Bagaikan Puisi Merindukan Keripik Kentang
Sebenarnya, Oskar ingin melempar kardus ke seberang. Mana sempat, Yuno keburu berdiri. Alamat ketimpuk karduslah kepalanya.
“ANAK GUGUK, SIAPA TADI, HAH?! GUE DI SINI, NGELEMPAR KARDUS LIAT-LIAT KEK!” Mencaknya tak dapat dielak. Kerah almamater Oskar jadi korban. Uta menonton dari sudut ruang, berdalih memilah berkas tiga-dua tahun lalu, sebenarnya hanya makan kerupuk kentang.
“Wah, ramai, ya, Sahabat.”
Yuno melempar kardus tepat ke asal suara. Dia tak pernah pilih orang jika soal pelampiasan. Uta berkedip lama, takut dengar bentrokan dengan orang di luar. DG—_Lovers_ yang jarang muncul—menangkap kardus, semringah kembang di saat yang tak tepat. “Long time no see, guys. Sekian lama gue gak dimunculin, masa’ disambut kaya gini?”
Yuno mendengus, Oskar menatap DG tanggung—datar. Tak bisa ia rasakan emosi yang bersemayam di relung hatinya. Bingung, Uta yakin begitu wajah Oskar berbicara.
Karena dua sigung enggan buka mulut, Uta berdiri sambil terus mengunyah. “Tumben.” Tentu saja, ia berkata tanpa nada ramah. Ini bukan juga formalitas. Yuno kembali ke meja kerja, gasrak-gusruk memeriksa kolong laci.
Dia jengkel, kalau bisa, ingin sekali digigitnya kepala DG yang selalu senyam-senyum tanpa tahu sikon. Ayolah, dia tak iri. Mereka berempat juga mantan finalis LA di masa lampau. Sebagai Lovers, DG berdiri di puncak. Bebas bolos tanpa pusing soal nilai. Benar-benar hidup di padang utopia, sebagaimana layaknya benefit yang dijanjikan.
“Pergi.” Yuno melempar beberapa dokumen berdebu dari kolong meja. Moodnya jelek, tak bakal mempan untuk menerima tamu, khususnya yang jiwa binatang. Oskar berusaha memahami keadaan, walau mustahil 'tuk paham.
Yuno dan DG ... entah sejak kapan, dua orang itu malah jadi perang dingin. Saat karantina dulu malah mereka yang paling akrab—soal adu mulut.
“Yuno Mi emang beda, ya. Baru gue minta lima jam tadi soal berkas, eh, udah ketemu. Kapan-kapan kita jalan lagi, oke?”
“Berhenti bikin salah paham.” Duduk angkuh di meja kerjanya, Yuno menatap DG tajam, menahan jengkel. “Hal apa lagi yang bakal lo buat? Sejak awal, minta data yang benar-benar privasi peserta itu melanggar peraturan. Harusnya—”
“Gue Lovers-nya, Saudara Mi ..., sebagai Ketua Umum, lo cukup dengar perkataan Lovers.”
Deg!
Uta tau, Oskar bingung. Cowok itu juga tidak bodoh, ia dapat merasakan aura DG mulai tak bersahabat. K-kok gue merinding ...? Fokus Oskar sedikit buyar, padahal masih banyak berkas yang harus disusun.
Alis Yuno bersatu. Tuh, kalau DG terdesak, dia pasti selalu pakai alasan yang sama. Benar-benar tak relevan, dan merasa sangat pintar sedunia.
Yuno tak pula bodoh. Jika dilawannya api dengan api, hanya akan melahirkan api yang semakin besar. Dia sadar diri; posisinya hanya satu papan di bawah DG, namun punya wewenang bagai langit-bumi. Harusnya dia tak lalai saat tes terkahir LA. Ia seperti menelan pil karma.
“Btw, gue baru pulang tur Singapura kemarin, cuma muter-muter Merlion. Ini oleh-oleh.” Seperti memberi makan sapi, dilemparnya masing-masing sepuluh bingkis pada Uta.
“Well, paling cuma habis sama Uta doang, sih,” lirihnya dipelototi Uta. “Makasih.” Uta sadar kenapa Yuno bisa jengkel hanya melihat wajah orang ini. “Oke deh, gue out. Makasih berkasnya. Gue bujuk Pak Mamat buat naikin nilai fisika lo pada deh.”
“Nggak perlu. Jawab pertanyaan gue yang tadi!” Yuno makin panas.
DG, dengan senyum menawan dan ramah menatap teduh; dalam, sedikit mematikan.
