3. Perempuan Lain?


Langit memintal awan hitam. Mendung menggantung. Suram. Tinggal menghitung mundur hujan deras akan basahi tanah bumi. Layaknya kepulan awan gelap di langit, perasaan Kania diruangi kesuraman tersendiri. Dia seperti sedang berada di sisi tebing dan siap dilontarkan mencapai dasar jurang. Hancur. Menjadi kepingan-kepingan kecil, berserakan, tak berbentuk.

Suara Dania-- ibu mertuanya masih terngiang di rungu Kania. Ibu mertua - yang Kania sangat yakin masih sama seperti dulu, sangat menyayanginya, tapi tak ditampik kalau ada raut kecewa mengobar di kedua mata Dania. Kata-katanya memang lembut, tapi nada bicaranya Kania tangkap kalau Dania sangat berduka atas kehilangan calon cucunya. Dania memang  tak pernah terang-terangan  menuduh Kania gagal menjadi istri yang baik untuk putranya, namun justru diamnya sang ibu mertua membuat perasaan Kania dirundung rasa bersalah mendalam. Oh Allah, rasanya Kania ingin melenggang pergi dari semua kenyataan yang tersaji. Namun apa daya. Semua masalah harus dihadapi, 'kan.

Dewa telah menjatuhkan talak untuknya. Meski baru talak satu, Kania tidak boleh sembarangan meninggalkan rumah suaminya. Belum ada ketuk palu hakim yang memisahkan jalinan sakral pernikahan mereka. Jika sewaktu-waktu hati Dewa terketuk, lalu lelaki itu mengucap ikrar ingin kembali, maka akan sah kembali ikatan pernikahan mereka lewat tali ucapan rujuk.

Di dasar hati paling dalam Kania masih sangat berharap akan ada keajaiban yang akan menyelamatkan bahteranya bersama Dewa. Kania harus tegar. Bagi Kania pernikahan bukan semata tentang ikatan cinta. Jika cuma cinta yang jadi landasan, hati manusia gampang berubah. Sedang Allah maha membolak-balik perasaan setiap hamba. Akan tetapi komitmen, dan kebersamaan, juga perjalanan yang telah dilewati bersama menjadi kekuatan tersendiri bagi perempuan itu.

Kania usap lelehan air di tebing pipi. Hari beranjak sore. Usai menuntaskan pekerjaan rumah, Kania berniat akan memasak sesuatu yang spesial untuk Dewa. Biasanya lelaki itu tiba di rumah bakda ashar jika tidak lembur.

Gegas Kania melongok isi kulkas. Ada ayam fillet, pokcoy, wortel dan kembang kol. Ayam goreng tepung yang krispi merupakan favorit Dewa. Ditambah capcay sayur. Cocok untuk menu makan malam. Cekatan dan penuh semangat Kania menghidangkan makanan untuk Dewa. Berharap lelaki itu nanti akan kembali menemukan jalan pulang di hatinya.

Semua kelebat manis tentang sikap Dewa kembali memutari otak Kania. Bagaimana laki-laki berdarah Jawa-German itu dulu selalu menghujaninya dengan kalimat-kalimat cinta yang puitis. Atau saat Dewa membangunkannya dengan kecupan mesra di seluruh wajah Kania saat--perempuan itu enggan bangun ketika subuh menyapa. Ah, Kania rasanya tidak kuat untuk tidak menangis saat memori otaknya menampilkan adegan yang telah berlalu.

Makanan telah tersaji di meja makan. Usai membereskan dapur, Kania bergegas untuk mandi. Dia ingin tampil cantik di depan Dewa. Rasanya, sudah sangat lama Kania tidak memoles wajah cantiknya dengan make up. Sejak keluar dari rumah sakit, terhitung sudah hampir sebulan dia kehilangan nafsu berdandan. Terlalu putus-asa dengan keadaan yang menjeratnya saat ini membuat Kania malas melakukan banyak hal menyangkut dirinya sendiri.

