9. Resigned
"Kalau udah enggak ada cinta, buat apa bertahan?"
Kalimat itu terangkum jelas dalam otak Kania. Embusan napas panjang terlepas. Ya, dia paham, ini adalah resiko yang akan ditanggung; Menuai nyinyiran, atau justru decak kagum. Beberapa orang bertindak seolah mereka memahami situasi Kania-- memberikan afirmasi positif serta penguatan. Sebagian lagi menebar doktrin; Kania perempuan bodoh, tidak tahu malu. Sudah didepak dari hidup Dewangga, malah sok-sokan ingin bertahan.
Kata-kata Dimas kemarin memang ada benarnya. Namun belum ada sedikitpun terbesit dalam kepala Kania ingin berpisah dari Dewa. Apalagi setelah ungkapan ganjil lelaki itu. Kania semakin penasaran, ingin mencari tahu, apa sebenarnya yang membuat Dewa berubah drastis.
Sapuan halus angin sore merasuk melalui jendela yang setengah terbuka. Sejuknya menelisik ke dalam pori-pori kulit Kania. Perempuan itu sedang duduk bersila di atas sofa tunggal dalam kamarnya. Menimang-nimang pertanyaan, sekaligus menjawabnya sendiri. Kira-kira apa dan kenapa, sampai Dewangga bisa setega itu.
Langit senja berganti petang. Kania beranjak ingin menutup jendela, tapi pergerakannya terhenti saat matanya menyaksikan di teras depan Dewa baru saja datang. Bergegas melangkah ke luar, menyambut lelaki itu dengan suguhan senyum.
"Mas, kamu udah pul..." Kalimat Kania terjeda saat matanya memindai sosok Felly keluar dari sisi kiri mobil Dewa. Perempuan itu tersenyum mengejek ke arah Kania. Urung melanjutkan langkah, Kania memilih diam mematung di depan pintu.
Dewangga melangkah bersama Felly. Tangan lelaki itu digandeng mesra oleh perempuan berbaju seksi di sampingnya. Hangus dada Kania menyaksikan pemandangan menjijikkan itu, tapi sekuat tenaga mencoba tenang, jangan sampai terpancing.
"Kenapa kamu di situ? Menghalangi orang mau masuk saja." Dewa protes. Kania tersenyum tipis. Saat ini dia memang berdiri tepat di ambang pintu-seolah ingin mencegat dua orang yang baru datang untuk masuk.
"Silakan kalau Mas Dewa mau masuk." Kania memberi celah. Tapi saat Felly melangkah maju, Kania kembali menghalangi. "Mohon maaf, hanya Mas Dewa yang boleh masuk. Lagian sudah sore gini, menjelang Magrib, kami tidak menerima tamu." Dengan santai Kania menghalau jalan Felly. Gadis yang memakai dress merah selutut itu berdecak kesal dengan mimik wajah memancar geram.
"Kania, jangan kelewatan." Dewa menginterupsi. "Felly tamu-ku."
"Selama aku masih di sini, aku enggak izinkan kamu bawa perempuan lain ke rumah." Mata Kania bergulir ke arah Dewa dan Felly secara bergantian, dengan kedua alis menukik, tanda tak suka. "Atau kalau ngotot, silakan bawa teman wanita Mas Dewa masuk, tapi aku bakal panggil tetangga sama pak RT. Aku tinggal bilang kalau kamu bawa selingkuhan ke rumah." Tantang Kania.
"Perempuan sinting. Pantas Dewa benci sama kamu. Dasar wanita gila." Felly tak terima. Umpatannya melayang sembari menatap sinis penuh dendam. Di sisi lain Dewa berdecak tak suka, tapi tak membantah sedikitpun kalimat Kania.
"Pulanglah Felly, aku pesankan taksi," ujar Dewa. Felly mendelik tak terima, bibir sensualnya yang terpulas gincu merah terang bergerak ingin protes, tapi Dewa dulu menginterupsi. "Kamu enggak mau, kan, kita dituduh macam-macam kalau sampai Kania meneruskan ancamannya."
