Otak Kosong, Ngedance Kerjaannya (c)
“Plis, pergi! Gue gak mau liat lo lagi, Mis.”
“Lo sendiri yang bilang kita teman. Masa’ gue ngehindar gitu aja dari teman?”
Sekembalinya Ojan dari UKS buat jemput P3K, ruang latihan malah dihuni dua orang mantan kekasih yang cek-cok. Baru juga hidup Lindo separuh damai, Miskah merangsek masuk, merusak tatanan hatinya yang mantap buat move-on.
Ambyar, mampus.
Tahu diri, Ojan pilih buat nguping di luar saja, matanya juga tak lagi menemukan Aifa di sana. Syukur deh. Otaknya berpikir demikian di saat batinnya ... sedikit tidak nyaman.
“Miskah, gue nggak mau jadi temen lo lagi. Kak Yuno udah ngasih peringatan, tolong hargai gue!” Sedikit Ojan apresiasi nada suara Lindo yang dipaksa tegar, saat tubuhnya berusaha 'tuk tak bergetar. “Lind, plis ... gue cuma punya lo. Kak Yuno ...,” lirih Miskah meneteskan air mata.
Buaya atau tidaknya buliran kristal bening yang mengalir dari kelopak ranum Miskah, Lindo tak bisa menahan dirinya untuk tak iba. Jujur, ia ingin meregkuh Miskah, masuk pelukan, menenangkan gadis itu.
Tolol, apa?! Udah bener lo ngejarak kemarin, pokoknya gue gak akan denger hati lagi! Lindo mendorong pelan Miskah keluar. “Pergi,” usirnya dingin. Gue nggak mau jatuh lagi, sakit.
Tangis Miskah pecah, ia berhambur keluar ruang. Menabrak bahu Ojan yang kaget keciduk nguping. Miskah menatapnya sinis—kilatan ingin membunuh, namun bukan untuk dirinya. Gadis itu lari menjauh tanpa sepatah kata, saat Ojan masuk ke dalam. “Aifa di mana?”
Desahan napasnya lebih berat. “UKS.” Diraihnya gitar, dipetik pelan—nada yang muncul malah keriting. Ojan manggut. “Lo gak papa? yang tadi itu ....”
Lindo bungkam, petikan gitar dengan nada tak enak mengisi ruang, menggeleng. “Tolong, pergi.”
Nggak biasanya Lindo semarah itu.
Sepihak, di sore nan dingin, Ojan tinggalkan pangeran move-on sendiri. Mendorong pintu UKS, matanya bertemu Aifa yang nyengir—memekik saat diobati Oskar. Tak heran, Oskar berkewajiban mengurus anak olimpiade matematika—sendirinya toh doi mantan anak matematika.
“Wah, bener Bang! Gue dicariin Ojan!” Aifa menyeret kakinya patah-patah hanya untuk mendekat pada Ojan.
Kenapa rasanya aneh? batin Ojan nelangsa, antara pergi dan lari tanpa pernah memberikan obat di sana. Senyum simpulnya terkembang. “Udah diobat Kak Oskar, kan? Gue—”
Aifa memeluknya, dari belakang, dengan kaki diperban—bukan hanya terkilir, namun juga pendarahan. Pelan, Ojan rasakan punggungnya hangat, basah akan air mata gadis yang terus mengejarnya. Tak Aifa beri ruang Ojan 'tuk bergerak, saking eratnya pelukan itu.
“Aku ...,” lirih Aifa mulai manja—Oskar menatapnya iba. “Aku CH3COOH sama kamu.”
“Hah?”
Tawa Oskar mengisi ruang—begitu ngakak dan tak berhenti selama sepuluh menit. Diusapnya air mata haru, sedikit karena tawa. “Dahlah, Jan. Lo temenin aja dia bentar sini. Gue mo keluar, Uta minta beliin seblak.”
“Gak, biar gue aja.” Realistis, Ojan dorong tegas Aifa menjauhi tubuhnya. Hatinya sudah mantap; sejak awal memang takkan berniat jatuh cinta di tahun SMA—kepada siapa pun, selain dirinya.
“Ojan ....”
