5. Fatamorgana

Seperti biasa Kania setiap selesai menyiapkan sarapan, dia akan menyiapkan keperluan Dewa. Mulai dari handuk yang akan dipakai mandi, kemeja dan celana lelaki itu, beserta dasi dan kaus kaki. Dewa sudah terbiasa dilayani. Tinggal pakai dan terima jadi. Kania jadi berpikir, kalau--andai dia benar-benar berpisah, apa Felly bisa melakukan semua hal yang selama ini dia lakukan?

Dewa keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbelit handuk sampai sebatas pinggang. Lelaki itu mengibaskan rambut basahnya, sejenak membuat Kania terpaku diam dalam jenaknya. Dia selalu terpana dengan ketampanan Dewa. Apalagi rambut dan tak bub setengah basah yang masih meninggalkan tetesan air. Lelaki itu memiliki rupa nyaris tanpa cela. Hidungnya super mancung, mungkin karena gen dari papanya yang merupakan asli dari Jerman. Dewa memang setengah bule. Iris matanya berwarna kelabu, rambutnya cokelat dan tubuhnya tinggi tegap sekitar 187 sentimeter. Jika berdiri sejajar, Kania hanya sebatas dada lelaki itu. Mungil, tapi nyaman didekap. Ah, pikiran Kania jadi kemana-mana

Kania perhatikan raut Dewa. Lihat saja, wajahnya sudah berapa lama tidak bercukur, karena di sekitar rahang lelaki itu ditumbuhi jambang halus sampai ke dagunya.

"Ngapain kamu di situ?" Pertanyaan itu menyadarkan Kania. Dia salah tingkah sendiri.

"Mas, kamu udah selesai mandinya. Aku udah siapin kemeja dan semua keperluan kamu. Oh iya, kamu mau aku bawain bekal buat di kantor, Mas? Kayak biasanya?" Tawar Kania.

"Nggak usah!"

"Kamu nanti makan siang di mana?"

"Bukan urusan kamu!"

"Mas, kita masih harus menjalani peran seolah-olah kita baik-baik saja. Kamu jangan terlalu ketus sama aku."

"Itu mau kamu, bukan mauku!"

"Itu juga mau kamu. Kamu yang menginginkan kita berpisah, jadi kamu melakukan itu buat keuntungan kamu, Mas!"

"Terserah, aku tidak peduli pendapatmu!"

"Tapi aku peduli."

"Terserah!"

Dewa sibuk memakai pakaian, sedang Kania tetap mematung di tempat.

"Mas, apa nanti kamu akan makan siang bersama Felly?"

"Sudah aku bilang bukan urusan kamu. Mulai sekarang belajarlah mengurusi urusanmu sendiri."

Perasaan Kania mungkin mencelus. Diperlakukan kasar oleh laki-laki yang dulu selalu memujanya adalah sebuah kenyataan paling pahit. Namun dia harus menelan mentah-mentah. Perjuangan memang tidak akan mudah. Akan tetapi di akan lebih menyesal kalau tidak berbuat apa-apa untuk mempertahankan rumah tangganya. Jauh di dasar hati Kania dia yakin kalau Dewa masih sangat mencintainya. Lelaki itu hanya sedang tersesat oleh rasa kecewa.

"Mas Dewa, aku nanti izin mau keluar ya. Aku mau ketemuan sama Indira." Indira adalah sahabat Kania. Mereka biasanya bertemu setiap kali ada kesempatan.

"Terserah! Pergilah kemanapun sesukamu, dan tidak perlu pakai izin segala."

"Oh, oke baiklah. Mungkin aku juga akan ketemu Dimas, nanti."

"Buat apa?!" Dewa reflek mencecar Kania. Mata kelabu lelaki itu mengkilat tak suka mendengar nama Dimas disebut.

"Buat apa lagi,  ya ketemuan biasa, sama Indira juga." Kania menilik ekspresi Dewa. Apa iya laki-laki itu masih menyimpan rasa cemburu seperti dulu setiap kali Kania membahas soal Dimas. Dulu, Dewa bisa uring-uringan seharian saat tahu Kania bertemu Dimas. Menurut laki-laki itu, Dimas bukan teman yang baik. Kania tentu tidak setuju, dia mengenal Dimas lebih dulu daripada Dewa, jadi Kania tahu kalau Dimas adalah teman yang baik. Entah atas dasar cemburu atau hal lain yang Kania tidak tahu, sampai membuat Dewa selalu antipati dengan Dimas.

"Terserah!" Mendengar jawaban Dewa, entah kenapa Kania harus menghela napas kecewa. Itu artinya Dewa sudah benar-benar tidak memiliki perasaan cemburu padanya.

