7. Gencatan Senjata?
"Mas, bangun yuk! Salat subuh." Kania mengguncang pelan lengan Dewa. Lelaki itu menggeliat kecil sembari bergumam tak jelas. Kania tak patah arang. Senyumnya mengembang menyaksikan Dewa malah menarik bed kover sampai sebatas dada. "Nanti kamu boleh tidur lagi deh, tapi salat subuh dulu." Masih- lanjut Kania. Kali ini tangannya mendarat di pipi Dewa. Kania usap pelan permukaan wajah yang banyak ditumbuhi jambang halus tersebut. Dewa menggeliat lagi.
Kania akan beranjak dari tepi ranjang. Baru kakinya akan menindak lantai, tapi bersamaan satu tarikan di lengannya membuatnya berjingkat jatuh tepat di dada Dewangga. Seolah tak berjarak. Kania rasakan deguban jantungnya memacu deras.
"Jangan ganggu orang tidur. Kebiasaan kamu yang ini selalu bikin aku enggak suka." Gumaman samar karena Dewa mengatakan sembari matanya masih terpejam rapat. Kania menangkup mulut. Antara deg-degan dan takut membaur. Sepertinya Dewa tidak sadar mengigau. Ingin menghindar secepatnya, tapi tangan Dewa malah mengait erat. Kania mati kutu didekap erat laki-laki itu.
Embusan napas Kania terdengar berpacu. Senyum lembut perempuan itu sejak tadi seakan tak mau tandas dari wajah cantiknya. Rasanya sudah sangat lama sekali Kania tidak rasakan dipeluk Dewa seperti saat ini. Walau lelaki itu melakukannya dalam keadaan tidak sadar--mungkin di bawah pengaruh alam bawah sadar, tapi bagi Kania ini sudah bisa mengobati rasa kangennya.
Tangan Kania mengabsen setiap sudut wajah Dewangga. Jemari lentiknya mengusap lembut, dari kening, mata dan juga bibir merah alami laki-laki yang menawan hati. Kania terlalu asyik menekuri wajah tampan laki-laki itu, sampai tidak sadar kalau Dewa lamat-lamat membuka mata.
"Ngapain kamu di sini!" Dewa mendorong Kania sampai perempuan itu jatuh terjengkang membentur lantai.
"Mas, sakit tau! Jahat kamu," ringis Kania merasai sikutnya nyeri terantuk lantai. Kania duduk bersila di lantai sisi ranjang. Bibirnya mendesis merasai kaget dan rasa sakit.
"Lagian siapa suruh kamu macam-macam. Mau ngapain kamu deket-deket aku?!" Dewa beranjak. Lelaki itu duduk di ranjang menatap Kania dengan sorot sinis.
"Yang ada kamu itu yang macam-macam. Kamu yang narik aku, kamu juga yang main peluk sampai aku enggak bisa bangun," protes Kania.
Dewa tak terima. "Omong kosong! Kamu pikir aku percaya."
Kania mengangkat bahu, tak acuh dengan protesan Dewa. "Terserah!" pungkasnya. Kania masih meringis, ingin menegakkan tubuh tapi kakinya terkena kram. "Mas bantuin dong, kaki aku kram. Gara-gara kamu juga," pinta Kania.
"Ck!" Decakan Dewa menguar--tapi tak urung tangannya terulur memberi bantuan Kania.
"Kamu buruan salat subuh, ini hari minggu, ingat perjanjian kita, kamu enggak boleh kemana-mana selain sama aku. Aku mau siapin sarapan, kamu mau dimasakin apa?" Tawaran Kania tak mendapat respon. Dewa beranjak menuju kamar kecil.
***
Dewa melangkah keluar kamar. Kakinya terayun melewati partisi penyekat ruang tengah dan dapur. Lelaki itu mematung di sisi pintu dapur. Tangannya dikantongi ke dalam saku celana pendeknya. Diam-diam Dewangga perhatikan Kania yang tengah berkutat dengan wajan dan spatula di depan kompor. Pemandangan yang baru Dewa saksikan kembali setelah sekian lama.
Secara tiba-tiba otak Dewa lancang membawanya menapak tilas lagi rentetan kejadian beberapa waktu lalu. Potongan-potongan adegan seperti video yang diputar ulang. Dulu--saat hubungannya dengan Kania masih baik-baik saja, Dewa paling suka mengageti Kania--dengan tiba-tiba mengaitkan tangannya erat di pinggang perempuan itu---saat Kania asyik berkutat di dapur.
Kata-kata itu merangsek lagi dalam otak Dewangga. Kalimat yang menimbulkan persepsi buruk Kania di matanya. Rahang berjambang kepunyaan lelaki itu sontak mengeras saat telinganya mereka ulang adegan percakapan beberapa waktu lalu.