"Tapi, Mas--" seiring tangan Dewa terangkat ke udara, tanda lelaki itu tak ingin dibantah. Felly mendengkus kasar, berbalik arah keluar gerbang ketika sebuah sedan--taksi daring terparkir tepat di depan sana.
Kania tertawa pelan. Gelengan-nya mencuat mendapati kisahnya yang rumit dan norak. Bisa-bisanya drama rumah tangganya sekorelasi macam drama FTV, "Istri-istri tersakiti oleh suami dan orang ketiga." Biasanya menyaksikan, sekarang mengalami sendiri. Iya, begitulah, ujian Tuhan memang tak pandang bulu. Terkadang apa yang tersaji dalam sebuah cerita atau gambar bergerak tak ubahnya kisah nyata yang dihikmah-kan. Dan, Kania harap kisahnya akan menuai hikmah terindah nantinya.
"Mas, kamu kenapa sih?" Kania membuntuti Dewa. Tidak terima karena lelaki itu terus saja memancarkan pijar benci dari kedua matanya saat menatap Kania. "Salah aku apa? Kenapa kamu benci sekali?"
Dewa mematung. Embusan napasnya terlepas. "Kamu ceroboh. Masih banyak tanya lagi."
"Itu cuma alasan. Aku yakin ada sesuatu yang kamu tutupi."
Tak menjawab, Dewa kembali melangkah.
"Mas Dewa!" Teriakan Kania membuat Dewa berbalik arah. Memangkas jarak dan berada tepat di sisi Kania.
"Apa?"
"Bisa enggak sih, kita pura-pura damai dan kayak dulu lagi. Sebulan aja, Mas." Tatapan Kania menyiratkan permohonan. "Enggak. Enggak perlu sebulan. Satu Minggu saja Mas, setelah itu, aku janji bakal tanda tangani surat cerai kita." Lanjut Kania. Saat mengucapkan kerongkongan Kania terasa sangat sakit. Ada satu titik tak rela, tapi dia bisa apa. Memaksa Dewa bertahan hanya membuatnya semakin lama didera sakit. Mungkin sudah saatnya Kania mengepak segala perasaan pada lelaki itu. Bersiap hengkang dari hidup Dewangga.
Meredakan ketegangan antara dia dan Dewa, Kania pulas senyum tipis. "Maaf, kamu baru datang tapi malah debat. Aku buatkan teh hangat ya," tawar Kania. Ingin berlalu menuju pantry karena tak siap mendengar jawaban Dewa. Akan melangkah, tangan Dewa malah menariknya. Sontak Kania berbalik arah, kembali berhadapan dengan Dewa.
Mata kelabu dengan bulu lentik milik Dewa mengabsen setiap inci wajah Kania melalui tatapannya. "Satu Minggu?" Tanyanya menatap penuh intimidasi.
Kania mengangguk lemah. Rasanya sudah di batas akhir ambang kesabaran. Cukup satu minggu lagi. Kalau kurun waktu itu Dewa tak juga berubah, dia akan mengalah.
Tangan Dewa terulur, isyaratkan ingin berjabat pertanda dia menyetujui usulan Kania.
"Satu Minggu tanpa interupsi Felly. Tanpa debat, tanpa marah-marah, atau kalimat kasar." Kania membalas tatapan Dewa saat berucap. Lelaki itu manggut-manggut. Sebegitunya Dewa ingin segera mungkin mengakhiri kebersamaan bersamanya. Kania tersenyum tipis, tapi hatinya meringis menahan nyeri.
"Aku buatkan teh, Mas." Dewa kembali merespons dengan anggukan samar.
Kania membawa kedua kaki ke dapur bersih yang hanya berjarak beberapa meter dari ruang tamu. Sedangkan Dewangga empaskan tubuh kekarnya ke atas sofa di ruang tengah--ruang bersantai yang hanya bersekat partisi antaranya ruang tamu.
Lima menit Kania kembali membawa nampan beristirahat cangkir teh serta piring berisi camilan buatannya.
