If That's Love

Kaydan duduk termenung dan sesekali tersenyum sambil memandang air terjun yang terletak di halaman samping. Di sekeliling air terjun buatan itu terdapat beberapa macam jenis bunga yang ditanam sendiri oleh adik perempuannya, Raven.

"Soyi... naike niren gei wo keke i ke ren siau haoshiang sencingping te ren."

Raven muncul dari arah dapur. Ia menenteng nampan berisi dua cangkir kopi dan toples kue. Sementara Dipta mengikuti istrinya dari belakang sambil membopong bayinya.

Raven meletakkan nampan tersebut di atas meja. Kaydan segera mengambil bagiannya, menyesapnya, dan mengernyit merasakan kepahitan dan asam khas kopi kental.

"Sia ce wo gei ni men rense tha."

Kaydan menyenderkan tubuhnya di sofa dan kembali tersenyum. Ia memandang Dipta yang begitu luwes menggendong River seperti sudah terbiasa. Ia juga ingin seperti itu, memiliki keluarga kecil yang bahagia.

Diusianya yang sebentar lagi tiga puluh tiga tahun, keluarganya tidak pernah mendesaknya untuk segera menikah. Kaydan juga tidak pernah berpikir bahwa sebuah pernikahan akan mengekangnya. Ia hanya belum menemukan gadis yang tepat.

"Kau serius dengannya, Dan?"

Dipta bertanya sambil menyerahkan River pada Raven, lantas ikut duduk di sebelah Kaydan. Ia mengambil cangkir kopinya yang masih mengepul, meniupnya sejenak, kemudian menyesapnya.

Kaydan mengangkat sebelah alisnya. "Kapan aku nggak serius! Tapi... sepertinya dia masih terjebak sama masa lalunya."

Dipta terkekeh lalu meletakkan cangkir kopinya. "Cinta itu butuh waktu. Nggak bisa terburu-buru. Cinta itu akan tumbuh karena terbiasa. Terbiasa bertemu, terbiasa bersama-sama," Dipta melirik Raven. "Misal terbiasa minum kopi buatannya."

Sejenak Dipta dan Raven saling tatap. Membuat Kaydan berdecak kesal melihat keduanya.

"Kalau menurutku, cinta datang sama orang yang mau mencoba. Disaat dia nggak mau move on, nggak mau membuka hatinya,perjuangan seperti apapun nggak akan pengaruh buat dia. Tapi kalau dia mau melupakan masa lalunya, dan membuka hatinya buat orang lain, disinilah waktu dan perjuangan baru bisa berperan. Karena cinta memang butuh perjuangan dari kedua belah pihak."

Raven masih menatap Dipta. Perkataannya tersebut bukan hanya untuk Kaydan, tapi juga untuk suaminya.

Kaydan menatap keduanya bergantian. "Apa kalian sedang bernostalgia?" ia lalu beranjak dari duduknya dan menghampiri Raven. Kaydan mengelus pipi River yang menggemaskan, membuat bayi itu menggeliat dalam dekapan ibunya.

"Keke... aku doakan kamu cepet nikah dan punya baby. Biar River punya teman main," ucap Raven sambil menepuk-nepuk bokong bayinya pelan.

"Apa syarat punya anak harus nikah dulu?"

"Iting! Tentu saja!" bentak Raven.

Kaydan tak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya dan membentuk simbol oke kemudian berlalu pergi.

~~~~~^^~~~~~

"Aku nggak pernah dengar kalau Pak Kaydan playboy. Kalau tegas dan galak iya," ucap Lili membantu Runa mengemasi bajunya.

"Dia itu playboy, Li. Perhatiannya itu berlebihan! Pasti dia ngelakuin ini karena ada maunya."

"Kalau aku jadi kamu, Na. Aku nggak bakalan nolak semua perhatian Pak Kaydan." Lili melirik ke arah sahabatnya yang tampak begitu kesal.

Kaydan telah membayar seluruh biaya administrasi rumah sakit. Runa menghela napas. Empat hari ia dirawat, dan kamar yang ia tempati kelas VIP. Tentu biayanya tidak sedikit.

"Masalahnya aku udah terlalu banyak utang budi sama dia."

"Saya akan anggap utang budi kamu lunas dengan satu syarat...."

Suara yang maskulin itu mengejutkan Runa. Ia menoleh ke arah pintu dan langsung bertatapan dengan Kaydan. Laki-laki itu tampak begitu arogan dan selalu memaksakan kehendaknya, dan Runa benci diperlakukan seperti itu.

"Apa?" tanya Runa datar dan setengah terpaksa.

Kaydan tentu saja mengetahui nada terpaksa itu, namun ia tak acuh. "Nanti kalau sudah waktunya akan saya kasih tau."

Runa tercenung tampak ragu, lama kemudian ia baru menjawab. "Baiklah."

Kaydan menganggukkan kepalanya lalu duduk di sofa. "Apa kamu sudah mengemasi bajumu?"

Ponsel Lili berdering. Gadis itu segera mengangkatnya begitu melihat nama ibunya di layar ponselnya. "Iya, Ma... sekarang? Baiklah," setelah menutup sambungan teleponnya, Lili menatap Kaydan memohon. "Apa Pak Kaydan bisa anterin Runa pulang? Saya ada urusan lain."

"Sure."

"Sori, Na. Aku pergi dulu ya." sebelum menutup pintu, Lili mengedipkan sebelah matanya.

Di balik pintu, Lili tergelak. Sebetulnya tadi ibunya hanya memberi kabar kalau sudah sampai di rumah kakaknya di Bandung.

~~~~~^^~~~~~

Runa menonton televisi dengan enggan. Sudah tiga puluh menit sejak Kaydan mengantarkannya pulang, namun laki-laki itu belum ada tanda-tanda akan pergi dari rumahnya.

Sementara Kaydan melirik sekilas cangkir tehnya yang sudah kosong. "Karuna," panggilnya.

"Iya." Runa melepas pandangannya dari televisi lantas menoleh ke arah Kaydan. Ia berharap Kaydan hendak berpamitan padanya.

Kaydan mengamati perubahan ekspresi Runa ketika ia meraih tangan gadis itu yang berada di pangkuan dan menggenggamnya lembut.

~~~~~^^~~~~~

Runa menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Menatap langit-langit kamarnya. Sekilas wajah Kaydan terlintas.

Karuna... saya tau ini terlalu cepat. But, seriously i'm fallin' in love with you. Please be mine.

Pernyataan Kaydan beberapa jam yang lalu menghantarkan Runa untuk terlelap.

If you're gonna break my heart and leave
Make promise you don't intend to keep
If that's love then i want no part

But if you think that love should last for life
If you believe it's more than just one night
If that's love then you've got my heart

Playlist
Laura Pausini | If That's Love
[Gilar-Gilar, 260916]
----------##----------

# soyi... naike niren gei wo keke i ke ren siau haoshiang sencingping te ren---> jadi... siapa gadis yg sudah membuat kakakku tersenyum sendiri seperti orang gila.

# sia ce wo gei ni men rense tha---> kapan" akan aku kenalkan pada kalian

# iting---> pasti/tentu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top