6. Jealous?
Lidah Kania terus saja memroduksi kalimat umpatan saat melangkah meninggalkan ruangan Dewa. Dasar kurang ajar! Perempuan tidak tahu diri yang suka menggoda suami orang. Laki-laki itu---Dewa juga sama saja. Ah! Andai saja rasa cinta di hati Kania tidak terlalu besar pada Dewa. Sudah pasti dia tidak akan mau menjatuhkan harga diri ke titik terendah untuk membuat Dewa menuruti persyaratan itu. Katakanlah Kania perempuan bodoh, tapi siapa yang bisa mengusik saat rasa cinta sudah mengakar kuat di hati. Dewa adalah laki-laki pertama yang memperlakukannya seperti seorang kekasih, ratu dan penguasa hatinya. Dan, Kania ingin Dewa juga yang menjadi terakhir untuknya. Karena bagi Kania pernikahan bukan semata ikatan yang terjalin karena cinta. Lebih dari itu. Tentang sebuah janji suci dan sakral yang harus dipertahankan jika memang masih bisa diperjuangkan.
Memesan taksi online, Kania akhirnya pergi meninggalkan kantor Dewa menuju Kafe tempatnya janjian dengan Indira. Jalan tidak terlalu macet, dan jarak ke kafe tidak terlalu jauh. Usai membayar Kania langsung turun dan melenggang ke dalam kafe. Matanya mengedari isi coffe shop dengan gaya estetik tapi bernuansa homey tersebut. Meja, kursi, dan pernak-pernik hiasan didesain dengan gradasi warna cokelat dan putih. Tidak ketinggalan ada beberapa spot Selfi bagi pengunjung yang ingin berswa foto.
"Kania, di sini." Sebuah lambaian tangan tertuju pada Kania. Indira sudah duduk manis di salah satu meja. Kania gegas menghampiri. Usai cipika-cipiki sejurus duduk di seberang Indira sahabatnya.
"Akhirnya kita bisa meetime kek dulu lagi." Indira tertawa haru. Rasanya sudah lama sekali tidak kumpul-kumpul ngopi bareng dengan Kania.
Kania hela napas sejurus empaskan tubuh duduk di seberang Indira, "Anak Lo kenapa ga dibawa sih?" Pertanyaan pertama yang muncul dari bibir Kania. Biasanya Indira membawa dua balitanya saat kumpul-kumpul. Si sulung Naresh yang berusia tiga tahun, dan Nacita yang baru berumur setahun. Kania selalu menjadi yang paling senang saat kedua anak Indira itu dibawa serta. Dia jadi bisa merasakan bagaimana rasanya menjaga seorang anak.
"Suami gue ambil cuti, dia bawa anak-anak ke rumah opa-oma-nya," sahut Indira. Kania ber-oh-ria. "Gimana kabar Lo, Ka?" Sambung Dira. Kania mengangkat kedua bahu.
"Seperti yang Lo lihat, gue baik."
Indira melirik tak percaya. Hati-hati dia bertanya.
"Gimana perasaan Lo, Ka?" Indira agak sedikit takut saat bertanya, dia perhatikan raut Kania yang terlihat datar. Indira yang paling tahu apa yang menimpa Kania saat ini. Indira bahkan sangat geram pada sikap Dewa. Ingin sekali memaki lelaki itu andai saja Kania tidak melarangnya.
"Gue lagi berjuang, Dir. Semoga gue selalu kuat."
Indira hela napas mendengar kalimat Kania. "Kenapa Lo harus bertahan sih, Ka? Kalau emang si brengsek itu udah ga peduli, apa ga sebaiknya Lo pergi aja dari dia?"
Kania tersenyum getir. Memang kalimat Indira tidak salah. Yang salah adalah dia yang terlalu mencintai seorang Dewa.
"Lo lihat Dimas, dari dulu dia menaruh harapan besar akan perasannya sama lo, Ka. Gue cuma pengin lihat lo bahagia, nggak ada maksud lain." Indira berkaca-kaca saat berbicara. Kania memeluknya dari samping.
"I see. Thanks buat semua perhatian Lo, Dir. Gue tahu kalau bertahan mungkin sebuah kebodohan, tapi dari dasar hati yang paling dalam gue masih sangat mencintai Mas Dewa. Dan, soal Dimas..." Kania menjeda ucapan. Senyumnya terpulas tipis. "Jawabannya akan tetap sama. Gue ga ada rasa apapun kecuali sebagai teman. Enggak lebih, Dir."
