10. Convinced
"Kalau ada masalah, yang diselesaikan itu harusnya masalahnya. Bukan hubungannya." Suara ibu mendominasi ruang tengah rumah Dewa. Siang ini Dania--ibunya Dewa datang berkunjung. "Kamu tahu kan, Wa, ibu ini sudah cocok sama Kania. Susah lho, cari perempuan lain yang paket komplit kayak Kania begini. Cantik, pandai ngurus rumah sama suami, lemah lembut, sopan sama orangtua. Kalau benar kamu mau pisah sama Kania, terus balikan sama Felly. Maaf Wa, ibu jadi orang pertama yang akan menentang." Prolog ibu masih berlanjut. Dewa hanya menunduk mendengar interupsi ibu, di satu sisi dia setuju tentang Kania seperti yang ibu jabarkan. Namun di sisi lain, ada satu perasaan benci mengakar di ceruk hati. Ibu dan anak itu bicara dengan nada pelan dan raut serius. Sedangkan Kania berada di dapur bersih, sibuk membuatkan minum serta camilan untuk ibu mertuanya.
Tangan ibu mengelusi pundak Dewa. Keduanya duduk di sofa ruang tengah, berhadapan dengan layar televisi 50 inci yang dibiarkan menyala.
"Kalau soal anak, jujur Wa, ibu juga sangat kepengin punya cucu. Tapi jangan jadikan alasan ibu buat kamu memutus hubungan sama Kania. Ibu enggak pernah keberatan menunggu sampai kalian berdua mendapat amanah anak." Kali ini Dewa menatap ibunya. Ada raut cemas memancar di kedua mata lelaki itu. Tidak ada bantahan, itu artinya Dewa mengakui semua yang ibunya katakan. "Kamu lupa satau hal, ibu dan papamu dulu juga lama menanti, sampai kamu hadir ke tengah-tengah kami." Dania menerawang. Dewa tak akan pernah lupa. Ibunya selalu berkisah, kalau dulu harus menunggu setidaknya tiga belas tahun baru hamil Dewa. Dokter memvonis ada endometriosis dalam rahim ibu, berakibat susah terjadi pembuahan.
"Kenapa ibu bisa berpikir begitu?" tanya Dewa. Ekspresi wajahnya mulai tak tenang. Mata kelabu lelaki itu bergerak ke segala.arah, tak berani menatap sang ibu.
"Jujur sama ibu, Wa? Kalau soal anak, ibu rasa bukan itu penyebab utama kamu mau pisah sama Kania." Mata Dania menelisik sang putra. Tapi belum sempat Dewa menjawab, suara ketipak langkah dari arah pantry membuat ibu dan anak itu menghentikan aktivitas obrolan mereka.
"Ibu, teh hangat tanpa gula, sama pisang bakar keju kesukaan ibu." Kania dengan senyum lebar, datang membawa nampan berisi kudapan dan secangkir teh. Meletakkan bawaannya di depan ibu mertua, kemudian ikut bergabung duduk di sisi Dania.
Dania mengambil cangkir teh. Perempuan paruh abad itu menghidu aroma teh yang menguar dari asap yang mengepul samar-samar. Dania menyesap pinggiran cangkirnya dengan khidmat. Kemudian mencomot pisang bakar buatan Kania.
"Tahu saja kamu, sudah lama ibu enggak makan pisang bakar," ujar Dania di sela kunyahannya. "Wa, ibu lagi pengin makan seafood yang dekat rumah kamu itu. Bisa tolong belikan, ibu mau makan siang bareng kalian di sini," lanjut Dania menatap putranya.
"Biar Kania yang belikan ya, Bu."
Dania menggeleng. "Ibu maunya Dewa yang pergi beliin. Sana Wa, belikan ibu seafood yang kayak waktu itu Kania bawakan ke rumah."
Dewa tak membantah. Lelaki itu pamit dan melenggang ke kamar. Mengambil kunci mobil lalu bergegas pergi mematuhi permintaan sang ibu.
Sepeninggal Dewa, Dania mulai preambule pada Kania. Perempuan itu mengambil tangan sang menantu, memberi genggaman erat seolah memberi penguatan.
"Ibu yakin kamu kuat bertahan buat Dewa." Ucapan yang sontak membuat Kania menoleh ibu mertuanya dengan tatapan bingung. Bukankah tempo hari malah Dania sendiri yang menyatakan agar Kania setuju saja saat Dewa minta berpisah. Kenapa sekarang berbanding seratus delapan puluh derajat.
"Bu, bukannya waktu itu ibu..."
"Ibu cuma ngetes kamu, Kania. Ibu mau tahu, seberapa gigih usaha kamu mempertahankan rumah tangga. Kenapa kamu tidak membantah kalimat ibu waktu itu, Nak?"
Kedua mata Kania mendadak diselubungi mendung mendengar pertanyaan ibu mertua. Yang dia pikir waktu itu, mengira Dania berpihak pada putranya.
