Cinta Disangka Rudal (Be Based; Amra Disangka Kedongdong)
“Kalau musang lewat, gue makan.”
Sampai kiamat pun, Uta takkan pernah merasa kenyang. Siang terik ini, ia malah diperintah untuk memeriksa finalis. Wah, mager banget. Dia putar arah ke kantin, mending nge-lontonglah.
Niatnya diputus suara ribut dari ruang latihan—tak jauh dari kantin. Merasa jika suara yang ditangkpanya adalah teriakan Ero, dia lari terbirit ke sana.
“GUE SUKA SAMA KAK UTA!”
“Eh?” Uta membeku. Matanya layu, dan akan terbuka jika dapat sedikit konsumsi—setidaknya dari mesjid pun tak apa. Hari ini, ada sebuah kalimat baru yang berhasil membuka matanya.
Ero, lo .... Uta memilih mendengar dari ujung pintu ketimbang melabrak. Saat seperti ini, perutnya malah makin berulah. Dari dalam, Ero terus-terusan berteriak akan perasaannya terhadap Uta.
“GUE SUKA SAMA DIA! RASANYA—”
“Wah ....” Uta pura-pura tak mendengar pernyataan Ero. Berpura kaget jika dua orang itu sudah babak belur—beruntung saja fakta ini ada. Segera dipisahnya dua orang yang berdarah itu.
“Belum sampe tiga bulan karantina, masa’ berantem lagi?!” Celotehan Chicha di ruang briefinghanya menambah keruh atmosfer. Lindo-Ojan ikut terseret dengan tuduhan, ‘membiarkan saja, tidak melerai teman’. “Lo sih!” sikut Ojan ke punggung Lindo yang balas menginjak kakinya.
“Ero, saya tau kamu bukan tipe yang gampang ter-provokasi, tapi kenapa kali ini kekanakan?” Multitasking, Chica mendelik Ero dengan tangan yang memelintir telinga Valdo. Ero menunduk dalam. “Maaf, Laoshi, saya memang kekanakan.”
“Kamu, sehari gak ninju, apa tuh buku jari bakal kering?” Valdo menampar tangan Chicha asal yang masih setia melotot padanya. Dia menyerah, percuma melawan perempuan. Valdo berdecih pelan, menarik wajah yang diobati, menarik pintu, namun sudah dibuka.
“Uta?” Keluar sebentar dengan beberapa cemilan, Uta kembali dengan dokumen, mendorong Valdo campur rasa takut, pelan-pelan menggiringnya ke sebelah Chicha. “Ini dokumennya Laoshi.” Uta curi pandang pada Ero yang masih lebam. Dadanya bergemuruh.
Pandangannya diciduk Ero; mereka tatapan tanpa emosi selama lima menit. Chicha terbatuk—sengaja. Uta rasakan wajahnya mulai memanas, menunduk pelan bersama wajah flat, dia keluar, mengunyah kesal mozarella corn dog.
“Laoshi, saya izin, keluar!”
Ero belajar satu hal; tak selamanya ia harus terus memeluk ketakutan. Kaki kecilnya berusaha bergerak, mengejar Uta.
***
“Kak!”
Lari atau berhenti, Uta harus memberinya tanda yang pasti. Menyakitkan atau tidak, itu hanya dirinya yang tahu.
Uta rakus, tapi tak bodoh. Kakinya berhenti, tubuhnya tetap membelakangi. “Kak, maaf ... Kakak dengar, ya?”
Uta menatap langit sore, mereka berdiri di koridor dekat kantin. Langit oranye sore begitu manis lagi legit. Uta ingin memakannya.
“Kak, maaf.” Tangan yang dulu Uta genggam agar tak ke tengah jalan sudah kokoh. Tubuhnya lebih tegap, dia tinggi. Ero memeluknya dari belakang. menahan tubuh yang bergetar. Masih datar, Uta tak tahu harus berucap apa. “Gue gak bermaksud bilang itu. But, this all it’s true!”
