Istana Pasir
Raut wajah Runa tampak cerah meski sedang terengah. Napasnya kembang kempis setelah berlari dua putaran. Walau kelelahan, tetapi ketika melakukan hal apapun dengan orang yang dicintai akan terasa indah.
''Capek?'' tanya Aidan sambil berlari mundur di depan Runa.
''Satu putaran lagi masih kuat.''
''Beneran! Jangan pingsan ya?'' Aidan berbalik dan segera berlari meninggalkan Runa.
Runa tersenyum. Semangatnya kembali naik. Ia berlari mengejar Aidan.
''Dan! Tunggu!''
Dua lelaki berbalik dengan ekspresi berbeda. Aidan membalas senyuman Runa, sementara lelaki di sebelah Aidan mengernyit keheranan. Sadar bukan ia yang dipanggil, lelaki itu berbalik dan kembali melangkah dengan desiran aneh dalam dirinya.
Setelah menyelesaikan satu putaran terakhir, Runa duduk menselonjorkan kakinya. Matahari yang mulai meninggi membuat kelenjar keringatnya berproduksi lebih banyak. Runa mengambil topi yang Aidan kenakan lalu mengibas-ngibaskan pada tubuhnya yang terasa gerah dan lengket.
Tanpa Runa sadari bibirnya selalu saja tidak bisa berhenti tersenyum. Ia melirik Aidan, membuat sudut bibirnya semakin melebar dan merekah.
''Aauuuhh!'' Runa meringis sambil mengelus lengannya. Senyumannya menguap ketika Aidan mencubitnya. ''Kamu nyebelin. Sakit tau!''
''Eehh sori! Dari tadi gue panggil, lo malah senyum-senyum sendiri.''
''Iya. Tapi....'' Runa mencebik sambil memanyunkan bibirnya.
Aidan terbahak melihat ekspresi lucu sahabatnya. Gadis yang sekarang duduk di sebelahnyalah yang selalu menjadi keluh kesahnya.
''Gue udah baikan sama Aqessa. Thanks ya buat advice-nya kemarin,'' Aidan menoleh sebentar sebelum tanpa canggung kembali menggunakan kausnya untuk mengelap peluh di kening, memperlihatkan perutnya yang rata. ''Oh ya, Na. Minggu depan Aqessa ultah. Lo yang ngatur acaranya ya?''
Runa mencengkeram erat topi milik Aidan. Ngilu. Sahabatnya memang tidak bisa disalahkan, karena cintanya yang tidak pernah terucap.
''Please...Na. Pesta kejutan. Di Bungalo Cafe aja. Lo 'kan part time di sana, biar lebih gampang ngaturnya?''
''Kamu cinta banget ya sama Aqessa?''
Pertanyaan yang kemudian sangat disesali oleh Runa. Untuk apa bertanya jika mata Aidan sudah menjawab segalanya. Runa meraih botol air mineralnya yang tinggal separuh, menenggaknya hingga tandas. Berharap air yang mengaliri kerongkongannya bisa melonggarkan sesak di dadanya.
''Cuma Aqessa yang bikin gue kayak orang gila,'' ucap Aidan tersenyum seolah Aqessa berada di depannya saat ini.
Runa hanya bisa tertegun lama mendengar pernyataan Aidan. Ia menarik napas berat. Dibanding Aqessa, apalah arti dirinya selain titik kecil di antara cemerlang bintang. Pandangan Runa perlahan mengawang, memandangi dedaunan yang menguning dan gugur dari pohonnya.
----------
Runa sedang mencatat menu pesanan ketika sekilas ia melihat dua orang yang sangat dikenalnya memasuki Bungalo Cafe.
Seminggu sudah berlalu. Bukan karena sakit hati jika pada akhirnya Runa tidak bisa membantu Aidan menyiapkan pesta kejutan untuk Aqessa. Tanpa dirinya pun, Aidan pasti mampu untuk menyenangkan Aqessa.
''Kalian sudah pada pesen?'' tanya Runa ketika melintasi meja Aidan.
''Udah tadi. Makasih ya?'' jawab Aqessa ramah.
Runa mengangguk dan segera meninggalkan mereka berdua. Bungalo Cafe sedang ramai, ia harus bekerja cepat jika tidak ingin terkena omelan Juliet -sang pemilik cafe- yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik karyawannya.
Sebenarnya, tanpa bekerja di Bungalo Cafe yang hampir dua tahun dijalaninya, keluarga Runa masih sangat mampu mencukupi semua kebutuhannya. Meski bukan orang yang kaya raya, tetapi ayah Runa memiliki kebun yang mempekerjakan puluhan orang.
Semenjak SMA, Runa merasa malu bila ingin membeli sesuatu yang ia inginkan dan harus meminta uang pada orang tuanya terlebih dahulu.
Dulu, Runa tidak pernah merasa malu bekerja di kios fotocopy sepulang sekolah. Imbalan yang tak seberapa Runa kumpulkan, setelah itu ia membeli CD Linkin Park dan Eminem yang tidak lagi booming karena lewat beberapa bulan.
Sekarang Runa bekerja di Bungalo Cafe tiap malam sabtu dan minggu. Malam yang selalu ramai pengunjung. Dan gaji yang ia dapat lebih dari cukup untuk membeli sesuatu yang ia inginkan.
''Kamu ke toiletnya lama banget sih? Tuh temen kamu liat, Na.''
Runa mendekati orang-orang yang sedang berkerumun. Jantungnya berdegub sangat keras, tangannya mulai terasa dingin. Ketika Runa melihat Aidan sedang berlutut di depan Aqessa sambil memegang sebuah kotak beludru, Runa membeku menahan napas.
Terima!! Terima!!
Semua orang memberi semangat agar sang gadis mau menerima kotak itu. Namun sayang... Aqessa menggeleng kemudian berlari meninggalkan harapan yang Aidan rangkai hancur berkeping-keping seumpama istana pasir yang tergerus ombak. Hilang tak berbekas.
''Aidan....''
''Kenapa dia nolak gue, Na?''
-----------
Malam semakin larut, jalanan yang mulai sepi membuat siapa saja yang mengemudikan kendaraannya melaju dengan kencang.
Seorang gadis berlari sambil terisak. Ia merasa bersalah. Tapi menyesal pun sudah terlambat, semuanya sudah terlanjur terjadi.
Beberapa meter dari gadis itu, seorang laki-laki mengemudikan mobilnya dengan kencang pula. Suasana hatinya tak jauh berbeda. Kehilangan orang yang disayangi rasanya sangat menyakitkan.
Tidak memerhatikan rambu yang ada, keduanya saling memotong jalan. Kemudian hantaman yang sangat keras membuat tubuh sang gadis terpental, menuju kegelapan yang segera menyambutnya.
[Gilar-Gilar, 90816]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top