2. Konfrontasi

"Mulai malam ini aku akan pindah ke kamar sebelah, Kania."

"Apa, Mas?"

"Kamu lupa? Aku sudah mengatakan kalau mau kita pisah saja, Kania." Dewa berkata seraya menatap malas kearah Kania. Perempuan itu mendengkus. Rupanya kata-kata perpisahan yang dilontarkan Dewa bukan ancaman semata.

Tolong beri tahu Kania. Ke mana perginya Dewangga Satria yang dulu selalu memujanya dengan penuh rasa cinta?
Kenapa Dewa menumpahkan semua kesalahan hanya padanya seorang. Sungguh, di hati terdalam, Kania juga sama hancurnya--bahkan lebih hancur dari yang Dewa rasakan. Bayi itu meringkuk di perutnya selama hampir empat bulan. Kania begitu mencintai calon anaknya. Bahkan detik-detik awal dia tahu tentang kehilangannya, Kania masih bersikap seolah-olah bayinya masih tidur nyenyak di rahimnya. Kania nantikan sepakan kecil dari kaki-kaki bayinya yang sangat aktif, tapi semua hanya fatamorgana---karena nyatanya malaikat kecil itu telah kembali ke sisi Tuhan. Bagaimana seorang ibu tidak hancur merasakan semua itu?

"Tolong pahami mulai sekarang, Kania. Jangan menganggap rencana berpisah ini sebagai candaan semata. Aku sangat serius!"

Kalimat Dewa ibarat sembilu yang mengiris hati Kania. Sakit. Rasanya seperti disayat-sayat. Kania mematung dalam jenaknya. Dia mencerna permintaan Dewa yang menurutnya tak masuk akal. Meski mengatakan ingin pisah dan otomatis jatuh talak satu Dewa baginya, tapi mereka masih bisa tinggal sekamar, andai Dewa mau, tinggal mengatakan ingin kembali, dan Kania akan sah menjadi istrinya lagi.

"Mas, bilang sama aku kalau kamu cuma bercanda? Iya, kan?" Tanyanya masih belum percaya.

"Aku serius. Lagipula ibu bilang sudah tidak bisa menunggu lagi, makin hari usianya bertambah tua, ibu takut kalau sampai dia pergi duluan sebelum sempat menimang cucu. Aku tidak mau jadi anak durhaka, Kania." Dewa mengatakan dengan lancar dan tanpa rasa bersalah. Kania merasai getir di hati. Begitu teganya lelaki itu berkata demikian. Apa dia sudah melupakan semua janji sucinya dulu? Lalu, Ibu mertua yang baik hati dan selalu membiaskan cinta dan rasa sayangnya, ke mana semua perasaan itu? Apa hanya gara-gara tidak jadi mendapat cucu, lantas kasih sayangnya menguap entah ke mana.

"Mas, anak itu hak prerogatif-nya Allah, mana bisa kita paksakan kalau memang belum waktunya dikasih?" Lembut suara Kania berusaha mengingatkan Dewa.

"Itulah! Kamu terlalu munafik, Kania!" Sungut Dewa. Kania sampai terperanjat mendengar teriakan Dewa. "Saat Tuhan sudah menitipkannya di rahimmu, bukannya dijaga baik-baik, kamu malah seenaknya sendiri. Sepertinya Tuhan tahu, kalau kamu itu memang tidak pantas jadi ibu! Makanya dia ambil lagi calon anak kita," Lanjut Dewa berapi-api. Sakit hati Kania mendengarnya.

"Mas, tapi, kan---"

"Cukup! Aku lelah harus terus berdebat denganmu. Keputusanku sudah bulat. Kita cerai!" Dewa mengakhiri konfrontasi di antara mereka. Satu kata pamungkas yang paling dibenci Kania beberapa waktu Belakang ini. Cerai!

Dewa melenggang pergi tinggalkan Kania sendiri di ruang tengah. Kania ambruk. Terduduk di lantai dengan isakan keras. Tangisnya pecah. Kania merutuk. Kenapa ya Allah? Kenapa harus serumit ini? Rutuknya membatin. Hari-harinya berubah jadi mimpi buruk.

Malam menyapa. Dingin embusan angin ditambah rinai gerimis menari di luar. Kania memasuki kamar. Kosong. Tidak ada Dewa di sana. Rupanya Dewa benar-benar membuktikan omongannya. suaminya itu tidur di kamar sebelah. Oh Allah, tidur sekamar dengannya pun Dewa sudah tidak sudi ternyata.

