13. Nestapa

Sound: Naf-- Ketika Semuanya Harus Berakhir.

Happy, enggak, updet dobel hari ini?
Happy baca. ❤️
.
.
.

Novel Love and Agreement stok tinggal 2 eks.
Yuk, yang mau gercep ya, siapa cepat dia dapat.







Konon pepatah mengatakan, 'kalau jatuh cinta, harus siap sepaket dengan patah hatinya.'
Agaknya kalimat ini sangat menggambarkan suasana hati Kania saat ini.
Dulu mereguk kasih bersama, kini meninggalkan luka hati menganga.
Jika kemarin jemarinya saling menaut erat, sekarang ikatan itu telah terurai lepas.
Kemarin merasa sedekat nadi, sekarang menjauh, ibarat matahari dan bumi.
Hari-hari lalu seperti bulan dan bintang yang saling berdampingan. Saat ini ibarat punuk merindukan rembulan.

Embusan napasnya menguar dengan panjang. Buku-buku jarinya bertumpuk di atas meja kaca. Tatapan matanya mengarah pada lawan bicaranya di kursi seberang. Meski ada kaca membias di kedua hazelnya, dia mencoba tegar dan kuat. Karena ada rapuh yang harus terlihat rapih.

Senyum dipaksa mengembang saat berhadapan dengan lawan jenis yang sempat menjadi tempat sandaran hati.

"Mas, belum terlambat buat mengatakan kalau kamu menolak berpisah, kita akan memulainya dari awal. Aku bakal lupain semua masalah ini, aku bakal jadi istri yang lebih baik lagi." Tatapan matanya seolah menghamba. Memohon setangkup harapan dari lelaki yang bahkan tak memberikan ekspresi apapun saat ini. "Mas Dewa, kamu enggak benar-benar ingin mengakhiri, kan?" tanya Kania sekali lagi. Masih ada sejumput ingin, barangkali Dewa akan berubah pikiran.

"Kita sudah sepakat Kania, maaf, tapi aku ingin segera mengakhiri." Jawaban Dewa ibarat tamparan bagi Kania. Seiring dengan kalimat yang meluncur dari bibir lelaki itu, Kania lakukan pergerakan pada sebuah kertas yang menjadi tumpuan tangannya di atas meja. Bunyi sobekan kertas mendominasi saat Kania merobek-robek kecil surat perjanjian konyol yang pernah dia buat untuk bertahan di sisi Dewa. Serpihan-serpihan kertas jatuh membentur lantai. Berserakan. Tak berbentuk lagi. Seolah refleksi hatinya yang hancur menjadi kepingan-kepingan tanpa makna.

"Kamu bebas Mas, enggak ada lagi perjanjian konyol, atau interupsi dari aku. Silakan ajukan gugatan cerai secepatnya, aku akan datang memenuhi sidang perceraian." Usai berkata Kania melenggang keluar. Meninggalkan Dewa yang masih terdiam tak menatapnya sama sekali.

Kania melangkah keluar dari gerbang rumah. Menyeret langkah sampai di jalan besar, Kania putuskan menyetop sebuah taksi offline yang sedang lewat.

Duduk di jok belakang dengan mata menatap awang-awang. Kania bahkan tidak membawa dompet atau tas. Di saku blusnya hanya ada ponselnya. Perempuan itu tertawa lirih--menertawakan jalan hidupnya sendiri. Taksi melaju lebih dari lima belas menit, sampai sopir bertanya, ke mana tujuan penumpang-nya ingin diantar. Perempuan itu membisu beberapa saat. Luka di batin memancar jelas di kedua matanya saat ini.

"Maaf Mbak, mau di antar ke mana?" Suara sopir taksi kembali menginterupsi. Kania tersadar dari angan. Tangisnya pecah saat itu juga. Semuanya telah hancur. Tak acuh pada interupsi sopir yang beberapa kali bertanya ada apa dan kenapa, Kania hanya ingin tumpahkan sesak.
Dua tahun yang berakhir dengan nestapa. Semua usahanya bertahan di sisi Dewa sia-sia.

