8. Persistence


Dewa berdecak sebal. Ini hari sabtu, seperti biasa, kantor firma arsitek rintisannya meliburkan karyawan tiap weekend, tapi meski libur Dewa akan tetap berkutat dengan laptop serta gulungan-gulungan kertas hasil desainnya di ruang kerja pribadi- dalam rumah ini.
Decakan berubah menjadi dengkusan panjang akibat ulah jail Kania. Sejak pagi Dewa merasa perempuan itu telah banyak merecoki konsentrasinya.

Dari subuh malahan. Diawali tarikan jari Kania pada pangkal hidungnya, atau tepukan pelan di kedua pipi saat perempuan itu memaksanya bangun. Belum lagi sederet kalimat implusif Kania yang membuat syaraf-syaraf telinga Dewa merasa nyeri.

"Mas Dewa, aku bawain kopi sama camilan." Suara ceria dibalut sunggingan senyum mengiringi Kania saat memasuki ruangan Dewa. Lelaki itu memutar bola mata. Baru juga digumamkan dalam hati, sudah muncul di depan mata orangnya. Mata Dewa memejam sejenak. Ah! Frustasi sekali rasanya harus pura-pura semua baik-baik saja, padahal sebaliknya. Andai saja Kania tidak membuat kesalahan fatal, Dewa sungguh tak akan memalingkan hati meski seikitpun. Sikap garangnya mencuat, bukan karena rasa benci yang membalut hati, tapi karena sesuatu hal yang memaksanya bersikap dingin. Tidak ingin dipermainkan lagi oleh rasa cintanya pada Kania. Dewa menatap Kania dari balik meja kerja. Bibirnya bergerak berbicara,

"Aku udah bilang, kan, jangan ganggu!" Mengabaikan kalimat Dewa, kaki Kania tetap terayun maju.

Meletakkan bawaan di nakas kecil, lalu Kania memilih duduk di sofabed setelahnya. Dari tempatnya menyandarkan punggung kedua maniknya mengekori gerakan Dewa yang tengah fokus menatap layar komputer. Tersapu rasa canggung akibat saling mendiami, Kania juga yang inisiatif melangkah mendekat pada meja Dewa.

"Diminum kopinya Mas, mumpung masih hangat."

Dewa mendongak, tatapannya sinis. "Berisik kamu. Kalau udah enggak ada yang penting, silakan keluar. Aku butuh konsentrasi, Kania!" Perintah Dewa tak diindahkan, gelengan pertanda tak ingin mengabuli kehendak lelaki itu.

"Kalau kamu mau di sini, biar aku yang keluar." Dewa menantang.

Gantian decakan sebal mencuat dari bibir merah Kania.

"Hari sabtu, Mas, kamu lupa ya, sama isi perjanjian--"

"Kania tolong. Aku beneran harus menyelesaikan deadline hari ini." Manik kelabunya serta ekspresinya, memancar sangat serius. Kania mengalah--walau tak puas atas respons lelaki itu. Undur diri tanpa meninggalkan satu kata-pun, perempuan itu keluar ruangan dengan membawa sedikit kecewa di hati.

Ketipak langkahnya menyusuri anak tangga, menuju lantai bawah. Duduk diam di meja makan. Matanya mengedari isi meja makan, di sana tertata rapi hasil olahan tangannya; Sayur yang tadi ditinggal mengantar kopi masih mengepulkan uap panas, sekarang berubah dingin. Sama seperti sikap Dewangga. Dingin dan datar.

Menyendok nasi ke atas piringnya, Kania putuskan menikmati sendiri sarapan pagi. Sekuat tenaga menahan sejak tadi, tapi gugur juga butiran bening mengaliri kedua tebing pipi. Rasanya sangat menyesakkan menadahi perilaku Dewa beberapa waktu belakangan ini. Dia hanya ingin semuanya kembali utuh seperti dulu. Apa itu sebuah kesalahan. Terisak-isak, Kania tak berniat menghentikan tangis. Biarlah, sehari ini saja, ingin luapkan segala emosi, rasa kecewa dan lelahnya. Setelahnya, besok dia harus dipaksa untuk kembali kuat.

