Mantan Bukan, Pacar Pun Bukan

Lindo pernah bersumpah; takkan mengatakan kalimat alay. Kali ini, kalian boleh kutuk anu-nya  yang sudah ia jadikan nama atas sumpahnya.

Pasca-tes LA, hari terakhir ospek, Lindo bisa menyimpulkan beberapa fakta unik yang diamatinya dari Lara Bangsa.

Pertama, OSIS dan Panitia LA; dua kubu yang mustahil menyatu. Kita bedah secara dalam. OSIS biasanya bertugas untuk lingkungan dalam sekolah, hal sakral-formal. Pemikirannya kolot—khas orang tua Asia Timur yang tergolong dangkal layaknya batang tauge. Mengurus ospek, berteriak serak.

Ditaktor pengutama senioritas atas nama solidaritas, yang hanya mau mempermainkan calon adik kelas lugu lagi dungu.

Panitia LA, berisi orang biasa yang tak menomor satukan senioritas. Sedikit egois. Kumpulan manusia berwajah utopia yang hanya peduli event; baik dalam atau project dengan sekolah lain. Menomor wahid-kan LA dari pada ilmu—menurut mereka, suatu kehormatan besar dapat menjadi panitia LA, tak peduli sekadar babu bersih-bersih konfeti pembukaan.

Setidaknya, panitia LA tak menekan murid baru. Walau tidak ikut dalam perpeloncoan, barisan manusia ber-almamater putih masih loyal jika bertemu anak baru yang butuh bantuan. Ibarat kata; kita beri berlian, mereka tak segan untuk membalas dengan taaffeite.

Dua kubu besar itu sejak awal sedikit perang dingin. Kadang saling unjuk gigi, siapa yang paling famous, terkenal, dan banyak kontribusi untuk sekolah—walau dari sudut pandang siswa biasa, kedua kubu benar-benar famous dan memiliki tanggung jawab yang besar. Tak sulit membedakannya; almamater OSIS adalah warna kontras dari panitia LA.  

Renungan Lindo terhenti saat pesanannya tiba. Jam istirahat adalah waktu di mana ia bisa kabur dari anak OSIS yang hanya memfungsikan otak sebagai aksesori.

Untung gak papasan sama setan gak tau diri, batinnya menyuap mie.

“Lind. Gue duduk di sini, ya.”

Dia tidak lagi berada dalam fase ingin menyembur makanan. Benar-benar ingin memuntahkan segala isi perutnya ke wajah Miskah lantas melempar mantan gadis tersayangnya tersebut ke jurang Jahanam. Mana Miskah gak ngotak; berani sekali mempertemukan sang pacar dengan mantan, duduk berada dalam satu meja. Yuno tak terlalu menggubris.

Sepuluh menit nan lambat, Lindo menunduk. Membaca mantera agar dua orang di depan ini invisible—setidaknya kalau pacaran, mereka boleh cari pojok kantin. Atau mentok; sewa kamar hotel.

“Kalian belum kenalan dengan baik, ‘kan?” Miskah meminta Lindo mengulur tangan. Disatukannya tangan Lindo-Yuno agar mereka berjabat—dengan wajah kusut yang dipaksa ceria. “Kak Yun, ini Lindo mantan pacarku. Lindo, ini Kak Yuno, kakak sekaligus pacarku.”

“Kakak?”

“Kandung,” ujar Yuno dingin, langsung menarik tangan dari uluran Lindo agar ia bisa menyuapi Miskah mie ayam yang baru mereka pesan tadi.

Membeku jadi pilihan untuk Lindo lakukan saat mantannya dan si pacar baru bermesraan. Lindo mengacak mie-nya jengkel. Mau pindah duduk, kantin sudah penuh. Jika lari begitu saja, inner Yuno yang tertawa remeh akan mengenai mentalnya.

“Aku ambil air dulu, ya,” pamit Miskah malah menambah berat atmosfer kedua pihak. Diam sejenak sampai akhirnya Yuno berdehem. “Kayaknya kita pernah ketemu dulu,” ujarnya tudep.

