Bagaikan Lekong Dengan Psikopat
Ini gedung karantina ... apa entertainmen?
Lindo cosplay jadi orang udik—bukan lagi dari kampung, merasa salah nyemplung planet. Dia yang paling telat masuk, buang hajat dulu. Tiga finalis lain sudah bubar ke kandang masing-masing.
Aturan LA; empat finalis akan dikarantina hingga empat minggu, bersama guru pembimbing dan panitia inti LA. Satu kamar per peserta, dekorasi sesuka hati diizinkan—dengan harapan, mereka bisa menemukan arti cinta bahkan hanya dari susunan kamar.
Baru juga selesai susun barang, Lindo sudah menemukan organisme bantet nyungsep di depan pintu kamar. Kaget, dibantunya manusia itu berdiri. Cowok yang tingginya lima senti di bawah Lindo mendongak pelan, nyengir. “Thanks.”
Kalau tak salah, dia satu dari tiga peserta lain. Si bantet malah punya predikat paling bagus. Essay termanis se-angkatan, begitu desas-desus saat namanya dipanggil pada pengumuman.
Memang benar, dari mereka berempat, si bantet yang paling banyak diapresiasi, karena begitu mampu menyihir dan sangat-sangat ‘manis’.
“Ero Kayr Ikh. Ero, makasih ....”
“Lindo,” balasnya sedikit ceria. Kikuk-kikuk gini sama mantan, sebenarnya Lindo orang yang cukup ramah. Meski vibes-nya terkesan cuek.
“Lo ... kenapa jatuh?” Lindo basa-basi. Kalau sudah ditempat baru, dia bakal mengeluarkan skill-nya yang sempat terpendam. Ero mengikat tali sepatu. “Oleng, gue ngantuk.” Ditariknya koper dan tas, Lindo mengekor. Mereka bakal ke kamar Ero, lanjut ruang briefing.
“Lo sejak awal nargetin masuk LA, kah?”
“Maksud lo?”
“Itu, anjir, maksud gue—”
BUAGH!
Tinjuan terdengar berdecit, menghantam benda padat yang mampu meretakkan tulang. Ero-Lindo kalang kabut masuk ke ruang briefing. Menemukan satu korban yang kini nyengir tertahan. Pelaku yang memukulinya berada di atas, menarik kerahnya ganas dengan mata nyalang seolah ingin membakar cowok dibawahnya hingga hangus.
“Woy, jangan—”
“DIEM, SAT!”
Ero auto mingkem, ditariknya ujung seragam Lindo mundur ke belakang dengan kilatan mata yang berbicara bahwa mereka harus melihat sikon. Cowok ganas di atas si korban terus-terusan menghujamnya dengan rentetan pukulan. Korban berusaha mengelak dengan wajah yang sudah seperti palet cat—penuh dengan darah di
mana-mana.
“Cinta itu kejam! Kenapa lo harus capek-capek jatuh cinta, hah?!”
“I-ini diri gue, makanya gue harus cintai. Gak pernah denger istilah ‘love yourself’ apa?!”
“Bullshit, Jahanam!” Diludahinya si androgini yang jadi sasaran empuk emosi berkali-kali. Cowok itu menutup mata, menghindar, hingga menemukan celah. Balas menerjang lawannya. Posisi berganti. Diberinya satu hantaman. Tidak terlalu menyakitkan.
“Terserah gue mau jatuh cinta sama siapa! Ini hidup gue! Gue berhak berpendapat selama gak bikin lo sesak napas. Dan gue ngaku,” jedanya kini nyengir dengan songong, mendekatkan wajahnya dengan si pelaku. “Yang cocok nikah sama gue hanya gue seorang!” Kata mutiaranya diakhiri dengan sebuah pukulan arah siku untuk sang anti-cinta.
“Lo bilang itu tinju?!” si pelaku balas menerjangnya. Posisi berubah kembali. Lindo tak kuasa menjadi penonton, diamankannya si bengal calon psikopat. Ero langsung nyambung, ia balas menyelamatkan si androgini lekong.
Njir, baru juga hari pertama.
Seorang perempuan—menggeram parau, dilemparnya dokumen ke mana-mana sambil mencak-mencak. “Ini LA! Bukan kontes tinju, Pe’a!”
***
“Baru ketemu, berantem. Gimana pas karantina nanti?”
Tangan halusnya naik-turun mengoles obat. Pasien pertama jatuh pada Ojan Tobangado, korban yang dianggap lenjeh karena terlalu mendewakan diri.