"Terima kasih, Kania," rapal Dewa. Kania membalas dengan senyuman lembut. Andai ini tidak pura-pura. Pasti Kania akan daratkan kecupan sayang di rahang lelaki itu.
Dewa menikmati minuman serta kudapan yang dibawakan Kania. Bitterbelen--sejenis kroket dari kentang, tapi bentuknya lebih kecil dan bulat, berisikan keju atau sosis di dalamnya. Adalah camilan favorit Dewa.
"Mas, bentar lagi magrib, apa kamu keberatan kalau kita salat berjamaah, kayak dulu?" Kania bertanya sembari matanya menelisik reaksi Dewa. Lelaki itu menggeleng pelan.
"Aku mandi dulu, tolong siapin baju ganti, sarung sama sajadah, Kania." Kalimat Dewa ibarat sebuah kabar gembira yang lama Kania nanti. Perasaannya menghangat hanya karena Dewa tak mendebatnya kali ini.
Dewa melenggang ke kamar. Pun dengan Kania, mengekori di belakang lelaki itu. Sembari menunggu suaminya selesai mandi, Kania menyiapkan semua keperluan lelaki itu.
Azan magrib berkumandang. Kania takzim mengangkat takbir mengikuti Dewa yang menjadi imamnya. Rasa haru meruangi hati sampai tidak sadar kedua mata Kania menitikkan airmata. Rasanya sudah lama sekali tidak menikmati momen ibadah berdua dengan Dewa. Usai rapalan salam, Kania reflek mencium punggung tangan Dewa, lelaki jtu juga reflek mendaratkan bibirnya di puncak kepala Kania. Sontak debum meliar dari pompa jantung Kania bergerak upnormal. Canggung adalah rasa yang menyelubungi keduanya setelah itu.
Dewa menepati janji. Malam ini begitu tenang bagi Kania. Tidak ada debat, atau intervensi Dewa seperti hari-hari sebelumnya. Usai isya, Kania menyiapkan makan malam, Dewa membantunya menata piring dan gelas. Keduanya khidmat menikmati masakan Kania berupa tumis pokcoy bercampur sosis serta ayam goreng siap saji.
Malam kian larut. Hal lain yang membuat Kania tercengang, untuk pertama kali Dewa inisiatif mendaratkan tubuhnya di ranjang, satu tempat tidur bersama Kania. Tidak banyak percakapan yang terjadi. Dewa lebih banyak diam, Kania juga sama.
Dewangga pejamkan mata di sisi Kania. Berbaring dengan wajah menghadap langit-langit kamar.
Lama Kania mengulas senyum dapati wajah polos Dewa saat terlelap. Matanya memonitor raut tampan lelaki di sebelahnya itu. Dewa masih terlihat tampan seperti biasanya. Kania ingin memandangnya sampai puas, lalu menyimpan semua kenangan bersama Dewangga di laci otaknya--sebelum esok dia tidak bisa lagi berada di dekat lelaki itu.
Denting jam yang menggantung di dinding, mengalun sebelas kali. Dewa menggeliat pelan, matanya sontak terbuka saat rungunya mendengar suara dengkur halus. Melirik ke samping mendapati Kania telah terlelap sempurna. Dewangga mengubah posisi tubuh, miring menghadap Kania. Tangannya terulur, bergerak mengusap lembut pipi Kania. Tatapan matanya jatuh ke arah bibir pink alami milik perempuan yang telah memberinya rasa cinta, sekaligus benci itu, mendadak Dewa menjauhkan tangan dari wajah Kania. Sesuatu telah merangsek memenuhi otaknya saat ini, berakibat pada reaksinya.
Sepasang mata Dewa menguliti wajah lawan bicaranya. Rahangnya sontak mengeras hanya karena dapati sosok laki-laki itu berbicara sesuatu yang menyentak jantung Dewangga. Kalimatnya tidak akan pernah Dewa lupakan. Sebuah kejujuran yang mengusik hati. Merematnya habis sampai hancur tak bersisa.