Sebuah dehaman memanggil pulang kesadaran Kania. Dewa sudah berdiri di seberangnya sembari menarik kursi. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Kania. Tangan kekarnya terampil mengisi piring kosong dengan nasi dan lauk. Kania sontak menghapus kasar wajah. Senyumnya kembali terbit dapati Dewa bergabung bersamanya.

"Mas, kamu di sini? Biar aku ambilin." Dewa tak menolak--lebih tepatnya tak ada jawaban, Kania anggap itu sebagai persetujuan. Menuangkan sayur pada piring Dewa, lalu mengisi gelas minum Dewa.

Suara denting sendok beradu dengan piring mendominasi ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih tersebut. Kania makan dengan lahap, nafsu makannya bertambah dengan keberadaan Dewa.

"Istirahat-lah, sepertinya kamu kurang sehat, biar aku yang membereskan." Kalimat Dewa mengagetkan Kania. Wajah cantiknya memancarkan semringah senyum saat menyaksikan Dewa dengan cetakan membersihkan meja makan; membawa piringnya dan piring Kania ke kitchen sink.

Dari tempatnya duduk sepasang manik hazel Kania mengawasi polah Dewa yang saat ini berdiri di depan kitchen sink, mencuci piring bekas makan mereka.
Sepasang kakinya melangkah. Pijakannya berhenti tepat di belakang punggung Dewa, tangan Kania tiba-tiba mengait erat, memeluk lelaki itu dari balik punggungnya. Memejamkan mata, seraya menangis pelan akibat deru-deru sesak karena rasa rindu yang menggunung. Dewangga kaget merasai kaitan tangan Kania, sampai menghentikan aktivitas.

Sungguh, Kania tidak peduli andai Dewa mengatakannya perempuan murahan, atau bisa jadi sentakan kasar akan kembali Kania terima. Dia sedang rindu dengan kebersamaan yang telah beberapa bulan ini menghilang. Dia merindukan semua hal menyangkut Dewangga.

"Kania ..." Suara Dewa terdengar pelan. Lelaki itu tak berkutik saat merasai tangan perempuan cantik yang saat ini menangis memeluknya dengan erat.

"Sebentar saja, Mas," pinta Kania. Dewa melepas tangan Kania. Lelaki itu membalik badan. Tatapannya meragu, namun mengikuti insting, tangannya bergerak menarik raga Kania, menyandarkan kepala perempuan itu ke dalam pelukan. Tangis Kania pecah mendapati respons Dewangga. Dia merindukan pelukan hangat lelaki itu, sangat rindu sampai lidahnya kelu untuk sekadar memproduksi kalimat. Sampai beberapa saat, baru matanya berani menatap Dewa. Bibirnya berujar pelan.

"Kalau masih ada cinta, kenapa enggak berusaha kita selamatkan, Mas." Di antara derai airmata Kania berbicara. Intonasinya serak akibat hujan tangis.

Dengkusan pelan.
"Jangan jadi orang tidak tahu diri, aku biarkan kamu mendekat, bukan berarti kita bisa kayak dulu lagi." Ucapannya tetap dingin. Tak ada sapaan lembut atau usapan seperti yang diharapkan Kania.

Kania mengabsen wajah Dewa dengan jemarinya. "Kamu bohong, Mas," ucapnya saat jarinya berhenti tepat di bibir lelaki itu.

"Terserah, aku tidak butuh pendapatmu, Kania. Kita akan bercerai, setelah perjanjian sialan itu selesai. Jangan lupa tentang hal itu."

"Kalau aku menolak berpisah, kamu mau apa, Mas?"

"Kamu mengkhianati perjanjian yang kamu buat sendiri." Dewa mengurai pelukan usai berkata. "Jangan coba-coba menipuku Kania." Ancaman yang ditanggapi dengan tawa getir oleh Kania.