Di antara semua hari yang pernah dilalui, Kania merasa saat ini adalah yang paling buruk. Katanya, saat diri sedang dalam balutan masalah, keluarga adalah rumah paling nyaman untuk pulang. Kania semakin terisak menyadari bahwa dia tak punya rumah itu. Dia seorang diri. Hanya sendirian.

Siang terik menyengat saat Kania putuskan turun di sebuah tempat. Sopir taksi dia bayar menggunakan uang virtual yang tersimpan di dompet digital aplikasi ponselnya. Kedua kaki-nya melangkah pelan. Tatapan matanya kosong. Rumah tempatnya mengadu--tempat keluarganya berkumpul hanya ada di satu tempat ini.

Kania terus berjalan menyusuri setapak kecil. Desir angin sesekali meliukkan hijabnya yang tersampir asal-asalan karena tak sempat merapikan. Memakai kulot serta blus rumahan, serta sandal tong, saat Kania pergi meninggalkan Dewa dengan membawa seluruh isi hatinya yang hancur berantakan.

Kania bersimpuh di tempat itu. Tangisnya kembali terdengar menyayat. Pada pinggiran gundukan yang dikelilingi keramik, Kania letakkan kepalanya di sana. Air terus menderas basahi kedua tebing pipi.

"Dulu, hidup Kania sangat bahagia. Saat masih ada ayah sama ibu di sisi Kania. Kenapa ayah sama ibu harus pergi lebih dulu?" Kania tak peduli pada beberapa orang yang lewat dan menatap aneh ke arahnya. Saat terpuruk begini, siapa lagi yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah seorang anak selain kedua orangtua. Sayangnya Kania hanya bisa memeluk mereka dalam bentuk pusara makam.

"Ibu, Ayah, Kania rindu sekali." Apa yang lebih menyedihkan dari keadaan Kania saat ini? Ketika dia tergugu dalam tangis, seorang diri di samping makam almarhum ayah dan ibu. "Kania bukan mau berandai-andai atau menggugat takdir. Tapi rasanya Kania enggak siap menghadapi semuanya sendirian, Yah, Bu." Tidak ada dekap hangat ibu lagi yang Kania rasakan seperti dulu saat dia sedang bersedih. Tidak ada lagi tepukan penyemangat dari ayah ketika Kania sedang merasa jatuh dalam langkahnya.

"Laki-laki yang berjanji akan menjaga Kania di hari pemakaman ayah dan ibu, dia bilang sudah enggak sanggup lagi berada di dekat Kania, Yah, Bu." Kania usap kasar air yang mengalir di wajah. Rasanya sakit sekali di kerongkongan. Pahit dan sulit dijabarkan dengan banyak kata.

Dua jam Kania habiskan di makam ayah dan ibu. Mengeluarkan semua sesak yang dirasakan. Kania kecup nisan kedua orangtuanya dengan takdzim, sebelum akhirnya beranjak dari sana saat surya bergeser dan hari berganti sore.

___

Jalanan ramai dan padat saat kaki Kania menyusuri trotoar. Sore hari menjadi waktu macetnya di beberapa titik karena lonjakan kendaraan dari pekerja yang baru pulang memadati setiap sisi jalan raya.

Kania sengaja matikan koneksi jaringan ponsel dengan mengubahnya menjadi mode pesawat. Sejak tadi ponselnya terus berdering. Tiga panggilan dari nomor Dewa. Lima panggilan masuk dari ibu mertua. Dua puluh tanda panggilan tak terangkat dari Dimas. Dan, yang terakhir, Indira menelponnya sebanyak lima belas kali. Kania sedang dalam mode malas memproduksi kalimat apapun. Dia sedang tidak ingin bicara apa-apa untuk saat ini.

Kania duduk di bangku besi sebuah taman bermain bagi anak-anak. Riuh pemandangan sore sama sekali tak menarik atensinya. Tatapannya mengarah ke segala arah; pada anak-anak kecil yang berlarian mengitari taman, pada sepasang suami-istri dengan menggandeng anak perempuan mereka yang sangat lucu, pada siluet matahari di atas awan yang mulai meredup, lalu pada kumparan lampu taman yang mulai menyala satu persatu. Semakin menambah semarak suasana sore hari. Namun tetap terasa sunyi bagi Kania.

