Cinta Disangka Rudal (b)
“Essay-mu bukan yang paling manis, ter-ironis. Dari matamu pun saya tau; kamu memang benci cinta. Kenapa?”
Valdo terus kepikiran kalimat Chicha. Belum dengan aksi guru pembimbing yang menyudutkannya ke dinding, berdua, di ruang briefing. Telat memungkiri; ia selalu mereka ulang kejadian itu. Memalukan, perasaannya mulai aneh.
Menyusun perkakas kelas pagi, sebuah surat reyot terselip di antara buku filsafat. Dari Jasmine, tolong baca. Persetan, mimik Valdo mengeras, kepalanya berdenyut. Cewek sialan .... Surat diremuk-remaskan, masuk tong sampah samping pintu, tepat Valdo keluar kamar.
Berjalan, diperbaikinya letak kacamata. Untuk finalis LA, kesempatan untuk main-main tanpa ikut PBM lebih besar, mereka sangat dapat izin untuk itu. Namun, tetap diminta untuk ikut belajar, karena mereka baru ‘finalis’. Setelahnya dilanjutkan dengan ekskul atau jadwal karantina.
Mana tuh tiga setan?
Bisa pula Valdo merindukan tiga teman (baca; peliharaan) karantina yang tak masuk radarnya. Sedikit malu, Valdo cukup suka makan bersama Ojan, Lindo, dan Ero ketimbang sendiri.
Cukup muak dirinya dikurung terus-menerus bersama ruang sepi nan dinginnya masa lalu.
Jam istirahat; kantin tak pernah sepi pengunjung, sedangkan kaki Valdo sudah kesemutan. Tak ada ruang lagi. Ia berniat membungkus dan makan di kelas.
“Valdo, sini!”
Cih. tangan mungil telah tersampir di bahunya. Chicha, dengan gincu pink pastel, tersenyum manis pada anak didik. Diseretnya Valdo ke meja ujung yang masih tersisa. “Makan bareng, yuk. Kasihan Laoshi liat kamu kek anak hilang.”
“....”
“Udah, silakan duduk.” Sepersekian detik, Valdo buka sandwich bungkus yang kini terjamah. Makan berdua, dengan guru muda. Valdo tak pernah membayangkan hubungannya akan seintim ini dengan tenaga pendidik.
Lagi, suasana canggungnya sangat kentara. Bagus, kenapa juga kuajak makan ini anak?!Chicha berusaha menahan teriakan, menyuap bolognese versi kantin dengan ragu. Mereka terasa begitu sunyi di kantin yang ramai.
“Valdo, kamu—”
Chicha menggantung suara pada lelaki yang sempatnya baca buku filsafat saat istirahat.
Valdo ... memang tak pernah ingin membuka hati padanya. Bukan Chicha tak perhatian, Valdo sangat serius tuk membangun dinding.
***
“Ke ruang briefing, gue di SMS ‘kakek sihir’ tadi.”
Lindo mencak keluar X-5. Ojan tertawa parau—julukan 'kakek sihir' terlalu bagus untuk Yuno. Ero menyusun buku, bahunya disenggol Valdo yang jalan memang tak pernah pakai mata. “Duh!” Dua orang itu refleks saling tatap.
“Cie.”
Ero membuang muka cepat. Masalahnya dengan Uta sudah pelik, jangan sampai mading sekolah membuat artikel mengenai dugaan penyimpangan di Lara Bangsa. Valdo berdecih, menahan tangan melayang, lanjut keluar sekolah. Argh! Tak bisa, tangannya gatal.
Grep!
Ditariknya kerah Ero yang kini susah bernapas. valdo menggeram, meremas bagian seragam Ero sekesalnya.
“MAAF, GUE NONJOK KEMARIN!”
Ero hampir melayang kalau Valdo tak mengangkat kerahnya tinggi, dan itu bukan nada orang bersalah. Valdo keluar kelas—telinganya memerah. Ucapan Chicha selalu menghantui, bikin pitamnya mendaki.
Di saat demikian, Ojan-Ero saling tatap. “Valdo ... minta maaf?!”
“Satu bulan lewat, tentunya jadi kebanggan bagi kalian. Selamat dan selamat menderita lagi, karena sekarang kita ngadain Love Challenge yang kedua.“
Pindah ruang briefing, Yuno gencar menahan seringaian agar wibawanya tak luntur. Mengocok aquarium, ia menarik satu kertas. “Love Challenge kedua; ajak gadis di challenge pertama buat jalan-jalan.”
“Waktu dua minggu, dari sekarang. Simpulkan apa yang kalian dapat dari jalan-jalan itu. Silakan bubar!”
“Saya kemarin—”
“Yang cuma lenggak-lenggok bawa diri sendiri, terserah; ngajak cewe lain jalan boleh, ajak cowo, silakan.” Kornea Yuno mendarat pada mata Ojan yang menelan ludah. “Tanggung sendiri kalo disangka lines.”
***
“Cewek kampret.”
Stress Valdo kambuh, pukul delapan malam, harusnya ia mulai bergerak. Gadis perlambang cintanya malah tetiba kirim pesan; Gue out dari Lara Bangsa, keluarga bangkrut. Tau sendiri biaya asrama mahal, cari cewek lain!
Oke deh kalau cari cewek semudah itu, masalahnya ini Valdo; hanya minoritas mahluk berjenis perempuan mendekatinya. Tampangnya saja kayak naga sesak berak begitu, mana ada yang mau dekat.
Di kamar, Valdo tumpahkan kekesalannya di atas keras. Digaruknya kepala—beresiko pendarahan saking kencangnya. Tulisannya semakin sulit di baca; KENAPA HARUS ADA CINTA?! KALO CINTA GAK ADA, GUE GAK BAKAL LAHIR! GAK BAKAL TERSIKSA. SEMUA YANG TERJADI PADA GUE BUKTI NYATA; CINTA HANYA BAWA DAMPAK BURUK! GUE GAK AKAN DIPUKUL—
“Ma! Jangan pukul, ma-maaf ....”
Jamais vu yang takkan pernah berhenti berputar di benaknya, terasa begitu segar luka itu menghantam tubuhnya. Bertubi. Valdo jatuh dari kursi. Teriakan paraunya membelah langit. Panik, dia panik. Kepalanya berdenyut. Salivanya mengotori pipi dan wajah.
Lindo, dengan wajah melempem mendorong kenop kamar Valdo, untung tak dikunci, batinnya puas.
“Val, mak—lo kenapa?!”
***
717 Words
Funfact: 1. Ero pernah menulis puisi untuk guru SD-nya, namun bahasa yang ia gunakan terlalu tinggi, hingga dikira itu bukan buatannnya. 2. Ojan belajar menari (nge-dance) sejak ia mampu berdiri . 3. Valdo memang pendiam, tapi mudah naik pitam setelah melewati ‘masa lalu kelam’
Yohoo, terima kasih sudah baca. Kalian bisa komen dan vote sebagai bentuk apresiasi. Pertanyaan minggu ini; apakah sejauh ini, narasinya terlalu membosankan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top