnya itu cuma tersenyum sambil mengecup lembut pipinya. Kata Bangsat, "Lihat, kan? Nggak ada yang seram di sini."

Pipi Oji panas karena dikecup Bangsat.

Nggak lama setelah melihat tupai, seekor kaki seribu lewat di depan mereka, dan Oji merinding karena dia jarang melihat hewan berkaki banyak itu, jadi dia merapatkan tubuhnya ke tubuh Bangsat seolah-olah takut hewan melata di bawah kakinya itu akan menggigitnya.

"Takut sama luing?"

"Luing? Bukannya itu kaki seribu?" Oji merinding lagi melihat hewan yang ukurannya sebesar jempol kakinya dan sepanjang telapak kakinya.

"Kalau di kampung ini nyebutnya luing." Bangsat memungut binatang itu, menjepit badannya di antara ibu jari dan jari telunjuknya, dan seketika binatang itu melingkarkan tubuhnya hingga menjadi lingkaran yang nyaris sempurna. Bangsat membawanya ke Oji, dan Oji memaki-maki cowok itu karena tambah menjijikkan lihat makhluk itu melingkar.

"Buang, Bang! Jijik gue!"

Bangsat ngakak, lalu melempar binatang itu ke sembarang tempat. Bau kaki seribu yang tajam menyengat hidung Oji sehingga dia harus menggosok hidungnya kuat-kuat untuk mengusir bau itu.

Bangsat kembali melingkarkan lengannya di pinggang Oji, menarik tubuh anak itu sehingga mereka menempel seperti sepasang kekasih yang jalan-jalan di tengah padang bunga yang indah. Kembali mereka melanjutkan perjalanan, mulai kelelahan, tapi sebanding dengan keindahan yang disuguhkan oleh alam.

Bangsat benar, jalan setapak yang mereka lewati sekarang menanjak ke atas bukit yang berbatu. Ada batu yang berukuran kecil, sedang, bahkan besar yang setengah bagiannya tertanam di dalam tanah sehingga yang kelihatan di atas tanah cuma permukaan batunya yang nggak beraturan. Warna batu-batu itu juga beragam. Ada yang krem. Ada yang cokelat berlumpur. Ada yang hitam. Bahkan ada yang hijau kehitaman karena ditempeli lumut. Oji geli dengan batu berlumut itu, jadi dia meloncatinya sambil merinding geli.

Bangsat tertawa setiap kali Oji merinding gara-gara sesuatu yang nggak dia suka. Tapi, dia tetap menolong anak itu dengan memegangi tangannya ketika dia melompati batu berlumut.

Di atas bukit, pohon-pohon nggak tumbuh terlalu rapat, cuma rumput-rumput liar setinggi bahu Oji yang tumbuh di situ. Mereka istirahat sebentar, Oji duduk berselonjor kaki di bagian tanah yang terbuka sambil menyeka keringat di wajahnya menggunakan lengan baju. Cuacanya memang nggak panas, tapi jalan hampir satu kilometer dan menaiki bukit lumayan membakar banyak kalori. Jantungnya berdegup kencang karena lelah, kakinya ngenyut di pergelangan, dan tangannya terasa kebas.

"Baru segini aja udah capek," cibir Bangsat yang ikutan duduk di sebelahnya, memandangi pucuk-pucuk pepohonan di bawah mereka, menikmati sinar matahari pagi yang baru menyorot dari balik awan mendung. Anehnya, Bangsat justru nggak kelihatan capek sama sekali walaupun napasnya juga ngos-ngosan. Pori-porinya cuma sedikit mengeluarkan keringat.

"Kok lo bisa sih nggak keringetan gitu?" tanya Oji, tersengal-sengal.

"Gue kan udah sering ke sini, jadi udah terbiasa." Bangsat mengucapkannya dengan bangga.

"Tempatnya masih jauh, ya?"

"Nggak. Cuma nurunin bukit ini, di bawah sana ada sungai, dari sungai itu nggak jauh-jauh amat."

Oji akhirnya berdiri. "Yuklah, langsung berangkat." Padahal dia masih ngos-ngosan dan kakinya pegal, bahkan rasanya kayak mau patah. Wajahnya dibanjiri keringat.

"Yakin mau lanjut? Muka kamu keringetan," kata Bangsat, khawatir.

"Nggak apa-apa, gue kuat, Bang."

Bangsat putar bola mata. "Gue gendong aja, yuk?" Bangsat memunggungi Oji, kemudian berjongkok di hadapan anak itu. "Naik ke punggung gue sekarang."