Perempuan itu telah selesai mengguyur tubuh dengan air--setelah sebelumnya memutuskan berendam di bathtub yang telah dia isi dengan tumpahkan sabun cair beraroma camomile dan garam laut. Kania merasa sedikit rileks setelahnya. Sekarang duduk di bangku kecil di depan meja rias, serta kedua katanya memindai kembarannya pada ceruk cermin. Menilik penampilan sendiri, Kania jadi bergidik. Pantas saja Dewa jadi ilfil melihatnya. Terlalu larut dalam kesedihan, Kania jadi lupa merawat diri.

Bayangan wajah pada pantulan kaca menjadi perhatiannya saat ini. Tangan Kania merabah permukaan wajahnya sendiri. Dia jadi terheran-heran, bagaimana wajah cantiknya terlihat sangat pucat. Bibirnya kering, bahkan sedikit mengelupas. Entah sudah berapa lama Kania abai, tidak memolesnya dengan pelembab bibir atau menyapukan lipglos di sana. Kedua tebing pipinya menyembul beberapa titik jerawat. Lalu, mata yang dulu selalu berbinar cerah, kini nampak menggelap. Ada garis cekung tersamar di bagian bawahnya. Kania menggeleng samar, merasa seperti melihat zombi pada pantulan wajahnya sendiri.

"Hei Kania! Berhenti jadi perempuan cengeng. Ke mana perginya Kania yang dulu ceria? Tegar dalam keadaan apapun?! Ayo berjuang. Jangan lemah." Suara hati Kania tiba-tiba membisiki.

Usai memoles make up tipis, Kania memilih gamis yang paling disukai Dewa. Gamis berwarna pink pastel menjadi pilihan Kania, dipadu kerudung cokelat bata. Tidak lupa memoles bibirnya dengan lipcream pink cherry, serta blush on di kedua pipi. Membuat Kania terlihat cantik dan segar.

Suara deru mobil terdengar. Kania mengulas senyum. Itu pertanda Dewa tiba rumah. Tepat bakda ashar seperti biasanya. Kaki Kania mengayun untuk menyambut. Sepanjang langkah banyak rapalan bismillah mengiringi. Dia gugup. Senyumnya tersungging, merasa seolah gadis remaja yang akan menemui kekasihnya.

"Assalamualaikum, Mas ...," sapa Kania lebih dulu memberi salam. Dewa memaku langkah di pelataran. Mata lelaki itu mengamati sang istri.

Kania urung menghampiri. Kedua lututnya terasa lemas, seolah tak bertulang saat tahu Dewa tenyata tidak datang sendirian. Mata Kania memindai tangan Dewa mengandeng seorang perempuan. Dari jarak yang lumayan dekat, Kania bisa menilik tangan mereka mengait erat. Kania kembali rapuh. Semangatnya pupus ke titik terendah. Dalam hati men-sugesti sendiri kalau jangan sampai menangis lagi. Jangan lemah hati untuk memenangkan cinta Dewa kembali. 

"Hai Kania, masih ingat sama gue?" Sapa perempuan yang datang bersama Dewa. Perempuan yang mengenakan dress dengan kerah sabrina itu menatap Kania dengan senyum mengejek. Kania tidak akan lupa siapa dia.

Fellycia. Mantan pacar Dewa, ah, lebih tepatnya mantan pacar yang sebenarnya akan menjadi tunangan Dewa. Akan tetapi saat Dewa akan melamar Felly, perempuan itu malah pergi jauh meninggalkan Dewa dengan semua patah hatinya. Kania tidak akan pernah lupa, Felly dan Dewa, mereka putus tiga tahun lalu. Momen patah hati laki-laki itu, yang pada akhirnya membuatnya dekat dengan Kania.

Sekarang yang tengah mengitari benak Kania adalah; Entah bagaimana ceritanya Dewa bisa bertemu lagi dengan Felly.  Kania tidak mau memikirkan hal itu untuk saat ini. Fokusnya hanya satu; kembali memenangkan hati Dewa untuknya. Kelebat ingatan Kania seolah tak mau berkompromi. Tiba-tiba saja kenangan buruk datang merangsek. Bagaimana dua tahun lalu perempuan itu---Felly datang dan mengamuk di acara lamarannya dengan Dewa. Felly menuding Kania telah merebut Dewa darinya. Padahal mereka putus jauh sebelum Dewa dekat dengan Kania.

