Otak Kosong, Nge-dance Kerjanya (a)

Ero sudah ia kenali sejak dalam buaian—Uta masih ingat; dialah yang mengajari Ero menulis. Setelah dua tahun tak bertemu, malah berseru. Menahan haru, ketawanya tumpah. “Boleh, gue anter ini dulu,” ujarnya masih sama dalam penglihatan Ero.

Natasha Utami, tujuh belas tahun Ero mengenal banyak perempuan ... hanya satu yang selalu mengikat hatinya.

Tersenyum cerah, Ero bantu yang dua tahun lebih tua darinya mengangkat berkas. “Habis ini ke ruang briefing, fix?”

“Beli chiki dulu.”

Berjalan beriringan, muncul kilas saat masih bocah. Tertawa bersama tanpa tahu arti luka karena rasa yang tak terutara. Cukup susah berjalan dengan gebetan dan perasaan menggebu.

“Lima puluh sembilan menit, dan kalian baru sampai, bagus.” Ocehan Yuno mengisi briefing lanjutan. Finalis berhasil menemukan gadis perlambang cinta mereka. Love Challenge pertama hampir setengah persen jalan.

Yuno jejalkan bangku dengan pinggul, mengambil papan nilai. “Ero Kayr Ikh, silakan maju. Presentasikan makna cinta dari gadis yang kamu bawa!”

***

Sama seperti siswa lain yang bukan finalis LA, semua anak Lara Bangsa tinggal di asrama. Asrama hanya opsional, mengingat Lara Bangsa terpencil dan sulit ditemukan.

Di kantin khusus finalis LA, sendirian Lindo merenung sambil menyuap nasi. Jam makan malam sekarang, dan dirinya tak punya kawan. Ero-Valdo tak jelas kabarnya, sedang Ojan lebih peduli perawatan kulit ketimbang mengisi perut.

Love Challenge menguap beberapa jam yang lalu, namun debar jantungnya masih belum berhenti untuk menggila. Tangan yang menyuap nasi malah berkeringat di cuaca dingin. Lindo nyengir, bicara soal challenge, dia membawa satu gadis yang menurutnya menarik; rating S++.

Wajahnya juga mirip Miskah.

Menurutnya, cinta adalah saat ternyaman orang dengan individu yang tak ia kenal. Hanya dengan memandang wajahnya—mampu membuat kita bahagia.

Lindo terkurung, itu terlintas spontan di benak Yuno saat penilaian. Kacamata Ketua melihat, Lindo masih belum lepas dari masa lalu. Membawa gadis mirip Miskah adalah rencana konyol, jika ia benar-benar ingin move on.

Ojan malah keras kepala; tak ada satu gadis yang ia bawa.

Pandangannya berkata, ‘cinta adalah ketika menyayangi dirinya, tanpa harus membawa orang lain.’ Dengan spidol merah, Yuno beri Ojan catatan;narsistik makin kambuh, dua minggu lagi di-prediksi peringkat terakhir. Boleh didepak.

Terakhir, cukup mengejutkan, Valdo, bisa-bisanya membawa gadis—

“Yang gamon, gue duduk sini, ya.” Dengan cengiran khas, Ero nyerobot duduk di bangku depan Lindo. Ojan—masih bawa cermin, selesai perawatan—duduk di sebelahnya. Baiknya, ia tak membahas gadis yang dibawa Valdo.

“Valdo mana?”

“Biasa.”

“Biasa?” Memeras otak, Lindo berusaha untuk keluar dari celah pikiran negatif. “Coli?”

“Heh, mulut, Cyin!” Ero tersedak kuat. Tak kuasa menahan logat Ojan yang bisa-bisanya jadi bencong. “Lo cowok, Pe’a!”

“Terus? Gue ganteng, ‘kan?” Senyam-senyum, menata rambut, memeriksa barisan kuku yang terlihat berkilau dari pada lampu gantung kantin. Makan malam Ojan acuhkan—sinyal lapar Uta selaku ketua konsumsi merasa ada pihak yang belum menyentuh konsumsi.

“Valdo bukan tipe yang mudah ngebaur. Biarin aja.” Tumben betul Ojan bisa bicara benar—selain kalimat narsis.

Makan malam diisi dengan berbincangan tiga cowok itu di satu meja. Lindo lega; pelariannya ternyata tak seburuk itu.

“Lind,” celutuk Ero tiba-tiba, “apa iya, motivasi lo ikut LA ... cuma lari dari cewek?”

