Otak Kosong, Ngedance Kerjanya (d)

Pagi-pagi setelah ketindih, malah dikasih sarapan matematika. Ojan buang napas berkali-kali; di X-5 itu, dia tak menemukan grup belajar yang cocok. Valdo sudah pasti sendiri—terlepas tugas individu atau kelompok. Ero-Lindo di-booking anak lain.

“Ojan, sama gue, sini!”

Yak, begitulah akhirnya. Ia terdampar di meja dan kursi yang berdekatan dengan Aifa. Kalau dipikir lagi, ini simbiosis mutualisme; Ojan hanya numpang nama, karena Aifa jawara. Aifa ... mungkin ia bisa menatap wajah Ojan lama-lama, sambil senyum. Tanpa ingat insiden semi-pelecahan harga diri kemarin.

Well, mau pindah pun, Ojan segan. Belum juga protes, celurit di pinggang guru matematika hampir melayang.

“Eh lo ngerjain yang nomor berapa?” Aifa sembur begitu saja, sengaja bincang dengan Ojan. Hanya ini waktu efektifnya untuk PDKT.

“Tiga.”

“Liat-liat. Oh, itu, ngertikan? Penyederhanaan dari ‘9u-7i>2(3u-3i)’ ... serius, gak tau?” Ojan menggeleng, Aifa mencorat-coret kertas. Ia tersenyum, memamerkan hasil. “Nih, itu hasilnya.”

“Hm ... ‘i<3u’?”

“I love you too, haha.” Aifa sikut pelan ujung bahu Ojan saat dua temannya sibuk ‘cia-cie-uwu’. Pacaran di tempat lain, Setan. Busuk hati mereka ternyata. 

“Nah, eta, ‘median’ artinya apaan?” Lepas dari kendala, Ojan ditimpa tangga berikutnya. Ia berdecih, Aifa usap punggungnya, lembut, terkekeh gemas dengan raut bingung si gebetan. “Median itu nilai tengah dari salah satu ukuran pemusatan data. Sama kayak lo; median di hidup gue ...,” lirih Aifa menekan dada Ojan. “Karena lo berada di tengah hati gue.”

Ojan bungkam. Oke, dia memang baper, tapi pura-pura gedeg. Mirip manusia zaman sekarang; kelakuan rendah, gengsi tinggi. “Tolong, jangan berharap. Gue sekali pun gak punya rasa sama lo.”

“Gak mempan, Sayang. Punya rasa atau gak, gue akan terus berusaha.” Aifa cekikan menulis soal selanjutnya.

Aifa tuh ambisius. Kalo lo gak nolak tegas, ya, dia gak akan nyerah.

Kalo nge-gay, siangan aja. Masih pagi ini.

“Aifa.” Ojan berbisik tepat di telinga gadis itu. Deru napasnya menggelitik tengkuk Aifa yang kini senyam-senyum gugup. “Gue gay.”

***

Dari semua part, ini kalinya Ojan punya mood yang superbagus. Tebar bunga dan senyum sana-sini. Kantin yang ramai sedikit adem lantaran Ojan tak lagi banyak ulah; makan dengan tenang. Bahkan Valdo menghentikkan acara baca buku demi memperhatikan Ojan yang sedikit pun tidak heboh.

“Keselek apa dia?” Itu Lindo, menyikut Ero. Mereka makan berempat di satu meja, kebetulan yang membagongkan.

Sukarela, Ojan ceritakan tentang hal yang membuat hatinya resah sudah punah. “Tuh cewek gak akan ngejar gue lagi, dijamin.”

“Bodoh.” Valdo geplak ujung kepala cowok di sebelahnya. “Semakin bohong, maka akan semakin ketahuan. Di Lara Bangsa juga gak ada yang belok, kalo dia nanya cowok lo, gimana?”

“Gak akan, cewek pasti ilfil. Gue yakin!”

“Serah, gak ikut.”

“Ojan.” Baru juga dibicarakan, sigungnya langsung datang. Dengan wajah sangat berani, Aifa tatap Ojan tajam. “Kasih tau gue, siapa cowok yang bikin lo doki-doki? Gue mau bersaing secara sehat dengan dia.”

“Pft.” Demi eksistensi yang terpaksa direndam agar sifat cool-nya tak pergi terpendam, Valdo rela diam tersedak kuah bakso superpedas di hadapan teman se-karantinanya, dengan kerongkongan serasa di Jahanam. Pedes, anjim.

“Anjim, mampus.” Lindo berbisik tepat saat Valdo berusaha berilusinasi. Ero pura-pura tak kenal mereka, menulis puisi sambil makan kegiatannya kini.

“Si-siapa pun orangnya terserah gue dong. Lo bakal kalah saing, silakan mundur.” Beraninya pula Ojan membuat si matematikawan gila itu makin terprvokasi.

“Kalo gitu gue gak percaya. Lo cuma omong doang, artinya bohong.” Sepersekian detik bilang begitu, Aifa langsung nyerempet duduk di sebelah Ojan, membuat bokong Valdo yang di sebelah kananya hampir tak menyentuh bangku. Tak ada pilihan lain, Ojan menetralkan aliran napas, ditariknya tangan Valdo. “Gue pacarnya.”