“Hei, gue emang Raja, tapi berjiwa Menteri.” Ditegakannya dagu Yuno yang sedari tadi turun, menatap dua mata yang akan selalu membencinya hingga mati.
“Sebaliknya, Menteri yang berjiwa Raja, lebih baik mati dan menurut aja.”
***
Ero sedikit tenang setelah lama mengenang hal yang harusnya ia buang. Tak ayal, terbeberlah kisah asmaralokanya yang kacau balau. Ojan menahan tawa, disikut Lindo.
“Gue parnoan. Gak tau sejak kapan. Banyak hal melintas gitu aja di benak, belum tentu terjadi, tapi gue udah berekspetasi. Makanya ... gue gak pernah berani nembak dia. Gue takut ... gue takut ... dia malah gak nyaman ....”
Lima kali Valdo berdecih hanya karena mendengar alasan kekanakan Ero. Ini kali keenam ia berusaha menahan jemarinya tak melayang. Sayang, tampang Ojan malah membangkitkan amarah. Valdo tarik kerah Ero yang tetiba shock. “Ap-apa?!
“Gue emang gak suka kata yang disebut ‘cinta’, makanya gue giat buat bilang itu ke seluruh dunia!”
“Ha-hah?!” Vokal kaget Ojan malah nyaring, tangannya berusah menjangkau jemari Valdo yang bergelantung paksa di kerah Ero. Lindo menarik ujung kaosnya. “Lihat aja,” bisik mata si gagal move-on.
“Maksud lo apaan?!”
“Kalo suka dia, bilang! Ditolak, tembak lagi! Ditolak, pepet teros! Nyoba kan gak bayar! Lo cowok, ngapain takut?!” Tone Valdo memang tak enak, apalagi teriakannya bercampur saliva, muncrat ke mana-mana.
Ero tak punya banyak tenaga, tangannya yang bebas menampar Valdo sedikit keras. Tarikan kerah hampir terlepas, Ero balas dengan nada tak sedap. “LO GAK TAU SOAL APA-APA! NGAPAIN IKUT CAMPUR MASALAH GUE?! LO GAK TAU SEBERAPA SUSAHNYA GUE NAHAN SEMUA INI! GAK USAH SOK PEDULI, SIALAN! LO GAK NGERTI ... LO—KALIAN GAK PERNAH BISA NGERTIIN GUE!”
Suasananya mulai busuk, sepakat Ojan-Lindo pisahkan sepasang 'teman' yang tenga berantam itu. Ero jinak kalau sudah jatuh ditangan Lindo. Lah, Valdo yang ditarik Ojan? Si narsisme malah kena tonjok.
“GUE GAK PERNAH MAU NGERTIIN LO! PERSETAN. YANG TERPENTING ITU RASA LO!” Digebuknya rahang Ero pelan, lantas ditariknya kerah si pendek lagi. “Lo masih suka dia, kan?!”
Ero berkerut, pandangannya hampir gelap, tak jauh beda saat Uta belum masuk hidupnya. “G ... gue ....” Ero melirih, matanya mulai basah, perlahan. “ ... k-ka.”
BUAGH!
“Lo cowok, Ero!” Ojan malah lebih kaget akan Valdo yang menggila. Kok, dia ingat nama finalis di sini?!
“GUE SUKA DIA!” Ero balas layangkan tinjuannya pada dua rahang Valdo yang sialnya tak sengaja mengigit lidah. Cowok itu jatuh, dengan beberapa luka di sudut bibir, nyeri tapi nyengir. “GUE SUKA KAK UTA! SUKA BANGET SAMPE GUE TETAP DIAM SELAMA EMPAT TAHUN! GUE SUKA BANGET SAMA DIA! RASANYA—”
“Wah ....”
Empat pasang mata melesat ke ujung pintu ruang latihan. Ero merasa ditelanjangi sangat-sangat. “Kak Uta ...?”
***
956 Words
Yahalo, kembali lagi ya ^^. Seperti biasa, always, saya nulis ini malem. Aneh, tapi gitulah adanya. Malem lebih enak dipake buat nulis. Haha. Agak malas juga, karena bingung; ini saya mo mulai nulisnya kek mana, ya?
Funfact; Kalau tenang, Valdo sebenarnya punya poker face dan mirip kutu buku; kacamataan, hobi baca, pendiam. Tapi kalo ngamuk, beringasnya gak tanggung. Guru aja pernah digantung :v
Funfact: Kalau jadi perempuan, Lindo mungkin bakal pacaran sama Oskar, katanya seru aja gitu. (Tipe yang liat dari tampang:”)
Funfact; Ken yang nulis ini :v
See ya gaess, sorry for this mess (eh bener ga tuh :v)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top