Oji tertegun karena Bangsat menyodorkan punggungnya. Punggung Bangsat memang kelihatan kuat, kokoh, dan kalau Oji bergelantungan di situ kayak anak monyet, yang punya punggung pasti nggak akan keberatan. Tapi, tetap saja nggak enak kalau harus membebankan berat badannya di punggung orang lain.

"Nggak usah, Bang. Gue kuat, kok."

"Bohong. Kaki kamu pasti pegel. Dari tadi kamu meringis sambil megangin kaki," ucap Bangsat. "Udah buruan naik, aku nggak apa-apa, kok. Aku kuat."

Oji menggigit bibir. Dari belakang, dia lingkarkan lengannya ke leher Bangsat.

"Pegangan yang kuat," kata Bangsat. Kedua tangannya dia selipkan di bawah paha Oji, kemudian perlahan-lahan dia bangkit, dan berat badan Oji awalnya memang menekannya ke bawah, tapi lama kelamaan dia berhasil menguasainya. Untungnya tubuh Oji nggak seberat karung beras yang dulu pernah dia panggul sewaktu masih jadi buruh panggul di pasar bareng teman-temannya saat libur sekolah. Jadi dengan menggendong Oji, Bangsat perlahan-lahan menuruni bukit dengan hati-hati.

"Berat nggak, Bang?" tanya Oji di dekat telinga kirinya.

Bangsat menggeleng. "Santai aja, gue pernah ngangkat karung yang beratnya dua kali lebih berat dari badan lo."

"Oh, sering disuruh Emak ngangkatin karung beras?"

"Bukan," Bangsat menggeleng lagi. "Dulu waktu SMA kalau libur sekolah gue sering jadi kuli panggul di pasar buat nambahin uang jajan."

Oji angguk-angguk. "Pantesan lo berotot, Bang."

"Lo suka otot-otot gue?" Bangsat tertawa, menggoda.

Oji merona merah. Pipinya panas karena digoda begitu. "Nggak juga, cuma ... enak aja gitu ngelihatinnya."

Bangsat tertawa lagi. "Nanti di air terjun lo boleh lihatin otot gue sepuasnya."

Oji ikut tertawa, kemudian dia membenamkan kepalanya di lekukan leher Bangsat yang beraroma keringat, memejamkan mata sambil menikmati sensasi digendong yang baru pertama kali itu dirasakannya. Dia menikmati lengannya yang melingkari leher Bangsat. Dia menikmati kedua lengan Bangsat yang berada di bawah lipatan pahanya, menopang berat tubuhnya. Dia menikmati kehangatan tubuh Bangsat yang seolah-olah memancar keluar dari balik kaos yang dikenakannya.

"Ji, lihat tuh, ada ular." Bibir Bangsat monyong ke depan menunjuk ke ular melata yang ukurannya nggak terlalu besar, tapi panjangnya hampir satu meter melintas di hadapan mereka.

Oji bergidik dalam gendongan Bangsat, membuat Bangsat tertawa lebar-lebar. "Nggak usah takut, itu cuma ular kecil yang nggak berbisa. Selagi kita nggak ganggu dia, dia juga nggak akan ganggu kita."

Mereka berhenti sejenak membiarkan ular itu lewat sampai akhirnya menghilang di balik semak-semak yang rimbun. Oji masih ketakutan, jadi dia membuat tubuhnya lebih rapat di gendongan Bangsat dan memutuskan nggak mau turun dari gendongan cowok itu sebelum sampai di tempat tujuan.

"Di sini memang banyak ular ya, Bang?" tanya Oji setelah mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tanah yang mereka lewati nggak terlalu landai, tapi tetap saja Bangsat harus hati-hati menginjakkan kakinya di tanah yang menurun itu.

"Semua hutan pasti ada ularnya, Ji. Dari yang kecil sampai yang gede, pasti ada."

"Anakonda juga ada?"

"Kalau di sini sih nggak ada. Anakonda cuma ada di Amazon."

Oji angguk-angguk dalam gendongan Bangsat, lalu matanya menangkap seekor tupai lain yang sedang melompat ke ranting pohon. "Bang! Ada tupai lagi tuh!" Oji menunjuk ke depan melewati kepala Bangsat, berteriak penuh semangat seolah-olah dia anak kecil yang nggak pernah melihat tupai seumur hidupnya. Dan sialnya, memang begitulah kenyataannya.

Bangsat tertawa gemas. "Kamu seneng banget lihat tupai."