"Lepaskan dia, karena hubungan kalian itu enggak ada arti apa-apa. Anda tahu, kan, alasannya bertahan di sisi Anda?" Seringai senyum licik itu masih tertawan jelas dalam lemari otak Dewa. Pun dengan kalimat yang dalam sekejap berhasil mengoyak pertahanan Dewangga. Dia memang tak lebih baik dari laki-laki yang sedang berbicara itu. Namun Dewa tak akan pernah rela melepas Kania jatuh ke tangan di lelaki. Belum apa-apa saja dia sudah berani membuat cerita ngarang tentang Kania. Padahal Dewangga tahu, Kania bertahan di sisinya karena rasa cintanya yang besar.
"Jangan macam-macam. Saya tidak akan semudah itu percaya orang lain."
Tatapan Dewangga berubah sinis dan penuh intimidasi. Namun saat lelaki itu menyodorkan sesuatu dan membuat kesabaran Dewa habis. Hatinya seperti ditimpa batu besar. Remuk seketika saat itu juga.
"Lepaskan Kania, atau ... atau dia akan tahu siapa sebenarnya suaminya." Kalimat pungkasan yang berhasil membuat Dewangga berkilat penuh amarah. Dimas. Laki-laki yang datang menemuinya hanya untuk memprovokasi. Dia tahu teman Kania itu sudah lama memendam rasa suka suka pada istrinya. Kasihan sekali, cintanya bertepuk sebelah tangan. Kania memilih melabuhkan hati pada Dewangga saat itu.
🍃🍃🍃🍃
Mau ngiklan ya.
Lagi open pra pesan
Hari kedua open pra pesan One More Time.
Spesifikasi:
Harga: 95.000
Bonus: gift random + bookmark + TTD/quote
Tebal : 480 halaman, banyak tambahan bab yang enggak publish di wp.
Dijamin puas. Happy ending, segala yang lucu-lucu, baperin, dan gemesin hanya ada di novel. Ingat ya, hanya ada di versi novel.
Blurb:
Kulacino Kafe menjadi saksi bisu pertemuan Inara dan Kainan. Bagi Inara yang sedang patah hati berat, bertemu Kainan Nayaka tak ubahnya sebuah keajaiban. Hatinya menghangat dapati perhatian dari laki-laki dewasa seperti Kainan.
Inara pikir, mungkin, Kainan adalah jawaban dari kerisauan hati. Dia jatuh cinta.
Goalnya saat ini adalah; Berharap perasaannya terbalas dengan ending sempurna bersama Kainan Nayaka.
Akan tetapi, bukan hidup namanya jika tidak penuh dengan kejutan. Karena bahagia itu ibarat refleksi kulacino, tercipta karena hadirnya gelas dingin hingga membentuk kesejukan, namun saat tiba waktunya dia akan hilang, menguap, meninggalkan tanda basah seperti air mata.
Sementara bagi Kainan, Inara Malika adalah perempuan cantik yang mampu ciptakan letupan di hati. Dia jatuh hati, tapi intuisinya memberi sekat; bahwa Inara telah memilih Raegan, teman baiknya.
"Karena jatuh hati, butuh kehati-hatian," ungkap Kainan Nayaka. Lelaki lajang berusia cukup matang, tapi sampai detik ini belum juga mengakhiri kesendirian. Kainan pernah jatuh hati, tapi sayang perasaannya harus terjerembab di waktu yang tidak tepat. Sekian tahun berlalu, sekali lagi Tuhan mempertemukannya kembali dengan gadis yang sempat memercikkan afeksi di hati. Lalu, bagaimana perjuangan Kainan Nayaka mengejar kembali gadis yang dicintai?
***
Format pemesanan
Nama:
Alamat lengkap:
No hape:
Kirim ke wa di banner atau ke sini: 081216677590
Yuk, ah! Jangan sampai kelewatan, ntar nyesel.
Cuma PO dan cetak sekali ya. Jadi jangan tanyakan kapan PO kedua dan seterusnya. Enggak ada.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top