Hilir mudik langkahnya kembali mengitari jalanan sekitaran. Tak ada tempat tujuan yang pasti. Kania putuskan memasuki area sebuah masjid saat azan magrib berkumandang. Kembali tumpahkan tangis dan sedih di antara sujud dan tengadah doa. Tidak meminta sabar, karena dia tahu tak akan sanggup. Hanya meminta ikhlas, karena kalau dia ikhlas, pasti sabar akan selalu mengikuti.

Pukul delapan malam Kania baru sampai di depan gerbang rumah. Tampilannya saat ini terlihat sangat kacau--wajah kucel karena terpaan matahari. Mata sembab, pipi dengan bekas airmata yang mengering, serta hidung memerah serupa hidung badut akibat kebanyakan menangis hari ini.

Melangkah memasuki pagar besi bercat putih itu, mata Kania langsung menangkap pintu ruang tamu yang terbuka lebar. Lampu utama menyala benderang.

Mengucap salam singkat dan samar-samar, Kania harus menelan kembali kenyataan pahit mendapati sosok yang tengah berbincang serius di ruang tamu. Tak ada tatapan seperti kemarin atau pertanyaan interupsi yang dilontarkan. Kania terus menganyun kaki tanpa peduli pada dua manusia berlainan jenis di sofa itu.

"Kania, dari mana kamu? Kenapa baru pulang?" Dewangga sontak berdiri mengejar langkah Kania.

"Mas, udah sih biarin aja, enggak usah diurusin calon mantan istri kamu itu. Nyusahin orangnya aja kerjaannya." Interupsi Fellysa menarik atensi Kania. Sontak dia menghentikan langkah. Kania berbalik ke arah Dewa.

"Dia benar, enggak usah sok peduli, Mas. Urus saja pacar kamu itu." Sarkasnya kemudian berlalu meninggalkan Dewa yang masih mematung di tempat. Kania menghilang di balik pintu kamar meninggalkan suara bedebum keras akibat bantingannya saat menutup pintu.

"Fell, pulanglah. Saat ini aku butuh waktu bicara dengan Kania."

Fellysa mendengkus tak suka. "Kenapa sih, Mas, kamu selalu ngusir aku setiap ada Kania."

"Sudahlah, kamu lupa kesepakatan kita? Aku mau kita dekat lagi, tapi kamu jangan sok ngatur apa mauku." Dewangga tak peduli protesan Felly. Dia melangkah menyusul Kania. Dewa merasa perlu bicara karena seharian ini hampir dibuat gila oleh Kania.

"Kania." Suara Dewa tak dihiraukan. Usai mengganti pakaian serta membasuh wajah, Kania memilih rebahkan diri ke ranjang. Badan dan batinnya baru terasa sangat lelah sekali. Mata Kania terpejam, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Suara ketipak langkah itu menjalar di syaraf-syaraf telinga Kania. Dewangga terdengar melangkah ke arahnya.

"Kania, aku tahu kamu belum tidur." Dewa duduk di tepi ranjang. "Kania, ibu telpon kenapa tidak diangkat. Kamu tahu gimana khawatirnya ibu sama kamu." Suara lelaki itu mulai tak santai. Kania menangkap sebuah protesan dari nada bicaranya.

"Keluarlah Mas, kepalaku pusing. Tidurlah di kamar sebelah," sahut Kania singkat.

"Aku lagi bicara sama kamu. Kenapa malah ngusir?" Decakan tak suka Dewa mencuat.

"Kalau kamu mau di sini, biar aku yang pindah ke kamar sebelah." Kania beringsut bangun. Kakinya akan beranjak tapi tangan Dewa mencekal lengannya dengan cepat.

"Kenapa tiba-tiba begini?" Telisik lelaki itu.

Kania hanya mengangkat kedua bahu. Tidak ingin lagi ada perdebatan. Ditambah kepalanya terasa sangat pening dan berat.

Kania lepaskan cekalan tangan Dewa. "Aku mau tidur. Aku lelah, Mas. Besok masih harus ke pengadilan buat ngurusin perceraian kita." Usai berkata Kania melenggang menuju kamar sebelah. Meninggalkan Dewa dengan rona tak suka serta tangan lelaki itu refleks meremas kasar puncak kepalanya. Frustrasi.

____

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top