"Mas, aku bikinkan teh hangat ya," ucap Kania berusaha mengabaikan perihnya batin. Pura-pura tersenyum di luar tapi dalam hati menangis, terkoyak oleh kenyataan.

"Tidak usah repot-repot Kania. Dewa mau pergi sama gue." Felly yang menyahut dengan senyum penuh kemenangan.

"Mas, nggak papa kalau kamu mau pergi lagi, tapi makanlah dulu, aku udah masakin buat kamu." Kania tidak peduli atas kalimat Felly, selama Dewa belum memberi jawaban, dia masih akan berusaha.

Dewa mengangguk. Kania rekahkan senyum. Hatinya diruangi atmosfir kelegaan. Setidaknya Dewa tidak menolak kali ini.

"Sekalian aku ingin membicarakan tentang syarat yang kamu ajukan kemarin. Cepat jelaskan, biar bisa segera kupenuhi, Kania. Kamu tau, kan, ibu sudah tidak sabar ingin punya cucu. Aku dan Felly ..." Kalimat Dewa terjeda. Kedua matanya melirik Felly yang berdiri sembari tangannya terlipat di depan dada. "Aku dan Felly, kami sudah berbaikan. Kami juga berencana akan menjalani hubungan seperti dulu," sambung Dewa.

Kania tersenyum miring. Apa ada kabar yang lebih menyakitkan daripada mendengar suamimu akan menceraikanmu dan berniat menikahi perempuan lain? Di depan matamu! Kania berusaha menebalkan kupingnya. Alih-alih memperbaiki hubungan, Dewa datang menancapkan pisau pada luka di hatinya yang masih mengangah.

"Apapun pilihan kamu nanti, lakukanlah Mas, tapi setelah kamu memenuhi syarat yang kuajukan," sahut Kania berusaha setegar mungkin.

Dewa mempunyai pilihan. Kania pun juga telah memilih akan bertahan sebisa dan semampunya. Dia yakin masih melihat pancaran cinta di mata lelaki itu. Katakanlah Kania perempuan bodoh, sudah disakiti masih saja bertahan. Dia akan berusaha menulikan telinga dari segala hujatan atas sikapnya.

"Sudahlah Kania, terima saja kalau Mas Dewa mau menceraikan kamu. Kalian ini sudah tidak cocok. Apalagi kamu berkali-kali bikin Mas Dewa kecewa dengan menggugurkan calon bayi kalian."

"Anak kami pergi atas kehendak Tuhan, bukan kemauan kami," sahut Kania.

"Halah, tidak usah cari alasan. Tetap saja kamu yang salah." Felly memojokkan Kania dengan banyak rentetan kalimat menyakitkan. Pasti perempuan itu tahu semua yang terjadi dari Dewa.

"Sudahlah, lebih baik kita masuk dan segera selesaikan urusan kita." Dewa menimpali. Lelaki itu melenggang duluan, diikuti Felly di belakangnya.

Kania masih mematung. Sudut bibirnya tersenyum miring. Inikah yang dinamakan definisi hidup itu tidak adil? Apa salah Kania sampai Tuhan memberinya cobaan berat layaknya hari ini.
Sabar Kania, itu artinya Allah sangat menyayangimu. Buktinya Dia timpakan ujian ini berturut-turut. Batin Kania menyemangati.

Kania mengusap pipinya dengan kasar. Tidak ... dia tidak akan menyerah. Belum saatnya untuk melayangkan bendera putih. Kania akan berusaha merebut kembali apa yang sudah menjadi miliknya. Dia berjanji akan lebih kuat. Membuang jauh-jauh rasa cengeng dan airmata yang lolos hampir setiap berhadapan dengan Dewa. Mas Dewa, aku sudah berjanji akan kujaga takdirku saat dulu kamu mengucap janji suci pernikahan kita. Sampai titik darah penghabisan. Kania mengukir senyum tipis. Dia siap berperang melawan ego sang suami juga dari niat culas Felly.

****

Nyinetron banget ga, sih?

Jujurly ga pede apdet cerita ini..🤐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top