"Seumur hidup gue nggak pernah ngelihat tupai secara langsung. Di kota nggak ada tupai."

"Nggak pernah ngelihat di kebun binatang, gitu?"

Oji menggeleng, malu.

"Emangnya sekolah nggak pernah ngadain acara ke kebun binatang?" tanya Bangsat, penasaran.

"Kayaknya dulu pernah waktu SD, tapi gue nggak boleh ikut sama Bunda karena nggak ada yang jagain. Bunda sama Ayah kan kerja, jadi mereka khawatir kalau harus nitipin gue ke orang lain." Oji menceritakan ini dengan murung sekaligus malu karena takut Bangsat akan mengejeknya anak mami.

Tapi ternyata Bangsat nggak mengejeknya. Cowok itu malah mengeratkan gendongannya sambil berkata, "Sekarang Bunda sama Ayah nggak perlu khawatir lagi karena mulai saat ini bakal ada gue yang selalu jagain lo."

Oji membenamkan kepalanya lebih dalam ke lekukan leher Bangsat sampai bibirnya menyentuh kulit leher yang berkeringat itu. "Makasih, Bang," ucapnya sambil memejamkan mata dan menikmati aroma keringat Bangsat yang tercium sangat maskulin dan jantan.

Jalan setapak kembali datar, bukan lagi menurun. Walaupun dengan Oji di gendongannya, tapi Bangsat nggak menunjukkan tanda-tanda kelelahan, kecuali napasnya yang ngos-ngosan dan keringat yang mengalir di lehernya. Selain dari dua itu, tubuh Bangsat masih sangat kokoh dan jalannya nggak melambat sedikit pun seolah-olah berat badan Oji yang 52 kilogram nggak berarti apa-apa untuknya.

"Ji, denger geh, suara air terjunnya mulai kedengeran," ucap Bangsat sambil melangkahi sebuah batu berlumut di tanah yang mulai becek karena mereka sudah berada di tepi sungai.

Oji mendengarkan, dan telinganya menangkap suara jrass jrasss jrassss seperti suara air yang ditumpahkan ke atas batu.

"Mau turun atau mau tetep aku gendong, nih?"

Oji lagi kepingin manja-manjaan dengan Bangsat, jadi dia menyurukkan kepalanya ke leher berotot cowok itu sambil berucap manja, "Mau digendong ajah."

Geregetan mendengar nada manja dalam suara Oji, Bangsat mengacak-acak rambut anak itu dengan sayang. Kemudian dia mengeratkan gendongannya, menyeberangi sungai yang nggak terlalu dalam dan arusnya juga nggak terlalu deras—sempurna untuk diseberangi. Tinggi airnya cuma sedengkul Bangsat.

"Nanti di air terjun itu ada ular nggak, Bang?" tanya Oji.

"Jarang, sih. Soalnya ular juga mungkin takut dengar suara air terjunnya yang berisik." Bangsat terkekeh. "Tapi kadang ada kera putih yang sesekali muncul."

Oji terkesiap. "Kera putih?"

Bangsat mengangguk. "Orang-orang sini nyebutnya Simpai. Nanti kalau mereka muncul, kamu jangan panik, soalnya mereka terlalu agresif dengan gerakan tiba-tiba."

Oji mengangguk sambil memegang teguh peringatan itu di dalam kepalanya.

Sampai di seberang sungai, suara air terjun semakin ribut terdengar. Oji sudah nggak sabar ingin cepat-cepat melihat bentuk air terjunnya, tapi mereka masih harus melewati hutan yang nggak terlalu rapat lagi pohon-pohonnya. Kata Bangsat air terjunnya berada tepat di balik hutan yang satu ini.

"Udah nggak sabar, ya?" tanya Bangsat ketika tangannya menyisir rumput liar yang menghalangi jalannya—di hutan kecil ini nggak ada jalan setapak sehingga Oji takut Bangsat salah menginjak badan ular, kemudian digigit, meninggal. Tapi Bangsat tampaknya nggak khawatir sama sekali, jadi Oji pun nggak perlu merasa khawatir.

"Memang air terjunnya tinggi banget, ya?"

Bangsat nyengir sambil melangkah keluar dari hutan kecil itu dan berucap, "Lihat dan rasakan sendiri."

Mata Oji terbelalak lebar melihat air terjun yang indah di hadapannya. Sejenak dia kebingungan bagaimana harus menjabarkan keindahan air terjun yang jatuh di antara dua tebing batu itu, tapi ketika Bangsat menurunkan tubuhnya ke tanah, dia berhasil menguraikan semua keindahan yang dilihatnya saat itu.