Kania memindai album pernikahan yang saat ini berada di pangkuan. Foto kenangan dua tahun. Nampak foto ijab qobul, Dewa terlihat sangat tampan mengenakan setelan jas putih gading dengan peci senada. Dalam tangkapan kamera, Dewa mencium kening Kania dengan mata terpejam. Masih terngiang di telinga Kania saat lelaki itu membacakan doa kebaikan untuknya sembari menyentuh ubun-ubunnya. Masih lekat dalam ingatan Kania kalam cinta yang diucapkan sang suami. Semua terasa indah. Bahagia yang Kania rasakan. Tetapi itu dulu. Kini... Semua telah luluh lantak. Kania bahkan tidak yakin bisa menyelamatkan bahteranya dari amukan badai.
**

"Mas kopi buat kamu. Sarapannya aku udah siapin roti gandum dibakar pakai keju dan telur ceplok." Dengan ulasan senyum, pagi ini Kania tetap berlaku seperti biasanya. Seolah tidak ada masalah yang terjadi antara dia dan Dewa. Meski harus menahan nyeri diabaikan oleh Dewa, tapi Kania tetap berusaha menjalankan kewajibannya dengan sangat baik. 

Kania mencoba ber-muhasabah diri, barangkali memang sifat Dewa yang berubah karena ada yang salah dengan dirinya. Kania akan tetap berprasangka yang baik-baik. Dia masih berpikir mungkin, Dewa hanya termakan emosi sesaat semalam saat mengucapkan kata pisah.

"Tidak usah! Aku buru-buru." Dewa tanpa menoleh pada Kania langsung mengayun kaki menuju garasi mobil.

"Mas tunggu!"

Dewa memaku langkah, "Apa lagi?" Tanyanya dengan pandangan sarkatik.

"Apa kamu serius dengan ucapanmu semalam?" Setengah takut saat Kania mencoba bertanya. Walau dia tahu jawaban Dewa akan tetap sama. Namun Kania mencoba berbesar hati.

"Kamu pikir aku akan main-main dengan kalimat serius seperti itu!?"

"Apa... Apa kamu udah memikirkan semuanya baik-baik, Mas?"

Kania menyaksikan Dewa menghela napas berat, "Kamu sudah tahu jawabannya, Kania. Aku serius, kita berpisah saja. Tidak ada alasan lagi untukku bertahan."

"Mas..." Lirih airmata Kania kembali menderas di kedua tebing pipi. Banyak sekali yang ingin dia katakan, tetapi lidahnya kelu. Sesak mengakuisisi perasaannya saat ini. Kania pejamkan mata sebentar sebelum kembali berkata, "Yasudah, aku hargai keputusan kamu, Mas." Susah payah Kania mengucap kata demi kata. "Tapi tolong, sebelum kita benar-benar bercerai, aku ingin mengajukan syarat untuk kamu."

Dewa diam sesaat, sejurus mengangguk lemah, "Kita bicarakan nanti saja. Aku berangkat dulu." Pamitnya pada Kania, kemudian hilang dari pandangan.

Jika biasanya Kania akan antusias mengecup punggung tangan Dewa sebelum lelaki itu berangkat, tetapi tidak untuk saat ini. Kania terpuruk duduk di atas lantai dengan dada sesak.
Lihat saja, Kania sudah seperti istri tersakiti seperti drama lakon dalam sebuah sinetron. Ironi. Tetapi yang seperti ini justru benar-benar ada, nyata, dan Kania mengalaminya.

Ketipak langkah terdengar mendekat. Kania bangkit susah payah. Matanya langsung memindai sosok perempuan paruh baya yang melangkah ke arahnya.

"Ibu," sapa Kania. Senyumnya terbit menyambut ibu mertua.

"Kania." Dania-ibunya Dewa memeluk Kania. Perempuan tua itu menghela Kania duduk di sofa. Tangan keriput Dania bergerak meraih tangan Kania. Menggenggamnya erat. "Ibu tahu, ini pasti sulit buat kamu, Nak."

Tangis Kania tumpah di depan ibu mertua. Hatinya mendadak sangat melow. "Ibu tahu kalau aku sangat mencintai Mas Dewa. Aku enggak mau pisah sama Mas Dewa, Bu," lirih Kania.

"Ibu tahu, Nak, tapi ibu bisa apa? Melihat Dewa hancur karena harapannya pergi bersama calon anak kalian, ibu tidak bisa berbuat apa-apa."

"Ibu setuju dengan rencana Mas Dewa?" Kania menatap lekat Dania.

"Saran ibu, lebih baik kamu menurut saja, tanda tangani surat cerai, biar semua lekas beres. Maafkan ibu, Nak, berat sebenarnya mengatakan ini." Dania menunduk. "Mulai hidup baru yang lebih baik tanpa Dewa, ibu yakin kamu kuat, Nak. Kamu juga tidak usah khawatir soal harta gono-gini, ibu pasti akan mengingatkan Dewa soal hak kamu." Suara Dania-- mertua Kania terasa seperti tikaman belati di hati perempuan itu. Padahal yang Kania harapkan adalah peluk penguatan dan dukungan dari Dania. Menahan sesak, Kania balas ucapan Dania dengan senyum.