"Tapi, Mas Dewa bilang, ibu sudah tidak bisa menunggu lagi, ibu mau cepat punya cucu." Mendung di mata berubah gerimis. Suara Kania mendadak serak saat jawabi Dania. Kerongkongan-nya terasa sakit.
Dania menggeleng lemah. "Ibu tidak pernah bilang seperti itu."
Kania mendongak, matanya bersitatap dengan manik Dania. "Lalu kenapa Mas Dewa bilang begitu, Bu?"
Dania embuskan napas panjang. Matanya yang dihiasi sedikit keriput pada bagian kelopak menatap awang-awang. "Ibu curiga ada seseorang yang sengaja menginginkan kamu dan Dewa pisah."
Kania membelalak mendengar pernyataan Dania. Selama ini tidak sampai berpikir ke arah sana. Kalaupun memang iya, siapa orangnya? Yang patut dicurigai hanya satu orang, Fellysa. Mantan pacar Dewa yang sekarang kembali dekat.
Kania bertukar pandang dengan Dania. "Apa mungkin orang itu Felly, Bu?" tebaknya.
"Bisa iya, bisa juga bukan, Kania."
"Kalau bukan Felly, siapa lagi, Bu?"
"Ibu tida berani mengatakan, Kania, belum ada bukti yang valid." Kata-kata Dania malah membuat semakin penasaran. Kania menggulir bola matanya ke segala arah, mencoba menerka kira-kira siapa orang itu, jika bukan Fellysa. Dania menepuk-nepuk pelan punggung tangan Kania refleksi rasa sayangnya. "Bertahan ya, Kania. Ibu yakin kamu kuat. Kalau kamu berpikir, ibu setuju dengan niat Dewangga, kamu salah. Sejak pertama Dewa membawa kamu untuk dikenalkan, Ibu sudah jatuh hati sama kamu. Ibu yakin kamu perempuan paling tepat untuk Dewangga."
Perasaan Kania menghangat mendengar penuturan Dania. Yang tadinya sudah pasrah, ingin menuruti maunya Dewa, sekarang semangat untuk bertahan mencuat kembali.
"Ibu yakin, Dewangga masih sangat mencintai kamu. Ibu bisa melihat di kedua matanya. Setiap kali membahas kamu, matanya memancar sedih, bukan benci."
"Kania juga sangat mencintai Mas Dewa, Bu. Enggak pernah sekalipun terbesit ingin berpisah. Memang salah Kania, belum bisa kasih anak buat Mas Dewa, tapi Kania janji akan berusaha sebaik mungkin, akan nurut apapun kata Mas Dewa, andai nanti kami bisa kembali kayak dulu."
"Ibu yakin kalian akan seperti dulu lagi."
Obrolan mertua dan menantu itu harus segera diakhiri saat deru kendaraan Dewangga terdengar parkir di pelataran. Lelaki itu memasuki rumah dengan menenteng bawaan di tangannya.
Kania menyambut Dewa dengan semringah senyum. "Mas, mana pesanan ibu, biar aku siapin ke piring." Kania ambil alih kantung kresek putih berisi olahan seafood pesanan Dania.
Di meja makan Dania sibuk menata piring serta mengaduk nasi yang masih mengepulkan asap karena baru diangkat dari rice-cooker.
Kania bergabung di sisi Dania. Meletakkan mangkuk besar seafood yang baru dituang. Aroma sedap menguar dari olahan pedas-manis berisi lobster bercampur kerang dan jagung manis. Selain itu Dewangga juga membawa kepiting saus padang, yang ini adalah favorit Kania.
"Ayo makan, ibu udah lama enggak makan seafood," titah Dania.
"Jangan banyak-banyak Bu, ingat kolestrol ibu." Dewa menginterupsi. Ibu mengibas tangan ke udara, tak peduli dengan kata-kata Dewangga.
"Ibu udah rajin olahraga, Wa, tenang saja. Sesekali makan berat enggak masalah, kan. Iya kan, Kania." Dania mengerling ke arah Kania. Menantunya itu tersenyum lebar.
"Benar Bu. Mas, kamu jangan terlalu mengekang ibu, udah lama ibu enggak makan seafood. Kamu juga, kan, makan yang banyak, Mas." Tanpa diminta, Kania menyendokkan banyak nasi dan lauk ke atas piring Dewa. Lelaki itu tak mengelak. Kania perhatikan Dewa mulai melahap isi piringnya usai merapal terima kasih singkat. Kania tersenyum lembut. Pemandangan yang lama tak ditemui. Duduk bertiga di meja makan, diselipi candaan dan atmosfer penuh hangat. Kania harap semoga pemandangan seperti ini tak akan cepat berlalu. Mengingat kata-kata ibu mertua, Kania ingin kembali memulai perjuangannya menggenggam kembali hati Dewangga. Dengan segenap hati dan keyakinan yang ada, serta dukungan dari Dania - ibunya Dewangga.
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top