Air terjun itu jatuh dengan sempurna di antara dua tebing batu yang seolah-olah menggantung di atas kolam air yang sepertinya terbentuk secara alami oleh gerusan air terjun. Bagian bawah tebingnya ditumbuhi rumpur-rumput liar yang sepertinya menempel di dinding tebing seperti lumut. Air di bawah tebing batu itu bening, mengalir ke bawah sampai ke sungai yang tadi mereka seberangi. Batu-batu hitam berserakan di sekitar kolam air, seolah menjadi dinding pembatas alami.

"Keren, Bang!" Oji berteriak sambil mendekat ke air terjun. Suaranya masih kalah dengan derasnya air terjun yang memekakkan telinga. Ketika berada di dekat jatuhan air, Oji menikmati sensasi sejuk dari partikel-partikel air yang membasahi wajahnya seperti embun di pagi hari. Dia memandangi air terjun itu, memperkirakan tingginya mungkin sekitar tiga puluh meter dan bertanya-tanya bagaimana rasanya berada tepat di bawah derasnya air yang jatuh ke tanah.

Oji merentangkan kedua tangannya lebar-lebar sambil menikmati percikan-percikan air yang terlempar ke wajahnya. Sejuk. Dia suka banget, ini indah banget, jadi dia memejamkan mata untuk menikmati segalanya. Lalu, dari belakangnya sebuah lengan melingkari perutnya. Dia tahu lengan itu milik siapa, dan bibir yang mengecup lehernya itu membuatnya tertawa kecil karena geli.

"Bagus, kan?" bisik Bangsat dari belakang telinganya.

Oji mengangguk. "Ini keren, Bang."

"Gue tahu lo pasti bakalan suka dengan air terjun Nirmala."

Oji tertawa kecil, aneh mendengar namanya. "Kenapa Nirmala? Itu kayak judul lagu Siti Nurhaliza." Dia tertawa lagi karena lebih aneh lagi dia tahu Siti Nurhaliza dan lagu-lagunya.

"Konon katanya dulu air terjun ini tempatnya para bidadari berkumpul," jawab Bangsat, setengah ngasal, setengah benar.

Oji mencubit lengan Bangsat. "Mitos, ah. Gue nggak percaya."

Bangsat mengecup pipi Oji. "Gue percaya, kok. Buktinya, saat ini gue lagi meluk salah satu bidadari paling rupawan di muka bumi ini."

Oji merinding karena ucapan Bangsat, tapi merinding dalam artian yang baik. Dia gemas karena bahkan di tempat seperti ini pun Bangsat sempat-sempatnya ngegombal. "Ngawur," katanya, terkikik geli. "Gue kan cowok, Bang. Masa gue jadi bidadari?"

Bangsat gemas, jadi dia memutarbalikkan tubuh Oji hingga wajah anak itu sehadapan dengan wajahnya. Lengan Bangsat yang kekar sekarang berada di kedua pantat Oji, meremasnya lembut sambil matanya menatap ke dalam mata anak itu. Wajah mereka disirami percikan air terjun yang jatuh ke kolam air. Basah.

"Lo ganteng, Ji," ucap Bangsat, tersenyum. Dia mengusap pipi Oji yang basah, menikmati kelembutannya.

Oji balas tersenyum. Dia menyukai cara Bangsat memuji fisiknya. "Lo juga ganteng, Bang."

Bangsat menatap seluruh wajah Oji mulai dari matanya, hidungnya, sampai berhenti di bibirnya yang basah. Merah seperti stroberi. Menggoda untuk digigit, mengundang untuk dinikmati.

Tapi kemudian dia menggeleng keras-keras. Dia ke sini tujuannya untuk membuat Oji bahagia, bukan untuk berbuat mesum. Lagian katanya kalau mesum di air terjun Nirmala bakalan kena sial tujuh turunan. Jadi Bangsat menaikkan pandangannya dari bibir Oji, pindah ke matanya yang menyorot lembut kepadanya.

"Jadi kita mau mandi di sini?" tanya Oji.

"Mau mandi dulu, atau fot0-foto dulu?"