“Ketemu?” beo Lindo mencoba memeras otak. “Pertama gue liat lo, ya, waktu pembukaan LA.”

“Nggak-nggak.”  Yuno kalem. “Gue bener-bener-bener yakin kalo kita pernah ketemu sebelum LA. Sebulan? Setahun yang lalu?”

“Gue gak pernah ketemu lo,” final Lindo memukul meja pelan. Kelakukannya justru meningkatkan pitam Yuno yang kini mood-nya langsung anjlok. Ketua kelas XII IPA 4 tersebut sangat tidak suka orang yang masih terus ngeyel berbohong saat ia sudah tahu faktanya. Mencoba dewasa, memutus  perdebatan adalah langkah yang baik. Kedua kubu melanjutkan makan.

“Maaf lama, ini air Lindo sama Kak—”

“Kakak udah.” Mie ayam yang dipesan susah-susah ditinggal saja. Miskah yang masih tak sadar sikon meletak air untuk Lindo, meninggalkan kecupan manis untuk mantan pacarnya. Miskah nyengir. “Hadiah untuk Lindo karena udah nemenin gue pas Kak Yuno gak ada,” tambahnya kini bergelayut manja pada lengan Yuno.
 
Meninggalkan jantung Lindo yng kini berdebar parah hingga ia kesusahan mengontrol feromon untuk tidak mengeluarkan keringat karena gugup, serta wajah yang sudah memerah karena mabuk kepayang, Yuno masih setia digelayuti Miskah sambil berjalan. Tidak terlalu mendengar cerita cewek itu.

Lindo ... siapa lo?_

*

Beberapa jam yang lalu ....

”INI WAWAU NIAT GAK SIH?!”

Yuno frustasi, membuang essay ke dalam bagian ‘gagal’. Ruang panitia khusus LA itu hanya diisi oleh ia, Oskar, dan Uta yang sibuk ngemil—membungkus persediaan konsumsi. “Kalem, hukum kita demokrasi. Yang penting, gak kayak tikus berdasi.”

“Terus, boleh gitu curhat sebebas mungkin di-essay? Ini LA! Bukan classmeeting tiap semester. LA sakral hukumnya di Lara Bangsa.”

“Kumat lagi,” ujar Uta menyumbat Yuno dengan keripik jengkol. “Makan dulu, ntar kerja lagi,” tambahnya berdiri keluar dari sana. Bersiap mengantar konsumsi untuk panitia.

Yuno mendesah pelan, mengacak rambut frustasi. 90% peserta LA yang mendaftar, hampir semua dari mereka gagal. Beberapa masuk tim pertimbangan. Cukup tiga orang yang Yuno anggap masuk ke tim finalis. “NAH, INI GUGUK! NGAPAIN CURHAT?! EMANG GUE MAMAH DEDEH YANG BAKAL NGASIH SOLUSI MASALAH LO?! MANA GAK PAKAI PASSWORD LAGI!” pitam cowok tahun akhir itu membuncah. Diremasnya lembar essay yang jelas-jelas milik Lindo membentuk bola lantas dibanting.

Uta yang baru masuk mengambil bola essay, berniat membuka mulut untuk memakannya. Mana sempat, keburu direbut Oskar. Si kacamata petak meneliti essay dengan jelas. “Naufal Lindo, ya? Lumayan, walau bahasanya gak efektif.”

“Lo minta gue nge-rating essay gituan? Dua dari sepuluh saking gak pantasnya,” komen Yuno  membaca essay yang lain.

Mata Oskar menelisik kalimat horizontal itu. Bulu kuduknya merinding karena pesan yang Lindo tinggalkan pada akhir kertas. Cowok itu membuka jelas lembar essay yang keriting. “Lihat ... dia ninggalin pesan. Coba Abang baca baik-baik."

Sepuluh menit cukup membuat Yuno mulai melunak, direbutnya kertas itu, lantas berekspresi masih datar. Ah, Yuno hanya tidak tahu harus berekspresi macam apa. “Morse?"