“Saya tuh falling in love sama diri saya, eh, dia malah marah. Nonjok saya yang lagi ngomong sama cermin. Padahal saya cuma nanya ke cermin; siapa yang paling ganteng di dunia? Mahluk yang paling pantes buat saya?” Repetannya berhenti saat Valdo si oknum penggebuk ditarik guru pembimbing untuk diobati.
“Apa peduli Anda pada saya?” dinginnya menarik tangan dari wanita itu, pergi dengan rahang mengeras, membanting pintu campur emosi. “Apa sih, sok banget!” Ojan mampu berusara dengan mukanya yang lebam.
Guru pembimbing menatap ke luar pintu, tertegun lama.
***
“Keysha Alma Khairunissa. Bisa panggil Chicha-Laoshi. Pembimbing kalian di tahun ini. Mohon kerja samanya. Langsung saja, perkenalan, saya bacakan dokumen kalian. Pertama, finalis dengan essay termanis; Ero Kayr Ikh.”
Chicha antusias jika bertemu trivia nyeleneh soal biodata orang. Perkenalan dimulai dari Ero, Ojan, hingga Lindo. “Karena Valdo Al-Rizki tidak ada, maka saya yang akan mengenalkannya. Nama panjang—”
‘Tuk.’
Dokumen itu lari. Valdo dengan wajah sangar, ingin menumpahkan emosi, menatap wanita itu. Chicha meringis, menahan ketakutan agar harga dirinya tak terpijak. “Valdo, berhenti menatap saya seperti itu.”
Makin mendekat, Valdo sudutkan wanita beranak satu itu. Tak gentar, ditatapnya lekat-lekat seolah ingin memangsa. Jarak yang begitu dekat, tak membuat insting Valdo untuk menahan Chicha dengan kedua tangannya menempel ke dinding. Tiga finalis menahan napas.
Chicha mengalami serangan jantung kronis. Ironis, anak yang menggodanya hanya bocah dengan rambut klimis, mudah emosian. “Awas!” bentaknya mendorong Valdo yang tak bergerak sesenti pun. “Saya bilang—”
“Valdo Al-Rizki, tujuh belas tahun, motivasi ikut LA; pembuktian jika cinta adalah perasaan kejam.” Dibuangnya dokumen masuk tong sampah, lantas jalan santai keluar ruang briefing. Kemarahan Chicha naik ke ubun-ubun. “Tunggu. Saya kasih pelajaran yang satu ekor itu dulu.”
***
Fak, awkward._
Di ujung selatan, Ojan sibuk bercengkrama dengan cermin biasa. Tak lupa segelas teh hangat Inggris menemani perbincangan mereka; siapa manusia paling tampan, orang yang cocok untuk dirinya, seberapa tampan dan manisnya dia.
Meja briefing dihuni Lindo. Ero sibuk menulis. Dua sudut bibirnya naik turun. Kepo, Lindo putuskan mengintip. “Lo buat puisi?”
“Begitulah.”
“Untuk gebetan?” tembak Lindo _head-shoot_, membuat cowok manis di sebelahnya berusaha untuk tidak malu, menahan wajahnya agar tak banyak mengeluarkan warna kemerahan. “Segampang itu, ya ... gue?”
Lindo tak menjawab, berusaha menghargai keberanian Ero yang nekat. “Ada satu kakel yang gue suka sejak kecil. Dia sekolah di sini, gue gak pernah punya kesempatan buat nembak dia.”
“Oho?”
“Tiap kali ada kesempatan, gue udah nyusun kata-kata manis buat nembak dia sampai nangis. Semua itu hancur, karena gue ... takut ditolak.”
Lindo mengangguk-angguk saat Ojan kini mengangkat tinggi cangkir, bersulang dengan cermin. “Tunggu, motivasi lo ikut LA berarti—”
“Yo, finalis baru, welkam di gedung karantina.” Tiga pilar utama LA—Uta, Yuno, dan Oskar— datang dengan gagah dan penuh wibawa. Yuno kembali mengurut kening, melempar pelan dokumen ke meja. “Seekor lagi mana?”
“Kabur, dikejar Chicha-Laoshi.”
Yuno nyengir seram, matanya berkata jika ia ingin mematahkan tulang cowok yang lari itu. “Ketemu, gue congkel matanya.”
***
986 words
Oke, sangat pas-pasan. Nanggung kata saya, tapi ga tau mo nambah apa. Haha. Makasih udah baca ya, janlup tekan bintang dan commentnya juga
Ohya, ga ada Miskah “). Anyway, karakter favorit kalian siapa?
untuk Funfact saat ini belum ada, soalnya saya ga nemu fakta lain lagi. Belum nyari. Ini aja nulisnya malem, wkwk. Makasih lagi, untuk cerita saya yang lain, silakan kunjungin Hanakiroka . Makasih ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top