Indira mangut-mangut, paham dengan penjelasan Kania.
"Kalau lo butuh apa-apa jangan sungkan ya, Ka."
"Iya, udah ih. Kita mau meetime, kan, jangan melow gini dong." Kania tertawa pelan. Indira ikut tertawa, mengusap wajahnya, menyingkirkan raut sedih yang tadi menyambangi. Keduanya asyik berbincang banyak hal sembari menikmati makanan dan minuman yang dipesan. Selang tiga puluh menit, seorang lelaki berbadan atletis menghampiri meja mereka.
"Sorry, gue telat. Tadi ada meeting dulu, makanya baru bisa ke sini," ucapnya dengan napas masih ngos-ngosan, sejurus mengambil gelas berisi jus dan menyesapnya sampai tinggal sedikit.
"Hei, jus gue itu!" Kania mencak-mencak. Wajah ngambeknya menimbulkan tawa seseorang yang tadi meminum jusnya tanpa izin.
"Sorry, Ka. Gue ganti deh, berapapun lo mau." Tangan lelaki itu mengusap pucuk kepala Kania yang tertutup hijabnya.
"Buat gue nggak, Dim?" Indira menyahut disertai putaran bola mata.
"Lo, enggak usah. Khusus Kania seorang."
"Curang!" Indira menimpali lagi, kali ini sembari memberondong pundak Dimas dengan pukulan kecil. Kania terkikik menyaksikan adegan Indira dan Dimas yang tidak pernah bisa akur.
Di sudut lain, ada sepasang mata menatap tajam atas adegan Dimas dan Kania yang baru saja dilihat. Giginya bergemelutuk, menahan emosi yang siap meledak. Ronanya menyimpan emosi, menyaksikan gelak tawa serta candaan perempuan terdekatnya bersama laki-laki lain.
Dewa sengaja membuntuti Kania menuju kafe tempat perempuan itu akan bertemu Indira dan Dimas. Tadinya tidak percaya, dan penasaran saat Kania mengatakan ingin ketemuan dengan Dimas. Ternyata benar, dan anehnya dia harus merasakan luapan emosi saat matanya memindai adegan tangan Dimas yang mengusap pucuk kepala Kania. Shit! Umpatnya dalam hati.
Kania akan diceraikan, tapi perempuan itu malah terlihat baik-baik saja dan bahagia. Membuat Dewa seketika merasakan amarah.
***
Kania sampai di rumah pukul tiga sore. Perempuan itu bergegas membersihkan diri, ambil wudhu dan laksanakan salat ashar. Usai salat Kania turun ke dapur, ingin memasak sesuatu untuk menyambut kepulangan Dewa.
Senyumnya terbit saat tangannya sibuk berkutat di depan kompor. Tiba-tiba saja memorinya mengajak napak tilas pada ingatan sebelum sikap suaminya berubah. Dewa termasuk laki-laki yang tak banyak bicara atau tipe yang suka menebar kata-kata manis, namun seringkali tindakannya menggambarkan kalau dia sangat perhatian.
Dulu, biasanya saat sore begini, Kania sedang berkutat di dapur, membuat camilan untuk teman minum teh setiap kali Dewa pulang ngantor, lelaki itu akan melangkah mengendap-endap menuju dapur hanya untuk kejutkan Kania. Kania yang fokus pada kerjaannya akan dibuat kaget saat belitan tangan kekar Dewa mengait erat di pinggangnya, berakhir dengan banyak kecupan lelaki itu pada pucuk kepala Kania.
Mata Kania memanas membayangkan hal-hal manis yang telah lama berlalu.
Helaan napas terlepas dari mulutnya.
Rasanya berat sekali jalani hari-hari dengan sikap dingin Dewa saat ini, tapi, Kania tetap akan berjuang. Tidak peduli seberapa banyak diabaikan. Tidak mau tahu seberapa deras air jatuh menetes. Akan acuh pada semua kata-kata yang menudingnya terlalu bodoh, bucin dan tidak sadar diri. Karena bagi Kania pernikahan itu sakral, tidak semudah itu untuk dilepaskan.
Ketipak langkah terdengar menyambangi rungu Kania. Dari suaranya dia hapal kalau itu Dewa. Bergegas Kania membawa baki berisi secangkir teh hangat untuk lelaki itu. Kania tersenyum lebar. Rupanya Dewa tidak melupakan poin ke-tujuh perjanjian yang dia buat; untuk pulang tepat waktu usai tuntaskan kerjaan kantor.