"Ibu, mau minum apa? Biar Kania buatkan teh, ya?" Kania masih menyuguhkan senyum tulus pada ibu mertuanya.

"Tidak usah, Nak, Ibu ke sini cuma ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Tolong maafkan semua sikap Dewa, ya, Kania."

Kania tahu kalau Dania adalah perempuan yang tulus. Dia masih melihat sorot kasih sayang memancar di mata renta ibunya Dewa tersebut. Tapi yang tidak habis pikir, kenapa Dania setuju dengan sikap Dewa. Padahal biasanya Dania selalu menjadi penengah yang adil.

"Ibu yakin, kelak, kamu akan menemukan bahagia, hidup lebih baik dari sekarang. Kania, ibu mau jujur. Ibu ini makin hari makin tua, kapan lagi ada kesempatan menimang cucu? Ibu sama terlukanya seperti Dewa saat tahu bayi yang kamu kandung tidak selamat." Dania menyeka pinggiran matanya saat berucap. Dan, jantung Kania kembali seperti diremat. Sakit dan nyeri.

Berusaha tegar, Kania tetap mengupas senyum saat berbicara di depan ibunya Dewa, seolah tak mau menampakkan dukanya. "Ibu tidak usah khawatir. Kania pasti akan melepas Mas Dewa, asalkan syarat yang Kania kasih dikabulkan," jawab Kania. "Maafin Kania ya, Bu, belum bisa bikin ibu senang. Belum bisa kabulin keinginan ibu buat nimang cucu." Kania ambil tangan Dania, menciumnya berkali-kali sebagai tanda penghormatan dan permintaan maaf mendalam.

"Syarat apa, Nak? Kalau soal materi, kamu jangan khawatir ya, uang, mobil, atau rumah, ibu pastikan Dewa akan bertanggung jawab penuh." 

Kania menggeleng, "Tidak semua yang ibu sebutkan."

"Lalu apa?"

"Ibu tenang saja, Kania hanya minta hal sederhana pada Mas Dewa."

" Dewa itu anak laki-laki ibu satu-satunya, ibu harap syarat yang kamu pinta tidak memberatkan dia, ya, Kania." 

Kania mengangguk. Dania memeluknya dari samping. Kania pejamkan mata merasai kasih sayang ibu mertua -- yang mungkin setelah ini tidak akan dia rasakan lagi.

"Sebenarnya ibu berat sekali melepas kamu, Kania, ibu sudah terlalu sayang. Kamu itu sudah seperti anaknya ibu." Kata-kata Dania malah berhasil ciptakan lelehan airmata Kania. Menjalani hidup sebagai yatim-piatu sejak kepergian ayah dan ibu dalam tragedi kecelakaan, Kania sangat bahagia saat merasakan kasih-sayang Dania yang sudah seperti ibu kandung baginya. Namun takdir berkata lain. Ikatan pernikahan-nya dengan Dewa harus berakhir di tahun kedua.
Getir. Sepertinya bosan sekali Kania merasai hal ini.

"Bu, apa pernikahan Kania sudah benar-benar enggak bisa diselamatkan?" Kania mendongak. Menatap mata Dania. Perempuan tua itu hanya mendengkus panjang.

"Ibu tidak tahu, Nak. Tapi kamu harus paham satu hal, meskipun nanti kamu dan Dewa sudah resmi berpisah, jangan pernah anggap ibu sebagai orang lain, ya. Ibu tetap ibunya kamu. Datang dan jenguk ibu kapanpun kamu mau, Kania." Kania mengangguk tegas. Pilu sekali rasanya mendengar pernyataan Dania.

Dia bisa melihat di kedua mata ibu mertuanya, Kania merasa Dania tidak tega mengucapkan semua kalimat menyesakkan itu. Dia tahu itu. Ibu mertuanya adalah perempuan bijak. Bukan salahnya juga jika ingin segera mendapat cucu. Wajar jika perempuan sepuh itu merasa cemas. Pasalnya Dewa adalah anak tunggal. Dania sudah lama menanti cucu, tapi tak kunjung kesampaian. Kania di ujung rasa bimbang. Melepas Dewa, rasanya tidak akan sanggup. Kania masih sangat mencintai laki-laki itu. Namun melihat binar sendu di mata Dania, apa tidak egois jika dia menahan perpisahan dengan Dewa?

****

Bersambung ....

Holla, ada yang baca kah?
Masih lanjut lagi?
Stay tune ya.

Calangeyo pokoknya ♥️♥️♥️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top