Dewangga berlalu dari tempatnya berpijak. Meninggalkan Kania yang masih mematung di tempat. Memutuskan mengejar lelaki itu menjadi pilihan Kania. Ingin banyak berbincang, walau dia tahu resiko diabaikan berpeluang sangat besar.

"Mas, tunggu." Langkah Kania sejajar dengan Dewa. Di ambang pintu lelaki itu menautkan kedua pangkal alis. Seolah meminta jawaban Kania, kenapa mengikutinya. "Aku mau kita ngobrol, Mas."

"Tidak sekarang."

"Kerjaan kamu udah selesai. Itu cuma alasan kamu biar bisa menghindari aku, iya kan, Mas?"

"Mau bicara apa lagi, Kania?" Dewa mendesah frustasi. Kania tersenyum.

"Banyak, Mas."

Dewa izinkan Kania mengikuti ke ruang kerjanya. Keduanya memilih duduk di sofabed yang menghadap jendela kaca besar. View taman serta dedaunan menyapu mata keduanya. Dirayapi geming beberapa detik, kemudian Dewangga mengawali pembicaraan.

"Dasar keras kepala." Kalimat pertama yang terlontar. "Buat apa, kamu susah-susah bertahan, pada akhirnya kita akan tetap pisah." Dea absen setiap inci wajah Kania saat berbicara. Tidak menampik, kalau penampilan calon mantan istrinya itu saat ini semakin cantik. Kania dengan segala sifat keras kepala, dulu selalu membuat Dewa dicekam rasa gemas berlebihan. Sebelum gangguan itu datang mengkudeta segala rasa cintanya pada Kania.

"Aku bisa jawab pertanyaan kamu, tapi nanti, setelah kamu jawab pertanyaan aku," sahut Kania. Kedua bahu Dewa terangkat-seolah refleksi acuh tak acuh. "Kamu juga Mas, kenapa kekeh banget mau pisah? Gara-gara anak? Karena aku enggak bisa mempertahankan kehamilanku? Kalau gitu kamu munafik Mas." Pernyataan Kania mereaksi Dewa. Lelaki itu sontak menatap intens manik Kania dengan mimik wajah tidak terima. "Iya, kamu laki-laki munafik. Dulu aja, waktu ngelamar aku, bilangnya cuma aku satu-satunya. Aku tolak berkali-kali, kamunya tetap ngotot, maunya sama aku. Kenyataannya, baru diuji masalah anak, kamu udah berpaling. Mau ceraikan aku. Yang lebih parah lagi, belum resmi pisah udah balikan sama MANTAN." Sengaja Kania tekankan kalimat mantan agar Dewa tersindir.
Kania amati, kedua tangan Dewa mengepal kuat. Sebelah bibir Kania terangkat. Tersenyum sinis atas respons lelaki di sebelahnya.

"Kamu ...!" Hidung Dewangga kembang-kempis menahan ledakan emosi. Kania tak peduli.

"Apa, Mas? Memang benar gitu, kan?!"

"Semua enggak sesederhana isi kepalamu Kania. Jika cuma masalah anak ...." Dewa menghentikan ucapannya. Mata lelaki itu bergulir ke segala arah, menghindari tatapan Kania. Namun justru menarik atensi berlebihan dari perempuan di sebelahnya. Kania bergeming sejenak, mencoba menelaah kata-kata yang baru saja Dewa ucapkan.

"Apa, Mas?" Kania bertanya dengan kedua mata menatap penuh selidik. Tak mengabuli tanya Kania, Dewa beranjak dari sofa. Tanpa mengatakan apapun lagi, lelaki itu melangkah keluar ruangan. Meninggalkan Kania dengan sebuah tanda tanya besar. Ada apa sebenarnya? Kenapa kalimat Dewa terasa sangat janggal.

🍃🍃🍃

Ada apa sebenarnya sama Mas Dewa?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top