Oskar mengangguk, membantu Uta membuka keripik kentang rasa jengkolnya. “Kita bisa aja minta sesuatu sebagai imbalan, kalau nolong dia. Dari yang gue analisis dalam waktu singkat, anak ini benar-benar kedesak. Abang bisa liat cara dia nulis; semua kalimatnya berisi pengulangan dari gagasan pokok essay-nya."

Jika tadi kepalanya keras menolak, kini hatinya ragu untuk meletak essay Lindo pada tim pertimbangan atau lulus.

Otaknya mulai nge-lag.

*

Bel berdenting enam kali. Kaki Lindo yang panjang refleks melangkah. Kabarnya, hari ini adalah pengumuman peserta yang lolos LA. Dadanya berdebar gila.

“250 peserta, kami hanya meloloskan empat orang yang langsung jadi finalis LA. Para finalis nantinya akan dikarantina untuk pelatihan LA selama empat bulan di gedung serbaguna sekolah.” Oskar sukses menghancurkan jantung banyak orang siang itu, termasuk Lindo yang terusan menelan ludah.

“Kami memang tak mengukur penilaian secara spesifik. 250 essay yang masuk, semuanya manis—sesuai dengan bagaimana rasa ‘cinta’ itu dianggap.  Namun, empat orang yang kami pilih adalah yang sangat-sangat manis. Mampu menyihir kami.”

“Nama pertama yang saya panggil, silakan naik panggung, ya. Satu, Ojan Tobangado. Dua, Valdo Al-Rizki. Tiga, Ero Kayr Ikh. Yang terakhir ....”

Percaya atau tidak, itu satu momen dalam hidup Lindo yang benar-benar membuat telinganya berdenging keras. Pandangannya gelap. Ia tidak percaya akan pengumuman terakhir itu. Hampir ditumpahkannya air mata haru.

“ ... Fhadiya Aifani. Empat finalis, silakan naik panggung!”

Terharu karena pelariannya gagal.

*** 
1.134 words

Halo lagi, terima kasih sudah baca dan komen serta vote. Jika kalian masih mampu bertahan, saya sangat salut. Sekali lagi terima kasih// angkat topi sopan sambil nyengir.

Ohya, ini cupang saya si Nyam, katanya mau ngomong. Buat yang belum tau, Ken kadang sering tukar-tukaran posisi sama Nyam—cupang Ken yang kebetulan bisa nulis. Dia pinter banget, haha.

Ohya, ini cupang saya si Nyam, katanya mau ngomong. Buat yang belum tau, Ken kadang sering tukar-tukaran posisi sama Nyam—cupang Ken yang kebetulan bisa nulis. Dia pinter banget, haha.

Selamat Pagi, siang, sore, malam. Ini Nyam ^^. Terima kasih atas antusiasme teman-teman yang sudah membaca karya Ken, majikan saya ~yang butuh sumbangan akhlak~

_*Karena Ken langsung lompat ke kasur, kali ini, Nyam akan ungkap beberapa funfac t mengenai LA. Funfact yang pertama; rata-rata nama tokoh yang Ken gunakan berasal dari nama teman di kehidupan nyatanya. Ia tidak suka pakai nama yang panjang dan sulit disebut, tapi terkesan keren. (Lidah Ken tuh cuma makan goreng bakwan sama kroket plus sukun,  mana bisa dia nyebut nama yang elit kebarat-baratan)*_

_*Funfact kedua; Ken awalnya pusing rumusin bab yang ini (dy klo buat outline suka panjang banget, kek nyeritain mantan). Lari ke YT buat lampiasin stress, eh malah stress dong gara2 naskahnya gak kelar. Wkwk*_ 

_*Oke, sampai itu aja dulu funfact-nya teman, Nyam mau berenang lagi. Udara luar gak bagus buat muka Nyam yang lagi dipasangin skincare sama Ken tadi. Sampai jumpa lain waktu. Jangan lupa follow akun @Hanakiroka (ada projek Ken yang lain di sana, genre teenfict, komedi, fantasi, ada kok. Yang gak ada cuma pacar :v)*_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top