Prolog
Lari, lari, pokoknya, lari, Tolol! Kaki gue yang mageran, tolong lebih cepat lagi, plis!
Tarikan napas cowok itu tak teratur. Jika melihat kenyataan normal, tak ada hal menakutkan yang membuatnya harus berlari sekencang itu.
Bel menandakan waktu ujian selesai sudah berdenting sepuluh menit yang lalu. Secepat kilat, Lindo, cowok yang kalang kabut—mirip dikejar anak tuyul itu segera ngebut meninggalkan kelas. Keluar sekolah dengan buru-buru.
Tidak, Saudara. Lindo tidak kebelet boker atau pun buang air. Ini jauh lebih parah dari dua itu.
Urat-urat lehernya mulai keluar tatkala imajinasi akan hal yang ia takuti muncul satu per satu. Gadis itu. Ya, dia hanya berlari kencang agar tidak melihat wajah gadis itu. Ia terus menghindar dan lari agar tidak dikejar olehnya.
Kaki Lindo mengerem mendadak. Ia hampir tergelincir jika tidak ingat kalau tapak sepatunya sudah aus—ingatkan ia untuk membelinya lain kali, kalau punya uang. Sekarang, ada masalah yang lebih besar dari sebuah tapak sepatu.
Jalannya.
Jalannya untuk menghindari gadis itu sudah tak ada lagi. Ia bertemu dengan gang buntu. Lindo kembali panik, kepalanya berputar cepat melihat kiri-kanan. Nihil, tidak ada ....
“Nggak ada jalan balik, ya, Sayang?”
Deg!
Enggak, Sayang, enggak.
Lindo berdecih. Suara itu! pemilik suara itu datang lagi—untuk kesekian kalinya. Gadis manis dengan dandanan natural, namun punya tatapan bak singa betina itu berlenggak-lenggok mendekatinya.
“Mis, kita ini udah gak ada hubungan apa-apa!” pekik Lindo patah-patah. Kakinya kesusahan untuk berdiri. Ia takut lagi, takut jika Miskah—gadis yang jadi sumber ketakutannya itu—mulai mendekat dan merayunya.
Pluk.
Tak ada tamparan maupun perbuatan kasar lainnya. Miskah menghempaskan tubuh moleknya pelan pada Lindo yang kesusahan bernapas. Dipeluknya cowok yang pernah menjalin hubungan dengannya itu.
“Lin ...,” lirih Miskah manja. “Temenin gue, ya. Lo bilang, kita tetap bakal jadi temen ‘kan? Walaupun kita gak ada hubungan apa-apa lagi?”
Mampus! Mampusin aja gue, Tuhan! Kenapa gue bisa-bisanya bikin kesepakatan bodoh itu, dulu?! Cowok itu berusaha bernapas dengan benar saat Miskah memeluknya begitu erat. Harusnya ini jadi penglaman romantis yang begitu menyenangka, bukan?
Soalnya, ya, sudah dikejar cewek, pelukan pas matahari mau terbenam pula. Orang gila mana yang akan menolak rezeki macam ini?
Lindo, tentu saja. Orang gila itu adalah Lindo. Ia lebih memilih menghilang diculik alien dari pada harus dipeluk mantan pacar yang selalu mengekploitasi ia sebagai mainannya. Lindo tak bisa menolak, malahan, rasa bersalah memuncah saat Miskah menatap dua matanya dengan pupy eyes.
“Hm,” balas Lindo kurang sudi. Niatnya untuk move-on turun drastis.
***
Matahari hampir terbenam. Dua anak manusia itu duduk disebuah ayunan. Yang gadis meletakkan kepalanya di bahu si pria. Miskah begitu menikmati acara manja-manjanya dengan Lindo.
Jemari lentik mungil itu menelusuri jari-jari Lindo yang kini benar-benar muak. Lindo ingin pulang, ia tak mau lagi melihat wajah Miskah. Lindo tak mau ... dia tak mau.
Dia tak mau tersakiti lagi. Sudah cukup ia bermain dengan bayangan di mana Miskah datang dan minta balikan dengannya.
Cukup. Siapa pun, tolong singkirkan lonte ini ....
Cup!
Beban bahu Lindo terangkat tatkala seorang cowok asing menarik Miskah, melumat bibir gadis itu cukup lama. Lindo memalingkan wajah. Kenapa pula dia harus jadi nyamuk saat dua orang tengah bermadu kasih?
“Aku pergi dulu, ya, Lind. Ini, pacarku udah jemput,” ucap Miskah mencolek dagu sang pacar. Lindo mengganguk sembarang, mereka berdua terlihat agak mirip. Membiarkan dua orang itu pergi.
Ia menghembuskan napas, bukan napas terakhir.
Plis, lo mati aja deh, Mis.
***
Cerita ini ditulis oleh Hanakiroka dalam rangka #TeenfictionSeries BBI.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top