“Fa, tatap mata gue.” Sepersekian detik, pikiran Ojan berubah—sesaat. Ditahannya dua bahu Aifa pelan. Sadar atau tidak, ia cukup nekat untuk melakukan hal yang takkan pernah dipikirkannya.
Cup.
“Puas? Gue gak bisa beri apa pun selain itu. Tolong sadar diri, lo gak pantas buat gue.” Pintu UKS tertutup rapat, saat Ojan menggosok bibirnya kuat-kuat karena berani sekali menyosor si gadis matematika.
Cukup shock berat, air matanya mengalir lagi. Berhamburlah ia ke pelukan Oskar. “Ke-kenapa ... Ojan, kenapa ... Bang, apa gue ... harus berhenti ...? GUE HARUS GIMANA, ANJI—”
"Santai, santai ...."
Oskar usap punggung gadis itu lembut, balas mendekapnya hangat, di ruang UKS yang dingin akan AC. Ditahannya air mata yang ingin mengalir. Jangan nangis, Fa. Gue ... gue bakal merasa sakit kalo lo nangis demi dia ....
***
Baru juga Ojan mau dorong pintu kamar, Oskar udah merangsek masuk. Membantingnya ke kasur, lantas menindih begitu saja.
“WOY-WOY, GUE EMANG SELALU FALL IN LOVE SAMA DIRI GUE SENDIRI, BUKAN BERARTI GUE BERANI NGEJALIN CINTA TERLARANG, YA, KAK. GUE GAK SEPERTI YANG LO DUGA!”
“Hah?” Bisa pula Oskar beraksi setenang itu setelah menghancur-ratakan jantung Ojan yang masih ketindih di bawahnya. Satu hal yang buat Ojan gamang; pintu kamar masih terbuka. Oskar tersadar, diperbaikinya kacamata, lantas menarik diri. Duduk di sebelah Ojan. “Maaf, gue gak bermaksud.”
“Tau—ANJIR?!” Belum juga Ojan bangkit, Oskar udah balik lagi ke posisi semula; menindihnya, hampir. Ujung hidung dua cowok itu sedikit bergesek. Ojan menutup mata rapat. Gue gak mau diperkosa!
“Gue suka Aifa!” aku Oskar pada orang yang salah—dia tak peduli reaksi Ojan, sebaliknya tuh cowok malah mukul dada Oskar, minta menjauh. “Serah-serah! Ambil dah tuh cewek. Sekarang, ngejauh dari gue!”
Bukannya menarik tubuh, sepertinya Oskar sudah 'pewe' dengan posisi ambigu itu. Ojan bernapas dengan susah. “Percuma. Dia sukanya ke elo, Jan. Aifa tuh ambisius. Kalo lo gak nolak tegas, ya, dia gak akan nyerah.”
“Lo lihat sendiri ‘kan? Gue udah mempermalukan dia kemarin?”
“Cuma tubuhnya, belum masuk ke mental.” Tarikan napas Oskar berhasil menerpa wajah Ojan. Weh, bau mint ....
Perlahan, masih dengan posisi yang ambigu, Ojan bersuara. “Gue—”
“Kalo nge-gay, siangan
aja. Masih pagi ini.” Hal yang Ojan sesali; Pintu terbuka lebar, tentu saja Valdo dengan bukunya dapat menyaksikan adegan tindih-tindih di ranjang begitu. Ojan langsung menendang selangkangan Oskar, persetan dengan teriakannya.
“Ha-ha-ha? Gak, gue bukan cowok kayak gitu, sumpah, demi alek!”
***
857 Words
Funfact; 1. Plis, Ojan gak seperti yang kalian duga 2.Oskar benci matematika dulunya. Setelah mendekam di rumah tanpa sinyal wifi, ia kepo mengerjakan PR matematika kakaknya, eh, ketagihan dong. 3. Meski gak banyak ngomong, Valdo hobi nguping.
Terima kasih sudah baca, jangan lupa Vote comment, dengan demikian kalian sudah menghargai mata panda Ken yang setia bertengger demi naskah ini, haha ^^
Pertanyaan kali ini; CH3COOH apa ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top