Kania melangkah perlahan. Matanya langsung memindai Dewa yang tengah duduk bersandar pada punggung sofa.
"Mas, kamu masuk rumah kenapa enggak salam, sih?" Protesan Kania sebagai preambule-nya. Dewa tak acuh. Lelaki itu hanya melirik Kania sekilas. "Teh buat kamu, Mas, diminum ya," lanjutnya mengangsurkan cangkir tepat di depan Dewa. Tanpa diduga lelaki itu menyentak cangkir beserta tatakannya sampai jatuh berhamburan ke lantai, timbulkan suara lumayan kencang saat cangkir porselen jatuh bergesekan dengan lantai keramik. Kania sampai berjengit kaget.
"Nggak usah sok manis, kamu!" Sinis Dewa. Kania terdiam beberapa detik. Mencoba menenangkan diri agar jangan terpancing.
Senyumnya terpulas membalas tatapan tajam Dewa, "Dari dulu aku emang udah manis, Mas. Kamu ke mana aja, sih?!" Candaan - yang terdengar dipaksakan sengaja Kania lontarkan. "Kamu ini kenapa sih, dikasih teh malah dibuang gini, kan, jadi pecah berantakan, nanti kalau kamu kena pecahan kacanya gimana?" Masih lanjut Kania.
"Aku bikinkan yang baru ya, Mas Dewa mau teh apa kopi?" Baru akan melangkah, tapi tangan Dewa mencekal lengan Kania, membuatnya memaku di tempat.
"Dasar perempuan munafik." Dewa tertawa sinis. "Mengatakan dirinya seorang istri tapi diam-diam bertemu laki-laki lain!" Suara Dewa makin tak santai.
"Maksud kamu apa, Mas? Aku izin lho sama kamu, lagian aku ketemu Dimas--"
"Stop Kania! Jangan pernah mulut munafikmu itu menyebut nama laki-laki lain selama kamu masih di rumah ini!" Konfrontasi Dewa. "Perempuan munafik. Sok-sok-an ingin bertahan, padahal diam-diam mendekati laki-laki lain. Kita cerai, urusan akan cepat selesai, dan kamu bisa bebas bersama laki-laki itu!" Nada bicara Dewa makin meninggi. Tatapan matanya berkibar penuh kekesalan. Kania tidak berniat membalas apapun. Dia hanya pejamkan mata untuk menekan segala deru-deru sesak yang ingin meledak. Biarkan saja Dewa lampiaskan semua rasa kesalnya. Kania tidak boleh terpancing.
Kania beringsut memunguti pecahan cangkir yang berserak. Entah karena pikirannya bercabang atau kurang fokus, Kania kahirnya mengernyit kesakitan saat pecahan kecil yang dia pungut menggores pori-porinya. Darah segar mengucur. Kania meringis menahan nyeri. Akan beranjak menuju kotak p3k yang ada di dekat kabinet dapur bersih, tapi langkahnya tertahan menyaksikan Dewa berdiri tepat di sisinya.
"Dasar ceroboh!" Sinisnya, tapi tak urung meraih tangan Kania. Dewa membawa sebotol antiseptik dan juga kasa steril, tanpa basa-basi langsung membersihkan luka Kania. Perempuan itu mengaduh saat merasai sengatan perih akibat tetesan antiseptik. Dewa tak acuh, tangannya masih sibuk membebat luka Kania. Tak dimungkiri diperlakukan seperti ini dari jarak sangat dekat membuat dada Kania berdesir tak karuan. Dia pandangi raut Dewa dalam-dalam. Di dasar hati masih menyimpan percaya kalau sebenarnya cinta Dewa masih utuh untuknya.
"Mas, apa kita enggak bisa damai selama sebulan aja?" Tanya Kania tiba-tiba. Dewa melirik sinis. Bersamaan tangannya terlepas sempurna dari Kania.
"Setelah semua yang kamu lakukan?! Jangan harap, Kania!"
"Sudah aku bilang berulangkali kalau anak kita pergi karena--"
"Bukan tentang anak kita. Kamu ..." Dewa urung melanjutkan kalimat. Laki-laki itu berdiri meninggalkan Kania yang masih duduk di lantai. Justru membuat Kania dibebat rasa penasaran. Apa maksud lelaki itu? Bukan tentang anak mereka? Lalu sikapnya yang berubah atas dasar apa?
Otak Kania menyimpan banyak tanda tanya.
***
Bersambung ...
Sepi banget vote dan komen di sini. Tapi enggak papa, terima kasih buat yang udah sempatin baca dan kasih komen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top