Fak kuadrat. Mimik Valdo sudah seakan mengajak Ojan ‘tuk masuk jahanam bareng. Si gila dance memohon dengan raut wajahnya. Sebentar doang, cuma bercanda. Aifa bingung, berdiri, ia menteskan air mata. Menarik tangan Valdo, menyalaminya.

“Ck! Lo emang ganteng sih! Mana bisa gue saingan sama cowok. Sialan.” Dia tahan suara yang mulai bergetar. Tersenyum, diremasnya kuat telapak tangan Valdo. “Jaga Ojan buat gue. Nyakitin, gue rebut!”

Valdo manggut saja. Aifa yang bahunya naik turun, malah mendorong Ero di bangku depan Valdo-Ojan. Dia duduk di sana. “Gak nyangka mereka pacaran.”

“Heh, jan keras-keras.” Cepat saja Ojan lepas ia yang memegang tangan Valdo. Amit-amit anjir. Kalau bisa pun, dia tak mau harus pura-pura belok hanya demi menolak gadis di depannya. “Fa, lo gak taukah, ada orang yang ngejar lo selama ini?”

“Mana ada. Gue gak nemu. Gue kan dulu maunya cuma lo.” Dilirknya Valdo sekilas—takut kalau cowok itu mengamuk karena cemburu. “Eh, kalo pacaran berarti harus mesra dong. Kok gue gak liat kalian mesra-mesraan?”

“Eh, Anjin—” 

“Gak boleh gitu, Fa. Namanya privasi, cukup mereka yang tahu.” Oskar, bisanya datang dengan semangkuk bakso, diletaknya di depan Aifa. Langsung habis cepat olehnya—tak sampai lima menit. Dia terkekeh. “Makasih, Bang. berapaan nih?”

“Gue traktir.”

“Prank, pasti. Ultah gue dah lewat.” Gemas, Oskar sentil kening Aifa, ditariknya pelan lengan gadis itu. “Pergi sana, jajan puas-puas, ‘ntar gue yang bayar.” Seperti balita, Aifa nyembur begitu saja. Membelah kerumunan kantin. Akhirnya ada yang ngerti psikis gue.

Oskar tepuk pelan bahu Ojan. “Makasih udah tegas. Walau cara lo gak elit, tapi cukup ampuh untuk bikin Aifa berhenti ngejar. Jujur, gue kasihan liat dia nangis mulu, ngemis ke elo.”

“Makanya, tembak sana. Lo nunggu apa? Kiamat?”

Oskar terkekeh, dijitaknya ujung kepala Ojan. Memperbaiki kacamata, ia duduk di sebelah Ero, menatap Ojan-Valdo gantian. “Lo berdua apakah benar-benar niat ngejalin hubungan ini?”

“Ya, nggaklah, Babi!”

***

Love Challenge kemarin berjalan lancar.

Empat finalis berhasil menyelesaikan laporan mengenai jalan-jalan bersama gadis perlambang cinta dengan baik. Lindo yang masih menulis speech sudah makan waktu banyak, Valdo bahkan meremas kertas berkali-kali—mereka di ruang latihan—mengotori lantai. Ero menggelitik pinggang Ojan yang gatal pengen nge-dance, namun masih pusing dengan garis besar pidatonya.

“Jan, kalian serius pacaran?”

“Tolong, jangan bahas itu lagi.” Valdo menekan nada suaranya. Ojan malah teriak-teriak. Mengurut pelipis, mengambil cermin. “Eh, min, gue yang paling ganteng, ‘kan? So pasti, dong. Yang cocok sama gue? Ya gue dong, haha!”

“Cermin, siapa yang super-duper ganteng di dunia ini? Ya—”

“Iya, elo.” Lindo masuk dengan segunung kertas tinggi, direbahkannya ke sisi Ero. Duduk bersila. “Ini buat apa sih?” Ikut menulislah ia saat Ero cengar-cengir, menelisik isi kertas yang ternyata adalah kumpulan dokumen lama tentang puisi cinta.

“Jan, gue malah ragu kalo Aifa behenti ngejar lo.” Lindo beralih ke Ojan yang malah nge-dance—persetan dengan Love Speech beberapa hari lagi. Dia menggeleng, lantas berterima kasih. “Kalo aja lo gak jadi pengganti, dan dia gak sakit, mungkin gue udah terjun aja ke Jahanam, deh.”

"Bareng Valdo," bisik Ero, langsung dicekik Valdo. 

Asyik dengan kegiatan masing-masing, pintu di dorong kuar. Yuno berlari, menyalami Ojan dan Valdo berkali-kali. Matanya berkaca seperti anjing pomerian, menahan haru.  “Gue tau itu berat, tapi, selamat, ya. Semoga kalian samawa.”

“GAK GITU KONSEPNYA, HEY!”

***

1108 Words

Funfact: 1. Uta ikut LA karena diajak Yuno, yang mana saat itu mengiminya nasi kotak gratis. 2. Ojan pernah diberi mixtape musik dance, saat ia tonton di komputer, ternyata AV. 3. Wajah Ero polos, berkebalikan dengan isi otaknya.

Terima kasih sudah baca, semoga menghibur dan dpt dipetik hikmahnya (????) ya, kalo gak ada, yang jelek dibuang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top