Jika hanya karena anak mereka yang pergi, sungguh, Dewa tak akan menyalahkan Kania. Walau dia sangat mendambakan anak, tapi Dewa tak bisa menuntut lebih saat Dia mengambil kembali titipan itu darinya dan Kania. Fakta lain membuat Dewa hangus dada. Ibarat sudah kecewa karena buah hati pergi, ditambah kecewa dengan fakta yang dia dapat dari orang lain tentang Kania. Kalau sudah bosan kenapa tidak bilang? Kalau sudah ada yang lain, kenapa sok-sokan mau bertahan. Apalagi Kania kukuh tak mau berpisah. Semakin menguatkan dugaan Dewa kalau perempuan itu bertahan hanya karena materi serta semua fasilitas yang dia berikan.
Dewa urung hampiri Kania. Membalik badan ingin beranjak dari pintu dapur bersih, tapi Kania lebih dulu memergoki langkahnya.
Perempuan yang masih mengenakan apron itu tersenyum lebar, sejurus memanggil Dewa agar mendekat.
"Mas, kamu di situ dari kapan? Sini dong, cobain aku bikin kare ayam," ujar Kania dengan mata berbinar cerah.
Dewa tak menjawab, tapi kakinya terangkat mendekat pada Kania.
"Apa?" tanyanya--masih dengan ekspresi dingin.
Kania menyodorkan sendok ke mulut Dewa. "Cobain ya, udah pas, apa belum rasanya."
Dewa menyesap kuah pada sendok yang dihidangkan Kania. Seperti biasanya. Dia selalu kagum dengan bakat memasak Kania. Perempuan itu terllau pandai meracik bumbu masakan, sampai-sampai Dewa dibuat tak berkutik.
"Cepatlah, aku tunggu di meja makan!" peringat Dewa. Kania sungging-kan senyum lebar sembari mengangguk.
Kania menatap haru pemandangan di meja makan pagi ini. Suasana lama yang dia harapkan akhirnya ditemui kembali. Dewa--walau dengan ekspresi datarnya memilih diam menerima semua yang Kania lakukan.
"Selamat makan, Mas," ujar Kania menyodorkan piring berisi nasi dan kare ayam yang baru dia masak.
Memindai pemandangan di depan mata, Kania justru enggan melahap makanannya. Menopang tangan di dagu, senyumnya seakan enggan tandas saat matanya mengabsen polah Dewangga. Kania rekam semuanya dalam lemari otak. Dia ingin jalani satu bulan ke depan tanpa ada.banyak perdebatan. Tanpa banyak bersitegang dan saling tak acuh. Meski hanya pura-pura, biar saja, Kania tidak peduli. Dia berjanji sebelum menyerah, akan berusaha semaksimal mungkin merebut kembali perhatian Dewa.
"Kenapa kamu ngelihat aku kayak gitu?!" tegur Dewangga. Kania menggeleng pelan.
"Mas Dewa kalau makan lucu, itu belepotan bibirnya." Tangan Kania terangkat, setengah berjinjit dia usap sisa makanan yang menempel di pinggir bibir Dewangga. "Makan yang banyak ya, Mas. Kalau boleh, sebulan ini aku maunya kamu makan masakan aku aja. Jangan makan di luar," imbuh Kania. Dewa tak menjawab. Kania anggap sebagai persetujuan lelaki itu.
Usai sarapan Kania membereskan sisa piring kotor. Kania memilih hampiri Dewa di kamar tamu yang dialihfungsikan sebagai ruang kerja Dewangga. Dia ketuk pintu dua kali, tak ada jawaban, tapi Kania tetap melangkah masuk saat putaran handel pintu tidak terkunci.
"Kamu ngapain Mas? Ini hari minggu---"
"Duduk, Kania! Ada yang ingin aku tunjukkan," titah Dewa. Kania merapat ke sofa tunggal. Duduk di sana dengan ekspresi penasaran.
"Apa, Mas?"
Dewa melangkah ke arahnya. Mata Kania langsung memindai sebuah berkas yang berada di tangan sang suami.
"Tanda tangani ini Kania!" perintah Dewa. Kania masih dengan rona bingung membuka map berisi selembar kertas yang Dewa angsurkan. "Tidak adil kalau perjanjian ini hanya kamu yang diuntungkan." Lanjut Dewa.
Kania membaca satu persatu isi ketikan yang tertera tapi pada kertas HVS tersebut.
Pihak pertama Dewangga Satria, dengan surat ini memberikan syarat pada pihak kedua, Kania Pratista. Jika perjanjian masih ingin dilanjutkan, harap tanda tangan dan patuhi isi perjanjian.
