Mantan Tak Dapat Diraih, Tes Event Tak Dapat Ditolak
“Yang bego, duduk sana!”
Lindo menoleh. Refleks menunjuk dirinya sendiri. Sebelum amarah panitia membuncah dan mengusir dirinya, cowok itu memilih duduk di kursi yang tersisa.
Lindo mencoba untuk meresapi apa yang terjadi di aula.
Sudah duduk, kedua tungkainya refleks berdiri lagi karena beberapa orang ber-almamater putih—tentunya beda warna dengan panitia rendahan lain. Hanya tiga orang yang mengenakan almamater putih, berjalan gagah dari pintu luar, naik panggung di depan sana.
Lindo menganga—tanpa sadar. Mata hitamnya menatap senior, kini berdiri mantap menghadap peserta yang jumlahnya seperdua lautan murid baru yang masuk Lara Bangsa.
Cowok dengan almamater putih yang kedua lengannya dilipat hingga batas siku mendapati cowok aneh yang menatap mereka sambil nganga mirip orang bodoh. Yuno meminta mic dari MC utama. “Kamu yang mirip orang bego, ke depan.”
Seperti disetrum belut listrik, Lindo kaget. Ulah dua kakinya membuat ia harus maju ke depan—mau tak mau. Si gagal move-on itu berjalan gontai naik panggung.
“Gugus berapa kamu?!” bentak Yuno menjauhkan mic dari pita suaranya. Lindo terdiam, sendi di lehernya malah tak bisa digerakkan, untuk melihat wajah sang Ketua Besar LA.
Di dalam hati, Yuno nyengir. Ngerjain bocah baru seru juga, batinnya masih terlihat bersahaja. “Kamu tau saya?” nadanya mulai menantang.
Nggak, semakin gue kelihatan lemah, semakin tinggi keyakinan mereka untuk terus merasa kuat, batin cowok itu memerintahkan sendi lehernya agar menengadah ke atas.
“Saya—”
“Kak Yuno~....”
Suara yang lebih mengerikan daripada tiupan terompet malaikat maut ini ....
Mata hitamnya ingin melompat tatkala gadis montok berhasil masuk dari arah pintu panitia—siapa pun bisa masuk lewat sana jika memiliki kokarde panitia, terlepas mereka memang benar-benar panitia atau hanya ‘simpanan’ panitia.
Gadis yang selalu ingin ia hindari ... malah mudahnya masuk ke dalam kubunya untuk bersembunyi
Kenapa semut itu selalu mengejar madu kualitas terburuk yang ada di dunia?
“Miskah, Kakak bilang jangan ke sini,” ucap Yuno mendorong Miskah agar tidak memeluk pinggangnya begitu intim di depan peserta. Miskah mencebik, dimonyongkannya bibir merah muda yang kenyal nan menggoda—membuat siapa pun ingin menautkan bibirnya dengan benda itu. “Kakak janji ‘kan? Nanti kita ke mall lagi?”
Yuno diam, mengusap rambut Miskah yang beraroma stroberi. Membiarkan Lindo yang sempat membuat pitamnya naik. “Iya, tapi sekarang ....” Matanya berlari menatap Lindo—si anak baru yang tak tahu sopan santun.
Miskah kaget. “Wah, lo kok di sini?” tanyanya tak peka sikon.
Plis, lempar aja gue ke akhirat. Siapa pun di ruangan ini, tolong ...! batin Lindo diam. Menelan liter demi liter saliva.
“Kamu kenal dia?”
“Iya dong Kak.” Peserta LA yang lain mulai mengerti situasi drama keluarga ala Indosiar di depan mereka. “Lindo itu mantanku yang paling baik. Dia yang nemenin aku pas Kakak sibuk,” balasnya bergelayut manja pada lengan Lindo yang berkeringat.
Lindo menatap gadis itu tajam—kalau genrenya fantasi, mungkin matanya sudah mengeluarkan laser, melubangi kepala Miskah, mati, dan happy ending.
Yuno cemburu. Mengambil Miskah yang kini melenguh karena ditarik paksa oleh sang pacar. “Kamu keluar dulu. Nanti kita bicara.” Didorongnya Miskah menjauhi aula. Mata tajamnya lantas balik menatap Lindo, seolah punya dendam kesumat. “Silakan kembali.”
Lindo beranjak, dengan otak yang terus berputar; apa ia pernah bertemu dengan Yuno sebelumnya?
***
“Terima kasih pada seluruh siswa-siswi baru yang sudah berpatisipasi dalam event besar sekolah kita. Perkenalkan, saya Oskar Oasees, Ketua Panitia Pembimbing Love Ambassador sekarang. Saya yang akan membimbing kalian, para finalis LA yang nantinya terpilih.”