Deg!

***

“Nomor lima, Ro?”

Usai sekolah, mereka dilempar ke kawah dua puluh soal abstrak LA. Kalau kata Yuno yang  membekas di benak Lindo; ‘Kita tes kedua ya. Masuk ‘Tes Cinta’. Tenang, cuma isi kusioner doang. Gak memandang salah-benar.  Enam puluh menit, silakan dimulai’.

Yuno tak mempermasalahkan mau dapat dari mana jawaban tes. “Yang penting ngisi. Mo nyontek, liat buku, nanya lewat mic pengumuman sekolah, gue gak peduli,” katanya mengangkat tinggi spidol merah.

“Sori gak jawab, ‘kan harus sesuai dengan apa yang lo yakini. Ini ‘Duta Cinta’, bukan olimpiade MTK. Santai,” ujar Ero di ruang latihan. Tes sudah berakhir. Tak benar-benar satu jam durasi mereka mengerjakan. Hanya makan waktu dua puluh empat menit, saking cepatnya.

“Udah, gak usah pusing. Sekarang, lo pikirin, siapa orang yang pantas jadi pasangan hidup gue?” Meliukkan badan kiri-kanan, dengan mata fokus melihat cermin besar di depannya, Ojan asyik nge-dance. Cermin selaku temannya tengah menonton di tepi ruang, dekat tas, sisi kiri Lindo.

Ero terkekeh, tangannya bergerak menulis puisi essay—sudah tercipta seratus lembar dan ia masih terus membuat jenis lain.

Ruang latihan; peserta diharap fokus mengembangkan bakat. Jika LA adalah ‘sekolah’, maka ‘mengembangkan bakat’ tak jauh beda dengan ekskul. Jadi nilai plus.

“Gue keluar,” pamit Ero menekan tombol hijau di ponsel. Suaranya hilang dari balik pintu seiring panggilan terus menyeru. Hal yang Lindo takuti terjadi; ke-awkward-an dengan Ojan.

Tak tahu harus mengembangkan bakat apa, Lindo terus melihat Ojan.

Dance, hanya itu hal yang bagus jika bicara soal Ojan. Terkenal gila menari semasa SMP, kata Ero begitu. Lihat, gerakan Ojan jauh dari kata kaku. Satu-dua kali bibirnya tertawa, mengagungkan rupa wajah dan lekuk tubuhnya nan indah.

Valdo memilih bekerja sendiri, meski tak satu ruang dengan yang lain, semua tahu; Valdo selalu fokus mengembangkan skill debatnya, menulis pidato, apa pun yang berhubungan dengan kebenciannya akan cinta. Dia hanya keluar kamar jika butuh.

Lindo ... bakat tak punya, niat mencari tak ada. Sedikit merasa bersalah, hanya dia orang yang bermotivasi menjadikan LA sebagai ajang kabur dari mantan—ia akui itu pada Ero saat makan malam.

Sedikit terusik, di lagu kelima, Ojan menarik Lindo gabung dengannya. “Kita battle. Gue gak mau sendiri, freestyle, let’s go,” ujarnya langsung mulai menari dengan koreo rumit. Lagu baru berputar, dan Lindo masih tak tahu harus apa.

“Ikutin aja gue.” Ojan malah jatuh mengajar Lindo. Walau patah-kaku, Lindo cukup senang. Matanya terbuka lagi; Ojan tak segila itu pada dirinya. Boleh jadi hanya berusaha untuk menghargai diri dengan bersikap dan menampilkan apa yang benar ia cintai.

Tak terasa sudah lagu ke-sekian, makin gencarlah mereka ciptakan koreo baru. Kesenangan terhenti saat seorang cowok masuk, dengan wajah keruh dan muka basah.

“Gaes ....”Ero datang, dengan tangis di berserak.

***

942 words

Makasih udah baca, serius, ini saya nulisnya nahan ngantuk, padahal siang “). Maaf kalo ngebosenin, LA saya lahirkan untuk membuat kita terlarut dalam bosan dulu, karena kalo saya lemparkan banyak teka-teki, kita semua bisa stroke ”)

“Funfact belum ada ya ^^

Vote dan comment nya ya ^^, jangan lupa mampir juga ke akun saya @Hanakiroka untuk lihat perkembangan karya yang lain. Saya rekomendasikan deh, di sana banyak cerita untuk yang suka komedi-teenfict. Genre lain juga ada dong. Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top