1. Pihak kedua tidak boleh pergi ke manapun tanpa izin pihak pertama.
"Yang ada kamu itu kalau pergi enggak pernah bilang, Mas!" Baru bait pertama Kania sudah dibuat melongo.
2. Tidak boleh membahas laki-laki lain saat bersama pihak pertama.
"Kamu malah bawa perempuan lain ke rumah."
3. Tidak boleh membantah apapun perintah pihak pertama.
"Emangnya aku pembantu, apa?!" Kania mendesis sebal.
4. Tidak boleh dandan terlalu menor.
"Kalau gitu kamu juga ga boleh tampil terlalu ganteng, Mas!"
"Itu salah satu kelebihanku, tanpa berusaha tampil sempurna, aku memang sudah sesempurna itu di mata banyak perempuan."
Kania berdecih lirih. Muak dengan tingkat percaya diri Dewangga yang menurutnya di atas rata-rata.
5. Tidak boleh menerima tamu sembarangan.
"Dan, jangan bawa selingkuhan kamu ke sini juga!" Tatapan sinis terarah pada Dewangga.
"Hei-hei, siapa yang selingkuh!"
"Lalu Felly itu apa? Teman kencan?!" Satir Kania.
6. Tidak boleh tebar pesona pada laki-laki lain selama proses cerai belum selesai.
"Siapa juga yang suka tebar pesona." Kania meradang.
Dewangga tertawa sinis. "Ngobrol sambil tatap-tatapan sama laki-laki lain, usap-usap kepala, itu apa namanya kalau bukan tebar pesona?! Menjijikkan kamu, belum resmi cerai tapi sudah mesra-mesraan sama cowo lain."
"Jangan fitnah kamu, Mas!"
"Apa? Siapa yang fitnah. Aku lihat sendiri---" Dewangga menggantung kalimat. Hampir saya keceplosan kalau diam-diam dia mengikuti ke mana perginya Kania kemarin siang.
7. Dilarang modus pada pihak pertama. Apalagi menggoda dan suka grepe-grepe.
Kania mendengkus, sebal bukan main. "Ngawur kamu Mas! Yang ada kamu itu yang main peluk duluan. Malah enggak ngaku. Dasar playing fictim," cerca Kania. Dewa hanya mengangkat bahu tak acuh.
8. Dilarang masuk kamar saat pihak pertama sedang mandi atau ganti baju.
9. Dilarang mendekat dalam radius 3 meter.
10. Dilarang protes saat pihak pertama sedang fokus pada hape.
11. Tidur harus ada pembatas. Kalau dilanggar maka pihak pertama berhak memberi sangsi.
12. Pihak pertama berhak melakukan apapun di rumah ini tanpa ada interupsi pihak kedua.
13. Dilarang kepo dan sok perhatian.
14. Sebelum sidang putusan cerai, pihak kedua wajib menjalankan semua kewajiban sebagai istri serta memberikan hak sepenuhnya pada pihak pertama.
"Gila kamu, Mas!"
"Hei-hei, jangan berpikiran macam-macam kamu, Kania! Maksudnya mendapat hak adalah semua tugas yang harus kamu jalankan selama masih di rumah ini."
15. Jika pihak pertama khilaf dan tanpa sadar berbuat di luar batas, maka pihak kedua wajib memaklumi.
Kania renyuk kertas di tangan dengan emosi membuncah. Apa-apaan Dewangga itu, membuat peraturan tapi semua seolah menguntungkan satu pihak saja.
"Sobek saja sepuasnya, aku masih punya salinannya dua puluh lembar, Kania." Dewa tersenyum miring. "Kalau mau gencatan senjata ini berjalan dengan baik, mending kamu tanda tangan sekarang." Sambungnya dengan mata bergerak menatap kertas yang berhamburan akibat ulah Kania menyobeknya menjadi potongan-potongan kecil.
"Gencatan senjata? Kamu pikir kita ini lagi perang dunia ketiga apa, Mas!"
"Ter-se-rah!"
Kania mengembuskan napasnya lelah. Dewa dengan segala sikap angkuh-- tak tahu diri-- bedebah egois- sayangnya terlalu sempurna di mata Kania untuk dibilang brengsek. Sayangnya lagi Kania terlanjur cinta. Dia raih kertas lain dari tangan Dewa dengan gerakan kasar. Mengambil pulpen lalu membubuhkan tanda tangan di atas materai sebagai tanda telah sepakat dengan segala syarat sialan yang laki-laki itu ajukan.
***
Ahahaaaa, yaweslah baca aja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top