"Keluarlah, aku ingin ganti baju," titah Dewa. Kania mengangkat kedua alisnya.

"Kenapa Mas? Sudah biasa, kan, kamu ganti baju depan aku?"

Dewa mengeram, "Kali ini keadaan tidak lagi sama Kania! Tolong mengertilah."

"Kalau aku tidak mau bagaimana, Mas?"

"Aku yang akan keluar dari sini!"

"Baiklah, biar aku yang keluar, Mas."

Kania mengalah untuk saat ini. Dia juga merasa lelah sejak pagi sudah banyak berdebat dengan Dewa. Dia butuh tetap waras untuk menjalankan semua rencananya.

Kania memilih duduk di kursi teras depan sembari menunggu Dewa turun. Kedua matanya terpejam menikmati pancaran sinar matahari pagi yang menerpa tubuhnya. Bunyi ketipak langkah sontak membuat Kania membuka matanya lebar. Dewa telah melewatinya begitu saja. Kania segera mengejar.

Dewa sudah siap dengan pakaian kerja. Lengkap dengan jas yang masih menggantung di hanger dan diletakkan pada gantungan jok belakang mobil.

"Mas tunggu!" Kania berdiri tepat di sisi Dewa. Lelaki itu bersandar pada pintu mobil dengan kedua tangan terlipat di dada. Pandangannya bertumbuk dengan manik cokelat Kania.

"Cepatlah, aku bisa kena macet!"

"Kamu ... Kamu lupa satu hal." Kania menyodorkan keningnya mendekat pada wajah Dewa. Agak sedikit berjinjit.

"Mau apa kamu?!" Sentak Dewa. 

"Mas, kenapa kamu selalu lupa tentang poin perjan---"

Satu kecupan mendarat sepintas di kening Kania. "Aku mencintaimu!" Disertai kalimat cinta -- meski agak tidak jelas karena Dewa mengucapkannya terlalu cepat. Kania tersenyum menatap Dewa.

"Aku juga mencintaimu, Mas ...," balasnya. Kania sadar Dewa tidak memakai hati saat mengucapkan kata cinta itu. Kalimat laki-laki itu ibarat fatamorgana. Didengar, tapi tidak nyata. Kania tidak peduli.

"Tidak usah ge-er kamu, yang aku ucapkan tidak lebih hanya karena perjanjian sampah itu!" Peringat Dewa. Lelaki itu tak acuh dengan balasan Kania. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis, seperti senyum menghina, sejurus masuk ke mobil dan melaju meninggalkan Kania yang masih mematung di carport.

"Sangat mencintaimu Mas," gumam Kania lagi setelah mobil Dewa menghilang dari pandangan.

Seperti rencananya, Kania akan bertemu dengan Indira siang ini. Dia merasa terlalu penat dan stress menghadapi banyak permasalahan. Kania butuh refreshing sejenak. Kania segera mandi dan siap-siap. Perempuan itu bersenandung kecil sembari mematut diri di depan cermin. Rasanya sudah sangat lama sekali Kania tidak seceria ini. Memandang pantulan diri di cermin, senyum percaya diri itu makin bertambah saat mendengar ungkapan cinta dari sang suami. Iya katakanlah ini memang hanya pura-pura. Dia tahu Dewa terpaksa mengatakan itu. Akan tetapi bagi Kania itu sudah lebih dari cukup.

Kania sudah selesai dengan ritual dandannya. Mengenakan setelan celana longgar dan blouse thrif bermotif garis-garis dipadu pasmina senada celana. Kania terlihat cantik dan segar. Apalagi ditambah riasan wajah yang disapu makeup tipis. Siapapun yang melihat pasti mengira Kania masih gadis lajang, menilik tingginya yang hanya 155 cm. Tubuh mungil dengan badan ramping. Seperti mahasiswi fresh graduate yang baru lulus sidang skripsi.

Baru akan melangkah meninggalkan kamar, tapi Kania memaku langkah saat mendengar bunyi notifikasi pesan masuk dari aplikasi chat-nya.

Mas Dewa :
Antarkan makan siang ke kantor sekarang! Kamu tahu kan, aku tidak bisa makan sembarangan. Cepatlah!

Kania hela napas. Tadi ditawari membawa bekal tidak mau. Sekarang mendadak minta dibawakan makan siang. Kania dengan senang hati akan membawakannya, tapi sebelum itu dia harus mengirimkan pesan pada Indira kalau mereka akan telat datang ke pertemuan. Setelahnya Kania akan menyiapkan masakan yang simpel saja untuk dibawa ke kantor Dewa.