"Foto-foto dulu aja kali, ya? Gue mau pamerin ini ke Tio sama Mali." Oji melepaskan diri dari pelukan Bangsat, mengeluarkan hape dari kantung depan celana pendeknya, kemudian menyerahkannya ke Bangsat. "Fotoin gue di batu itu ya," katanya sambil mendekati batu hitam besar di dekat jatuhnya air terjun. Ketika dia berdiri di atas batu itu, air terjun Nirmala yang indah menjadi latar belakangnya.

Bangsat sudah siap-siap dengan kamera yang dibidikkan ke Oji. "Satu, dua, tiga." JPRET! Foto Oji yang lagi melompat di atas batu dengan latar belakang air terjun berwarna putih dan tebing yang abu-abu kehijauan karena lumut, terabadikan. Di foto itu Oji seolah-olah sedang melayang di atas batu. Bagus.

Selanjutnya mereka langsung buka baju dan siap-siap mandi. Sialnya—yang membuat jantung Oji berdebar-debar hebat—Bangsat cuma pakai celana dalam sehingga kontlonya yang lagi tertidur—tapi tetap aja kelihatan besar—tercetak jelas di segitiga pengaman itu. Oji menelan ludah, berusaha untuk nggak memelototi selangkangan Bangsat, tapi susah.

Setelah itu mereka segera nyebur ke bagian kolam air yang dangkal. Bangsat melarang Oji dekat-dekat ke tempat jatuhnya air terjun karena katanya di sana dalam, dan Bangsat nggak mau Oji tenggelam.

Oji cemberut karena nggak akan bisa merasakan sensasi berada di bawah jatuhan air. Tapi, nggak apa-apa. Saat Bangsat dengan jail mencipratkan air ke muka Oji, anak itu langsung kembali ceria dan balas mencipratkan air ke muka Bangsat sehingga mereka malah main ciprat-cipratan sambil tertawa lepas, bahagia, seolah-olah nggak ada masalah yang sedang mereka hadapi.

Setelah puas mencipratkan air ke muka Oji sampai anak itu menyerah, Bangsat berenang mendekatinya.

"Makasih, Bang." Tanpa diduga-duga Bangsat, Oji melingkarkan lengannya di sekujur tubuhnya, kemudian kepalanya diletakkan di dadanya yang bidang. Memeluknya. Erat-erat. Bangsat nggak bisa bergerak karena kaget. Selama ini Oji nggak pernah memeluknya duluan.

Akhirnya Bangsat tersenyum dan balas memeluk Oji sama eratnya. Tubuh mereka memang basah, tapi ketika menyatu justru malah terasa hangat. Bangsat mengusap rambut Oji sambil mencium puncak kepalanya. Percikan air terjun sekarang rasanya seperti air hujan yang mengguyur mereka. Nyaman sekali.

"Gue melakukan ini semua demi kebahagiaan lo, Ji."

Oji mengangguk di dada Bangsat. Dia memeluk tubuh berotot itu lebih erat. "Makasih, Bang," ucapnya lagi seolah-olah nggak cukup hanya dengan mengucapkannya satu kali. Kebahagiaan yang Bangsat berikan untuknya terlalu banyak. Terlalu manis. Terlalu nyata.

"Gue tahu gue emang bangsat, gue bajingan, gue nyebelin, gue kadang bikin lo kesel, tapi gue beneran tulus sayang dan cinta sama lo, Ji. Gue nggak pernah sekalipun ada niatan pingin nyakitin lo." Bangsat merengkuh kepala Oji, kemudian mengecup keningnya yang basah. Dia nggak mau sok romantis, tapi dia juga nggak bisa menahan diri untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya dia rasakan ke anak itu.

Oji tersenyum lebar, lalu dia berjinjit, sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Bangsat. Mata ketemu mata. Hidung menyentuh hidung. Bibir berhadapan dengan bibir.

"Gue juga sayang sama lo, Bang," ucapnya.

Bangsat menaikkan sebelah alisnya, menggoda. "Sayang doang, nih?"

Oji tertawa kecil, lalu memajukan bibirnya sehingga kedua bibir itu menyatu. Awalnya Oji menggigit pelan bibir Bangsat, tapi lama-lama dia membiarkan Bangsat yang menguasai segalanya. Cowok itu menciumnya dengan membabi-buta, ganas, tapi terasa sangat nikmat dan menggairahkan.

Nggak ada lagi Ratu, nggak ada lagi Wina, nggak ada lagi keraguan yang mengganjal di hati mereka.

Yang ada cuma Oji, Bangsat, dan bibir mereka yang menyatu di bawah derasnya air terjun Nirmala.


Bandar Lampung, Kamis 15 Desember 2016
Diedit 29 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top