“Laki-laki ber-almamater putih yang lengannya dilipat hingga siku itu adalah Yuno Mi—Ketua Umum LA. Perempuan yang makan nasi Padang di sampingnya adalah Natasha Utami, Ketua Konsumsi. Kami bertiga finalis LA beberapa tahun lalu.”
Keadaan kembali normal, laki-laki berperawakan tegap berbicara dengan bijaksana. Kacamata petak berbingkai hitam terhias pada pangkal hidungnya.
“Akan saya jelaskan secara sederhana tentang Love Ambassador—untuk memudahkan, kita singkat LA.”
“LA, event bergengsi di Lara Bangsa. Untuk 250 orang yang ada di ruangan ini, saya dapat menebak motivasi kalian ikut LA. Tentu saja! Benefitnya yang begitu menggiurkan, bukan? Barang siapa yang berhasil menjadi Lovers alias pemenang utama LA, berhak memimpin, mengubah sistem sekolah selama dua tahun sesuai keinginan. Bebas masuk-keluar OSIS, kesempatan bolos dan tunjangan selama tiga tahun.”
Lindo melotot. Kini motoriknya tak lagi heran dengan alasan jumlah peserta yang gila-gilaan untuk ikut kompetisi konyol ini.
“Fasilitas Lovers jauh lebih mewah daripada siswa biasa. Fantastis, bukan? Berhasil menjadi satu-satunya pemenang, masa remaja kalian takkan seberat anak lain. Kalian bahkan dapat lulus hanya dengan hitungan tiga detik. Ijazah dan sertifikat rekomendasi ke PTN ternama mudah kalian terima nantinya.”
Oskar antusias, dijauhkannya mikrofon, meneguk air mineral. “Panitia akan memberi soal tes. Tenang, kami tidak akan minta pembuktian teori Relativitas,” ucapnya saat panitia sudah berjalan, memberi satu per satu kertas khusus essay. Lindo menerimanya.
“Dalam essay, silakan tulis apa itu ‘cinta’ menurut kalian masing-masing. Tak ada penilaian spesifik, bebas mengeluarkan opini, curhat, ujaran kebencian. Diperbolehkan untuk menghina atau bahkan menjatuhkan nama baik individu. Tenang saja, essay dan umpatan kalian kami jaga.”
Lindo gelisah. Merasa menyesal masuk ‘kandang’ ini. Bukan mempermudah, ia malah menambah kusut benang masalahnya.
Pengalaman cintanya baru seumur jagung. Apa yang harus ia tulis?
Namun, ia masih ingin menghindari Miskah bagaimana pun caranya.
Di sisi lain, ia yakin, LA adalah jalan yang akan menuntunnya untuk melupakan ‘semut’.
Lah, Miskah sama Ketua Umum 'kan punya hubungan! Anjimlah, hidup gue kok makin ‘seru’ aja, Tuhan? batinnya terus menulis.
Sebuah lembar angket datang lagi. Lindo mendongak. “Penting. Kalau gak ngisi, presentase lolos kamu di bawah nol koma nol-nol satu persen,” jelas panitia sebelum Lindo ingin bertanya.
Sakit kepalanya bertambah lagi. Kenapa mereka malah meminta peserta untuk mengisi hal-hal yang sangat pribadi?
“Maaf, apa mungkin kami mengisi ukuran lingkar pinggang-dada-bokong hanya demi event? Bukankah itu privasi?” ujar di ujung sana.
“Iya, kenapa kita harus mengisi pin ATM dan nomor rekening?” tambah yang lain.
Semua keributan itu lantas hilang ditelan bumi saat Yuno berdiri, mengepalkan tangannya. Cowok itu tersenyum. “Dua aturan dalam LA; kalian manut, kalian menang.”
Saat semua terjadi, Lindo berhasil menangkap satu kesimpulan; hidupnya bakal jauh lebih rumit, hanya karena ingin lari secara instan dari Miskah.
Mantap, mampus gue.
***
992 words
Hai ^^ balik lagi ya, karena cerita ini sedikit membuat saya memeras otak, maaf karena terlalu panjang. Hehew,
ohya funfcat; rata-rata judul yang saya pakai untuk tiap bab nya adalah sebuah peribahasa yang sedikit saya plesetkan (boleh anggap permainan kata). Seperti mantan tak dapat diraih, tes event tak dapat ditolak (be based; Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Funfact; nama 'Miskah' terinspirasi dari beberapa iklan, dan bagi saya, karena cukup iconic serta mudah diucap, ya sudah, saya pakai saja.
Terima kasih sudah baca, jangan lupa vote dan komen serta mampir ke akun saya Hanakiroka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top