Usai menelpon Indira, Kania bergegas ke dapur. Membuka kulkas, hanya ada daging slice dalam wadah sterefoam. Kania tersenyum. Dia akan membuat sapi tumis teriyaki kesukaan Dewa.

**
Melangkah dengan anggun melewati koridor kantor, Kania langsung menuju lift yang akan membawanya ke lantai empat. Tempat ruangan Dewa bekerja sebagai pimpinan di firma arsitek rintisannya.

Kania tidak lupa menyapa semua karyawan yang dia lewati dengan senyum ramah. Membawa tentengan di tangan berisi box makan siang, Kania tidak sabar akan menemani Dewa makan siang hari ini.

Ketukan pintu disertai salam sebelum Kania masuk. Akan tetapi matanya langsung membeliak begitu tahu di dalam ruangan itu tidak hanya Dewa saja. Ada Felly yang saat ini sedang duduk di pangkuan lelaki itu. Sungguh sangat menjijikkan bagi Kania. Kania pikir adegan macam ini hanya ada di drama sinteron atau novel roman semata. Nyatanya dia temui sendiri suaminya tengah berduaan dengan mantan kekasih-nya. Ironi bukan.

Hah! Apakah lelaki itu tidak sabar menunggu sampai sebulan, dan dia akan lepas secara resmi dari Kania. Pun dengan Felly. Dasar perempuan tidak tahu malu. Jelas-jelas status Dewa masih suami sah-nya, tapi sudah ndusel-ndusel layaknya wanita murahan kurang belaian. Atau sengaja Dewa mempertontonkan adegan menjijikkan itu pada Kania. Kalau memang benar, Kania hanya akan tersenyum miring, karena hatinya sudah terlatih untuk tegar hadapi apapun yang terjadi.

Kania menatap tajam pada dua orang yang sedang asyik berhaha-hihi di balik meja kerja tersebut. Seolah kedatangannya dianggap tidak ada.

Tidak mau berlama-lama di sini, Kania langsung membanting bawaannya tepat di meja Dewa. "Makan siangmu, Mas!" Kania membanting kotak bekal tepat di hadapan Dewa. Sampai Felly berjengit kaget.

"Nggak sopan lo!" Cercanya melirik sinis pada Kania.

Dewa memonitor Kania. Perempuan itu terlihat berbeda dari biasanya. Wajah putihnya dipulas make up tipis. Terlihat lebih segar dengan perona pipi warna peach dan bibir yang dipulas gincu merah muda. Membuat aura cantik Kania semakin memancar.

"Hei, mau kemana kamu?" Tanya Dewa.

"Aku rasa tugasku sudah selesai. Mengantar makan siangmu. Aku akan pergi menemui Dimas dan Indira."

"Kamu tidak akan kemana-mana, Kania! Tetap diam di sini karena aku dan Felly butuh dilayani. Siapkan makan siang untuk kami."

"Siapkan saja sendiri. Apa gunanya perempuan yang lagi sama kamu itu. Memangnya dia tidak bisa sekadar menyiapkan makanan? Menyiapkan makan saja tidak bisa, gimana nanti mau nyiapin semua keperluan kamu? Suruh dia belajar mulai sekarang!" Kania meradang. Enak saja mau membuatnya terlihat seperti babu di depan Felly. Kania tidak peduli pada teriakan Dewa. Dia melenggang keluar ruangan dengan membanting pintu sekeras mungkin.

"Lihat saja Mas, dasar perempuan tidak tahu diri. Berani banget dia banting pintu kayak gitu," ujar Felly setelah Kania pergi. Dewa segera menepis tangan Felly yang menggelayut manja di lehernya.

"Felly pulanglah dulu. Aku butuh konsentrasi untuk kerja."

"Mas, kamu ngusir aku?" Felly merengek.

"Jangan mendramatisir Fel. Ini jam kerja. Lagipula kamu sudah janji kalau tidak akan merecoki di saat jam kerja begini."

"Hmm, baiklah Mas. Tapi nanti sore kamu harus datang ke apartemen aku."

Dewa hanya mengangguk sekilas. Konsentrasi-nya pecah. Dia terkejut kali pertama Kania berani membantah perintahnya seperti tadi.
Tidak bisa dibiarkan. Harga diri Dewa merasa terancam melihat Kania bersikap seperti itu. Dia tidak boleh terlihat kalah di mata Kania.

****

Bersambung ....

Kalau suka dan enjoy bacanya, jangan lupa komen ya.
Calangeyo 💞

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top