“Ro ....” Uta menarik tangan Ero yang melingkar di pinggang, menatapnya. “Inggris gue remed, gak ngerti gue.”
Harusnya Ero menangis, Uta punya cara untuk lari. “Kak ... gue suka—”
“Tau kok.” Senyum Uta bahkan lebih manis dan legit dari langit sore hari. Aliran sungai perlahan mengalir membasahi pipi Ero. Uta usap lembut, terkekeh. “Pas hampir dijahatin dulu, gue udah tahu.“ Ditangkupnya pipi Ero kesusahan. “Mata gak bisa bohong, Dek.”
“Ja-jadi—”
Usapan Uta hampir menghentikkan kerja jantung Ero. Dipeluknya Ero cukup lama, lantas pergi begitu saja. Menjauhi jalan kantin. “Kasih waktu. Masih banyak makanan yang belum gue coba.”
***
“Jangan coba lirik pintu. Kamu haram keluar!”
Dua sigung—Lindo-Ojan—sudah terbang ke ruang latihan. Ruang briefing hanya menyisakan Chicha yang sibuk menulis dokumen. Valdo menatapnya tajam. Wajah tenang, hati sebaliknya. “Dua kali bikin ulah harusnya dapat SP, karena ini kamu, saya percaya. Jadi gak ada SP.”
Urat leher Valdo makin kentara. ‘Percaya’ adalah kata yang telah lama merantau dari kamusnya. Tanpa berniat kembali.
Muak, Valdo lempar kertas-kertas, berdecih, dan mencoba keluar. Tangannya keburu ditarik Chicha—yang nekat menyudut Valdo ke tembok dengan satu tangan. Bukan gentar, mimiknya malah menantang—puas.
“Ke mana lagi, hm?” Chicha tatap mata kelam Valdo tajam. Di mata Valdo, Chicha hanya kelinci; wanita itu terlalu pendek untuk ukuran guru magang bahasa China. Chicha rapatkan sudutannya ke dinding. “Liat, kamu bahkan gak minta maaf setelah nonjok temen.”
“Maaf.”
Ini aneh, Chicha merona hebat karena Valdo jinak. Langka. Chicha sangka Valdo bakal men-smack down-nya setelah bersikap arogan. Tahan-tahan, kamu guru, Cha! Gak usah baper sama bocah.
Masih menyudutkan Valdo ke dinding dengan satu tangan, Chicha menghentikan aksi memalukannya. Menarik Valdo duduk. “Essay-mu bukan yang paling manis, tapi terironis. Dari matamu pun saya tau; kamu memang benci cinta.” Ditepuknya pelan bahu Valdo dengan mata iba. “Kenapa?”
Ubun Valdo panas, tangannya ingin menghancurkan pita suara Chicha yang sangat mudahnya bicara demikian. Dicekalnya tangan Chicha yang bertengger di bahu, diremasnya hingga memerah. Chicha meringis tercekat. “Anda guru pembimbing, tak seharusnya ungkit masalah saya.”
“Justru karena Laoshi gurumu, makanya Laoshi peduli!”
Valdo tertawa—ironis, menyimpan miris—dilepasnya tangan yang sudah berjejak. Kakinya berdiri. “Percuma peduli, kalau gak pernah berempati.”
Bantingan pintu lebih keras, meninggalkan Chicha seorang diri yang mengurut kepala. Meringis, ia membakar rokok dari balik saku.
“PMS, ya?”
***
820 Words
Yahalo, terima kasih sudah membaca, jangan lupa vomment ya ^^ (Saya udah bunuh malas supaya bisa update, serius (eh, gak serius amat sih)
Funfact: 1. Chicha mantan berandal, namun tobat karena cinta pertamanya. 2.Kalau mati besok, Uta mau dikubur dekat kantin, biar arwahnya bisa makan puas-puas (?) di sana. 3.Ojan sebenarnya pendiam, tapi kalo soal muji diri, dia gak kenal apa itu ‘diam’.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top